View My Stats

Rabu, 01 Februari 2012

skripsi- - - VIDEO GAME DAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF


BAB I
PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang
Ketika teknologi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat, maka masyarakat mulai mau tidak mau membuka diri pada media massa dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan distribusi teknologi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi, jaringan sistem teknologi global serta terakhir disokong oleh informasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi masalah selalu terjadi. Perkembangan teknologi tersebut  justru jatuh pada permasalahan konten atau isi media yang kadang tidak mendidik. Konten atau isi media yang kurang edukatif tersebut muncul dalam bentuk isi kekerasan, seks dan misteri. Media yang seharusnya menjadi sarana informasi bagi masyarakat untuk menambah pengetahuan baik di luar mau pun di dalam, justru sebaliknya. Media terkadang mengabaikan peraturan yang berlaku dalam menyajikan program-programnya.
Kota-kota besar seperti Indonesia sering kita jumpai video arcade (penggelaran video game) yang menawarkan berbagai macam jenis permainan, dan dipenuhi oleh anak-anak dan remaja. Dengan membayar harga yang relatif murah untuk ditukar dengan koin, mereka betah menghabiskan waktu berjam-jam terlibat dalam kesenangan bermain video game. Satu sisi, kehadiran video game memang dapat menumbuhkan apresiasi anak maupun remaja pada teknologi. Pada saat yang sama, permainan ini dapat pula merangsang kreativitas maupun daya reaksi dengan catatan ia tidak memainkan game yang sama berulang-ulang, sehingga mengenal trik permainan. Namun, di sisi lain permainan ini dapat menimbulkan ketergantungan, manakala penggemarnya terkena video game addict (kecanduan video game).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1988) hobi adalah kegemaran, kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Bermain adalah suatu aktivitas yang dilakukan anak-anak karena mereka menikmatinya untuk kesenangan mereka sendiri Garvey (1990). Sedangkan Bronson (1990) mengatakan bermain mungkin salah satu ekspresi terbesar dan salah satu sumber energi terbesar untuk belajar dan menciptakan. Kata video game berasal dari kata video dan game.
Kata “Game” tidak terlepas dari pengertian permainan. Kita mengenal permainan sejak usia balita sampai saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman khususnya dalam bidang informasi mengakibatkan jenis permainan semakin berkembang puncaknya dapat kita lihat saat ini telah berkembang permainan menggunakan alat-alat elektronika seperti play station, computer bahkan alat komunikasi seperti handphone.
Permainan game dalam pengertian yang luas adalah permainan game berarti hiburan. Permainan game juga merujuk pada pengertian sebagai kelincahan intelektual (intellectual playability). Sementara kata game bisa diartikan sebagai arena keputusan dan aksi pemainnya. Ada target-target yang ingin dicapai pemainnya. Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu merupakan ukuran sejauh mana game itu menarik untuk dimainkan secara maksimal.
Anak yang terlanjur mengenal video game di rentang usia empat hingga tujuh tahun cenderung mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya. Mereka umumnya menjadi egois. Game yang layak dimainkan oleh anak-anak harus merupakan game yang sehat secara kognitif. Anak akan mampu mengembangkan pemahaman akan diri dan lingkungan. sehingga dapat menghindarkan diri dari egosentrisme.
Pada dasarnya setiap anak memiliki sifat atau perilaku agresif. Namun penampilan dari  perilaku agresif tersebut ada yang bersifat langsung terhadap objek dan ada pula secara tersembunyi. Perilaku agresif tersebut di tampilkan oleh setiap anak berbeda-beda sesuai dengan kondisi. Perilaku agresif yang bersifat langsung ditandai dengan adanya suatu perilaku yang bersifat negatif setelah seseorang melihat suatu objek, contohnya dengan mengulang kembali kata-kata atau gerakan yang telah dilihat terhadap suatu objek. Sedangkan perilaku agresif secara tersembunyi terjadi secara perlahan-lahan dalam diri seseorang dalam jangka waktu tertentu. Hal umum yang telah diketahui penyebab dari agresi adalah frustasi, frustasi terjadi ketika perilaku yang dimotivasi dihalangi, atau ditutup, sehingga tujuan itu tidak dapat dicapai (Dollar, dkk. dalam Morgan dkk. 1986). Bentuk yang kuat dari hipotesa frustasi-agresi seperti yang baru saja disebutkan, yang menyatakan bahwa frustasi selalu saja menghasikan perilaku agresi dan semua perilaku agresi selalu disebabkan oleh frustasi.
Gagne (2001) menyatakan bahwa kekerasan dalam video game dapat disejajarkan dengan kekerasan dalam kehidupan nyata, namun dalam bentuk film/tayangan visual pada layar televisi yang diciptakan oleh program komputer dalam video game. Kekerasan dalam video game menggambarkan adegan-adegan kekerasan/agresi yang dilakukan oleh karakter dalam program komputer seperti memukul, menendang, membanting, menusuk, menebas, menembak, dan mengebom. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa frekuensi bermain video game jenis kekerasan adalah angka yang menunjukkan berapa banyak kegiatan bermain video game yang berisi adegan-adegan kekerasan terjadi atau diulang.
Pola asuh, juga memberikan pengaruh pada pembentukan perilaku agresi pada subjek yang bermain video game dengan intensitas yang lama. Pola asuh yang permisif cenderung memperbolehkan anak untuk melakukan segalanya tanpa adanya kontrol dari orang tua. Hal inilah yang dipraktekkan oleh orang tua dengan pola asuh permisif sehingga anak menjadi agresif.
Keberadaan video game sendiri khususnya di aceh sudah sangaat banyak mengubah pola bermain anak-anak, realita ini dapat kita lihat dengan banyaknya anak-anak yang mengahabiskan waktunya berjam-jam pada rental-rental yang menyediakan sarana play stasion serta banyak sudah anak-anak yang telah meniggalkan permainan rakyat atau tradisional.
Keberadaan video game sedikit banyak telah mengubah pola bermain anak, ini diperkuat dengan hasil survey awal yang telah dilakukan  penulis pada beberapa rental yang menyediakan fasilitas play stasion yang ada di Darussalam khusnya Kopelma Darussalam mulai tanggal 29 November – 28 Desember 2007, menujukan bahwa intensitas permainan play stasion dikalangan anak-anak sangat banyak memainkan permainan yang dapat menimbulkan keceenderungan anak untuk berperilaku agresif

   
Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anak yang lebih sering bermain play stasion lebih cenderung menggunakan kata-kata yang biasa digunakan oleh tokoh di dalam permainan tersebut serta anak yang sering bermain play stasion sering menirukan gerakan-gerakan yang dilihat di dalam permainan tersebut dan itu juga merupakan salah satu keresan orang tua karena kecenderungan anak akan terluka dengan meniru gaya tersebut.
Atas dasar inilah penulis mengangkat masalah ini dikarenakan adanya fenomena yang menunjukkan adanya gejala anak cenderung berperilaku agresif. Penyebab dari kecenderungan anak untuk berperilaku agresif diduga berasal dari banyak faktor, salah satunya adalah keberadaan permainan video game yang sarat dengan adegan kekerasan. Selain itu, perspektif teori Stimulating Effects (Aggressive Cues) menunjukkan, bahwa tayangan kekerasan (agresi) akan mempengaruhi tingkat emosional dan psikologis seseorang yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan perilaku kekerasan.
Penulis mengangkat masalah ini untuk dijadikan perhatian bagi perkembangan anak bahwa tidak selamanya permainan yang terdapat dalam video game itu sifatnya menghibur. berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah ”VIDEO GAME DAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF”

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.2.1    Jenis permainan apa sajakah yang dimainkan oleh anak-anak 12-14 tahun
1.2.2    Bagaimanakah ragam kecenderungan perilaku agresif pada anak yang memainkan permainan video game
1.2.3    Bagaimanakah tingkat kecenderungan Agresif pada anak yang memainkan permainan video game.
1.2.4        Apakah ada pengaruh signifikan video game terhadap kecenderungan  agresif.











1.3  Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah penulis rumuskan diatas, maka ada beberapa tujuan yang  ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan ini, yaitu :
1.3.1    Untuk mengetahui permainan apa saja yang dimainkan oleh anak-anak yang berusia 11-12 tahun terhadap kecenderungan perilaku agresif pada anak.
1.3.2    Untuk mengetahui bagaimana ragam kecenderungan perilaku agresif pada anak yang bermain video game
1.3.3    Untuk mengetahui bagaimanakah tingkat kecenderungan agresif pada anak yang bermain video game.
1.3.4        Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan  permainan  video game sehingga dapat membentuk kecenderungan perilaku agresif.

1.4  Manfaat Penelitian
1.4.4        Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang bimbingan dan konseling serta pendidikan yang menyangkut dengan aspek belajar dan perkembangan anak.
1.4.5        Manfaat praktis
            Menjadi bahan pertimbangan dan perhatian khususnya bagi konselor agar dapat mengembangkan layanan-layanan Bimbingan Konseling agar anak dapat memperoleh bimbingan dan arahan mengenai kegiatan dan permainan yang menimbulkan nilai positif bagi perkembnagn anak. Bagi orang tua diharapkan untuk lebih mengontrol pola permainan yang dimainkankan anak baik saat didalam keluarga maupun di luar. Serta sebagai bahan informasi tambahan bagi perkembangan teori-teori di bidang psikologi selanjutnya,memberikan wacana baru bagi masyarakat tentang bentuk media kekerasan yang baru serta pengaruhnya terhadap perilaku agresi pemainnya, sehingga masyarakat dapat mengambil tindakan pencegahan bila video game jenis kekerasan tersebut mempunyai hubungan dengan kecenderungan agresi pada pemainnya.

1.5        Anggapan Dasar
Permainan video game yang sarat dengan adegan kekerasan dapat memicu kecenderungan agresif pada anak-anak.

1.6        Definisi Operasional
Sesuai dengan topik penelitian, yaitu video game dan kecenderungan berperilaku agresif pada anak, maka operasional penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut :
Video game merupakan salah satu permainan yang menggunakan alat-alat elektronika seperti play station dan komputer, yang permainannya meliputi kategori Skill and Action, adalah combat games (game perang), fighting game (game perkelahian), maze/puzzle games (game teka-teki), sports games (game olah raga), paddle games (game pantulan), race games (game balapan). Serta kategori Strategi , yang terdiri dari adventures (game petualangan), real time strategy (game rts), games of chance (game kesempatan), educational games (game pendidikan).
Kecenderungan perilaku agresif yang dimaksud dalam penelitian ini  adalah  suatu perilaku yang di lakukan oleh anak setelah memainkan atau menonton video game yang dilakukan secara sengaja yang dimaksudkan untuk melukai orang lain, yang berbentuk secara fisik dan verbal. Secara fisik ditandai dengan memukul, mendorong, meludahi, menendang, berkelahi menggigit, dan merampas sedangkan secara verbal adalah memarahi orang lain dengan kasar, mengancam, berkata tidak sopan.


















BAB II
VIDEO GAME DAN KECENDERUNGAN
 PERILAKU AGRESIF

2.1   Pengertian Video game
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1988 : 32) hobi adalah kegemaran, kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Bermain adalah suatu aktivitas yang dilakukan anak-anak karena mereka menikmatinya untuk kesenangan mereka sendiri, Garvey (1990 : 321).
Sedangkan Bronson (1990 : 70) mengatakan bermain mungkin salah satu ekspresi terbesar dan salah satu sumber energi terbesar untuk belajar dan menciptakan.
Kata video game berasal dari kata video dan game. Menurut kamus bahasa Inggris Echols (1997:97 ) kata game adalah permainan. Sedangkan video adalah penampilan gambar (visual) dengan bantuan alat elektronik. Menurut Mifflin dalam artikel video game (2004:51) video game adalah permainan yang dimainkan melawan komputer. Sedangkan game yang dikategorikan sebagai video game adalah kombinasi penggunaan televisi atau media display sebagai media visual dan console sebagai tempat atau media penerjemah dari kaset atau compact disc (Cd)
Encyclopedia Americana (1984:32) menyebutkan bahwa bermain adalah rekreasi atau aktifitas yang dilakukan untuk kesenangan. Mencakup bermain dengan mainan, berpartisipasi dalam olah raga, menonton televisi, dan lain sebagainya. Sutton- Smith (1991:31) menerangkan bahwa video game merupakan salah satu bentuk dari permainan elektronik yang berupa komputer yang pada dasarnya merupakan gabungan dari bentuk permainan strategi, kesempatan, dan fisik, sehingga menciptakan sesuatu yang sama sekali baru.
Kata permainan sering dikenal dengan istilah game dalam bahasa Inggris, adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan hiburan. Gamers Indonesia memiliki kata sendiri yaitu gim. Game sering kali terwujud atas dasar realita. Dari segi teknik, game adalah sistem tertutup yang menggambarkan kehidupan nyata. Disebut sistem karena game itu sendiri secara langsung adalah replikasi dari kehidupan nyata dan disebut tertutup karena ada peraturan-peraturan dan batasan-batasan yang terdapat di dalamannya.
Permainan game dalam pengertian yang luas adalah permainan game berarti hiburan. Permainan game juga merujuk pada pengertian sebagai kelincahan intelektual (intellectual playability). Sementara kata game bisa diartikan sebagai arena keputusan dan aksi pemainnya. Ada target-target yang ingin dicapai pemainnya. Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu, merupakan ukuran sejauh mana game itu menarik untuk dimainkan secara maksimal.

2.1.1        Elemen-Elemen Game
Di setiap game terdapat beberapa elemen yang perlu diperhatikan:
a.       Interaksi
Interaksi adalah proses timbal-balik antara lebih dari satu aktor. Aktor umum dalam hal ini adalah manusia dan game. Interaksi adalah elemen pertama kali yang akan ditemui pemain saat mulai bermain. Di mulai dari mengklik tombol play, menggerak-gerakan karakter dengan joypad/mouse/keyboard, menangkap items yang ditemukan, menangkis serangan lawan, sampai ke layar game over. Interaksi yang kurang nyaman akan langsung terasa oleh pemain. Grafik dan audio adalah faktor yang dijadikan media interaksinya.
b.      Cerita
Elemen selanjutnya yang akan diperhatikan pemain sekarang ini telah di jejali dengan pilihan game yang luar biasa banyaknya. Kecuali ceritanya menarik dan dapat menaruh dia menjadi bagian dari sebuah cerita, seorang pemain tanpa ambil pusing memilih untuk tidak memainkan game tersebut. Cerita yang sering kali ditemui kemiripannya dengan game lainnya akan menimbulkan kebosanan, dan sekali lagi pemain tidak sungkan untuk segera mencoba game selanjutnya. Cerita akan lebih menarik bila tetap sepadan dengan tema utama game (serius, kartun, komedi, drama, horror, dll). Membumbui cerita dengan unsur yang lain boleh dilakukan asal masih bisa diterima sehingga tidak menyimpang dari tema utamanya.
c.       Konflik
Sebuah game bisa tidak berarti lagi kalau tidak memiliki elemen ini. Elemen ini bisa membuat sebuah game menjadi lebih menantang dan lebih membuat pemain semakin penasaran. Hampir di setiap game yang kita temui sampai sekarang memiliki konflik. Konflik bisa dibuat secara langsung dan tidak langsung, bisa berupa kekerasan maupun bukan. Contoh dari konflik adalah: monster, misteri, teka-teki, peta lokasi, dan lain-lain.
d.      Pilihan
Pilihan, dengan menawarkan pilihan-pilihan, sebuah game memberikan kebebasan kepada pemain untuk mengambil jalan dalam menyelesaikan konflik, dengan cara si pemain. Elemen ini membedakan antara sebuah cerita dengan sebuah game. Sebuah cerita atau karangan menuntun kita sequel demi sequel ke tujuan yang telah ditentukan pengarang. Sedangkan di dalam game, pilihan-pilihan akan membuat cabang-cabang cerita sehingga game tersebut bisa dimainkan berulang kali.
e.       Bonus
Bonus akan mengiming-imingi pemain untuk mendapatkannya, kalau bisa sebanyak mungkin. Maka bonus adalah termasuk elemen yang membuat pemain merasa tertantang dan termasuk elemen yang bisa dipakai untuk mengukur kehebatan pemain.

2.1.2        Jenis-Jenis Video game
A . Skill And Action (S &A)
Adapun kategori Skill and Action adalah :
Ø      Combat games (game perang) Pemain berada di situasi konfrontasi secara langsung dengan musuh; pertempuran. Pemain ditantang untuk terus menghindari serangan musuh dan menghancurkan lawan sebanyak-banyaknya.
Ø      Fighting game (game perkelahian). Game ini memiliki elemen interaksi dan konflik yang sangat kuat dan cepat sehingga bisa sangat menjengkelkan bagi pemain bila mereka mengalami kekalahan.
Ø      Maze/Puzzle games (game teka-teki). Game ini disebut juga game teka-teki. Maze game lebih cenderung mencari jalan keluar melalui jalan-jalan yang berliku-liku dan membingungkan
Ø      Sports games (game olah raga.) Game yang ada di kategori ini memiliki keuntungan bahwa pemain sudah memiliki gambaran dari olahraga yang akan di mainkan, diharapkan pemain dari game kategori ini adalah kualitas grafik yang sangat tinggi dan gerakan yang mendekati kenyataan.
Ø      Paddle games (game pantulan). Cara memainkan game ini adalah dengan mengayuh atau menggerakkan satu benda untuk mengenai benda yang lain. Cara kerjanya mirip permainan hoki. Contohnya adalah Pong. Saat ini sudah banyak variasi game Pong; menggunakan lebih dari satu bola dan papan pemantul, memiliki kemampuan untuk menembak, dibuat tiga dimensional, dan lain
Ø      Race games (game balapan.) Judul dari kategori ini sudah cukup menjelaskan. Namun variasi dari game balap ini pun juga beraneka ragam. Dimulai game mobil balap formula satu sampai mobil balap remote kontrol yang ber amunisi untuk bisa menjadi nomor satu di garis finish.
B.     Strategy
Ø     Adventures (game petualangan). Pemain akan melalui banyak rintangan, misteri, teka-teki dan barang-barang yang dibutuhkan sebelum pada akhirnya sampai ke tempat tujuan. Untuk itu game ini membutuhkan banyak waktu.
Ø     Real Time Strategy (game R T S). Game dari kategori ini adalah yang paling kompleks daripada game dari kategori manapun juga. Untuk itu, game ini sulit untuk dimainkan. Pemain diminta untuk menjadi pemimpin dan pencipta. Oleh karena itu, meskipun membutuhkan kesabaran membaca peraturan dan memainkannya, pemain suka sekali bermain game ini; berperan sebagai sang pencipta.
Ø     Games of chance (game kesempatan) game yang ada didalam kategori ini termasuk game yang kurang diminati karena sifatnya yang cenderung pasif dan unsur keberuntungan yang bermain secara dominan. Game ini lebih bisa dibilang game jiplakan dari yang asli menjadi virtual. Lihat saja sebagai contohnya game solitaire, jackpot machine, pinball dan lain-lain.
Ø     Educational games (game pendidikan). Walaupun semua game bersifat mendidik, game dalam kategori ini bertujuan mengajar secara eksplisit. Game ini tidak banyak ditemui, karena permainan seperti ini kurang diminati. Game ini lebih sering ditujukan kepada anak kecil. Seperti belajar menghitung, membaca alfabet dan lain-lain.

2.1.3        Dampak Positif Video game Bagi Anak
Mark Griffiths, seorang pakar Video game, mengungkapkan bahwa game bisa membuat orang lebih bermotivasi. Video game abad ke-21 dalam beberapa segi lebih memberi kepuasan psikologis daripada game tahun 1980-an. Untuk memainkannya perlu ketrampilan lebih kompleks, kecekatan lebih tinggi, serta menampilkan masalah yang lebih relevan secara sosial dan gambar yang lebih realistis. Kata kunci dari pernyataan tersebut adalah kepuasan psikologis, di mana anak terdorong untuk menuntaskan dan memenangkan permainan yang berada di video game tersebut.
Psychological Science milik University or Rochester, dalam seminarnya bahwa game dengan aksi laga berlevel tinggi bagus untuk visual cortex, yang merupakan bagian dari otak manusia yang bertanggung jawab atas penglihatan.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa anak yang fanatik bermain game biasanya merupakan individu yang berintelijensi tinggi, bermotivasi, dan berorientasi pada prestasi. Selain itu, bermain game justru dapat membawa dampak positif dalam perkembangan syaraf motorik anak. Berbagai potensi dampak positif pada anak adalah mendorong keingintahuan anak, meningkatkan daya analisa anak melalui tayangan interaktif, meningkatkan daya konstruksi komputer dan internet, meningkatkan daya koordinasi dan sinkronisasi pikiran, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah kompleks dan kesiagaan. Secara prinsip dapat meningkatkan kapasitas dan daya pembelajaran dan menyajikan hiburan yang asyik dan meningkatkan kualitas dan kinerja pembelajaran.

2.1.4        Dampak Negatif Dari Video game Bagi Anak
Dampak negatif video game ditinjau dari beberapa aspek, antara lain :
A.     Aspek Pendidikan
Mohammad Fauzil Adhim dalam artikelnya, (2005:52) berpendapat bahwa anak yang gemar bermain video game adalah anak yang sangat menyukai tantangan. Anak-anak ini cenderung tidak menyukai rangsangan yang daya tariknya lemah, monoton, tidak menantang, dan lamban. Hal ini setidaknya berakibat pada proses belajar akademis. Suasana kelas seolah-olah merupakan penjara bagi jiwanya. Tubuhnya ada di kelas tetapi pikiran, rasa penasaran, dan keinginannya ada di video game. Sepertinya sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk mengolah bayang-bayang game yang mendebarkan. Kadangkala anak juga menjadi malas belajar atau sering membolos sekolah hanya untuk bermain game.
B.     Aspek Kesehatan
Dari sisi kesehatan, pengaruh kecanduan video game bagi anak jelas banyak sekali dampaknya. Untuk menghabiskan waktu bermain game, anak yang telah kecanduan ini tidak hanya membutuhkan waktu yang sedikit. Penelitian Griffiths (1999:28) pada anak usia awal belasan tahun menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu digunakan anak untuk bermain video game setiap hari. lebih mengkhawatirkan, sekitar 7%-nya bermain paling sedikit selama 30 jam per minggu. Selama itu anak kita hanya duduk sehingga memberi dampak pada sendi-sendi tulangnya. Seperti dikemukakan Rab A.B., di London terdapat fenomena Repetitive Strain Injury (R S I) yang melanda anak berusia tujuh tahun. Penyakit ini semacam nyeri sendi yang menyerang anak-anak pecandu video game. Jika tidak ditangani secara serius dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan pada anak. Hal semacam inilah yang seharusnya patut kita perhatikan.
C.     Aspek Psikologis
Berjam-jam duduk untuk bermain video game berdampak juga pada keadaan psikis anak. Anak dapat berperilaku pasif atau sebaliknya anak akan bertindak sangat aktif atau agresif. Perilaku pasif yang biasa muncul adalah anak jadi apatis dengan lingkungan sekitar, kehidupan sosialisasi anak agak sedikit terganggu karena anak jauh lebih senang bermain dengan game-gamenya dari pada bergaul dengan teman-temannya.
Video game dapat juga menyebabkan anak dapat berperilaku aktif bahkan bisa agresif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh game-game yang dewasa ini banyak menghadirkan adegan kekerasan. Dalam waktu selama itu anak hanya berinteraksi dengan kekerasan, gambar yang bergerak cepat, ancaman yang setiap detik selalu bertambah besar, serta dorongan untuk membunuh secepat-cepatnya. Anak mengembangkan naluri membunuh yang impulsi, sadis dan ngawur, sangat mengerikan sekali jika tidak ada kontrol dari orang tua untuk menyikapi hal tersebut.
Ron Solby dalam artikel “menu tontonan untuk anak-anak” (2007:34) dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi dan video game terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat. Kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain. Ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain. Keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan. hal tersebut memang terbukti. Sebuah penelitian yang dilakukan Leonard Eron dan Rowell Huesman menyebutkan, tontonan kekerasan yang dinikmati pada usia 8 tahun akan mendorong tindak kriminalitas pada usia 30 tahun (Kompas, 5/2000).
Kasus Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999, berdasarkan keterangan yang diperloleh temannya , Dylan Klebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage. Menurut  Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis (2006:34), pengajar di Fakultas Psikologi UI , fase anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Berdasarkan  kasus Harris dan Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV. Menurut Fawzia (2006:29) main game itu intens. Di sana ada target yang menjadi sasaran, misalnya menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika dilakukan bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, juga dapat menimbulkan kecanduan ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih kejam dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban. Centerwall dalam sebuah seminar menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak, dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa. Sedangkan penelitian yang dilakukan yale family television menyebutkan anak-anak yang menyaksikan program fantasi kekerasan cenderung kurang kooperatif, kurang baik dalam bergaul, kurang gembira, kurang imajinatif, serta angka IQ-nya rendah. Pecandu game juga pada umumnya seering gelisah dan memperlihatkan masalah di sekolah. Ketergantungan pada video game dalam jangka waktu yang lama juga dapat memicu perilaku menyimpang lain seperti mencuri uang untuk membeli game baru, bolos sekolah, keengganan mengerjakan pekerjaan rumah (PR), atau rasa tak tenang saat tidak bermain game. Menurut laporan Iowa State University (2001:19), video game saat ini banyak digandrungi anak-anak adalah video game bertemakan kekerasan, sehingga dalam waktu singkat cenderung berperilaku agresif. Seorang profesor dari Tokyo's Nihon University memimpin penelitian dengan mengamati efek Video game terhadap aktivitas otak. Dengan 260 responden masing-masing adalah kelompok yang jarang bermain video game, kelompok yang bermain video game 1-3 jam dengan frekuensi 3-4 kali dalam seminggu, dan terakhir kelompok yang bermain 2-7 jam setiap hari. Ia memonitor gelombang beta yang mengindikasikan otak sedang aktif bekerja, kemudian tingkat ketegangan yang terjadi di area prefrontal otak, dan terakhir gelombang alfa yang muncul saat otak sedang dalam kondisi atau keadaan untuk beristirahat atau dalam keadaan tenang dimana otak tidak dipaksa lagi untuk bekerja.
Hasilnya menunjukkan, penurunan gelombang beta yang besar terjadi jika orang lebih banyak bermain video game. Aktivitas gelombang beta pada kelompok yang bermain game 2-7 jam setiap hari hampir mendekati nol, bahkan ketika mereka sedang tidak bermain game. Selain itu, beberapa responden dari kelompok ini menyampaikan bahwa mereka mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan mengalami persoalan dalam melakukan hubungan interakasi dengan lingkungan dan   bergaul.Distributor game online "Warcraft" di Cina, dituntut oleh orang tua seorang bocah laki-laki yang mati setelah lompat dari gedung tinggi, usai bermain game tersebut selama 36 jam berturut-turut. Zhang Xiaoyi bocah laki-laki 13 tahun, meninggal pada 27 Desember 2004, setelah loncat dari gedung tinggi. Zhang meninggalkan pesan bunuh diri, berisi keinginannya untuk bergabung dengan para jagoan yang ada di game kesukaannya.Berbagai studi juga telah mengidentifikasi masalah dan persoalan yang muncul sebagai akibat keterlibatan dalam pemanfaatan video games, komputer games, televisi dan dunia maya, antara lain; dapat menjadi addiction atau ketergantungan, merusak hubungan keluarga/sosial, menimbulkan keterasingan dari realitas rusaknya disiplin kehidupan, diabaikannya tugas utama seperti belajar. Dampak negatif lainnya adalah duduk berjam-jam keasyikan memainkan play station membuat anak kurang bergerak, kurang bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Keasyikannya bermain play station akan mengganggu kegiatan lain seperti belajar, makan ataupun tidur. Anak yang sudah keasyikan memainkan play station akan merasa terus tertantang untuk menemukan cara-cara bermain yang baru. Kondisi ini akan berdampak pada kelelahan mata, kelelahan fisik dan emosi serta dampak-dampak lainnya yang sudah menunggu. Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. Saat nonton TV atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan, dalam sebuah seminar Dr. Endang (2005) Saat anak nonton TV, kalori yang dibakar hanya 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh melebihi kalori yang digunakan. Dalam artikel Anak perlu aktif untuk bertumbuh. (2000:17-32)


2.2. Kecenderungan Perilaku Agresif
2.2.1.   Pengertian Perilaku Agresif
Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Dalam hal ini jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Misalnya rasa sakit akibat tindakan medis, sebaliknya niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil hal ini yang disebut sebagai perilaku agresif.
Pada dasarnya manusia mempunyai sifat agresif sejak lahir. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
John C. Brigham (1991:56-59), dalam buku Social Psychology, mengartikan perilaku agresi sebagai perilaku yang diniati oleh keinginan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik ataupun psikologis. . Menurut Brigham, ada dua ragam perilaku agresi manusia, yaitu agresi menyerang dan agresi balas dendam. Agresi menyerang adalah perilaku agresi yang merupakan inisiatif pelaku yang dilakukan dengan menyakiti orang lain dan bukan sebagai balasan atas perilaku orang lain.
Menurut Buss (dalam Morgan dkk. 1986:67) perilaku agresif bisa berupa verbal dan fisik, aktif dan pasif, langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah antara menyakiti secara fisik dan menyerang dengan kata-kata; aktif atau pasif membedakan antara tindakan yang terlihat dengan kegagalan dalam bertindak; perilaku agresif langsung berarti melakukan kontak langsung dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresif tidak langsung dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban.
Fisik aktif langsung, menikam, memukul, atau menembak orang lain Fisik aktif tidak langsung, membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh Fisik pasif langsung, secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan yang diinginkan atau memunculkan tindakan yang diinginkan (misalnya aksi duduk dalam demonstrasi) Fisik pasif tidak langsung, menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya.Verbal aktif langsung, menghina orang lain. Verbal aktif tidak langsung, menyebarkan gossip atau rumors yang jahat tentang orang lain.Verbal pasif langsung, menolak berbicara ke orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll Verbal, pasif tidak langsung tidak mau membuat komentar verbal (misal :menolak berbicara ke orang yang menyerang dirinya bila dia dikritik secara tidak fair) Morgan dkk. (dalam Prabowo1998)

Sedangkan Bandura (dalam Morgan dkk 1986:65) mengatakan teori belajar sosial menekankan peran imitasi terhadap perilaku orang lain sebagai penyebab agresi. Orang yang baru saja melihat orang lain bertindak agresif cenderung melakukan hal yang sama pada situasi yang mirip.
Agresif biasanya di definisikan sebagai perilaku yang di maksudkan untuk melukai orang lain (secara fisik & verbal) atau merusak harta benda. Agresif adalah suatu respon terhadap amarah, kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, ancaman sering sekali  memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Sears dkk (1994:58-59) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresi, antara lain: Proses belajar, Penguatan (reinforcement), Imitasi, Norma sosial.
Anak yang agresif adalah anak yang suka menyerang orang lain. Bisa dilakukan secara fisik yaitu memukul, mencubit, menggigit, tetapi bisa juga secara verbal misalnya dengan memaki atau memarahi orang lain dengan kasar. Ada beberapa Hal-hal yang bisa memicu keagresifan anak, antara lain:

1.      Mencontoh atau melihat teman bertengkar
2.      Anak-anak belajar atau mencontoh dari tontonan, misalnya televisi, film dsb.
3.      Orang tua Setuju bertengkar atau orang tua tidak bisa menguasai kemarahannya.
4.      Orang tua yang mendorong anaknya untuk membalas tingkah laku atau perlakuan teman-temannya
5.      Pujian orang tua terhadap anak laki-laki yang kalau berkelahi dikatakan jago dan sebagainya.
Namun sebagai orang tua ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengontrol keagresifan anak, yaitu dengan cara:
1.      Orang tua sungguh-sungguh memperhatikan keharmonisan hubungan suami-istri. Anak yang melihat orang tuanya harmonis dia akan meredakan rasa frustrasi dan kemarahannya.
2.      Mengurangi sebanyak mungkin tontonan yang agresif.
3.      Mempunyai peraturan keluarga tentang bagaimana cara kita untuk menyatakan kemarahan.
Beberapa peneliti menyatakan agresivitas pada seseorang cenderung stabil (relatif tidak berubah). Mereka yang dikenal agresif pada masa kanak-kanak cenderung agresif pula pada masa remaja dan dewasa (Deaux dkk, 1993;& Krahe, 2005), kecuali bila terdapat intervensi yang meredakan agresivitas tersebut. Ini merupakan teori yang sesuai untuk menjelaskan bahwa kecenderungan agresi yang melekat sejak awal akan tetap melekat hingga dewasa.
Robert Baron (1997 : 78) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datang tingkah laku tersebut, Dengan demikian ada 4 unsur yang membentuk seseorang untuk berperilaku dalam agresi, di antaranya:
1.      Adanya suatu keinginan atau tujuan untuk mencelakakan.
2.      Adanya objek atau individu yang menjadi pelaku.
3.      Adanya objek atau individu yang menjadi korban.
4.      Ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku.
Wrighsman dan Deaux (1981:23), yang menyatakan bahwa agresi adalah bagian dari ego yang merupakan bagian kepribadian yang berorientasi pada kenyataan sehingga dorongan agresi adalah suatu hal yang sehat karena merupakan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari manusia. Selain berasal dari dirinya sendiri, sifat agresi juga berasal dari hasil belajar sosial. Teori Belajar Sosial (Social Learning) yang dimotori oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon agresif pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model. Anak – anak yang melihat model orang dewasa agresif secara konsisten akan lebih agresif bila dibandingkan dengan anak-anak yang melihat model orang dewasa non agresif.
Pakar psikologi dari Universitas Southern California, Prof. Adrian Raine dalam rangkaian penelitiannya menyimpulkan, anak-anak atau remaja yang detak jantungnya lebih lambat dari normal, memiliki resiko lebih besar untuk melakukan tindak kejahatan di kemudian hari, (Artikel 2006) Perilaku agresif digambarkan dengan perilaku anti sosial. Perilaku antisosial adalah perilaku yang membuat anak terlibat konflik dengan lingkungannya, karena ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang ada. Contoh perilaku antisosial misalnya mencuri, berbohong, Setuju bertengkar, berkata buruk, berbuat curang, membangkang, mengamuk, dsb. Beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab misalnya saja karena kurang terpenuhinya kasih sayang dan bimbingan orangtua terhadap anak dalam mempelajari aturan-aturan sosial, serta kurangnya model yang baik bagi anak untuk belajar perilaku yang bisa diterima masyarakat.David O Sears dan Jonathan L Freedman (1985 : 213), mengemukakan Agresi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
1.      Faktor penguatan (Reinforcement) yaitu salah satu mekanisme utama untuk memunculkan proses belajar adalah penguatan atau peneguhan. Bila suatu perilaku tententu diberi ganjaran kemungkinan individu akan mengulangi perilaku tersebut dimasa akan datang.
2.      Imitasi, merupakan mekanisme lain yang membentuk perilaku anak khususnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecendrungan yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi ini terjadi pada setiap jenis perilaku terhadap agresi anak yang mengamati orang lain melakukan tindakan agresi atau mengendalikan agresinya akan meniru orang tersebut.
Menurut Dr. Y. Singgih D. Gunarsa(2005:34), suatu bentuk lain dari pelampiasan emosi anak, terlihat dalam penyaluran agresi. Anak kelihatan agresif sekali dalam menghadapi "kekangan". Tujuan utama dari pada agresi yang berlebih-lebihan adalah penguasaan situasi, mengatasi suatu rintangan atau halangan yang dihadapinya atau merusak suatu benda. Agresi tersebut dapat disalurkan melalui perbuatan, akan tetapi bila tingkah laku tersebut dihalangi, maka akan tersalur melalui perbuatan, akan tersalur melalui kata-kata dan pikiran.

Ada dua macam sebab yang mendasari tingkah laku agresif pada anak. Pertama, tingkah laku agresif yang dilakukan untuk menyerang atau melawan orang lain. Macam tingkah laku agresif ini biasanya ditandai dengan kemarahan atau keinginan untuk menyakiti orang lain. Kedua, tingkah laku agresif yang dilakukan sebagai sikap mempertahankan diri terhadap serangan dari luar. Rumah merupakan tempat yang beresiko hukumannya paling besar sehingga merupakan tempat yang ancaman hukumannya menimbulkan efek penghambat yang paling kuat. Sayangnya situasi diluar rumah sangat berbeda, anak yang mendapat hukuman berat dirumah karena bertindak agresif menjadi lebih agresif diluar rumah,(Sears,Whiting,Nowlis 1953:100)
Serangan dari luar ini tidak selalu berupa serangan dari orang lain, misalnya, teman bermain yang mencoba memukulnya, akan tetapi dapat juga berupa rintangan-rintangan yang dihadapinya dalam bermain, misalnya, kegagalan yang ditemuinya ketika sedang membuat tumpukan balok kayu, Jika menghadapi keadaan seperti ini, anak biasanya akan berteriak-teriak sebagai pernyataan rasa marahnya terhadap kegagalan yang dihadapinya. Seorang anak memang memiliki suatu bentuk primitif agresi seperti memukul dan menggigit. Sulitnya, ia tidak mengerti akibat tingkah laku yang kasar itu terhadap orang lain. Oleh karena itu ia membutuhkan bantuan orangtua untuk menyalurkan agresinya itu tanpa merugikan orang lain. Sedangkan membunuh sifat agresif pada anak, membuat dia lumpuh.
Jenis dari perilaku agresif itu sendiri antara lain:
1.      Letupan kejengkelan
2.      Marah secara verbal
3.      Menyerang secara fisik
4.      Mengancam, serta
5.       Merusak
2.2.2   Pengertian Kecenderungan Perilaku Agresif
Menurut Watson (Agus Sujanto, 1979: 134) tingkah laku manusia tidak lain adalah refleks yang tersusun. Semua perbuatan adalah susunan refleks-refleks belaka. Setiap tingkah laku manusia adalah reaksi terhadap perangsang-perangsang. Perbuatan yang tersederhana, adalah terdiri dari perangsang beserta reaksinya, dan yang berlangsung secara otomatis, refleksif. Berarti behaviorisme memandang manusia sebagai suatu organisme yang mereaksi secara keseluruhan terhadap dari luar. Behavior atau perilaku adalah seluruh perilaku manusia sebagai hasil belajar. Artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh dari lingkungan. Atau perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (lingkungan psikologisnya).
Edward Ross (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 33) menegaskan faktor situasional dan sosial merupakan faktor utama dalam membentuk perilaku individu. Besarnya pengaruh situasi dalam menentukan perilaku manusia dapat memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapinya sesuai dengan karakteristik individu yang dimilikinya.
Sedangkan agresif adalah perilaku individu yang timbul dalam dirinya. Namun pada kenyataannya sikap dan agresif adalah perilaku yang sama yang timbul dalam diri individu sebagai akibat dari pengaruh situasi.
Newcomb, dkk (1981:102-103) mendefinisikan kecenderungan sebagai suatu kesiapan mental untuk bereaksi terhadap objek tertentu. Weiten (1995:89) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku yang dimaksudkan untuk melukai seseorang, baik secara fisik atau verbal. Medinus & Johnson (1976:96) mengelompokkan agresi menjadi empat bentuk sebagai berikut:
1.      Menyerang secara fisik (memukul, mendorong, meludahi, menendang, menggigit, memarahi, dan merampas)
2.      Menyerang suatu objek (menyerang benda mati atau binatang)
3.      Menyerang secara verbal atau simbolis (mengancam secara verbal, menuntut)
4.      Melanggar hak milik atau menyerang benda orang lain.
Agresi yang berbentuk secara fisik seperti memukul, mendorong, meludahi, menendang, melempar, merusak ialah suatu bentuk yang dapat mengakibatkan sakit atau luka pada objek. Sedangkan bentuk agresi secara verbal seperti mencaci maki, berteriak-teriak, mengeluarkan kata-kata yang kasar atau kotor merupakan suatu bentuk agresi yang bersifat atau dilakukan secara lisan.Teori belajar observasional atau modeling yang dikembangkan oleh Bandura (Koeswara, 1988:76-69) menyatakan bahwa sebagian besar tingkah laku individu diperoleh melalui pengamatan/observasi atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model.
Moore dan fine (koeswara, 1988) juga mengemukakan agresi sebagai tindak kekerasan secara fisik maupun verbal terhadap individu lain seperti membentak, memaki, atau mengumpat. Selain agresi fisik dan verbal, masih ada lagi bentuk agresi lainnya seperti agresi benci, dan agresi marah.
Menurut Bandura (Koeswara, 1988:75-76), dalam belajar observasional terjadi empat proses yang saling berkaitan, yaitu:
1.      Proses Atensional, yaitu: proses dimana individu tertarik untuk memperhatikan atau mengamati tingkah laku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik yang dimiliknya
2.      Proses Retensi, yaitu: proses dimana individu pengamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamatinya di dalam ingatannya, baik melalui kode verbal atau kode imajinal serta pembayangan gerak
3.      Proses Reproduksi, yaitu: proses dimana individu pengamat mencoba mengungkap tingkah laku model yang telah diamatinya. Proses ini pada mulanya bersifat kaku dan kasar, tetapi dengan pengulangan yang intensif, lambat laun individu bisa mengungkapkan tingkah laku model tersebut dengan sempurna atau setidaknya mendekati tingkah laku model
4.      Proses Motivasional dan penguatan tingkah laku, yaitu: tingkah laku yang diamati tidak akan diungkapkan oleh individu pengamat apabila individu pengamat tersebut kurang termotivasi.

Seperti pada pendekatan belajar, penguatan positif bisa memotivasi individu ke arah pengungkapan tingkah laku, dalam hal ini tingkah laku yang telah diamati. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecenderungan agresi adalah kecenderungan seseorang untuk melukai orang lain baik secara fisik (memukul, menendang)  maupaun verbal (mengejek). Agresi terbentuk melalui pengamatan terhadap sebuah model dengan prosen yang dimulai dari atensional,  retensi, reproduksi, hingga proses motivasional dan penguatan.

2.2.3.      Faktor-Faktor Pendorong Perilaku Agresif
Banyak hal yang dapat memicu seorang anak untuk berperilaku agresif, yaitu sebagai berikut :
1.      Agresif adalah suatu luapan dari reaksi emosi terhadap frustasi.
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu.
2.      Agresif karena perlakuan orang tua sehingga tingkah laku agresif mengalami penguatan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa keluarga menghargai tindakan agresif.
3.      Agresif karena meniru dari orang tua atau lingkungan yang merupakan model yang paling efektif bagi anak, agresif terjadi karena mencontoh. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui televisi dan juga games atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991:100) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model tersebut. Model pahlawan di film-film sering sekali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini dapat membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991:108) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila terbiasa dalam lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang Setuju cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat untuk timbulnya sebuah perilaku agresi pada saat anak melihat dan meniru apa yang telah dilihat.
4.      Amarah, Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991:45). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah suatu perilaku yang dapat memicu terjadinya perilaku agresi.
Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman Setuju memancing amarah dan akhirnya memancing agresi.
5.      Faktor Biologis,ada beberapa kondisi biologis yang mempengaruhi kerentanan anak untuk mengalami perilaku agresif. Pertama, tempramen anak yang merupakan indicator yang paling awal akan masalah perilaku (Cartledge & Milburn, 2003:70-76) Tempramen kemudian bereaksi lagi dengan gaya manajemen orang tua berusaha mengontrol perilaku anak secara berlebihan yang justru akan menambah intensitas perilaku melawan pada anak (Cartledge & Milburn, 1995:56)
Menurut Hendar Surya (2004:44-48) faktor penyebab anak suka berperilaku agresif, yaitu :
         1.            Anak merasa kurang diperhatikan atau merasa terabaikan. Kadangkala orang tua kurang menyadari dan memperhatikan perasaan maupun kebutuhan yang diinginkan anak, sehingga tanpa dasar telah melukai perasaan anak. Lambat laun perasaan itu memuncak sehingga munculah ledakan emosional yang menyebabkan anak begitu sensitf dan mudah marah. Ledakan emosional tersebut biasanya selalu mencari kompensasi pelampiasan. Jadilah anak berperilaku agresif atau suka menyerang siapa pun saja sebagai manifestasi kekecewaan tersebut.
         2.            Anak selalu merasa tertekan karena selalu mendapat perlakuan kasar. Orang tua kerapkali menjewer, memukul, menampar, bahkan memojokkan anak dengan caci maki sebagai sanksi terhadap anak yang dikategorikan nkal atau bandel. Tanpa tersadari sikap orang tua tersebut membentuk pribadi anak yang tumbuh dalam kekerasan. Akibatnya sikap agresif anak begitu mudah terbentuk.
         3.            Anak merasa kurang dihargai atau disepelekan. Anak akan merasa tertekan jika dirinya selalu disepelakan oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya, sehingga akan tumbuh sikap negative dan curiga pada orang lain dan anak pun menjadi anti sosial.
         4.            Tumbuhnya rasa iri hati. Anak berperilaku agresif juga dapat disebabkan berkembangnya rasa iri di hati anak dalam keluarga. rasa iri hati anak yang terus berkembang dapat menyebabkan kemarahan dan ledakan emosional, sehingga anak menjadi mudah bertingkah laku kasar
         5.            Sikap agresif merupakan bentuk komunikasi anak karena dirinya belum mampu menyampaikan keinginanya secara jelas dan benar.
         6.            Pengaruh keharmonisan hubungan dalam keluarga. Hubungan rumah tangga yang buruk dapat menghilanhkan rasa kasing sayang dalam keluarga. Pada anak dapat timbul traumati melihat bentuk-bentuk kekerasan orang tuanya, perlakuan kasar yang diperlihatkan oleh orang tua terekam dalam memori otak, sehingga anak mudah sekali untuk melakukan kekerasan atau bersikap agresif.
         7.            Pengaruh tontonan aksi-aksi kekerasan dari media TV. Aksi-aksi kekerasan yang sellu ditampilkan media televise dapat memberi pengaruh buruk terhadap perkembangan psikis anak. Pada umunya anak kerap kali menyerap dan meniru begitu saja bentuk aksi-aksi kekerasan yang ditampilkan. Akibat proses imitasi dari anak terhadap figur atau tokoh yang disenangi anak, anak akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan. Sikap agresif anak pun menjadi lebih tinggi.

2.2.4.      Faktor Perilaku Anak
Faktor penting yang sering diabaikan dan mungkin paling berpengaruh dalam kekerasan pada anak adalah status perilaku anak itu sendiri. Anak yang mempunyai kecenderungan melakukan kekerasan adalah anak yang mempunyai perilaku agresif. Perilaku agresif pada anak adalah mudah marah, gampang memukul, membanting, mencubit, keras kepala atau suka membantah. Perilaku agresif ini biasanya disertai dengan perilaku khas lainnya seperti gerakan anak sangat aktif bergerak, emosi tinggi, kurang konsentrasi, impulsif (banyak bicara dan sering memotong pembicaraan orang lain) atau sulit tidur. Gejala ini  dapat dialami oleh anak normal atau pada anak dengan gangguan perilaku seperti Autis, ADHD, ADD dan lainnya. Suatu penelitian oleh Aletha Stein (2007:24) mengungkapkan bahwa anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap
Banyak hal yang dapat memicu seorang anak untuk berperilaku agresif, yaitu sebagai berikut :
1.      Agresif sebagai reaksi emosi terhadap frustasi Agresif karena perlakuan orang tua sehingga tingkah laku agresif mengalami penguatan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa keluarga menghargai tindakan agresif.
2.      Agresif karena meniru dari orang tua atau lingkungan yang merupakan model yang paling efektif bagi anak, agresif terjadi karena mencontoh.
3.      Faktor Biologis,ada beberapa kondisi biologis yang mempengaruhi kerentanan anak untuk mengalami perilaku agresif. Pertama, tempramen anak yang merupakan indicator yang paling awal akan masalah perilaku (Cartledge & Milburn, 2003:35) Tempramen kemudian bereaksi lagi dengan gaya manajemen orang tua berusaha mengontrol perilaku anak secara berlebihan yang justru akan menambah intensitas perilaku melawan pada anak (Cartledge & Milburn, 1995:76)


2.2.5.      Media Dan Tanggung Jawab Moral
Media mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat dan pendidikan negara, untuk itu memakan waktu antara masyarakat dan posisi moral. Secara luas ada 3 kategori mengenai media dan tingkah laku anti sosial antara lain:
1.      Sikap anti sosial para praktisi yang berhubungan dalam kewajiban para professional.
2.      Tugas media hanya sebagai pelengkap terhadap tingkah laku anti sosial.
3.      Konflik yang terjadi antara tanggung jawab professional dan tingkah laku anti sosial dalam kehidupan pribadi para praktisi media.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya terutama tentang tayangan kekerasan dalam televisi membuktikan bahwa film-film jenis kekerasan mendorong remaja untuk melakukan hal yang serupa yaitu meniru yang pada akhir mendorong anak untuk berperilaku agresif. Penelitian Sonja (1997:22) membuktikan bahwa pola konsumsi tayangan televisi jenis kekerasan berhubungan dengan kecenderungan agresi pada siswa-siswa di sebuah SMU di Surabaya.
Hiburan atau entertainment merupakan tayangan kekerasan di Televisi dan game yang dapat menambah perilaku yang agresif terhadap anak-anak. Program kriminal merupakan suatu kontribusi untuk pertumbuhan criminal rate di masyarakat. Budaya obat-obatan / narkotika diminati dalam drama prime time. Hal tersebut di atas hanya sebagian dari tayangan didalam dunia hiburan. Melalui kepercayaan mereka pada semua bentuk konflik yang diperankan melalui karakter yang kejam / dingin, dialog yang bagus, special effect, dan situasi yang dramatis, media hiburan menyampaikan pelajaran yang penting dengan mempertimbangkan hal-hal yang bermanfaat dan perilaku anti sosial.
Media khususnya televisi pernah di kritik oleh publik karena perhatian media yang terus menerus terhadap kekerasan. Selain itu ada di antaranya game-game yang menceritakan tentang kekerasan seperti contoh Shakespeare’s, Julius Caesar, Hamlet, and Macbeth. Untuk itu, program acara untuk anak-anak seharusnya dibedakan dengan program yang ditayangkan untuk orang dewasa. Karena itu tidaklah berlebihan bila Ninik L Karim (2007:5), psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyatakan, lebih dari 70 persen game layar lebar, televisi dan sinetron yang diproduksi lokal ataupun impor bernilai kekerasan.
Menurut Nanik (2007:5), dalam artikel yang berjudul ”Menu tontonan untuk anak.” Video game pun mampu menghadirkan efek katarsis, proyeksi, serta displacement. Video game mampu juga menjadi dunia alternatif, yakni sarana untuk belajar dan mengasah pikiran. Jadi, efek itulah yang menyebabkan mengapa Video game dipenuhi adegan kekerasan. Sementara menurut Riri Reza (2007:7) game yang baik untuk konsumsi anak adalah tayangan yang bisa menghibur sekaligus menyentuh perasaan serta kepekaan anak-anak. Game yang baik, seharusnya mampu mengajak anak keluar dan lingkungan rutin mereka sehari-hari, dengan begitu, si anak akan mengenal pada dunia yang lebih luas serta berpikir terbuka. Selain itu anak juga harus dapat mengajak anak untuk dekat ke alam lingkungan. Sehingga, dengan game yang dimainkan anak, mereka bisa lebih mengenal status atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat serta mampu mengerti kekurangan diri dan orang lain, sehingga anak terhindar dari “dramatic device”, seperti kemarahan, kekerasan, ataupun konsumerisme dalam pembentukkan karakter tokoh yang di perankan dalam penceritaan.

2.2.6.      Pengaruh Media Terhadap Sikap Anti Sosial
Perilaku anti sosial, terutama yang tercermin dalam tayangan yang bersifat kekerasan, seksual dan misteri sudah menjadi hal yang sangat mendasar di masyarakat. Hal ini harus diperbaiki secepatnya baik dari pemerintah, media massa itu sendiri, dan lembaga-lembaga independen lainnya. Tetapi dalam hal ini pemilik media dan para awak media harus memiliki peranan yang sangat besar atas timbulnya perilaku anti sosial di masyarakat. Berkaitan dengan keberadaan khalayak maka seharusnya sebagai konsumen harus bisa memilih tayangan yang bermanfaat bagi mereka dan yang tidak merusak norma-norma yang berlaku. Para konsumen media dalam hal ini penonton media harus lebih aktif dalam mengkritisi isi atau konten media, yang menayangkan program-program yang berdampak buruk, seperti : membuat para konsumen menjadi konsumtif, program kekerasan atau kriminalitas, menghalalkan seks bebas dan sebagainya. Kritik media akan mempengaruhi dan mendorong pemerintah untuk mempertegas lagi peraturan atau undang-undang yang berlaku dalam penyiaran media.
Kekerasan yang ditayangkan di permainan video game tidak hanya muncul begitu saja. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua adegan pada saat melakukan perlawanan video game ini terkadang lebih kejam dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah korban. Jadi, orangtua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga tempat anak tinggal mendukung dan banyak menyajikan tontonan yang bersifat kekerasan, sehingga dengan tanpa tersadari membuat anak terpancing.Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan atau setahun. Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang memukul dan menganiaya orang lain merupakan suatu hal yang wajar dilakukan.












BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1  Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di 5 (Lima) play stasion yang ada di  Rukoh  Aceh Besar, peneliti memilih tempat tersebut karena di daerah tersebut terdapat banyak rental-rental yang menyediakan fasilitas play stasion dan banyak anak-anak yang datang untuk bermain game. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 1 minggu atau 7 hari.

3.2  Pendekatan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diangkat, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan ukuran nominal untuk menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu suatu cara yang memungkinkan untuk mengetahui keadaan atau kondisi yang sedang terjadi dewasa ini.
Nazir (1985:65) Metode deskriptif adalah metode dalam penelitian suatu kondisi, suatu pemikiran atau suatu perisriwa pada masa gambar atau lukisan secara sistematis, actual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomenal yang diselidiki.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka digunakan metode penelitian deskriptif korelasional, yaitu suatu metode penelitian yang menggambarkan fenomenal-fenomenal yang terjadi saat sekarang dengan cara menghubungkan atau mengkorelasikan antara satu variable atau lebih. Dalam penelitian ini yang dihubungkan adalah variable video game dengan kecenderungan perilaku agresif pada anak berusia 12-14 tahun.

3.3  Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek /subjek yang mempunyai kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian untuk ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2006:90). Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak yang memainkan video game yang bersifat kekerasan. Subjek penelitian anak berusia 12-14 tahun dan bertempat tinggal di Rukoh Aceh Besar.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak berusia 12-14 tahun di kelima (5) play stasion, yaitu Can PS 10 orang anak, WR PS 12 orang anak, Star game PS 10 orang anak,Markaz PS 10 orang anak dan Setia Kawan 10 orang anak. Berdasarkan populasi tersebut, maka yang menjadi sampel adalah seluruh anak yang berusia 12-14 tahun yang memainkan video game di rental Play station di Rukoh aceh Besar, Alasan penulis mengambil lokasi di Darussalam karena peneliti melihat  banyaknya anak-anak  yang bermain play station.




3.4  k Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain:
3.4.1        Teknik Angket
Suryobroto (1990:15) Angket adalah daftar pertanyaan yang harus dijawab atau daftar isian berdasarkan sejumlah objek, dan berdasarkan atas jawaban atau isisan itu penyelidik mengambil kesimpulan mengenai subjek yang diselidiki. Angket bertujuan untuk mengetahui jenis pemaianan yang diamainkan,intensitas permainan serta kecenderungan perilaku agresif.. Angket yang penulis gunakan adalah jenis angket skala 4 bertentuk likert. Angket disusun dengan merujuk pada indikator-indikator yang dirumuskan dalam Definisi Operasional.
Sebelum angket diedarkan kepada siswa, terlebih dahulu dilakukan uji coba instrument pada 30 (tiga puluh ) anak yang bermain video game yang berusia 12-14 tahun. Pengujian validitas dan reliiabilitas angket dilakukan guna memperoleh data yang tepat dan sahih dalam suatu penelitian. Item yang ternyata valid dan reliable selanjutnya dibakukan menjadi instrument penelitian.

3.5 Teknik Pengolahan Data

Menurut tujuan penelitian yang telah dilakukan pada Bab I, maka teknik penelitian ini menggunakan analisis :

a.       Untuk menjawab tujuan 1 dan 2 digunakan metode persentase dengan mengambil nilai rata-rata yang terbesar.
b.      Untuk menjawab tujuan 3 dianalisis dengan cara membandingkan rata-rata skor aktual dengan rata-rata ideal kecenderungan agresif.
c.       Untuk menjawab tujuan 4 digunakan analisis korelasi product moment. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien korelasi adalah sebagai berikut :
Setelah koefisien korelasi diperoleh, maka dilakukan uji signifikan. Uji signifikan ini bertujuan untuk memastikan hasil yang diperoleh tetap atau hanya kebetulan saja dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

3.5  . Tahap Uji Coba Alat Ukur
Setelah alat ukur selesai dirancang sesuai dengan indicator dari variable-variabel penelitian, maka sebelum digunakan dalam penelitian yang sesungguhnya terlebih dahulu dilakukan uji coba (try out) kepada 30 orang siswa yang diambil acak dari populasi penelitian, yaitu masing-masing 10 orang anak yang berusia 12-14 tahun dari 3 rental play stasion di Kopelma Darussalam. Uji coba tersebut untuk mengetahui tingkat kesahihan (validity) dan keandalan (reliability) suatu angket guna memperolah data yang tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur dalam penelitian.

1.      Uji Kesahihan (validity)
Untuk memperoleh alat ukur yang sahih dalam penelitan ini, item-item diuji berdasarkan konsep operasionalisasi variable berikut indicator-indikatornya. Denagn demikian diharapkan akan diperoleh alat ukur yang memiliki kesahihan. Kesahihan alat ukur dalam penelitian ini diperoleh dari analisa item hasil uji coba alat ukur. Pengujian dilakukan dengan menggunakan  rumus korelasi product moment dngan cara menguji korelasi antara skor setiap item dengan skor total item.
Berikut ini adalah tabel item yang dinyatakan valid dan tidak valid:
a.       Item video game
No
Pernyataan
Item-item
1
Item valid
     3,6,8,11,21,22,26,29,30,31,34,40,41,43,44,49                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     


b.      Item Kecenderungan Perilaku Agresif
No
Pernyataan
Item-item
1
Item valid
1,3,5,6,7,9,10,12,13,15,16,18,20,22,26,31,32,34,38,39,40,41,44,46,47,48

            Untuk menentukan apakah suatu item dianggap sahih atau gugur digunakan criteria dari Suharsimi Arikunto (2006:160) yaitu  r  hitung dikonsultasikan dengan  r  table pada N=30, timgkat kepercayaan 0,05 = 0,361. apabila  r  hirung > r table, maka item valid. Juga senaliknya, apabila  r hitung < r  table. Maka item tidak valid.
            Berdasarkan patokan atau criteria yang digunakan tersebut, maka hasil analisa item uji kesahihan menujukan bahwa dari 50 item video game, 16 dianggap sahih dan 34 item dianggap gugur. Dari hasil analisa yang sama, apda item kecenderunga perilaku diketahui bahwa dari 49 item, 26 item diantaranya dianggap sahih dan 23 item dianggap gugur.
            Jadi secara keseluruhan questioner dalam penelitian ini terdiri 55 item dan item yang dianggap gugur dibuang.
                         
2.      Uji Keandalan (reliability)
Keandalan suatu alat ukur dapat dilihat dari hasil tes seseorang dimana hasil ters menujukan skor yang relative sama, meskipun responden tersebut dites dalam waktu yang berbeda. Perhitungan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus Sperman-Brown. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai  r  table N=30 pada tingkat keprcayaan 0,05 = 0,417. instrument dinyatakn reliable apabila  r  hitung > nilai  r tabel. Maka dapat disimpulkan bahawa keseluruhan questioner yang digunakan dalam penelitian ini memliki yang baik untuk digunakan.













BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
            Sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada bab terdahulu, penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian korelasional yang memaparkan hasil penelitian dan menginterpretasikan dan secara objektif berdasarkan data hasil penelitian lapangan serta mentabulasikannya dalam bentuk nilai rata-rata dari kecenderungan skala. Sebelum mencari tingkat korelasi antara kedua variable penelitian yang dimaksud, maka analisa data disajikan dalam bentuk deskriptif dan diklasifikasikan kedalam bentuk pembahasan berikut :

4.1.1 Jenis Permainan yang Paling Disukai dan Dimainkan Oleh Anak-anak yang Berusia 12-14 Tahun
            Pada dasarnya jenis permainan video game dibagi menjadi dua kategori, yaitu video game yang berkategorikan skiil and action, yaitu video game yang lebih banyak menampilkan perkelahian, perperangan serta pertempuran. Kategori yang kedua adalah strategi game, yaitu video game yang lebih banyak melatih pemain untuk menyelesaikan suatu teka-teki.
Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, diketahui bahwa anak-anak di lingkungan Kopelma Darussalam lebih suka dan memainkan video game jenis skill and action dari pada jenis strategi game. Hasil lebih lanjut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel.1 Jenis Permainan yang Paling Disukai dan Dimainkan Oleh Anak-anak
Berusia 12-14 Tahun
N = 50

No
Jenis Permainan yang Paling Disukai dan dimainkan
F
%
1
Skill and Action
26
52
2
Strategi game
24
48


50
100


            Berdasarkan tabel 1 jenis permainan yang paling disukai dan dimainkan oleh anak-anak berusia 12-14 tahun diketahui memiliki persentase terbanyak sebesar 52% pada jenis permainan skill and action dan 48% pada jenis permainan strategi game.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang berusia 12-1 tahun diseputaran Kopelma Darussalam cenderung memainkan jenis permainan skill and action yaitu jenis permainan yang bertemakan kekerasan, hali ini didukung dengan frekuensi atau intensitas waktu yang diluangkan oleh anak untuk memainkan jenis permainan tersebut.
Tabel. 2. Keterlibatan Pikiran Dan Persaaan Saat Sedang Bermain Game
N = 50
No
Keterlibatan Pikiran dan Perasaan Saat Sedang bermain game
F
%
1
Bermain game sangat menyenangkan
7
14
2
Bermain game menjadi ajang persaingan yang baik
5
10
3
Senang dapat memainkan tokoh game yang saya idolakan
6
12
4
Bermain game membuat kita ingin menang sendiri
5
10
5
Benci dengan tokoh jahat yang ada dalam game
8
16
6
Mempunyai keinginan menjadi tokoh yang ada dalam video game
5
10
7
Saya sering lupa waktu apabila sedang memainkan jenis game tersebut
3
6
8
Strategi game membuat saya tertantang untuk memainkannya
5
10
9
Saya senang memainkan permainan strategi game
6
12

Jumlah
50
100

Jika dikaitkan dengan tabel keterlibatan pikiran dan perasaan pada anak yang bermain video game, menujukan 14% dari anak-anak mengakui senang bermain video game. Selanjutnya 16% dari anak-anak benci dengan tokoh-tokoh jahat yang ada dalam video game, 12% senang dapat memainkan tokoh yang di idolakan dan senang pada jenis permainan strategi game. Serta 10% mengakui bermain game merupakan ajang persaingan yang kurang baik, ingin menasng sendiri dan mempunyai keinginan menjadi tokoh seperti yang ada dalam video game.
 Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada keterlibatan pikiran dan perasaan, anak agak cenderung menyukai atau senang memainkan video game berkategori atau berjenis skill and action yaitu permainan yang bertemakan perkelahian, peperangan,petualangan serta balapan.
           
4.1.2.      Ragam Kecenderungan Perilaku Agresif Pada Anak yang Memainkan Permainan Video Game
Kecenderungn perilaku agresif adalah sebagai suatu kesiapan mental untuk bereaksi terhadap objek tertentu. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecendrungan perilaku agresif yang berguna untuk melakukan pertahanan diri, namun apabila perilaku tersebut tidak dapat terkontrol maka akan menyebabkan efek negatif dari perilaku tersebut.
Perilaku itu sendiri timbul dari proses belajar dan meniru. Permainan video game juga dapat memicu anak untuk cenderung berperilaku agresif, baik secara verbal maupun fisik. Adapun ragam kecenderungan perilaku agresif pada anak yang memainkan video game akan dijelaskan secara terperinci pada tabel berikut : 



Tabel.3. Ragam kecenderungan agresif verbal
N = 50
No
Bentuk Perilaku
F
%
1
Berkata Kasar
15
30
2
Marah-marah
11
22
3
Mengancam
9
18
4
Menghina
10
20
5
Menolak Berbicara Dengan Orang Lain
5
10
Jumlah
50
100

Berdasarkan data tabel ragam kecenderungan agresif verbal, menujukan nilai persentase terbesar pada bentuk perilaku berkata kasar sebesar 30%. Ragam kecenderungan berikutnya yaitu pada jenis perilaku marah-marah dengan total nilai persentase sebesar 22%, menghina 20%, mengancam dengan persentase 18% dan menolak berbicara dengan orang lain dengan persentase sebesar 10%.    
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, ada beberapa ragam kecenderungan perilaku agresif verbal pada anak yang bermain video game. Diantaranya yaitu timbulnya kecenderungan anak berkata kasar, marah-marah, menghina, mengancam serta menolak berbicara dengan orang lain.
Tabel 5. Ragam kecenderungan agresif fisik
No
Bentuk Perilaku
F
%
1
Memukul
9
18
2
Menendang
12
24
3
Merusak
8
16
4
Berkelahi
21
42
Jumlah
50
100

            Berdasarkan data tabel ragam kecenderungan agresif fisik menujukan nilai persentase sebesar 42% pada bentuk perilaku berkelahi, 24% pada bentuk perilaku menendang, 18% pada bentuk perilaku memukul dan 16% pada bentuk perilaku merusak. Secara singkat dapat disimpulkan, ragam perilaku agresif fisik yang menonjol  pada anak yang bermain video game adalah berkelahi serta menendang.
           
4.1.3.      Tingkat kecenderungan agresif pada anak yang bermain video game
Berdasarkan ketentuan skala, maka perlu dibuat tingkat skala dengan merujuk pada skala tertinggi. Dengan ini maka dibuat klasifikasi tingkat kecenderungan agresif dengan 3 (tiga) tingkatan. Tingkatan yang dimaksud merujuk pada skala ideal yaitu 4 (empat).

Tabel 6. Klasifikasi tingkat kecenderungan agresif
1,00 - 2,25
Rendah
2,26 - 3,25
Sedang
3,26 - 4,00
Tinggi

            Berdasarkan tabel klasifikasi, tingkat kecenderungan agresif verbal dan fisik diketahui sebagai berikut :
Tabel 8. Tingkat kecenderungan agresif verbal
N = 50

No
Bentuk Perilaku
Rendah
Sedang
Tinggi
F
%
F
%
F
%
1
Berkata Kasar
14
28
14
28
15
30
2
Marah-marah
13
26
11
22
11
22
3
Mengancam
9
18
10
20
9
18
4
Menghina
9
18
6
12
10
20
5
Menolak Berbicara dengan Orang Lain
5
10
9
18
5
10

            Berdasarkan tabel tingkat kecenderungan agresif diatas menerangkan bahwa ada beberapa bentuk perilaku yang memiliki persentase terbesar yaitu pada bentuk perilaku berkata kasar dengan persentase 30%, setelah itu pada bentuk perilaku marah-marah yang berada pada kategori rendah  dengan persentase 26%, 20% menghina serta 18% pada bentuk perilaku menolak berbicara dengan orang lain.   Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat kecenderungan perilaku agresif verbal masih berada pada kategori sedang, namun walaupun keberadaan video game yang bertemakan kekerasan belum begitu banyak menimbulkan perilaku agresif secara verbal namun semua bentuk perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak tersebut perlu diwaspadai karena kedepan dapat melahirkan suatu perilaku agresif yang lebih tinggi
Tabel 9. Tingkat Kecenderungan Agresif Fisik
N = 50

No
Bentuk Perilaku
Rendah
Sedang
Tinggi
F
%
F
%
F
%
1
Memukul
18
36
15
30
17
34
2
Menendang
23
46
21
42
6
12
3
Merusak
19
38
21
42
10
20
4
Berkelahi
16
32
19
38
15
30

            Berdasarkan tabel diatas menujukan menerangkan ada beberapa bentuk perilaku agresif secara fisik pada anak-anak yang bermain video game di seputaran Kopelma Darusslam. Adapun bentuk perilaku  yang muncul adalah menendang dengan persentase sebesar 46%, setelah itu pada bentuk perilaku merusak dengan persentase 30%, 38% pada bentuk perilaku berkelahi serta 305 pada bentuk perilaku memukul. Secara singkat dapat disimpulkan walaupun tingkat kecenderungan agresif secara fisik masih berada pada taraf sedang, namun pada kedua bentuk perilaku agresif tersebut perlu mendapat perhatian khusus baik bagi orang tua serta masyarakat karena setiap perilaku tersebut perlu diwaspadai karena tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perilaku pada tingkat atau pada taraf tinggi.
            Berdasarkan kedua tabel tingkat kecenderungan perilaku agresif secara verbal dan fisik, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan video game yang bertemakan kekerasan ternyata memberikan pengaruh terhadap kecenderungan perilaku agresif. Hal ini dapat juga dilihat dari analisis korelasi pada bagian 4.1.1.

4.1.1.      Pengaruh video game terhadap kecenderungan perilaku agresif
Untuk mengetahui pengaruh signifikan video game terhadap kecenderungan perilaku agresif pada anak yang bermain video game di kopelma Darussalam, dilakukan uji korelasi dengan ketentuan r hitung > r tabel pada taraf kepercayaan 0,05. Ini artinya ada hubungan yang signifikan antara permainan video game dengan kecenderungan perilaku agresif.
Bila dikaitkan kontribusi pada tingkat kecenderungan anak berperilaku agresif, maka besar korelasi indek determinasi skala r­­­2= 0,4172 x 100 = 0,173 atau 17,3%. Dengan demikian kontribusi korelasi video game terrhadap kecenderungan perilaku agresif sebesar 17,3%. Dari data tersebut terdapat pengaruh yang signifikan antara Video game dengan kecenderungan perilaku agresif yang ditetapkan dengan t = 2,0086 pada taraf kepercayaan 0,05.









4.2 Pembahasan
            Setelah hasil penelitian diuraikan secara terperinci diatas, selanjutnya penulis mencoba membahas dengan berbagai pandangan teoritis yang mendukung, serta menganalisa terhadap hasil penelitian yang dimaksud sebagai data dan hasil penelitian yang telah dilakukan.

4.2.1. Jenis Permainan Yang Diamainkan Oleh Anak-anak yang berusia 11-12 Tahun
            Dengan berpegang pada nilai rata-rata dari kecenderungan angket. Jenis permainan yang sering dimainkan, menyiratkan bahwa anak sering dalam arti anak sering memainkan video game dengan kategori skill and action. Hal ini tergambar dari item pertanyaan frekuensi atau rentang waktu yang digunakan oleh anak untuk bermain video game dengan kategori atau bersifat kekerasan. Sehingga tidak menutup kemungkinan menjadi suatu potensi bagi anak untuk cenderung berperilaku agresif.
Hal tersebut sesuai dengan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Griffiths, yang mengungkapkan pada anak usia belasan tahun menujukan bahwa sepertiga waktu digunakan untuk bermain video game setiap harinya.
            Anak yang lebih sering memainkan game jenis kekerasan kurang mampu mengendalikan pikiran dan perasaan disaat sedang memainkan game tersebut. Mereka merasa seolah-olah juga sedang dalam keadaaan atau kondisi seperti apa yang ada dalam permainan tersebut. Hal ini tentunya juga dapat mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-harinya.
            Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Davidoff (1991:138) ”anak yang menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut”

4.2.2. Ragam Kecenderungan Perilaku Agresif Pada anak yang Bermain Video     Game
            Sesuai dengan hasil analisi ada beberapa ragam kecenderungan perilaku agresif pada anak yang memainkan video game yang berkategori kekerasan seperti video game yang berjenis skill and action. Dengan frekuensi atau lamanya waktu yang dihabiskan untuk memainkan kategori game tersebut, maka dengan sendirinya ragam perilaku agresif pun akan timbul seperti anak lebih mudah marah, berkata kasar, menolak berbicara dengan orang lain, sulit berkonsentrasi, berkurangnya interaksi dengan lingkungan, lebih cenderung untuk merusak, meminta uang kepada orang tua dengan cara merusak barang dirumah serta meniru model atau tokoh yang ada dalam video game, sehingga dalam waktu singkat Video game dapat membentuk anak menjadi lebih cenderung berperilaku agresif.
            Hal tersebut didukung oleh sebuah laporan dari Low State university (2001) ”Video game saat ini yang banyak digandrungi oleh anak-anak adalah video game bertemakan kekerasan, sehingga dalam waktu singkat anak cenderung berperilaku agresif.”




4.2.3. Tingkat Kecenderungan Agresif pada Anak yang Bermain Video Game
            Walaupun tingkat kecenderungan agresif pada anak anak yang bermain video game tidak berada pada taraf tertinggi, namun tidak menutup kemungkinan untuk kedepan anak akan lebih berpeotensi untuk lebih cenderung agresif. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tingkat agresif yang bersifat verbal dan fisik pada anak yang bermain video game terkategorikan pada tingkatan sedang walaupun anak sering memainkan video game yang bertemakan kekerasaan dengan frekuensi  sering. Namun hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan tingkat kecenderungan agresif menjadi tinggi apabila tidak ada yang lebih mangawasi jenis permainan yag dimainkan oleh anak.
            Hasil penelitian tersebut mendukung teori yang dikemukankan oleh (Davidoff, dalam psikologi suatu pengantar 1991:76) yang mengemukakan ”setiap anak dibekali dengan perilaku agresif, perilaku tersebut berguna untuk bertahan hidup. Namun bila kadar agresi diatas normal anak akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah suatu perilaku yang dapat memicu terjadinya perilaku agresif.

4.2.4. Pengaruh Video Game Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif
            Dari hasil analisi data yang telah diolah, adanya hubungan atau pengaruh yang signifikan antara jenis permainan yang dimainkan dengan kecenderungan perilaku agresif pada anak.
            Hal tersebut sesuai dengan salah satu pendapat yang dikemukakan oleh Fawzia “Main game itu intens. Di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat.”
            Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%.
            Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. “Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut,” demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
4.2.5. Implikasi Konseling Terhadapa Kecenderungan Perilaku Agresif  Pada     Anak Yang Bermain Video Game
            Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru bimbingan dan konseling (konselor) adalah memahami konseli secara mendalam, termasuk didalamnya adalah memahami kemungkinan-kemungkinan masalah yang dihadapi konseli. Melalui pemahaman yang adekuat tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli, seorang konselor selanjutnya dapat menentukan program layanan bimbingan dan konseling, baik yang bersifat preventif, pengembangan maupun kuratif, sehingga pada gilirannya diharapkan upaya pemberian layanan dapat berjalan lebih efektif.
            Perilaku agresif menimbulkan berbagai masalah, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Secara psikologis, perilaku agresif dalam diri seseorang dapat memengaruhi perilakunya secara keseluruhan. Perilaku agresif cenderung kurang terarah dan dengan sendirinya cenderung gagal, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan kekecewaan. Dalam keadaan demikian, perilakunya dapat dikategorikan sebagai perilaku terganggu atau bahkan patologis.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh para konselor terhadap perilaku agresif pada anak. Perlu diingat bahwa perilaku agresif tidak selamanya bersifat negatif atau destruktif. Akan tetapi, banyak segi positif dan konstruksinya. Hal yang paling penting dan mendasar adalah bagaimana mengendalikan perilaku agresif dalam bentuk upaya agar mencegah dampak-dampak negatifnya dan memanfaatkan segi-segi positifnya.
Beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan antara lain:
a. Penataan pola-pola pendidikan holistis dengan paradigma pengembangan kepribadian dan bukan pembentukan kepribadian.
b. Peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan disertai dengan pendidikan agama yang baik. Hal ini diperlukan dalam upaya peningkatan kualitas kepribadian sebagai sumber ketahanan pribadi.
c. Pola-pola pendidikan yang dilandasi semangat kebersamaan yang atas dasar toleransi, saling pengertian, dan menghormati, didasari kasih sayang dengan landasan kaidah-kaidah pendidikan agama yang tepat.
d. Menyalurkan perilaku agresif kepada berbagai aktivitas yang berguna, sesuai dengan tata nilai yang berlaku.

e. Keteladanan dari semua pihak (pemimpin, orang tua, pengasuh, dosen, guru, dsb.).
f. Menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat yang tertib, disiplin, dan bersih.




















BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis menarik kesimpulan dari keseluruhan tulisan yang merupakan jawaban dari permasalahan dan mengumukakan beberapa kesimpulan yaitu :
5.1.1.      Pada umumnya anak sering memainkan video game yang bertemakan kekerasan dari pada video game yang bertemakan non kekerasan.
5.1.2.      Anak sering memainkan video game bertemakan kekerasan dengan frekuensi yang agak cenderung tinggi
5.1.3.      Agresif yang dimunculkan oleh anak-anak cukup beragam dan memiliki perbedaaan antara subjek yang satu dengan yang lain
5.1.4.      Pada umumnya bentuk agresif yang muncul pada anak-anak yang bermain video game adalah berkata kasar, memukul menolak berbicara dengan orang lain dan lain sebagainya.
5.1.5.      Anak yang bermain video game bertemakan kekerasan mereka cenderung berperilaku agresif yang bersifat verbal.
5.1.6.      Tingkat kecenderungan agresif pada anak yang bermain video game tergolong masih tidak berada pada tingktan tertinggi.
5.1.7.      Terdapap hubungan yang signifikan antara bermain video game dengan kecenderungan anak untuk berperilaku agresif.
5.1.8.      Tayangan yang menggambarkan kekerasan dapat membentuk diri anak untuk bersikap agresif meniru seperti berkata kasar dan memukul.

5.2.Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan, yaitu :
5.2.1        Diharapkan bagi anak, agar dapat menyadari pengaruh video game terhadap perilaku sehingga lebih mengendalikan diri.
5.2.2        Diharapkan bagi orang tua agar selektif dalam mengarahkan jenis permainan yang dimainkan oleh anak, sebaiknya permain yang dimainkan oleh anak-anak adalah permainan yang mengandung unsur pendidikan dan mempromosikan nilai-nilai sosial serta membuat batasan waktu anak bermain.
5.2.3        Diharapkan lingkungan terutama rental-rental video game agar lebih selektif dalam menawarkan permainan kepada anak-anak sehingga lebih memperkecil timbulnya perilaku agresif pada anak-anak.
5.2.4        Diharapkkan bagi peneliti lain untuk meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku agresif pada anak sehingga dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana cara mengurangi perilaku agresif pada anak. Selain itu juga disarankan bagi peneliti lain untuk meneliti dampak lain dari bermain video game.





TINJAUAN  KEPUSTAKAAN

Atkinson L. Rita dkk, (1999), Pengantar Psikologi, Erlangga, Jakarta.

Abu Ahmadi, (1991), Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta.

Ahmad Kurnia El-Qarni, (2007), Artikel Manajemen Penelitian(14 Maret 2008)

Avin Fadilla Helmi, (1998), Beberapa Perspektif Perilaku Agresif, Buletin Psikologi, tahun IV No.2 Desember

Arya Ferdi Ramadhani, ( 8 Maret 2008),  Artikel Teori Burhuss Frederik Skinner,

Ardhi Suryadhi, ( Kamis, 22-11-2007), Artikel Game Kekerasan Membuat Perilaku Lebih Agrsif

Adhim, Mohammad Fauzil, (2006) Memenjarakan Anak dengan Kebebasan.
 http://www.mail-archive.com/daarut iid(at)yahoogroups.com/msg01826.html

A.B., Rab. 2006) Dampak Video Games Pada Anak Perlu
Diwaspadai  
http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=491&page=2

Bali POS Edisi Minggu 12 Februari 2006

Bulletin, v3.6.4, Copyright 2000-2007, Jelsoft Enterprises Ltd.

Calvia S. Hall dan Gardener Lindzey, (1993), Theories of Personality, (terjemahan A. Supratika), Kanisus, Yogyakarta.

Calvia S. Hall dan Gardener Lindzey, (1995), Ada Apa Dengan Anak Anda, (Terjemahan Yustinus), Grafindo Kids, Jakarta.

Dilansir M&C dan detik NET , Rabu, (7/2/2007).
Dessynataliani (2006) @ Children and Development, Memutus Rantai Kekerasan pada Anak, (8 Maret 2008)

Davidof L. Linda, (1991), Psikologi suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta.

Http:/Jakarta consulting.com/art

Http/www.sabda.org/pepak/e-binaanak/110/


Isparjadi (1988), Statistik Pendidikan, Departemen Pendidikan dam Kebudayaan direktorat jendral Pendidikan tinggi proyek Pengembangan Lembaga Pendidkan Tenaga Kependidikan, Jakarta

Koran Tempo, Sabtu 28 Juni 2003.
Koeswara, E. (1988), Agresi Manusia, cetakan pertama. Bandung: PT Eresco
Mulyana, (1998), Perilaku Agresif Sebagai Proses Belajar, Jurnal Kampus Tercinta, No. 8 IISIP Jakarta.
Rika Virna Candra Jayanti, (13-06-2002), Agresivitas Remaja Penggemar Permainan Play Station Jenis Violence. Departemen. Psikologi
Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, (2002), Psikologi Anak dan Remaja, Muslim, Pustaka Al-Kausar.

Soekidjo Notoatmodjo, Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cet. Ke-2 , Rineka Cipta, Jakarta.

Sumardi Suryabrata, (1982), Psikologi Kepribadian, UGM Yogyakarta.
Sudjana (2002), Metode Statistik, Tarsito Bandung
Safriyani Widodo, Artikel ”Penggaruh Permainan Bagi Perkembangan Anak”
(18 Mei 2008)

Yusuf Gunawan, (2001), Pengantar Bimbingan dan Konselling, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prehalindo, Jakarta.


Tidak ada komentar: