BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketika teknologi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat,
maka masyarakat mulai mau tidak mau membuka diri pada media massa dan
komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan distribusi teknologi
semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global
dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi, jaringan sistem teknologi
global serta terakhir disokong oleh informasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi masalah selalu terjadi. Perkembangan
teknologi tersebut justru jatuh pada
permasalahan konten atau isi media yang kadang tidak mendidik. Konten atau isi
media yang kurang edukatif tersebut muncul dalam bentuk isi kekerasan, seks dan
misteri. Media yang seharusnya menjadi sarana informasi bagi masyarakat untuk
menambah pengetahuan baik di luar mau pun di dalam, justru sebaliknya. Media
terkadang mengabaikan peraturan yang berlaku dalam menyajikan
program-programnya.
Kota-kota besar seperti Indonesia sering kita
jumpai video arcade (penggelaran video game) yang menawarkan
berbagai macam jenis permainan, dan dipenuhi oleh anak-anak dan remaja. Dengan
membayar harga yang relatif murah untuk ditukar dengan koin, mereka betah
menghabiskan waktu berjam-jam terlibat dalam kesenangan bermain video game. Satu sisi, kehadiran video game
memang dapat menumbuhkan apresiasi anak maupun remaja pada teknologi. Pada
saat yang sama, permainan ini dapat pula merangsang kreativitas maupun daya
reaksi dengan catatan ia tidak memainkan game yang sama berulang-ulang,
sehingga mengenal trik permainan. Namun, di sisi lain permainan ini dapat
menimbulkan ketergantungan, manakala penggemarnya terkena video game addict (kecanduan
video game).
Menurut kamus
besar bahasa Indonesia (1988) hobi adalah kegemaran, kesenangan istimewa pada
waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Bermain adalah suatu aktivitas yang
dilakukan anak-anak karena mereka menikmatinya untuk kesenangan mereka sendiri
Garvey (1990). Sedangkan Bronson (1990) mengatakan bermain mungkin salah satu
ekspresi terbesar dan salah satu sumber energi terbesar untuk belajar dan
menciptakan. Kata
video game berasal dari kata video dan game.
Kata “Game” tidak
terlepas dari pengertian permainan. Kita mengenal permainan sejak usia balita sampai saat ini. Seiring dengan
perkembangan zaman khususnya dalam bidang informasi mengakibatkan jenis
permainan semakin berkembang puncaknya dapat kita lihat saat ini telah
berkembang permainan menggunakan alat-alat elektronika seperti play station,
computer bahkan alat komunikasi seperti handphone.
Permainan game dalam
pengertian yang luas adalah permainan game berarti hiburan. Permainan game
juga merujuk pada pengertian sebagai kelincahan intelektual (intellectual
playability). Sementara kata game bisa diartikan sebagai arena
keputusan dan aksi pemainnya. Ada target-target yang ingin dicapai pemainnya.
Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu merupakan ukuran sejauh mana game
itu menarik untuk dimainkan secara maksimal.
Anak yang terlanjur mengenal video
game di rentang usia empat hingga tujuh tahun cenderung mengalami kesulitan
dalam mengendalikan emosinya. Mereka umumnya menjadi egois. Game yang
layak dimainkan oleh anak-anak harus merupakan game yang sehat secara
kognitif. Anak akan mampu mengembangkan
pemahaman akan diri dan lingkungan. sehingga dapat menghindarkan diri dari
egosentrisme.
Pada dasarnya setiap anak
memiliki sifat atau perilaku agresif. Namun penampilan dari perilaku agresif tersebut ada yang bersifat
langsung terhadap objek dan ada pula secara tersembunyi. Perilaku agresif
tersebut di tampilkan oleh setiap anak berbeda-beda sesuai dengan kondisi. Perilaku
agresif yang bersifat langsung ditandai dengan adanya suatu perilaku yang
bersifat negatif setelah seseorang melihat suatu objek, contohnya dengan
mengulang kembali kata-kata atau gerakan yang telah dilihat terhadap suatu
objek. Sedangkan perilaku agresif secara tersembunyi terjadi secara
perlahan-lahan dalam diri seseorang dalam jangka waktu tertentu. Hal umum yang telah diketahui penyebab dari agresi adalah
frustasi, frustasi terjadi ketika perilaku yang dimotivasi dihalangi, atau
ditutup, sehingga tujuan itu tidak dapat dicapai (Dollar, dkk. dalam Morgan
dkk. 1986). Bentuk yang kuat dari hipotesa frustasi-agresi seperti yang
baru saja disebutkan, yang menyatakan bahwa frustasi selalu saja menghasikan
perilaku agresi dan semua perilaku agresi selalu disebabkan oleh frustasi.
Gagne (2001) menyatakan bahwa kekerasan dalam video game dapat
disejajarkan dengan kekerasan dalam kehidupan nyata, namun dalam bentuk
film/tayangan visual pada layar televisi yang diciptakan oleh program komputer
dalam video game. Kekerasan dalam video game menggambarkan
adegan-adegan kekerasan/agresi yang dilakukan oleh karakter dalam program
komputer seperti memukul, menendang, membanting, menusuk, menebas, menembak,
dan mengebom. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa frekuensi bermain video game
jenis kekerasan adalah angka yang menunjukkan berapa banyak kegiatan bermain video
game yang berisi adegan-adegan kekerasan terjadi atau diulang.
Pola asuh, juga memberikan pengaruh
pada pembentukan perilaku agresi pada subjek yang bermain video game dengan
intensitas yang lama. Pola asuh yang permisif cenderung memperbolehkan anak
untuk melakukan segalanya tanpa adanya kontrol dari orang tua. Hal inilah yang
dipraktekkan oleh orang tua dengan pola asuh permisif sehingga anak menjadi
agresif.
Keberadaan video game sendiri khususnya di
aceh sudah sangaat banyak mengubah pola bermain anak-anak, realita ini dapat
kita lihat dengan banyaknya anak-anak yang mengahabiskan waktunya berjam-jam
pada rental-rental yang menyediakan sarana play stasion serta banyak
sudah anak-anak yang telah meniggalkan permainan rakyat atau tradisional.
Keberadaan video game
sedikit banyak telah mengubah pola bermain anak, ini diperkuat dengan hasil
survey awal yang telah dilakukan penulis
pada beberapa rental yang menyediakan fasilitas play stasion yang ada di
Darussalam khusnya Kopelma Darussalam mulai tanggal 29 November – 28 Desember
2007, menujukan bahwa intensitas permainan play stasion dikalangan
anak-anak sangat banyak memainkan permainan yang dapat menimbulkan
keceenderungan anak untuk berperilaku agresif
Berdasarkan data tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa anak yang lebih sering bermain play stasion lebih
cenderung menggunakan kata-kata yang biasa digunakan oleh tokoh di dalam
permainan tersebut serta anak yang sering bermain play stasion sering
menirukan gerakan-gerakan yang dilihat di dalam permainan tersebut dan itu juga
merupakan salah satu keresan orang tua karena kecenderungan anak akan terluka
dengan meniru gaya tersebut.
Atas dasar inilah penulis
mengangkat masalah ini dikarenakan adanya fenomena yang menunjukkan adanya
gejala anak cenderung berperilaku agresif. Penyebab dari kecenderungan anak
untuk berperilaku agresif diduga berasal dari banyak faktor, salah satunya
adalah keberadaan permainan video game yang sarat dengan adegan
kekerasan. Selain itu, perspektif teori Stimulating Effects (Aggressive Cues)
menunjukkan, bahwa tayangan kekerasan (agresi) akan mempengaruhi tingkat
emosional dan psikologis seseorang yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan
perilaku kekerasan.
Penulis mengangkat masalah ini
untuk dijadikan perhatian bagi perkembangan anak bahwa tidak selamanya
permainan yang terdapat dalam video game itu sifatnya menghibur.
berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah ”VIDEO
GAME DAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalah di atas
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.2.1 Jenis permainan apa sajakah
yang dimainkan oleh anak-anak 12-14 tahun
1.2.2 Bagaimanakah ragam
kecenderungan perilaku agresif pada anak yang memainkan permainan video game
1.2.3 Bagaimanakah tingkat
kecenderungan Agresif pada anak yang memainkan permainan video game.
1.2.4
Apakah ada pengaruh signifikan video game terhadap
kecenderungan agresif.
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah penulis rumuskan diatas, maka ada
beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis dalam penulisan ini, yaitu :
1.3.1 Untuk mengetahui permainan
apa saja yang dimainkan oleh anak-anak yang berusia 11-12 tahun terhadap kecenderungan
perilaku agresif pada anak.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana ragam
kecenderungan perilaku agresif pada anak yang bermain video game
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimanakah
tingkat kecenderungan agresif pada anak yang bermain video game.
1.3.4
Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan
permainan video game
sehingga dapat membentuk kecenderungan perilaku agresif.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.4
Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan terutama dalam bidang bimbingan dan konseling serta pendidikan yang
menyangkut dengan aspek belajar dan perkembangan anak.
1.4.5
Manfaat praktis
Menjadi bahan pertimbangan dan perhatian
khususnya bagi konselor agar dapat mengembangkan layanan-layanan Bimbingan Konseling
agar anak dapat memperoleh bimbingan dan arahan mengenai kegiatan dan permainan
yang menimbulkan nilai positif bagi perkembnagn anak. Bagi orang tua diharapkan
untuk lebih mengontrol pola permainan yang dimainkankan anak baik saat didalam
keluarga maupun di luar. Serta
sebagai bahan informasi tambahan bagi perkembangan teori-teori di
bidang psikologi selanjutnya,memberikan wacana baru bagi masyarakat tentang
bentuk media kekerasan yang baru serta pengaruhnya terhadap perilaku agresi
pemainnya, sehingga masyarakat dapat mengambil tindakan pencegahan bila video
game jenis kekerasan tersebut mempunyai hubungan dengan kecenderungan
agresi pada pemainnya.
1.5
Anggapan Dasar
Permainan video game
yang sarat dengan adegan kekerasan dapat memicu kecenderungan agresif pada
anak-anak.
1.6
Definisi Operasional
Sesuai dengan topik
penelitian, yaitu video game dan kecenderungan berperilaku agresif pada
anak, maka operasional penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut :
Video game merupakan salah satu permainan yang menggunakan alat-alat elektronika seperti
play station dan komputer, yang permainannya meliputi kategori Skill and Action, adalah combat
games (game perang), fighting game
(game perkelahian), maze/puzzle games (game teka-teki), sports games (game olah raga), paddle games (game pantulan), race games (game balapan). Serta kategori Strategi , yang terdiri dari
adventures (game petualangan), real time strategy (game rts), games of chance (game kesempatan), educational games (game
pendidikan).
Kecenderungan perilaku
agresif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
suatu perilaku yang di lakukan oleh anak setelah memainkan atau menonton
video game yang dilakukan secara sengaja yang dimaksudkan untuk melukai
orang lain, yang berbentuk secara fisik dan verbal. Secara fisik ditandai
dengan memukul, mendorong, meludahi, menendang, berkelahi menggigit, dan
merampas sedangkan secara verbal adalah memarahi orang lain dengan kasar,
mengancam, berkata tidak sopan.
BAB II
VIDEO
GAME DAN KECENDERUNGAN
PERILAKU AGRESIF
2.1 Pengertian
Video game
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (1988 : 32) hobi adalah kegemaran, kesenangan
istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Bermain adalah suatu
aktivitas yang dilakukan anak-anak karena mereka menikmatinya untuk kesenangan
mereka sendiri, Garvey (1990 : 321).
Sedangkan Bronson (1990 : 70) mengatakan
bermain mungkin salah satu ekspresi terbesar dan salah satu sumber energi
terbesar untuk belajar dan menciptakan.
Kata
video game berasal dari kata video dan game. Menurut kamus
bahasa Inggris Echols (1997:97 ) kata game adalah permainan. Sedangkan video adalah
penampilan gambar (visual) dengan bantuan alat elektronik. Menurut Mifflin
dalam artikel video game (2004:51) video game adalah permainan
yang dimainkan melawan komputer. Sedangkan game yang dikategorikan
sebagai video game adalah kombinasi penggunaan televisi atau media display
sebagai media visual dan console sebagai tempat atau media
penerjemah dari kaset atau compact disc (Cd)
Encyclopedia Americana (1984:32) menyebutkan bahwa bermain adalah
rekreasi atau aktifitas yang dilakukan untuk kesenangan. Mencakup bermain
dengan mainan, berpartisipasi dalam olah raga, menonton televisi, dan lain
sebagainya. Sutton- Smith (1991:31) menerangkan bahwa video game merupakan
salah satu bentuk dari permainan elektronik yang berupa komputer yang pada
dasarnya merupakan gabungan dari bentuk permainan strategi, kesempatan, dan
fisik, sehingga menciptakan sesuatu yang sama sekali baru.
Kata permainan sering dikenal
dengan istilah game dalam bahasa Inggris, adalah kegiatan yang dilakukan
manusia untuk mendapatkan hiburan. Gamers Indonesia memiliki kata
sendiri yaitu gim. Game sering kali terwujud atas dasar realita. Dari
segi teknik, game adalah sistem tertutup yang menggambarkan kehidupan
nyata. Disebut sistem karena game itu sendiri secara langsung adalah
replikasi dari kehidupan nyata dan disebut tertutup karena ada
peraturan-peraturan dan batasan-batasan yang terdapat di dalamannya.
Permainan game dalam
pengertian yang luas adalah permainan game berarti hiburan. Permainan game
juga merujuk pada pengertian sebagai kelincahan intelektual (intellectual
playability). Sementara kata game bisa diartikan sebagai arena
keputusan dan aksi pemainnya. Ada target-target yang ingin dicapai pemainnya.
Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu, merupakan ukuran sejauh mana game
itu menarik untuk dimainkan secara maksimal.
2.1.1
Elemen-Elemen
Game
Di setiap game
terdapat beberapa elemen yang perlu diperhatikan:
a. Interaksi
Interaksi adalah proses
timbal-balik antara lebih dari satu aktor. Aktor umum dalam hal ini adalah
manusia dan game. Interaksi adalah elemen pertama kali yang akan ditemui
pemain saat mulai bermain. Di mulai dari mengklik tombol play,
menggerak-gerakan karakter dengan joypad/mouse/keyboard, menangkap items
yang ditemukan, menangkis serangan lawan, sampai ke layar game over.
Interaksi yang kurang nyaman akan langsung terasa oleh pemain. Grafik dan audio
adalah faktor yang dijadikan media interaksinya.
b. Cerita
Elemen selanjutnya yang akan diperhatikan pemain
sekarang ini telah di jejali dengan pilihan game yang luar biasa
banyaknya. Kecuali ceritanya menarik dan dapat menaruh dia menjadi bagian dari
sebuah cerita, seorang pemain tanpa ambil pusing memilih untuk tidak memainkan game
tersebut. Cerita yang sering kali ditemui kemiripannya dengan game
lainnya akan menimbulkan kebosanan, dan sekali lagi pemain tidak sungkan untuk
segera mencoba game selanjutnya. Cerita akan lebih menarik bila tetap
sepadan dengan tema utama game (serius, kartun, komedi, drama, horror,
dll). Membumbui cerita dengan unsur yang lain boleh dilakukan asal masih bisa
diterima sehingga tidak menyimpang dari tema utamanya.
c. Konflik
Sebuah game bisa tidak berarti lagi kalau
tidak memiliki elemen ini. Elemen ini bisa membuat sebuah game menjadi
lebih menantang dan lebih membuat pemain semakin penasaran. Hampir di setiap game
yang kita temui sampai sekarang memiliki konflik. Konflik bisa dibuat secara
langsung dan tidak langsung, bisa berupa kekerasan maupun bukan. Contoh dari konflik adalah: monster,
misteri, teka-teki, peta lokasi, dan lain-lain.
d. Pilihan
Pilihan, dengan menawarkan
pilihan-pilihan, sebuah game memberikan kebebasan kepada pemain untuk
mengambil jalan dalam menyelesaikan konflik, dengan cara si pemain. Elemen ini
membedakan antara sebuah cerita dengan sebuah game. Sebuah cerita atau
karangan menuntun kita sequel demi sequel ke tujuan yang telah ditentukan
pengarang. Sedangkan di dalam game, pilihan-pilihan akan membuat
cabang-cabang cerita sehingga game tersebut bisa dimainkan berulang
kali.
e.
Bonus
Bonus akan
mengiming-imingi pemain untuk mendapatkannya, kalau bisa sebanyak mungkin. Maka
bonus adalah termasuk elemen yang membuat pemain merasa tertantang dan termasuk
elemen yang bisa dipakai untuk mengukur kehebatan pemain.
2.1.2
Jenis-Jenis Video game
A . Skill And Action (S &A)
Adapun kategori Skill and Action adalah :
Ø
Combat games (game perang)
Pemain berada di situasi konfrontasi secara langsung dengan musuh; pertempuran.
Pemain ditantang untuk terus menghindari serangan musuh dan menghancurkan lawan
sebanyak-banyaknya.
Ø
Fighting game (game
perkelahian). Game ini memiliki elemen interaksi dan konflik yang
sangat kuat dan cepat sehingga bisa sangat menjengkelkan bagi pemain bila
mereka mengalami kekalahan.
Ø
Maze/Puzzle games (game
teka-teki). Game ini disebut juga game teka-teki. Maze game
lebih cenderung mencari jalan keluar melalui jalan-jalan yang berliku-liku dan
membingungkan
Ø
Sports games (game olah raga.)
Game yang ada di kategori ini memiliki keuntungan bahwa pemain
sudah memiliki gambaran dari olahraga yang akan di mainkan, diharapkan pemain
dari game kategori ini adalah kualitas grafik yang sangat tinggi dan
gerakan yang mendekati kenyataan.
Ø
Paddle games (game pantulan).
Cara memainkan game ini adalah dengan mengayuh atau menggerakkan satu
benda untuk mengenai benda yang lain. Cara kerjanya mirip permainan hoki.
Contohnya adalah Pong. Saat ini sudah banyak variasi game Pong;
menggunakan lebih dari satu bola dan papan pemantul, memiliki kemampuan untuk
menembak, dibuat tiga dimensional, dan lain
Ø
Race games (game balapan.)
Judul dari kategori ini sudah cukup menjelaskan. Namun variasi dari game balap ini pun juga
beraneka ragam. Dimulai game mobil balap formula satu sampai mobil balap
remote kontrol yang ber amunisi untuk bisa menjadi nomor satu di garis finish.
B.
Strategy
Ø
Adventures (game petualangan).
Pemain akan melalui banyak rintangan, misteri, teka-teki dan barang-barang yang
dibutuhkan sebelum pada akhirnya sampai ke tempat tujuan. Untuk itu game
ini membutuhkan banyak waktu.
Ø
Real Time Strategy (game R T S).
Game dari kategori ini adalah yang paling kompleks daripada game
dari kategori manapun juga. Untuk itu, game ini sulit untuk dimainkan.
Pemain diminta untuk menjadi pemimpin dan pencipta. Oleh karena itu, meskipun
membutuhkan kesabaran membaca peraturan dan memainkannya, pemain suka sekali
bermain game ini; berperan sebagai sang pencipta.
Ø
Games of chance (game
kesempatan) game yang ada didalam kategori ini termasuk game
yang kurang diminati karena sifatnya yang cenderung pasif dan unsur
keberuntungan yang bermain secara dominan. Game ini lebih bisa dibilang game
jiplakan dari yang asli menjadi virtual. Lihat saja sebagai contohnya game
solitaire, jackpot machine, pinball dan lain-lain.
Ø
Educational games (game pendidikan). Walaupun semua game
bersifat mendidik, game dalam kategori ini bertujuan mengajar secara
eksplisit. Game ini tidak banyak ditemui, karena permainan seperti ini
kurang diminati. Game ini lebih sering ditujukan kepada anak kecil.
Seperti belajar menghitung, membaca alfabet dan lain-lain.
2.1.3
Dampak Positif Video game
Bagi Anak
Mark Griffiths, seorang
pakar Video game, mengungkapkan bahwa game bisa membuat orang
lebih bermotivasi. Video game abad ke-21 dalam beberapa segi lebih
memberi kepuasan psikologis daripada game tahun 1980-an. Untuk memainkannya
perlu ketrampilan lebih kompleks, kecekatan lebih tinggi, serta menampilkan
masalah yang lebih relevan secara sosial dan gambar yang lebih realistis. Kata
kunci dari pernyataan tersebut adalah kepuasan psikologis, di mana anak
terdorong untuk menuntaskan dan memenangkan permainan yang berada di video game
tersebut.
Psychological Science
milik University or Rochester, dalam seminarnya bahwa game dengan
aksi laga berlevel tinggi bagus untuk visual cortex, yang merupakan
bagian dari otak manusia yang bertanggung jawab atas penglihatan.
Beberapa penelitian
mengatakan bahwa anak yang fanatik bermain game biasanya merupakan
individu yang berintelijensi tinggi, bermotivasi, dan berorientasi pada prestasi.
Selain itu, bermain game justru dapat membawa dampak positif dalam
perkembangan syaraf motorik anak. Berbagai potensi dampak positif pada anak
adalah mendorong keingintahuan anak, meningkatkan daya analisa anak melalui
tayangan interaktif, meningkatkan daya konstruksi komputer dan internet,
meningkatkan daya koordinasi dan sinkronisasi pikiran, meningkatkan kemampuan
menyelesaikan masalah kompleks dan kesiagaan. Secara prinsip dapat meningkatkan
kapasitas dan daya pembelajaran dan menyajikan hiburan yang asyik dan
meningkatkan kualitas dan kinerja pembelajaran.
2.1.4
Dampak Negatif Dari Video game Bagi Anak
Dampak negatif video game ditinjau dari
beberapa aspek, antara lain :
A. Aspek Pendidikan
Mohammad Fauzil Adhim
dalam artikelnya, (2005:52) berpendapat bahwa anak yang gemar bermain video game
adalah anak yang sangat menyukai tantangan. Anak-anak ini cenderung tidak
menyukai rangsangan yang daya tariknya lemah, monoton, tidak menantang, dan
lamban. Hal ini setidaknya berakibat pada proses belajar akademis. Suasana
kelas seolah-olah merupakan penjara bagi jiwanya. Tubuhnya ada di kelas tetapi
pikiran, rasa penasaran, dan keinginannya ada di video game. Sepertinya
sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk mengolah bayang-bayang game yang
mendebarkan. Kadangkala anak juga menjadi malas belajar atau sering membolos
sekolah hanya untuk bermain game.
B. Aspek Kesehatan
Dari sisi kesehatan,
pengaruh kecanduan video game bagi anak jelas banyak sekali dampaknya.
Untuk menghabiskan waktu bermain game, anak yang telah kecanduan ini
tidak hanya membutuhkan waktu yang sedikit. Penelitian Griffiths (1999:28) pada
anak usia awal belasan tahun menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu digunakan
anak untuk bermain video game setiap hari. lebih mengkhawatirkan,
sekitar 7%-nya bermain paling sedikit selama 30 jam per minggu. Selama itu anak
kita hanya duduk sehingga memberi dampak pada sendi-sendi tulangnya. Seperti
dikemukakan Rab A.B., di London terdapat fenomena Repetitive Strain Injury
(R S I) yang melanda anak berusia tujuh tahun. Penyakit ini semacam
nyeri sendi yang menyerang anak-anak pecandu video game. Jika tidak
ditangani secara serius dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan pada
anak. Hal semacam inilah yang seharusnya patut kita perhatikan.
C. Aspek Psikologis
Berjam-jam duduk untuk
bermain video game berdampak juga pada keadaan psikis anak. Anak dapat
berperilaku pasif atau sebaliknya anak akan bertindak sangat aktif atau
agresif. Perilaku pasif yang biasa muncul adalah anak jadi apatis dengan
lingkungan sekitar, kehidupan sosialisasi anak agak sedikit terganggu karena
anak jauh lebih senang bermain dengan game-gamenya dari pada
bergaul dengan teman-temannya.
Video game dapat
juga menyebabkan anak dapat berperilaku aktif bahkan bisa agresif. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh game-game yang dewasa ini banyak
menghadirkan adegan kekerasan. Dalam waktu selama itu anak hanya berinteraksi
dengan kekerasan, gambar yang bergerak cepat, ancaman yang setiap detik selalu
bertambah besar, serta dorongan untuk membunuh secepat-cepatnya. Anak
mengembangkan naluri membunuh yang impulsi, sadis dan ngawur, sangat mengerikan
sekali jika tidak ada kontrol dari orang tua untuk menyikapi hal tersebut.
Ron Solby dalam artikel
“menu tontonan untuk anak-anak” (2007:34) dari Universitas Harvard
secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi dan
video game terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat. Kedua,
dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang
lain. Ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli
terhadap kesulitan orang lain. Keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya
keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap
persoalan. hal tersebut memang terbukti. Sebuah penelitian yang dilakukan
Leonard Eron dan Rowell Huesman menyebutkan, tontonan kekerasan yang dinikmati
pada usia 8 tahun akan mendorong tindak kriminalitas pada usia 30 tahun (Kompas,
5/2000).
Kasus Eric Harris (18) dan
Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton
Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April
1999, berdasarkan keterangan yang diperloleh temannya , Dylan Klebold bisa
berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake,
dan Redneck Rampage. Menurut Prof. Dr.
Fawzia Aswin Hadis (2006:34), pengajar di Fakultas Psikologi UI , fase
anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator
ulung. Berdasarkan kasus Harris dan
Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih
kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan
bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV. Menurut Fawzia (2006:29)
main game itu intens. Di sana ada target yang menjadi sasaran, misalnya
menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika dilakukan bertahun-tahun, tayangan itu
bisa menjadi rangsangan untuk berbuat.
Seorang psikolog sosial
mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik
perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan
berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, juga dapat
menimbulkan kecanduan ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu
adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan
membosankan. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film
kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada
hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia
terkadang lebih kejam dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan
ceceran darah atau meng-close up korban. Centerwall dalam sebuah
seminar menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku
pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku
sejak mereka masih anak-anak, dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang
terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak,
beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada
tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti
yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa. Sedangkan penelitian yang dilakukan yale family television menyebutkan
anak-anak yang menyaksikan program fantasi kekerasan cenderung kurang
kooperatif, kurang baik dalam bergaul, kurang gembira, kurang imajinatif, serta
angka IQ-nya rendah. Pecandu game juga pada umumnya seering gelisah dan
memperlihatkan masalah di sekolah. Ketergantungan pada video game dalam
jangka waktu yang lama juga dapat memicu perilaku menyimpang lain seperti
mencuri uang untuk membeli game baru, bolos sekolah, keengganan
mengerjakan pekerjaan rumah (PR), atau rasa tak tenang saat tidak bermain game.
Menurut laporan Iowa State University (2001:19),
video game saat ini banyak digandrungi anak-anak adalah video game
bertemakan kekerasan, sehingga dalam waktu singkat cenderung berperilaku
agresif. Seorang profesor dari Tokyo's Nihon University memimpin
penelitian dengan mengamati efek Video game terhadap aktivitas otak.
Dengan 260 responden masing-masing adalah kelompok yang jarang bermain video
game, kelompok yang bermain video game 1-3 jam dengan frekuensi 3-4
kali dalam seminggu, dan terakhir kelompok yang bermain 2-7 jam setiap hari. Ia
memonitor gelombang beta yang mengindikasikan otak sedang aktif bekerja,
kemudian tingkat ketegangan yang terjadi di area prefrontal otak, dan terakhir
gelombang alfa yang muncul saat otak sedang dalam kondisi atau keadaan untuk beristirahat
atau dalam keadaan tenang dimana otak tidak dipaksa lagi untuk bekerja.
Hasilnya menunjukkan, penurunan gelombang beta yang besar terjadi jika orang lebih banyak bermain video game. Aktivitas gelombang beta pada kelompok yang bermain game 2-7 jam setiap hari hampir mendekati nol, bahkan ketika mereka sedang tidak bermain game. Selain itu, beberapa responden dari kelompok ini menyampaikan bahwa mereka mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan mengalami persoalan dalam melakukan hubungan interakasi dengan lingkungan dan bergaul.Distributor game online "Warcraft" di Cina, dituntut oleh orang tua seorang bocah laki-laki yang mati setelah lompat dari gedung tinggi, usai bermain game tersebut selama 36 jam berturut-turut. Zhang Xiaoyi bocah laki-laki 13 tahun, meninggal pada 27 Desember 2004, setelah loncat dari gedung tinggi. Zhang meninggalkan pesan bunuh diri, berisi keinginannya untuk bergabung dengan para jagoan yang ada di game kesukaannya.Berbagai studi juga telah mengidentifikasi masalah dan persoalan yang muncul sebagai akibat keterlibatan dalam pemanfaatan video games, komputer games, televisi dan dunia maya, antara lain; dapat menjadi addiction atau ketergantungan, merusak hubungan keluarga/sosial, menimbulkan keterasingan dari realitas rusaknya disiplin kehidupan, diabaikannya tugas utama seperti belajar. Dampak negatif lainnya adalah duduk berjam-jam keasyikan memainkan play station membuat anak kurang bergerak, kurang bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Hasilnya menunjukkan, penurunan gelombang beta yang besar terjadi jika orang lebih banyak bermain video game. Aktivitas gelombang beta pada kelompok yang bermain game 2-7 jam setiap hari hampir mendekati nol, bahkan ketika mereka sedang tidak bermain game. Selain itu, beberapa responden dari kelompok ini menyampaikan bahwa mereka mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan mengalami persoalan dalam melakukan hubungan interakasi dengan lingkungan dan bergaul.Distributor game online "Warcraft" di Cina, dituntut oleh orang tua seorang bocah laki-laki yang mati setelah lompat dari gedung tinggi, usai bermain game tersebut selama 36 jam berturut-turut. Zhang Xiaoyi bocah laki-laki 13 tahun, meninggal pada 27 Desember 2004, setelah loncat dari gedung tinggi. Zhang meninggalkan pesan bunuh diri, berisi keinginannya untuk bergabung dengan para jagoan yang ada di game kesukaannya.Berbagai studi juga telah mengidentifikasi masalah dan persoalan yang muncul sebagai akibat keterlibatan dalam pemanfaatan video games, komputer games, televisi dan dunia maya, antara lain; dapat menjadi addiction atau ketergantungan, merusak hubungan keluarga/sosial, menimbulkan keterasingan dari realitas rusaknya disiplin kehidupan, diabaikannya tugas utama seperti belajar. Dampak negatif lainnya adalah duduk berjam-jam keasyikan memainkan play station membuat anak kurang bergerak, kurang bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Keasyikannya bermain play station akan
mengganggu kegiatan lain seperti belajar, makan ataupun tidur. Anak yang sudah
keasyikan memainkan play station akan merasa terus tertantang untuk
menemukan cara-cara bermain yang baru. Kondisi ini akan berdampak pada
kelelahan mata, kelelahan fisik dan emosi serta dampak-dampak lainnya yang
sudah menunggu. Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games
atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. Saat
nonton TV atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk
dan yang digunakan, dalam sebuah seminar Dr. Endang (2005) Saat anak nonton TV,
kalori yang dibakar hanya 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh
melebihi kalori yang digunakan. Dalam artikel Anak perlu aktif untuk
bertumbuh. (2000:17-32)
2.2. Kecenderungan Perilaku Agresif
2.2.1. Pengertian Perilaku Agresif
Agresi merupakan perilaku
yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis.
Dalam hal ini jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka
perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Misalnya rasa sakit
akibat tindakan medis, sebaliknya niat menyakiti orang lain tetapi tidak
berhasil hal ini yang disebut sebagai perilaku agresif.
Pada dasarnya manusia
mempunyai sifat agresif sejak lahir. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup.
Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang
mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
John C. Brigham (1991:56-59), dalam
buku Social Psychology, mengartikan perilaku agresi sebagai perilaku
yang diniati oleh keinginan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik
ataupun psikologis. . Menurut Brigham, ada dua ragam perilaku agresi manusia,
yaitu agresi menyerang dan agresi balas dendam. Agresi menyerang adalah
perilaku agresi yang merupakan inisiatif pelaku yang dilakukan dengan menyakiti
orang lain dan bukan sebagai balasan atas perilaku orang lain.
Menurut
Buss (dalam Morgan dkk. 1986:67) perilaku agresif bisa berupa verbal dan fisik,
aktif dan pasif, langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik
adalah antara menyakiti secara fisik dan menyerang dengan kata-kata; aktif atau
pasif membedakan antara tindakan yang terlihat dengan kegagalan dalam
bertindak; perilaku agresif langsung berarti melakukan kontak langsung dengan
korban yang diserang, sedangkan perilaku agresif tidak langsung dilakukan tanpa
adanya kontak langsung dengan korban.
Fisik aktif langsung, menikam,
memukul, atau menembak orang lain Fisik aktif tidak langsung, membuat perangkap
untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh Fisik pasif langsung,
secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan yang diinginkan atau
memunculkan tindakan yang diinginkan (misalnya aksi duduk dalam demonstrasi)
Fisik pasif tidak langsung, menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya.Verbal
aktif langsung, menghina orang lain. Verbal aktif tidak langsung, menyebarkan gossip
atau rumors yang jahat tentang orang lain.Verbal pasif langsung, menolak
berbicara ke orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll Verbal, pasif tidak
langsung tidak mau membuat komentar verbal (misal :menolak berbicara ke orang
yang menyerang dirinya bila dia dikritik secara tidak fair) Morgan dkk. (dalam
Prabowo1998)
Sedangkan
Bandura (dalam Morgan dkk 1986:65) mengatakan teori belajar sosial menekankan
peran imitasi terhadap perilaku orang lain sebagai penyebab agresi.
Orang yang baru saja melihat orang lain bertindak agresif cenderung melakukan
hal yang sama pada situasi yang mirip.
Agresif
biasanya di definisikan sebagai perilaku yang di maksudkan untuk melukai orang
lain (secara fisik & verbal) atau merusak harta benda. Agresif adalah suatu
respon terhadap amarah, kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, ancaman sering
sekali memancing amarah dan akhirnya
memancing agresi. Sears dkk (1994:58-59) mengatakan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perilaku agresi, antara lain: Proses belajar,
Penguatan (reinforcement), Imitasi, Norma sosial.
Anak yang agresif adalah
anak yang suka menyerang orang lain. Bisa dilakukan secara fisik yaitu memukul,
mencubit, menggigit, tetapi bisa juga secara verbal misalnya dengan memaki atau
memarahi orang lain dengan kasar. Ada beberapa Hal-hal yang bisa memicu
keagresifan anak, antara lain:
1. Mencontoh atau melihat teman bertengkar
2. Anak-anak belajar atau mencontoh dari tontonan, misalnya televisi, film
dsb.
3. Orang tua Setuju bertengkar atau orang tua tidak bisa menguasai
kemarahannya.
4. Orang tua yang mendorong anaknya untuk membalas tingkah laku atau
perlakuan teman-temannya
5. Pujian orang tua terhadap anak laki-laki yang kalau berkelahi dikatakan
jago dan sebagainya.
Namun sebagai orang tua
ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengontrol keagresifan anak, yaitu
dengan cara:
1. Orang tua sungguh-sungguh memperhatikan keharmonisan hubungan
suami-istri. Anak yang melihat orang tuanya harmonis dia akan meredakan rasa frustrasi
dan kemarahannya.
2. Mengurangi sebanyak mungkin tontonan yang agresif.
3. Mempunyai peraturan keluarga tentang bagaimana cara kita untuk
menyatakan kemarahan.
Beberapa
peneliti menyatakan agresivitas pada seseorang cenderung stabil (relatif tidak berubah).
Mereka yang dikenal agresif pada masa kanak-kanak cenderung agresif pula pada
masa remaja dan dewasa (Deaux dkk, 1993;& Krahe, 2005), kecuali bila
terdapat intervensi yang meredakan agresivitas tersebut. Ini merupakan teori
yang sesuai untuk menjelaskan bahwa kecenderungan agresi yang melekat sejak
awal akan tetap melekat hingga dewasa.
Robert Baron (1997 : 78)
menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datang tingkah
laku tersebut, Dengan demikian ada 4 unsur yang membentuk seseorang untuk berperilaku
dalam agresi, di antaranya:
1.
Adanya suatu keinginan atau
tujuan untuk mencelakakan.
2. Adanya
objek atau individu yang menjadi pelaku.
3.
Adanya objek atau individu yang
menjadi korban.
4. Ketidakinginan
si korban menerima tingkah laku si pelaku.
Wrighsman dan Deaux (1981:23), yang menyatakan bahwa agresi adalah bagian dari
ego yang merupakan bagian kepribadian yang berorientasi pada kenyataan sehingga
dorongan agresi adalah suatu hal yang sehat karena merupakan tujuan untuk
menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari manusia. Selain berasal dari
dirinya sendiri, sifat agresi juga berasal dari hasil belajar sosial. Teori Belajar Sosial (Social Learning) yang
dimotori oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan
memelihara respon-respon agresif pada diri seseorang. Asumsi
dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari
hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh
individu – individu lain yang menjadi model. Anak – anak yang melihat model
orang dewasa agresif secara konsisten akan lebih agresif bila dibandingkan
dengan anak-anak yang melihat model orang dewasa non agresif.
Pakar psikologi dari Universitas Southern
California, Prof. Adrian Raine dalam rangkaian penelitiannya menyimpulkan,
anak-anak atau remaja yang detak jantungnya lebih lambat dari normal, memiliki resiko
lebih besar untuk melakukan tindak kejahatan di kemudian hari, (Artikel 2006) Perilaku
agresif digambarkan dengan perilaku anti sosial. Perilaku antisosial adalah perilaku
yang membuat anak terlibat konflik dengan lingkungannya, karena
ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang ada.
Contoh perilaku antisosial misalnya mencuri, berbohong, Setuju bertengkar,
berkata buruk, berbuat curang, membangkang, mengamuk, dsb. Beberapa faktor yang
bisa menjadi penyebab misalnya saja karena kurang terpenuhinya kasih sayang dan
bimbingan orangtua terhadap anak dalam mempelajari aturan-aturan sosial, serta
kurangnya model yang baik bagi anak untuk belajar perilaku yang bisa diterima
masyarakat.David O Sears dan Jonathan L Freedman (1985 : 213), mengemukakan Agresi
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
1. Faktor penguatan (Reinforcement)
yaitu salah satu mekanisme utama untuk memunculkan proses belajar adalah
penguatan atau peneguhan. Bila suatu perilaku tententu diberi ganjaran kemungkinan individu akan
mengulangi perilaku tersebut dimasa akan datang.
2. Imitasi, merupakan mekanisme
lain yang membentuk perilaku anak khususnya. Semua orang dan anak khususnya
mempunyai kecendrungan yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi ini terjadi
pada setiap jenis perilaku terhadap agresi anak yang mengamati orang lain
melakukan tindakan agresi atau mengendalikan agresinya akan meniru orang
tersebut.
Menurut
Dr. Y. Singgih D. Gunarsa(2005:34), suatu bentuk lain dari pelampiasan emosi
anak, terlihat dalam penyaluran agresi. Anak kelihatan agresif sekali dalam
menghadapi "kekangan". Tujuan utama dari pada agresi yang
berlebih-lebihan adalah penguasaan situasi, mengatasi suatu rintangan atau halangan
yang dihadapinya atau merusak suatu benda. Agresi tersebut dapat disalurkan
melalui perbuatan, akan tetapi bila tingkah laku tersebut dihalangi, maka akan
tersalur melalui perbuatan, akan tersalur melalui kata-kata dan pikiran.
Ada dua macam sebab yang mendasari tingkah laku
agresif pada anak. Pertama, tingkah laku agresif yang dilakukan untuk menyerang
atau melawan orang lain. Macam tingkah laku agresif ini biasanya ditandai
dengan kemarahan atau keinginan untuk menyakiti orang lain. Kedua, tingkah laku
agresif yang dilakukan sebagai sikap mempertahankan diri terhadap serangan dari
luar. Rumah merupakan tempat yang beresiko hukumannya paling besar sehingga
merupakan tempat yang ancaman hukumannya menimbulkan efek penghambat yang paling
kuat. Sayangnya situasi diluar rumah sangat berbeda, anak yang mendapat hukuman
berat dirumah karena bertindak agresif menjadi lebih agresif diluar
rumah,(Sears,Whiting,Nowlis 1953:100)
Serangan dari luar ini tidak selalu berupa
serangan dari orang lain, misalnya, teman bermain yang mencoba memukulnya, akan
tetapi dapat juga berupa rintangan-rintangan yang dihadapinya dalam bermain,
misalnya, kegagalan yang ditemuinya ketika sedang membuat tumpukan balok kayu,
Jika menghadapi keadaan seperti ini, anak biasanya akan berteriak-teriak
sebagai pernyataan rasa marahnya terhadap kegagalan yang dihadapinya. Seorang
anak memang memiliki suatu bentuk primitif agresi seperti memukul dan
menggigit. Sulitnya, ia tidak mengerti akibat tingkah laku yang kasar itu terhadap
orang lain. Oleh karena itu ia membutuhkan bantuan orangtua untuk menyalurkan
agresinya itu tanpa merugikan orang lain. Sedangkan membunuh sifat
agresif pada anak, membuat dia lumpuh.
Jenis dari perilaku
agresif itu sendiri antara lain:
1. Letupan kejengkelan
2. Marah secara verbal
3. Menyerang secara fisik
4. Mengancam, serta
5. Merusak
2.2.2 Pengertian
Kecenderungan Perilaku Agresif
Menurut Watson (Agus Sujanto, 1979: 134) tingkah laku manusia tidak lain
adalah refleks yang tersusun. Semua perbuatan adalah susunan refleks-refleks
belaka. Setiap tingkah laku manusia adalah reaksi terhadap
perangsang-perangsang. Perbuatan yang tersederhana, adalah terdiri dari
perangsang beserta reaksinya, dan yang berlangsung secara otomatis, refleksif.
Berarti behaviorisme memandang manusia sebagai suatu organisme yang mereaksi
secara keseluruhan terhadap dari luar. Behavior atau perilaku adalah seluruh
perilaku manusia sebagai hasil belajar. Artinya perubahan perilaku organisme
sebagai pengaruh dari lingkungan. Atau perilakunya dikendalikan oleh
faktor-faktor lingkungan (lingkungan psikologisnya).
Edward Ross (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 33) menegaskan faktor situasional dan sosial merupakan faktor utama dalam membentuk perilaku individu. Besarnya pengaruh situasi dalam menentukan perilaku manusia dapat memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapinya sesuai dengan karakteristik individu yang dimilikinya.
Edward Ross (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 33) menegaskan faktor situasional dan sosial merupakan faktor utama dalam membentuk perilaku individu. Besarnya pengaruh situasi dalam menentukan perilaku manusia dapat memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapinya sesuai dengan karakteristik individu yang dimilikinya.
Sedangkan agresif adalah perilaku individu yang timbul dalam dirinya.
Namun pada kenyataannya sikap dan agresif adalah perilaku yang sama yang timbul
dalam diri individu sebagai akibat dari pengaruh situasi.
Newcomb, dkk (1981:102-103) mendefinisikan kecenderungan sebagai suatu
kesiapan mental untuk bereaksi terhadap objek tertentu. Weiten (1995:89)
mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku yang dimaksudkan untuk melukai
seseorang, baik secara fisik atau verbal. Medinus & Johnson (1976:96)
mengelompokkan agresi menjadi empat bentuk sebagai berikut:
1.
Menyerang secara fisik (memukul, mendorong,
meludahi, menendang, menggigit, memarahi, dan merampas)
2.
Menyerang suatu objek (menyerang benda
mati atau binatang)
3.
Menyerang secara verbal atau simbolis
(mengancam secara verbal, menuntut)
4.
Melanggar hak milik atau menyerang benda
orang lain.
Agresi yang berbentuk secara fisik seperti memukul, mendorong, meludahi,
menendang, melempar, merusak ialah suatu bentuk yang dapat mengakibatkan sakit
atau luka pada objek. Sedangkan bentuk agresi secara verbal seperti mencaci
maki, berteriak-teriak, mengeluarkan kata-kata yang kasar atau kotor merupakan
suatu bentuk agresi yang bersifat atau dilakukan secara lisan.Teori belajar
observasional atau modeling yang dikembangkan oleh Bandura (Koeswara, 1988:76-69)
menyatakan bahwa sebagian besar tingkah laku individu diperoleh melalui
pengamatan/observasi atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu
lain yang menjadi model.
Moore dan fine (koeswara, 1988) juga mengemukakan agresi sebagai tindak
kekerasan secara fisik maupun verbal terhadap individu lain seperti membentak,
memaki, atau mengumpat. Selain agresi fisik dan verbal, masih ada lagi bentuk
agresi lainnya seperti agresi benci, dan agresi marah.
Menurut Bandura (Koeswara, 1988:75-76), dalam belajar observasional terjadi empat proses yang saling berkaitan, yaitu:
Menurut Bandura (Koeswara, 1988:75-76), dalam belajar observasional terjadi empat proses yang saling berkaitan, yaitu:
1.
Proses Atensional, yaitu: proses dimana
individu tertarik untuk memperhatikan atau mengamati tingkah laku model. Proses
ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik yang
dimiliknya
2.
Proses Retensi, yaitu: proses dimana
individu pengamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamatinya di dalam
ingatannya, baik melalui kode verbal atau kode imajinal serta pembayangan gerak
3.
Proses Reproduksi, yaitu: proses dimana
individu pengamat mencoba mengungkap tingkah laku model yang telah diamatinya.
Proses ini pada mulanya bersifat kaku dan kasar, tetapi dengan pengulangan yang
intensif, lambat laun individu bisa mengungkapkan tingkah laku model tersebut
dengan sempurna atau setidaknya mendekati tingkah laku model
4.
Proses Motivasional dan penguatan tingkah
laku, yaitu: tingkah laku yang diamati tidak akan diungkapkan oleh individu
pengamat apabila individu pengamat tersebut kurang termotivasi.
Seperti pada pendekatan belajar, penguatan positif bisa memotivasi
individu ke arah pengungkapan tingkah laku, dalam hal ini tingkah laku yang
telah diamati. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecenderungan agresi
adalah kecenderungan seseorang untuk melukai orang lain baik secara fisik
(memukul, menendang) maupaun verbal
(mengejek). Agresi terbentuk melalui pengamatan terhadap sebuah model dengan
prosen yang dimulai dari atensional,
retensi, reproduksi, hingga proses motivasional dan penguatan.
2.2.3.
Faktor-Faktor Pendorong Perilaku
Agresif
Banyak hal yang dapat
memicu seorang anak untuk berperilaku agresif, yaitu sebagai berikut :
1. Agresif adalah suatu luapan dari reaksi emosi terhadap frustasi.
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu.
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu.
2. Agresif karena perlakuan orang tua sehingga tingkah laku agresif
mengalami penguatan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa keluarga menghargai
tindakan agresif.
3. Agresif karena meniru dari orang tua atau lingkungan yang merupakan
model yang paling efektif bagi anak, agresif terjadi karena mencontoh. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak banyak belajar menyaksikan
adegan kekerasan melalui televisi dan juga games atau pun mainan yang
bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap
saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film
kartun, sinetron, sampai film laga. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan
Davidoff (1991:100) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan
pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan
untuk meniru model tersebut. Model pahlawan di film-film sering sekali mendapat
imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini dapat membuat
penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang
menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan
menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model
kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991:108) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila terbiasa dalam lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang Setuju cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat untuk timbulnya sebuah perilaku agresi pada saat anak melihat dan meniru apa yang telah dilihat.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991:108) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila terbiasa dalam lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang Setuju cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat untuk timbulnya sebuah perilaku agresi pada saat anak melihat dan meniru apa yang telah dilihat.
4. Amarah, Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem
saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat
yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau
mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991:45). Pada saat
marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar
sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut
disalurkan maka terjadilah suatu perilaku yang dapat memicu terjadinya perilaku
agresi.
Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman Setuju memancing amarah dan akhirnya memancing agresi.
Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman Setuju memancing amarah dan akhirnya memancing agresi.
5. Faktor Biologis,ada beberapa kondisi biologis yang mempengaruhi
kerentanan anak untuk mengalami perilaku agresif. Pertama, tempramen anak yang
merupakan indicator yang paling awal akan masalah perilaku (Cartledge &
Milburn, 2003:70-76) Tempramen kemudian bereaksi lagi dengan gaya manajemen
orang tua berusaha mengontrol perilaku anak secara berlebihan yang justru akan
menambah intensitas perilaku melawan pada anak (Cartledge & Milburn, 1995:56)
Menurut Hendar Surya
(2004:44-48) faktor penyebab anak suka berperilaku agresif, yaitu :
1.
Anak merasa kurang diperhatikan atau
merasa terabaikan. Kadangkala orang tua kurang menyadari dan memperhatikan
perasaan maupun kebutuhan yang diinginkan anak, sehingga tanpa dasar telah
melukai perasaan anak. Lambat laun perasaan itu memuncak sehingga munculah
ledakan emosional yang menyebabkan anak begitu sensitf dan mudah marah. Ledakan
emosional tersebut biasanya selalu mencari kompensasi pelampiasan. Jadilah anak
berperilaku agresif atau suka menyerang siapa pun saja sebagai manifestasi
kekecewaan tersebut.
2.
Anak selalu merasa tertekan karena selalu
mendapat perlakuan kasar. Orang tua kerapkali menjewer, memukul, menampar,
bahkan memojokkan anak dengan caci maki sebagai sanksi terhadap anak yang
dikategorikan nkal atau bandel. Tanpa tersadari sikap orang tua tersebut membentuk
pribadi anak yang tumbuh dalam kekerasan. Akibatnya sikap agresif anak begitu
mudah terbentuk.
3.
Anak merasa kurang dihargai atau
disepelekan. Anak akan merasa tertekan jika dirinya selalu disepelakan oleh
orang tua atau anggota keluarga lainnya, sehingga akan tumbuh sikap negative
dan curiga pada orang lain dan anak pun menjadi anti sosial.
4.
Tumbuhnya rasa iri hati. Anak berperilaku
agresif juga dapat disebabkan berkembangnya rasa iri di hati anak dalam
keluarga. rasa iri hati anak yang terus berkembang dapat menyebabkan kemarahan
dan ledakan emosional, sehingga anak menjadi mudah bertingkah laku kasar
5.
Sikap agresif merupakan bentuk komunikasi
anak karena dirinya belum mampu menyampaikan keinginanya secara jelas dan
benar.
6.
Pengaruh keharmonisan hubungan dalam
keluarga. Hubungan rumah tangga yang buruk dapat menghilanhkan rasa kasing
sayang dalam keluarga. Pada anak dapat timbul traumati melihat bentuk-bentuk
kekerasan orang tuanya, perlakuan kasar yang diperlihatkan oleh orang tua
terekam dalam memori otak, sehingga anak mudah sekali untuk melakukan kekerasan
atau bersikap agresif.
7.
Pengaruh tontonan aksi-aksi kekerasan
dari media TV. Aksi-aksi kekerasan yang sellu ditampilkan media televise dapat
memberi pengaruh buruk terhadap perkembangan psikis anak. Pada umunya anak
kerap kali menyerap dan meniru begitu saja bentuk aksi-aksi kekerasan yang
ditampilkan. Akibat proses imitasi dari anak terhadap figur atau tokoh yang
disenangi anak, anak akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan. Sikap agresif
anak pun menjadi lebih tinggi.
2.2.4.
Faktor Perilaku Anak
Faktor penting yang sering
diabaikan dan mungkin paling berpengaruh dalam kekerasan pada anak adalah
status perilaku anak itu sendiri. Anak yang mempunyai kecenderungan melakukan
kekerasan adalah anak yang mempunyai perilaku agresif. Perilaku agresif pada
anak adalah mudah marah, gampang memukul, membanting, mencubit, keras kepala
atau suka membantah. Perilaku agresif ini biasanya disertai dengan perilaku
khas lainnya seperti gerakan anak sangat aktif bergerak, emosi tinggi, kurang
konsentrasi, impulsif (banyak bicara dan sering memotong pembicaraan orang
lain) atau sulit tidur. Gejala ini dapat
dialami oleh anak normal atau pada anak dengan gangguan perilaku seperti Autis,
ADHD, ADD dan lainnya. Suatu penelitian oleh Aletha Stein (2007:24)
mengungkapkan bahwa anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan
lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama
anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam
kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap
Banyak hal yang dapat
memicu seorang anak untuk berperilaku agresif, yaitu sebagai berikut :
1. Agresif sebagai reaksi emosi terhadap frustasi Agresif karena perlakuan
orang tua sehingga tingkah laku agresif mengalami penguatan. Hal ini bisa
terjadi karena beberapa keluarga menghargai tindakan agresif.
2. Agresif karena meniru dari orang tua atau lingkungan yang merupakan
model yang paling efektif bagi anak, agresif terjadi karena mencontoh.
3. Faktor Biologis,ada beberapa kondisi biologis yang mempengaruhi
kerentanan anak untuk mengalami perilaku agresif. Pertama, tempramen anak yang
merupakan indicator yang paling awal akan masalah perilaku (Cartledge &
Milburn, 2003:35) Tempramen kemudian bereaksi lagi dengan gaya manajemen orang
tua berusaha mengontrol perilaku anak secara berlebihan yang justru akan
menambah intensitas perilaku melawan pada anak (Cartledge & Milburn, 1995:76)
2.2.5.
Media Dan Tanggung Jawab Moral
Media mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam masyarakat dan pendidikan negara, untuk itu memakan
waktu antara masyarakat dan posisi moral. Secara luas ada 3 kategori mengenai
media dan tingkah laku anti sosial antara lain:
1. Sikap anti sosial para praktisi yang berhubungan dalam kewajiban para
professional.
2. Tugas media hanya sebagai pelengkap terhadap tingkah laku anti sosial.
3. Konflik yang terjadi antara tanggung jawab professional dan tingkah
laku anti sosial dalam kehidupan pribadi para praktisi media.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya terutama tentang tayangan
kekerasan dalam televisi membuktikan bahwa film-film jenis kekerasan mendorong
remaja untuk melakukan hal yang serupa yaitu meniru yang pada akhir mendorong
anak untuk berperilaku agresif. Penelitian Sonja (1997:22) membuktikan bahwa
pola konsumsi tayangan televisi jenis kekerasan berhubungan dengan
kecenderungan agresi pada siswa-siswa di sebuah SMU di Surabaya.
Hiburan atau entertainment merupakan
tayangan kekerasan di Televisi dan game yang dapat menambah perilaku
yang agresif terhadap anak-anak. Program kriminal merupakan suatu kontribusi
untuk pertumbuhan criminal rate di masyarakat. Budaya obat-obatan /
narkotika diminati dalam drama prime time. Hal tersebut di atas hanya
sebagian dari tayangan didalam dunia hiburan. Melalui kepercayaan mereka pada
semua bentuk konflik yang diperankan melalui karakter yang kejam / dingin,
dialog yang bagus, special effect, dan situasi yang dramatis, media
hiburan menyampaikan pelajaran yang penting dengan mempertimbangkan hal-hal
yang bermanfaat dan perilaku anti sosial.
Media khususnya televisi pernah di kritik oleh
publik karena perhatian media yang terus menerus terhadap kekerasan. Selain itu
ada di antaranya game-game yang menceritakan tentang kekerasan
seperti contoh Shakespeare’s, Julius Caesar, Hamlet, and Macbeth. Untuk
itu, program acara untuk anak-anak seharusnya dibedakan dengan program yang
ditayangkan untuk orang dewasa. Karena itu tidaklah berlebihan bila Ninik L
Karim (2007:5), psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
menyatakan, lebih dari 70 persen game layar lebar, televisi dan sinetron
yang diproduksi lokal ataupun impor bernilai kekerasan.
Menurut Nanik (2007:5), dalam artikel yang
berjudul ”Menu tontonan untuk anak.” Video game pun mampu menghadirkan
efek katarsis, proyeksi, serta displacement. Video game mampu juga
menjadi dunia alternatif, yakni sarana untuk belajar dan mengasah pikiran.
Jadi, efek itulah yang menyebabkan mengapa Video game dipenuhi adegan
kekerasan. Sementara menurut Riri Reza (2007:7) game yang baik untuk
konsumsi anak adalah tayangan yang bisa
menghibur sekaligus menyentuh perasaan serta kepekaan anak-anak. Game
yang baik, seharusnya mampu mengajak anak
keluar dan lingkungan rutin mereka sehari-hari, dengan begitu, si anak akan mengenal pada
dunia yang lebih luas serta berpikir terbuka. Selain itu anak juga harus dapat mengajak anak untuk dekat ke alam lingkungan. Sehingga,
dengan game yang dimainkan anak,
mereka bisa lebih mengenal status atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat
serta mampu mengerti kekurangan diri dan orang lain, sehingga anak terhindar
dari “dramatic device”, seperti kemarahan, kekerasan, ataupun
konsumerisme dalam pembentukkan karakter tokoh yang di perankan dalam
penceritaan.
2.2.6. Pengaruh Media Terhadap
Sikap Anti Sosial
Perilaku anti sosial, terutama yang tercermin
dalam tayangan yang bersifat kekerasan, seksual dan misteri sudah menjadi hal
yang sangat mendasar di masyarakat. Hal ini harus diperbaiki secepatnya baik
dari pemerintah, media massa itu sendiri, dan lembaga-lembaga independen lainnya.
Tetapi dalam hal ini pemilik media dan para awak media harus memiliki peranan
yang sangat besar atas timbulnya perilaku anti sosial di masyarakat. Berkaitan
dengan keberadaan khalayak maka seharusnya sebagai konsumen harus bisa memilih
tayangan yang bermanfaat bagi mereka dan yang tidak merusak norma-norma yang
berlaku. Para konsumen media dalam hal ini penonton media harus lebih aktif
dalam mengkritisi isi atau konten media, yang menayangkan program-program yang
berdampak buruk, seperti : membuat para konsumen menjadi konsumtif, program
kekerasan atau kriminalitas, menghalalkan seks bebas dan sebagainya. Kritik
media akan mempengaruhi dan mendorong pemerintah untuk mempertegas lagi
peraturan atau undang-undang yang berlaku dalam penyiaran media.
Kekerasan yang ditayangkan di permainan video game
tidak hanya muncul begitu saja. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua adegan pada saat melakukan perlawanan
video game ini terkadang lebih kejam dalam menggambarkan korban
kekerasan, misalnya dengan ceceran darah korban. Jadi, orangtua jangan terkecoh
dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai
tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga
disensor.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan
sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan
bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang
biasa, apalagi lingkungan sekitar juga tempat anak tinggal mendukung dan banyak
menyajikan tontonan yang bersifat kekerasan, sehingga dengan tanpa tersadari
membuat anak terpancing.Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan
kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan atau setahun. Mungkinkah
akhirnya si anak merasa, memang memukul dan
menganiaya orang lain merupakan suatu hal yang wajar dilakukan.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di 5 (Lima) play stasion yang ada di Rukoh
Aceh Besar, peneliti memilih tempat tersebut karena di daerah tersebut
terdapat banyak rental-rental yang menyediakan fasilitas play stasion
dan banyak anak-anak yang datang untuk bermain game. Sedangkan waktu
penelitian dilaksanakan selama 1 minggu atau 7 hari.
3.2 Pendekatan Penelitian
Berdasarkan permasalahan
yang diangkat, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif
yaitu suatu pendekatan yang menggunakan ukuran nominal untuk menggambarkan atau
melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu suatu
cara yang memungkinkan untuk mengetahui keadaan atau kondisi yang sedang
terjadi dewasa ini.
Nazir (1985:65) Metode
deskriptif adalah metode dalam penelitian suatu kondisi, suatu pemikiran atau
suatu perisriwa pada masa gambar atau lukisan secara sistematis, actual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomenal yang
diselidiki.
Untuk memperoleh data
dalam penelitian ini, maka digunakan metode penelitian deskriptif korelasional,
yaitu suatu metode penelitian yang menggambarkan fenomenal-fenomenal yang
terjadi saat sekarang dengan cara menghubungkan atau mengkorelasikan antara
satu variable atau lebih. Dalam penelitian ini yang dihubungkan adalah variable
video game dengan kecenderungan perilaku agresif pada anak berusia 12-14 tahun.
3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek /subjek yang mempunyai
kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
untuk ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2006:90). Subjek
dalam penelitian ini adalah anak-anak yang memainkan video game yang
bersifat kekerasan. Subjek penelitian anak berusia 12-14 tahun dan bertempat
tinggal di Rukoh Aceh Besar.
Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh anak berusia 12-14 tahun di kelima (5) play
stasion, yaitu Can PS 10 orang anak, WR PS 12 orang anak, Star game PS 10
orang anak,Markaz PS 10 orang anak dan Setia Kawan 10 orang anak. Berdasarkan
populasi tersebut, maka yang menjadi sampel adalah seluruh anak yang berusia 12-14
tahun yang memainkan video game di rental Play station di Rukoh aceh
Besar, Alasan penulis mengambil lokasi di Darussalam karena peneliti
melihat banyaknya anak-anak yang bermain play station.
3.4
k
Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dipergunakan beberapa teknik
pengumpulan data, antara lain:
3.4.1
Teknik Angket
Suryobroto (1990:15) Angket adalah daftar pertanyaan yang harus dijawab
atau daftar isian berdasarkan sejumlah objek, dan berdasarkan atas jawaban atau
isisan itu penyelidik mengambil kesimpulan mengenai subjek yang diselidiki. Angket
bertujuan untuk mengetahui jenis pemaianan yang diamainkan,intensitas permainan
serta kecenderungan perilaku agresif.. Angket yang penulis gunakan adalah jenis
angket skala 4 bertentuk likert. Angket disusun dengan merujuk pada indikator-indikator
yang dirumuskan dalam Definisi Operasional.
Sebelum angket diedarkan kepada siswa, terlebih dahulu dilakukan uji coba
instrument pada 30 (tiga puluh ) anak yang bermain video game yang
berusia 12-14 tahun. Pengujian validitas dan reliiabilitas angket dilakukan
guna memperoleh data yang tepat dan sahih dalam suatu penelitian. Item yang
ternyata valid dan reliable selanjutnya dibakukan menjadi instrument penelitian.
3.5 Teknik Pengolahan Data
Menurut tujuan penelitian yang telah dilakukan pada Bab I, maka teknik penelitian ini menggunakan analisis :
a.
Untuk menjawab tujuan 1 dan 2 digunakan
metode persentase dengan mengambil nilai rata-rata yang terbesar.
b.
Untuk menjawab tujuan 3 dianalisis dengan
cara membandingkan rata-rata skor aktual dengan rata-rata ideal kecenderungan
agresif.
c.
Untuk menjawab tujuan 4 digunakan
analisis korelasi product moment. Adapun rumus yang digunakan untuk
menghitung koefisien korelasi adalah sebagai berikut :
Setelah
koefisien korelasi diperoleh, maka dilakukan uji signifikan. Uji signifikan ini
bertujuan untuk memastikan hasil yang diperoleh tetap atau hanya kebetulan saja
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
3.5 . Tahap Uji Coba Alat Ukur
Setelah
alat ukur selesai dirancang sesuai dengan indicator dari variable-variabel
penelitian, maka sebelum digunakan dalam penelitian yang sesungguhnya terlebih
dahulu dilakukan uji coba (try out) kepada 30 orang siswa yang diambil
acak dari populasi penelitian, yaitu masing-masing 10 orang anak yang berusia
12-14 tahun dari 3 rental play stasion di Kopelma Darussalam. Uji coba
tersebut untuk mengetahui tingkat kesahihan (validity) dan keandalan (reliability)
suatu angket guna memperolah data yang tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur
dalam penelitian.
1.
Uji
Kesahihan (validity)
Untuk
memperoleh alat ukur yang sahih dalam penelitan ini, item-item diuji
berdasarkan konsep operasionalisasi variable berikut
indicator-indikatornya. Denagn demikian diharapkan akan diperoleh alat ukur
yang memiliki kesahihan. Kesahihan alat ukur dalam penelitian ini diperoleh
dari analisa item hasil uji coba alat ukur. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan rumus korelasi product
moment dngan cara menguji korelasi antara skor setiap item dengan skor
total item.
Berikut
ini adalah tabel item yang dinyatakan valid dan tidak valid:
a.
Item video
game
No
|
Pernyataan
|
Item-item
|
1
|
Item
valid
|
3,6,8,11,21,22,26,29,30,31,34,40,41,43,44,49
|
b.
Item
Kecenderungan Perilaku Agresif
No
|
Pernyataan
|
Item-item
|
1
|
Item
valid
|
1,3,5,6,7,9,10,12,13,15,16,18,20,22,26,31,32,34,38,39,40,41,44,46,47,48
|
Untuk menentukan apakah suatu item dianggap sahih atau
gugur digunakan criteria dari Suharsimi Arikunto (2006:160) yaitu r
hitung dikonsultasikan dengan
r table pada N=30, timgkat
kepercayaan 0,05 = 0,361. apabila r hirung > r table, maka item valid. Juga senaliknya, apabila r hitung < r table. Maka item tidak valid.
Berdasarkan patokan atau criteria yang digunakan
tersebut, maka hasil analisa item uji kesahihan menujukan bahwa dari 50 item video
game, 16 dianggap sahih dan 34 item dianggap gugur. Dari hasil analisa yang
sama, apda item kecenderunga perilaku diketahui bahwa dari 49 item, 26 item
diantaranya dianggap sahih dan 23 item dianggap gugur.
Jadi secara keseluruhan questioner dalam penelitian ini
terdiri 55 item dan item yang dianggap gugur dibuang.
2.
Uji
Keandalan (reliability)
Keandalan
suatu alat ukur dapat dilihat dari hasil tes seseorang dimana hasil ters
menujukan skor yang relative sama, meskipun responden tersebut dites dalam
waktu yang berbeda. Perhitungan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
rumus Sperman-Brown. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai r
table N=30 pada tingkat keprcayaan 0,05 = 0,417. instrument dinyatakn
reliable apabila r hitung > nilai r tabel. Maka dapat disimpulkan bahawa
keseluruhan questioner yang digunakan dalam penelitian ini memliki yang baik
untuk digunakan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada bab
terdahulu, penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian korelasional yang
memaparkan hasil penelitian dan menginterpretasikan dan secara objektif
berdasarkan data hasil penelitian lapangan serta mentabulasikannya dalam bentuk
nilai rata-rata dari kecenderungan skala. Sebelum mencari tingkat korelasi
antara kedua variable penelitian yang dimaksud, maka analisa data disajikan
dalam bentuk deskriptif dan diklasifikasikan kedalam bentuk pembahasan berikut
:
4.1.1 Jenis Permainan yang Paling Disukai dan Dimainkan
Oleh Anak-anak yang Berusia 12-14 Tahun
Pada dasarnya jenis permainan video game
dibagi menjadi dua kategori, yaitu video game yang berkategorikan skiil
and action, yaitu video game yang lebih banyak menampilkan
perkelahian, perperangan serta pertempuran. Kategori yang kedua adalah strategi
game, yaitu video game yang lebih banyak melatih pemain untuk
menyelesaikan suatu teka-teki.
Dari
hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, diketahui bahwa anak-anak di
lingkungan Kopelma Darussalam lebih suka dan memainkan video game jenis skill
and action dari pada jenis strategi game. Hasil lebih lanjut dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel.1 Jenis
Permainan yang Paling Disukai dan Dimainkan Oleh Anak-anak
Berusia 12-14 Tahun
N = 50
No
|
Jenis Permainan yang Paling
Disukai dan dimainkan
|
F
|
%
|
1
|
Skill and Action
|
26
|
52
|
2
|
Strategi game
|
24
|
48
|
|
|
50
|
100
|
Berdasarkan tabel 1 jenis
permainan yang paling disukai dan dimainkan oleh anak-anak berusia 12-14 tahun
diketahui memiliki persentase terbanyak sebesar 52% pada jenis permainan skill
and action dan 48% pada jenis permainan strategi game.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa
anak-anak yang berusia 12-1 tahun diseputaran Kopelma Darussalam cenderung
memainkan jenis permainan skill and action yaitu jenis permainan yang
bertemakan kekerasan, hali ini didukung dengan frekuensi atau intensitas waktu
yang diluangkan oleh anak untuk memainkan jenis permainan tersebut.
Tabel. 2. Keterlibatan Pikiran Dan Persaaan Saat
Sedang Bermain Game
N = 50
No
|
Keterlibatan
Pikiran dan Perasaan Saat Sedang bermain game
|
F
|
%
|
1
|
Bermain
game sangat menyenangkan
|
7
|
14
|
2
|
Bermain
game menjadi ajang persaingan yang baik
|
5
|
10
|
3
|
Senang
dapat memainkan tokoh game yang saya idolakan
|
6
|
12
|
4
|
Bermain
game membuat kita ingin menang sendiri
|
5
|
10
|
5
|
Benci
dengan tokoh jahat yang ada dalam game
|
8
|
16
|
6
|
Mempunyai
keinginan menjadi tokoh yang ada dalam video game
|
5
|
10
|
7
|
Saya
sering lupa waktu apabila sedang memainkan jenis game tersebut
|
3
|
6
|
8
|
Strategi
game membuat saya tertantang untuk memainkannya
|
5
|
10
|
9
|
Saya
senang memainkan permainan strategi game
|
6
|
12
|
|
Jumlah
|
50
|
100
|
Jika dikaitkan dengan tabel
keterlibatan pikiran dan perasaan pada anak yang bermain video game,
menujukan 14% dari anak-anak mengakui senang bermain video game.
Selanjutnya 16% dari anak-anak benci dengan tokoh-tokoh jahat yang ada dalam
video game, 12% senang dapat memainkan tokoh yang di idolakan dan senang
pada jenis permainan strategi game. Serta 10% mengakui bermain game
merupakan ajang persaingan yang kurang baik, ingin menasng sendiri dan
mempunyai keinginan menjadi tokoh seperti yang ada dalam video game.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada
keterlibatan pikiran dan perasaan, anak agak cenderung menyukai atau senang
memainkan video game berkategori atau berjenis skill and action yaitu
permainan yang bertemakan perkelahian, peperangan,petualangan serta balapan.
4.1.2. Ragam Kecenderungan
Perilaku Agresif Pada Anak yang Memainkan Permainan Video Game
Kecenderungn perilaku agresif
adalah sebagai suatu kesiapan mental untuk bereaksi terhadap objek tertentu.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecendrungan perilaku agresif yang
berguna untuk melakukan pertahanan diri, namun apabila perilaku tersebut tidak
dapat terkontrol maka akan menyebabkan efek negatif dari perilaku tersebut.
Perilaku itu sendiri timbul
dari proses belajar dan meniru. Permainan video game juga dapat memicu
anak untuk cenderung berperilaku agresif, baik secara verbal maupun fisik.
Adapun ragam kecenderungan perilaku agresif pada anak yang memainkan video game
akan dijelaskan secara terperinci pada tabel berikut :
Tabel.3. Ragam kecenderungan agresif verbal
N = 50
No
|
Bentuk Perilaku
|
F
|
%
|
1
|
Berkata
Kasar
|
15
|
30
|
2
|
Marah-marah
|
11
|
22
|
3
|
Mengancam
|
9
|
18
|
4
|
Menghina
|
10
|
20
|
5
|
Menolak
Berbicara Dengan Orang Lain
|
5
|
10
|
Jumlah
|
50
|
100
|
Berdasarkan data tabel ragam
kecenderungan agresif verbal, menujukan nilai persentase terbesar pada bentuk
perilaku berkata kasar sebesar 30%. Ragam kecenderungan berikutnya yaitu pada
jenis perilaku marah-marah dengan total nilai persentase sebesar 22%, menghina
20%, mengancam dengan persentase 18% dan menolak berbicara dengan orang lain
dengan persentase sebesar 10%.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan, ada beberapa ragam kecenderungan perilaku agresif verbal pada anak
yang bermain video game. Diantaranya yaitu timbulnya kecenderungan anak berkata
kasar, marah-marah, menghina, mengancam serta menolak berbicara dengan orang
lain.
Tabel 5. Ragam kecenderungan agresif fisik
No
|
Bentuk Perilaku
|
F
|
%
|
1
|
Memukul
|
9
|
18
|
2
|
Menendang
|
12
|
24
|
3
|
Merusak
|
8
|
16
|
4
|
Berkelahi
|
21
|
42
|
Jumlah
|
50
|
100
|
Berdasarkan
data tabel ragam kecenderungan agresif fisik menujukan nilai persentase sebesar
42% pada bentuk perilaku berkelahi, 24% pada bentuk perilaku menendang, 18%
pada bentuk perilaku memukul dan 16% pada bentuk perilaku merusak. Secara
singkat dapat disimpulkan, ragam perilaku agresif fisik yang menonjol pada anak yang bermain video game adalah
berkelahi serta menendang.
4.1.3. Tingkat kecenderungan
agresif pada anak yang bermain video game
Berdasarkan ketentuan skala,
maka perlu dibuat tingkat skala dengan merujuk pada skala tertinggi. Dengan ini
maka dibuat klasifikasi tingkat kecenderungan agresif dengan 3 (tiga)
tingkatan. Tingkatan yang dimaksud merujuk pada skala ideal yaitu 4 (empat).
Tabel 6.
Klasifikasi tingkat kecenderungan agresif
1,00 - 2,25
|
Rendah
|
2,26 - 3,25
|
Sedang
|
3,26 - 4,00
|
Tinggi
|
Berdasarkan tabel
klasifikasi, tingkat kecenderungan agresif verbal dan fisik diketahui sebagai
berikut :
Tabel 8. Tingkat kecenderungan agresif verbal
N = 50
No
|
Bentuk Perilaku
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
|||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
||
1
|
Berkata
Kasar
|
14
|
28
|
14
|
28
|
15
|
30
|
2
|
Marah-marah
|
13
|
26
|
11
|
22
|
11
|
22
|
3
|
Mengancam
|
9
|
18
|
10
|
20
|
9
|
18
|
4
|
Menghina
|
9
|
18
|
6
|
12
|
10
|
20
|
5
|
Menolak
Berbicara dengan Orang Lain
|
5
|
10
|
9
|
18
|
5
|
10
|
Berdasarkan
tabel tingkat kecenderungan agresif diatas menerangkan bahwa ada beberapa
bentuk perilaku yang memiliki persentase terbesar yaitu pada bentuk perilaku
berkata kasar dengan persentase 30%, setelah itu pada bentuk perilaku
marah-marah yang berada pada kategori rendah
dengan persentase 26%, 20% menghina serta 18% pada bentuk perilaku
menolak berbicara dengan orang lain. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tingkat kecenderungan perilaku agresif verbal masih
berada pada kategori sedang, namun walaupun keberadaan video game yang
bertemakan kekerasan belum begitu banyak menimbulkan perilaku agresif secara
verbal namun semua bentuk perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak tersebut
perlu diwaspadai karena kedepan dapat melahirkan suatu perilaku agresif yang
lebih tinggi
Tabel 9. Tingkat Kecenderungan Agresif Fisik
N = 50
No
|
Bentuk Perilaku
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
|||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
||
1
|
Memukul
|
18
|
36
|
15
|
30
|
17
|
34
|
2
|
Menendang
|
23
|
46
|
21
|
42
|
6
|
12
|
3
|
Merusak
|
19
|
38
|
21
|
42
|
10
|
20
|
4
|
Berkelahi
|
16
|
32
|
19
|
38
|
15
|
30
|
Berdasarkan
tabel diatas menujukan menerangkan ada beberapa bentuk perilaku agresif secara
fisik pada anak-anak yang bermain video game di seputaran Kopelma Darusslam.
Adapun bentuk perilaku yang muncul
adalah menendang dengan persentase sebesar 46%, setelah itu pada bentuk
perilaku merusak dengan persentase 30%, 38% pada bentuk perilaku berkelahi
serta 305 pada bentuk perilaku memukul. Secara singkat dapat disimpulkan
walaupun tingkat kecenderungan agresif secara fisik masih berada pada taraf
sedang, namun pada kedua bentuk perilaku agresif tersebut perlu mendapat
perhatian khusus baik bagi orang tua serta masyarakat karena setiap perilaku
tersebut perlu diwaspadai karena tidak menutup kemungkinan akan melahirkan
perilaku pada tingkat atau pada taraf tinggi.
Berdasarkan
kedua tabel tingkat kecenderungan perilaku agresif secara verbal dan fisik,
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan video game yang bertemakan
kekerasan ternyata memberikan pengaruh terhadap kecenderungan perilaku agresif.
Hal ini dapat juga dilihat dari analisis korelasi pada bagian 4.1.1.
4.1.1. Pengaruh video game
terhadap kecenderungan perilaku agresif
Untuk mengetahui pengaruh
signifikan video game terhadap kecenderungan perilaku agresif pada anak
yang bermain video game di kopelma Darussalam, dilakukan uji korelasi
dengan ketentuan r hitung > r tabel pada taraf kepercayaan 0,05. Ini artinya
ada hubungan yang signifikan antara permainan video game dengan
kecenderungan perilaku agresif.
Bila dikaitkan kontribusi pada
tingkat kecenderungan anak berperilaku agresif, maka besar korelasi indek
determinasi skala r2= 0,4172 x 100 = 0,173
atau 17,3%. Dengan demikian kontribusi korelasi video game terrhadap
kecenderungan perilaku agresif sebesar 17,3%. Dari data tersebut terdapat
pengaruh yang signifikan antara Video game dengan kecenderungan perilaku
agresif yang ditetapkan dengan t = 2,0086 pada taraf kepercayaan 0,05.
4.2 Pembahasan
Setelah
hasil penelitian diuraikan secara terperinci diatas, selanjutnya penulis
mencoba membahas dengan berbagai pandangan teoritis yang mendukung, serta
menganalisa terhadap hasil penelitian yang dimaksud sebagai data dan hasil
penelitian yang telah dilakukan.
4.2.1.
Jenis Permainan Yang Diamainkan Oleh Anak-anak yang berusia 11-12 Tahun
Dengan
berpegang pada nilai rata-rata dari kecenderungan angket. Jenis permainan yang
sering dimainkan, menyiratkan bahwa anak sering dalam arti anak sering
memainkan video game dengan kategori skill and action. Hal ini
tergambar dari item pertanyaan frekuensi atau rentang waktu yang digunakan oleh
anak untuk bermain video game dengan kategori atau bersifat kekerasan.
Sehingga tidak menutup kemungkinan menjadi suatu potensi bagi anak untuk
cenderung berperilaku agresif.
Hal tersebut sesuai dengan
sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Griffiths, yang mengungkapkan pada
anak usia belasan tahun menujukan bahwa sepertiga waktu digunakan untuk bermain
video game setiap harinya.
Anak
yang lebih sering memainkan game jenis kekerasan kurang mampu
mengendalikan pikiran dan perasaan disaat sedang memainkan game
tersebut. Mereka merasa seolah-olah juga sedang dalam keadaaan atau kondisi
seperti apa yang ada dalam permainan tersebut. Hal ini tentunya juga dapat
mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-harinya.
Hal
tersebut juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Davidoff (1991:138)
”anak yang menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan
menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut”
4.2.2.
Ragam Kecenderungan Perilaku Agresif Pada anak yang Bermain Video Game
Sesuai
dengan hasil analisi ada beberapa ragam kecenderungan perilaku agresif pada
anak yang memainkan video game yang berkategori kekerasan seperti video
game yang berjenis skill and action. Dengan frekuensi atau lamanya
waktu yang dihabiskan untuk memainkan kategori game tersebut, maka
dengan sendirinya ragam perilaku agresif pun akan timbul seperti anak lebih
mudah marah, berkata kasar, menolak berbicara dengan orang lain, sulit
berkonsentrasi, berkurangnya interaksi dengan lingkungan, lebih cenderung untuk
merusak, meminta uang kepada orang tua dengan cara merusak barang dirumah serta
meniru model atau tokoh yang ada dalam video game, sehingga dalam waktu
singkat Video game dapat membentuk anak menjadi lebih cenderung
berperilaku agresif.
Hal
tersebut didukung oleh sebuah laporan dari Low State university (2001) ”Video
game saat ini yang banyak digandrungi oleh anak-anak adalah video game
bertemakan kekerasan, sehingga dalam waktu singkat anak cenderung berperilaku
agresif.”
4.2.3. Tingkat Kecenderungan Agresif pada
Anak yang Bermain Video Game
Walaupun
tingkat kecenderungan agresif pada anak anak yang bermain video game tidak
berada pada taraf tertinggi, namun tidak menutup kemungkinan untuk kedepan anak
akan lebih berpeotensi untuk lebih cenderung agresif. Dari hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa tingkat agresif yang bersifat verbal dan fisik pada anak yang
bermain video game terkategorikan pada tingkatan sedang walaupun anak sering
memainkan video game yang bertemakan kekerasaan dengan frekuensi sering. Namun hal tersebut juga tidak menutup
kemungkinan tingkat kecenderungan agresif menjadi tinggi apabila tidak ada yang
lebih mangawasi jenis permainan yag dimainkan oleh anak.
Hasil
penelitian tersebut mendukung teori yang dikemukankan oleh (Davidoff, dalam
psikologi suatu pengantar 1991:76) yang mengemukakan ”setiap anak dibekali
dengan perilaku agresif, perilaku tersebut berguna untuk bertahan hidup. Namun
bila kadar agresi diatas normal anak akan lebih cenderung berlaku agresif,
mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan
adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah suatu perilaku yang dapat memicu
terjadinya perilaku agresif.
4.2.4. Pengaruh Video Game Terhadap
Kecenderungan Perilaku Agresif
Dari hasil analisi data yang telah diolah,
adanya hubungan atau pengaruh yang signifikan antara jenis permainan yang
dimainkan dengan kecenderungan perilaku agresif pada anak.
Hal
tersebut sesuai dengan salah satu pendapat yang dikemukakan oleh Fawzia “Main game itu intens. Di sana ada target, entah
menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu
bisa menjadi rangsangan untuk berbuat.”
Hasil penelitian Dr. Brandon
Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai. Ia mencari hubungan
statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan
masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus
penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat
pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu
yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika
Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 -
1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%.
Centerwall kemudian menjelaskan, TV
tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi
pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih
anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian:
awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian
meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian
di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan
oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental
Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun.
“Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak
dan remaja yang menonton program tersebut,” demikian simpulnya. Sedangkan Ron
Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam
dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak.
Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua,
dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang
lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli
terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya
keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap
persoalan.
4.2.5. Implikasi Konseling Terhadapa Kecenderungan
Perilaku Agresif Pada Anak Yang Bermain Video Game
Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh
seorang guru bimbingan dan konseling (konselor) adalah memahami konseli secara
mendalam, termasuk didalamnya adalah memahami kemungkinan-kemungkinan masalah
yang dihadapi konseli. Melalui pemahaman yang adekuat tentang masalah-masalah
yang dihadapi konseli, seorang konselor selanjutnya dapat menentukan program
layanan bimbingan dan konseling, baik yang bersifat preventif, pengembangan
maupun kuratif, sehingga pada gilirannya diharapkan upaya pemberian layanan
dapat berjalan lebih efektif.
Perilaku agresif
menimbulkan berbagai masalah, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Secara
psikologis, perilaku agresif dalam diri seseorang dapat memengaruhi perilakunya
secara keseluruhan. Perilaku agresif cenderung kurang terarah dan dengan
sendirinya cenderung gagal, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan
kekecewaan. Dalam keadaan demikian, perilakunya dapat dikategorikan sebagai
perilaku terganggu atau bahkan patologis.
Beberapa
upaya yang dapat dilakukan oleh para konselor terhadap perilaku agresif pada
anak. Perlu diingat bahwa perilaku agresif tidak selamanya bersifat negatif
atau destruktif. Akan tetapi, banyak segi positif dan konstruksinya. Hal yang
paling penting dan mendasar adalah bagaimana mengendalikan perilaku agresif
dalam bentuk upaya agar mencegah dampak-dampak negatifnya dan memanfaatkan
segi-segi positifnya.
Beberapa upaya yang mungkin
dapat dilakukan antara lain:
a. Penataan pola-pola pendidikan
holistis dengan paradigma pengembangan kepribadian dan bukan pembentukan
kepribadian.
b. Peningkatan kualitas keimanan
dan ketakwaan disertai dengan pendidikan agama yang baik. Hal ini diperlukan
dalam upaya peningkatan kualitas kepribadian sebagai sumber ketahanan pribadi.
c. Pola-pola pendidikan yang
dilandasi semangat kebersamaan yang atas dasar toleransi, saling pengertian,
dan menghormati, didasari kasih sayang dengan landasan kaidah-kaidah pendidikan
agama yang tepat.
d. Menyalurkan perilaku agresif
kepada berbagai aktivitas yang berguna, sesuai dengan tata nilai yang berlaku.
e. Keteladanan dari semua pihak
(pemimpin, orang tua, pengasuh, dosen, guru, dsb.).
f. Menciptakan tatanan kehidupan
bermasyarakat yang tertib, disiplin, dan bersih.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan penulis menarik kesimpulan dari keseluruhan
tulisan yang merupakan jawaban dari permasalahan dan mengumukakan beberapa
kesimpulan yaitu :
5.1.1. Pada umumnya anak sering
memainkan video game yang bertemakan kekerasan dari pada video game yang
bertemakan non kekerasan.
5.1.2. Anak sering memainkan video
game bertemakan kekerasan dengan frekuensi yang agak cenderung tinggi
5.1.3. Agresif yang dimunculkan
oleh anak-anak cukup beragam dan memiliki perbedaaan antara subjek yang satu
dengan yang lain
5.1.4. Pada umumnya bentuk agresif
yang muncul pada anak-anak yang bermain video game adalah berkata kasar,
memukul menolak berbicara dengan orang lain dan lain sebagainya.
5.1.5. Anak yang bermain video game
bertemakan kekerasan mereka cenderung berperilaku agresif yang bersifat verbal.
5.1.6. Tingkat kecenderungan
agresif pada anak yang bermain video game tergolong masih tidak berada pada
tingktan tertinggi.
5.1.7. Terdapap hubungan yang
signifikan antara bermain video game dengan kecenderungan anak untuk
berperilaku agresif.
5.1.8. Tayangan yang menggambarkan
kekerasan dapat membentuk diri anak untuk bersikap agresif meniru seperti
berkata kasar dan memukul.
5.2.Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan, yaitu :
5.2.1
Diharapkan bagi anak, agar dapat menyadari pengaruh video game terhadap perilaku sehingga
lebih mengendalikan diri.
5.2.2
Diharapkan bagi orang tua agar selektif dalam mengarahkan jenis permainan
yang dimainkan oleh anak, sebaiknya permain yang dimainkan oleh anak-anak
adalah permainan yang mengandung unsur pendidikan dan mempromosikan nilai-nilai
sosial serta membuat batasan waktu anak bermain.
5.2.3
Diharapkan lingkungan terutama rental-rental video game agar lebih selektif
dalam menawarkan permainan kepada anak-anak sehingga lebih memperkecil
timbulnya perilaku agresif pada anak-anak.
5.2.4
Diharapkkan bagi peneliti lain untuk meneliti faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku agresif pada anak sehingga dapat menambah pengetahuan
tentang bagaimana cara mengurangi perilaku agresif pada anak. Selain itu juga
disarankan bagi peneliti lain untuk meneliti dampak lain dari bermain video
game.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Atkinson L. Rita dkk, (1999), Pengantar
Psikologi, Erlangga, Jakarta.
Abu Ahmadi, (1991), Psikologi
Sosial, Rineka Cipta, Jakarta.
Ahmad Kurnia El-Qarni, (2007), Artikel
Manajemen Penelitian(14 Maret 2008)
Avin Fadilla Helmi, (1998), Beberapa
Perspektif Perilaku Agresif, Buletin Psikologi, tahun IV No.2 Desember
Arya Ferdi Ramadhani, ( 8 Maret 2008), Artikel Teori Burhuss Frederik Skinner,
Ardhi Suryadhi, ( Kamis, 22-11-2007),
Artikel Game Kekerasan Membuat Perilaku Lebih Agrsif
Adhim, Mohammad Fauzil, (2006) Memenjarakan Anak dengan Kebebasan.
http://www.mail-archive.com/daarut iid(at)yahoogroups.com/msg01826.html
http://www.mail-archive.com/daarut iid(at)yahoogroups.com/msg01826.html
A.B., Rab. 2006) Dampak Video Games Pada Anak Perlu
Diwaspadai http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=491&page=2
Diwaspadai http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=491&page=2
Bali POS Edisi Minggu 12 Februari 2006
Bulletin, v3.6.4, Copyright 2000-2007, Jelsoft Enterprises Ltd.
Calvia S. Hall dan Gardener Lindzey, (1993), Theories of Personality,
(terjemahan A. Supratika), Kanisus, Yogyakarta.
Calvia S. Hall dan Gardener Lindzey, (1995), Ada Apa Dengan Anak
Anda, (Terjemahan Yustinus), Grafindo Kids, Jakarta.
Dilansir M&C dan
detik NET , Rabu, (7/2/2007).
Dessynataliani (2006) @ Children
and Development, Memutus Rantai Kekerasan pada Anak, (8 Maret 2008)
Davidof L. Linda, (1991), Psikologi
suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta.
Http:/Jakarta consulting.com/art
Http/www.sabda.org/pepak/e-binaanak/110/
Isparjadi (1988), Statistik
Pendidikan, Departemen Pendidikan dam Kebudayaan direktorat jendral
Pendidikan tinggi proyek Pengembangan Lembaga Pendidkan Tenaga Kependidikan,
Jakarta
Koran Tempo, Sabtu 28 Juni
2003.
Koeswara,
E. (1988), Agresi Manusia, cetakan pertama. Bandung: PT Eresco
Mulyana, (1998), Perilaku
Agresif Sebagai Proses Belajar, Jurnal Kampus Tercinta, No. 8 IISIP Jakarta.
Rika
Virna Candra Jayanti, (13-06-2002), Agresivitas Remaja Penggemar Permainan Play
Station Jenis Violence. Departemen. Psikologi
Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, (2002), Psikologi
Anak dan Remaja, Muslim, Pustaka Al-Kausar.
Soekidjo Notoatmodjo, Prinsip-Prinsip
Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cet. Ke-2 , Rineka Cipta, Jakarta.
Sumardi Suryabrata, (1982), Psikologi
Kepribadian, UGM Yogyakarta.
Sudjana (2002), Metode
Statistik, Tarsito Bandung
Safriyani Widodo, Artikel
”Penggaruh Permainan Bagi Perkembangan Anak”
(18 Mei 2008)
Yusuf Gunawan, (2001), Pengantar Bimbingan dan Konselling, Buku
Panduan Mahasiswa, PT. Prehalindo, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar