View My Stats

Sabtu, 31 Juli 2010

Mata Kuliah -=-=-=- Ilmu Alamiah Dasar =-=-= KELAHIRAN ALAM SEMESTA DITINJAU DARI SUDUT ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN

Ilmu Alamiah Dasar


KELAHIRAN ALAM SEMESTA
DITINJAU DARI SUDUT
ISLAM
DAN
ILMU PENGETAHUAN MODERN


DISUSUN OLEH :


MUHAMMAD TSABIRIN ( 220 818 011 )


DOSEN PEMBIMBING :
MUAMMAR JULIAN S,Si











FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN BAHASA ARAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JAMI’AH AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2009


KATA PENGANTAR
بِــسْـمِ اللهِ الرَّحْـمَنِ الرَّحِـيْمِ

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kemudian shalawat dan salam kami sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, yang dengan izin Allah telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu bahan penunjang materi pembelajaran “Ilmu Alamiah Dasar”. Melalui makalah ini kami mencoba memberikan gambaran mengenai “Kelahiran Alam Semesta Ditinjau dari Sudut Islam Dan Ilmu Pengetahuan Modern” dari beberapa sumber yang berbeda.

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Muammar Julian S,Si atas kesediaan beliau untuk menjadi Dosen Pembimbing kami, dan kepada teman-teman sekalian yang selalu membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca semua. Sebagai manusia biasa, kami meminta maaf atas ketidaksempurnaan makalah ini. Oleh karena itu pula, kritik dan saran dari para pakar, senior, teman sejawat, dan pembaca lainnya akan kami terima dengan senang hati.



Wassalam

(Penulis)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .. 1

BAB II PEMBAHASAN
KELAHIRAN ALAM SEMESTA DITINJAU DARI SUDUT ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN..................
1. Kelahiran Alam Semesta dan Tata Surya.......................
1) Mengenal Alam Semesta..............................
2) Teori terbentuknya alam semesta ..............................
2. Jenis Planet-Planet Di Angkasa............................................
3. Kelahiran Alam Semesta Ditinjau dari Sudut Islam................
4. Kelahiran Alam Semesta Ditinjau Dari Ilmu Pengetahuan Modern.......
A. Tahap Deskriptif dan Kualitatif.......................................
B. Tahap Simulatif dan Kuantitatif................................
C. IPA Bersifat Dinamis.........................................................

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 10
B. Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12





BAB I
PENDAHULUAN

Dalam pembahasan ini, kita menguraikan sebahagian kecil dari penciptaan alam semesta. Oleh karena itu, sejenak tentang apa yang diperlukan manusia untuk tetap bertahan hidup. Misalnya: Air, matahari, oksigen, atmosfer, tumbuh-tumbuhan, dan hewan Segala macam perincian, segala macam keadaan yang dapat atau tidak dapat Anda pikirkan pada saat itu sudah tersedia secara alami di bumi. Selain itu, bila kita mengkaji lebih jauh, kita dapat melihat bahwa semua kebutuhan pokok hidup ini memiliki jalinan seluk-beluknya yang saling terkait, dan bahwa segala hal ini terdapat dalam keadaan sepenuhnya sempurna di bumi. Segala sesuatu di bumi, makhluk hidupnya, tetumbuhannya, langit, dan lautan, semuanya telah diciptakan dengan cara yang terbaik dan lengkap sempurna agar sesuai dengan keberadaan dan kelangsungan hidup umat manusia.
Selain bumi, ada pula planet-planet lain di dalam tata-surya kita. Tetapi, di antara planet-planet ini, satu-satunya planet yang memungkinkan adanya kehidupan adalah bumi. Jarak antara bumi dengan matahari, kecepatan perputaran bumi pada sumbunya, kemiringan sumbu bumi terhadap orbitnya, struktur permukaan bumi, dan berbagai faktor lepas lainnya yang sejenis, memungkinkan planet kita menikmati kehangatan suhu yang sesuai bagi kehidupan dan dapat menyebarkan kehangatan ini di seantero bumi secara merata. Susunan lapisan udara bumi serta ukuran bumi juga tepat sesuai kebutuhan. Cahaya yang sampai kepada kita dari matahari, air yang kita minum, dan makanan yang kita nikmati semuanya sangat sesuai bagi kehidupan kita.
Singkatnya, segala tinjauan terhadap planet yang kita huni akan menunjukkan kepada kita, bahwa bumi dirancang terutama untuk manusia. Agar kita dapat melihat bahwa keadaan di bumi dirancang secara khusus, kita cukup melihat kondisi di planet-planet lain secara kasar. Ambillah Mars, misalnya. Lapisan udara di Mars merupakan campuran beracun yang mengandung karbondioksida dalam kadar tinggi. Tidak ada air di permukaan planet. Kawah besar yang terjadi akibat tubrukan meteor raksasa tampak jelas dalam gambar di sebelah kanan ini. Begitu pula dengan cuaca, sering terjadi badai raksasa dan badai pasir yang berlangsung selama berbulan-bulan tanpa henti. Suhu rata-rata -53oC (-64oF).
Dengan mempertimbangkan ciri-ciri ini secara keseluruhan, Mars, yang memiliki paling banyak kesamaan dengan bumi di antara planet-planet yang berada di sekitar kita, jelas merupakan planet mati yang tidak memungkinkan adanya kehidupan. Perbandingan ini dengan gamblang menunjukkan bahwa ciri-ciri yang menjadikan bumi sebuah tempat yang dapat dihuni benar-benar merupakan nikmat yang tidak terkira. Dia Yang menciptakan seluruh jagat raya, membentuk dengan sempurna bintang-bintangnya, planet-planet, pegunungan dan lautan, adalah Allah. Sepanjang kehidupan kita, kita harus berterimakasih atas nikmat dan ciptaan-Nya, dan menjadikan-Nya sahabat dan pelindung. Allah, Pemilik segala sesuatu, adalah pemilik segala pujian. Allah menyampaikan hal ini dalam Al-Quran:
أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لا يَخْلُقُ أَفَلا تَذَكَّرُونَ. وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ.
Artinya : ”Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl, 16: 17-18)










BAB II
PEMBAHASAN
KELAHIRAN ALAM SEMESTA
DITINJAU DARI SUDUT ISLAM
DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN

1. KELAHIRAN ALAM SEMESTA DAN TATA SURYA

1) Mengenal Alam Semesta
Ilmu Pengetahuan sangat luas, kadang-kadang berhadapan dengan masalah yang sangat kecil umurnya seperti sel. Tetapi kadang-kadang dihadapkan pada masalah yang sangat besar ukurannnya seperti alam semesta. Mikroskosme mempelajari hal-hal yang sangat kecil dalam ukurannya. Sel, atom, proton, dan electron merupakan beberapa contoh dari mikroskosme, sedang alam semesta termasuk dalam makrokosme.

Mikrokosmos
Pada tahun 1655 ilmuwan bangsa Inggris Robert Hooke dengan menggunakan mikroskop yang masih sedehana, melihat bahwa gabus terdiri dari struktur gelembung berdinding seperti sarang lebah. Rongga berdinding ini disebut sel oleh para ilmuwan sel sebagai kotak-kotak kecil yang berisi bahan kehidupan. Dengan mikroskop modern dapat dilihat bahwa sel bukan hanya sebagai wadah kehidupan, tetapi lebih merupakan bahan kehidupan. Sampai saat ini belum ada ahli kimia yang mampu meniru produksi antibodi tertentu padahal merupakan kegiatan rutin setiap hari.
Pada tahun 1953 James Watson seorang ahli biologi dan Francis Crick seorang ahli fisika dapat membuktikan bahwa struktur DNA bukan sederhana, melainkan berupa pilin rangkap yang dapat terbelah terbagi dua. Analisis lebih lanjut dilakukan oleh Max Perutz dan John Kendrow yakni dengan jalan menganalisa dua protein, ialah Mioglobin dan Hemoglobin. Hasil analisanya dewasa ini telah mempunyai kegunaan praktis untuk memecahkan masalah anemie sel sabit, yang ternyata disebabkan oleh formaso hemoglobin yang tidak normal. Pada saat ini para ilmuwan telah mendapatkan petunjuk berharga untuk memahami rahasia kehidupan yang paling dalam.
Mempelajari mikrokosmos benar-benar menakjubkan dalam ukuran yang sangat kecil berorde Angestrum (10.10m) bukan merupakan suatu hal yang aneh. Kenyataan tersebut sama menariknya dalam dunia Makrokosme dengan ukuran yang sangat besar berorde milyars, juga bukan sesuatu yang jarang.

Makrokosmos
Setelah galilie (1564-1642) menemukan teleskop, makin banyak benda langit diketemukan. Tetapi bukan berarti para ilmuwan sebelumnya tidak mengamati gerak gerik tata surya. Keindahan benda langit sangat nenarik perhatian.
Banyak teori yang telah dikemikakan olaeh para ilmuwan mengenai cara terbentuknya tata surya.
Pada awal abad 20 salah satu teori menyatakan. Bahwa planet-planet terbentuk dari sebahagian bahan Matahari yang terlempar keluar disebabkan karena bintang lain yang bergerak mendekati Matahari. Sehingga terjadi gaya tarik bergerak mendekati Matahari, gaya tarik dari bintang menyebabkan sebahagian bahan Matahari terlempaer keluar, dan membentuk planet. Lain halnya dengan teori yang dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Laplace dan disempurnakan oleh Gerald P Kuiper dan CF Van Wiszacker disebut dengan teori kondensasi. Teori kondensasi mengatakan : Mula-mula ada kabut gas dan debu atau nebula, karena mendingin lalu menyusut berputar lama makin cepat, lalu berbentuk bulat pipih soerti cakram. Kebanyakan bahan yang keluar membentuk planet-planet. Jika tata surya tersebut sesuai dengan teori ini tentu di jagad raya atau alam semesta ini terdapat banyak tata surya.

Umur alam semesta
Ahli fisika yakin bahwa jagad raya atau alam semesta ini berawal dari unsur-unsur lainnya merupakan sintesis yang terjadi bumi 15 milyard tahun yang lalu.

Efek Doppler
Satu fakta sederhana yang dikenal dan ditemukan setiap hari dapat diterapkan untuk memperkirakan umur jagad raya ini. Hukum Fisika yang dapat menerangkan gejala tersebut dikenal dengan Efek Doppler, ialah adanya gejala penurunan frekuensi gelombang yang bergerak menjauhi pengamat dan sebaliknya bila benda mendekati pengamat akan mengalami kenaikan frekuensi gelombang.
Bila Efek Doppler diterapkan pengamatan pada kedudukan galaksi dewasa ini serta kecepatan menjauhi pengamat, maka tidaklah sulit untuk menghitung berapa lama tata surya ini menempuh perjalanannya keluar. Kecepatannya dapat dihitung dengan jalan mengamati pergeseran frekuensi cahaya akan nampak.
Alam semesta mula-mula dalam keadaan mampat, tidak menetap dan meledak melemparkan gumpalan besar dan melayang dari tempatnya mengembang bergerak menjauh. Maka terbentuklah Galaksi, sebagian memadat menjadi planet-planet. Bila jarak antara galaksi dapat ditentukan, maka umur jagad raya atau alam semesta ini dapat ditentukan, yaitu dengan jalan membagi jarak dengan jalan membagi jarak dengan kecepatan mengembangnya. Menurut perhitungan alam semesta ini berkisar antara sepuluh sampai lima belas miliyar tahun.

Gaya Newton
Menurut hukum interaksi gaya tarik pada benda langit yang dasarnya telah dikemukakan oleh Sir Isaac Newton (1645-1727) dan Johanes Kepler (1571-1650).
Jika alam semesta dimulai dengan ledakan, maka pada saat meledak merupakan saat terjadinya awal perubahan sehingga alam semesta memuai, tetapi gaya tarik menarik antara galaksi akan memperlambat pemuaian itu, akhirnya berhenti dan bergerak kearah sebaliknya, ialah pengerut alam semesta bergerak kembali keadaan dasarnya, kenudian meledak lalu memuai. Peristiwa akan terulang kembali.

2) Teori terbentuknya alam semesta
(1) Teori Ledakan
Teori ledakan ini bertolak dari asumsi adanya suatu massa yang sangat besar sekali dan mempunyai berat jenis yang sangat besar, meledak dengan hebat karena adanya reaksi inti. Massa itu kemudian berserak mengembang dengan sangat cepatnya menjauhi pusat ledakan.
Setelah berjuuta-juta tahun, massa yang berserak itu berbentuk kelompok-kelompok galaksi yang ada sekarang.
Mereka terus bergerak menjauhi titik pusatnya. Teori ini didukung oleh kenyataan dari pengamatan bahwa galaksi-galaksi itu memang bergerak menjauhi titik pusat yang sama.

(2) Teori Ekspansi dan Kontraksi
Teori ini berlandaskan pemikiran bahwa ada suatu siklus dari alam semesta, yaitu ’’ Masa Ekspansi“ dan “ Masa Kontraksi“. Diduga bahwa siklus ini berlangsung dalam waktu 30.000 juta tahun.
Kedua teori ini (teori ledakan maupun teori ekspansi-kontraksi) mendukung suatu kebenaran bahwa partikel yang ada pada jaman sekarang ini berasal dari partikel yang ada pada zaman dahulu. Berdasarkan teori ekspansi dan kontraksi maka sebenarnya alam semesta ini tidak berawal dan tidak berakhir.


2. JENIS PLANET-PLANET DI ANGKASA
Planet pada umumnya lebih kecil dari planet luar, tetapi mempunyai masa jenis yang lebih besar.
a. matahari sebagai pusat tata surya
Matahari merupakan salah satu bintang yang paling dekat dengan Bumi, sehingga bila dilihat dari bumi maka matahari kelihatan jauh lebih besar dari bintang-bintang yang lain. Jarak matahari sampai bumi pada saat tertentu tidak selalu sama. Jarak yang paling dekat ± 147 juta km, dan jarak yang paling jauh 152 juta km.

Bola matahari dapat dibagi dalam beberapa lapisan :
- Lapisan dalam merupakan inti dari matahari sebagai pabrik sumber tenaga dimana terjadi perubahan atom hidrogen menjadi 1 atom Helium yang disertai dengan pancaran yang terbentuk sinar gamma yang masuk kelapisan luarnya.
- Lapisan kedua ialah lapisan yang paling luar dan tenpat penggodokan atom-atom gas yang sangat padat yang seolah-olah terbungkus ketat dari atas dan bawah.
- Lapisan berikutnya adalah fotosfer.
- Lapisan berikutnya adalah atmosfer matahari yang dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan korona dan lapisan kromosfir.

Matahari sangat penting bagi kehidupan di bumi :
- Sebagai sumber energi utama bagi bumi.
- Sebagai pengontrol stabilitas peredaran bumi.
- Dengan mempelajarinya dapat menjelaskan atau mengungkapkan bintang-bintang yang lain.

b. Merkurius
Merkurius merupakan planet yang terkecil dan terdekat dengan matahari. Garis pada ekuator 4880 Km. Jarak rata-rata dari matahari ± 57,9 juta Km. Planet ini tidak mempunyai satelit.

c. Venus
Planet ini dikenal dengan bintang timur, bintang kejora yang bersina terang pada waktu pagi hari atau sore hari. Diameternya 12.320 Km. Sedangkan bumi 12.682 Km. Rotasi venus lebih lembut dari bumi yaitu 243 hari, sedangkan bumi 24 jam. Permukaan suhu venus ± 500º C, dan juga banyak mengandung sebagian besar gas karbodioksida 98% dan sisanya uap air, oksigen sangat sedikit.

d. Mars
Planet ini dikenal dengan planet merah karena dilihat dengan mata langsung maupun dengan teropong tampak merah. Jarak dengan matahari 227,9 Km, sebagian besar mengandung karbodioksida dan sedikit air dan non oksigen. Kala revolusinya 687 hari, kla rotasinya 24 jam 37 menit 23 detik. Mempunyai 2 satelit, yaitu Phobas dan Deimos.

e. Yupiter
Merupakan plenet yang terbesar di tata surya, hampir 300 kali massa bumi dan gravitasinya 2,6 kali gravitasi bumi. Kandungannya banyak mengandung amoniak dan gas metan serta sedikit gas hidrogen. Revolusi dan rotasinya 11,86 tahun dan 9 jam 50 menit.

f. Saturnus
Merupakan planet kedua terbesar setelah yupiter. Rotasinya 16 jam, dan mempunyai 17 satelit dan 10 buah satelit yang sudah diberi nama, juga planet ini dikelilingi oleh cincin.

g. Uranus
Planet ini tampak hijau, dan jarak dengan matahari 3004 juta Km, kala revolusi dan rotasinya berkisar 84 tahun dan 10 jam 47 menit. Dan memilki 5 satelit.

h. Neptunus
Diameter pada ekuatornya 49500 Km sedangkan ukuran 51800 Km dan jaraknya dengan matahari 2869 juta Km, revolusi dan rotasinya 164,8 tahun dan 16 jam.

i. Pluto
Planet ini adalah planet yang terluar dalam tata surya. Planet ini mempunyai keanehan yaitu garis edarnya yang berbeda dengan planet yang lain. Jaraknya juga lebih jauh dengan matahari dibandingkan dengan Neptunus.

j. Benda-benda langit dalam tata surya
- Astroida
- Komet, dan
- Meteor

3. KELAHIRAN ALAM SEMESTA DITINJAU DARI SUDUT ISLAM
Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat berikut:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ.
"Dialah pencipta langit dan bumi." (Al Qur'an, al-An’am :101)
Keterangan yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.
Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu.
Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan.
Dalam Al Qur'an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan sebagaimana berikut ini:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ.
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya." (Al Qur'an, Adz-Dzariyat:47)
Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang". Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur'an pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur'an adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.
Satu ayat lagi tentang penciptaan langit adalah sebagaimana berikut:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ.
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Al Qur'an, Al-Anbiya’:30)
Marilah kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini. Dalam ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat "fatq". Keduanya lalu terpisah ("fataqa") satu sama lain. Menariknya, ketika mengingat kembali tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa satu titik tunggal berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan kata lain, segala sesuatu, termasuk "langit dan bumi" yang saat itu belumlah diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang masih berada pada keadaan "ratq" ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materi-materi yang dikandungnya untuk "fataqa" (terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam semesta terbentuk.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ.
"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al Qur'an, Al-Anbiya’ :33)
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ.
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, Yassiin:38)
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur'an sebagai berikut:
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْحُبُكِ.
"Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (Al Qur'an, Adz Dzaariyaat:7)
Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis edar" sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al Qur'an yang diturunkan pada saat itu: karena Al Qur'an adalah firman Allah.
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ.
"Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam..." (Al Qur'an, Az Zumar:5)
Namun perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur'an berisi informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al Qur'an adalah firman Allah, maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat digunakan dalam ayat-ayatnya ketika menjelaskan jagat raya.
Dalam Al Qur'an, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang sangat menarik tentang langit:
وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ.
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al Qur'an, Al Anbyaa':32)

4. KELAHIRAN ALAM SEMESTA DITINJAU DARI ILMU PENGETAHUAN MODERN

Berikut ini akan dibahas perkembangan IPA dari tahap deskriptif dan kualitatif menuju ke tahap simulatif dan kuantitatif. beserta sifat IPA yang dinamis dengan segala keuntungan dan resikonya.

A. Tahap Deskriptif dan Kualitatif
Kegiatan IPA dimulai dengan observasi dan pencatatan atas gejala-gejala alam yang diamati. Dari pengumpulan hasil observasi ini dapat dilihat kesamaan-kesamaan atau perbedaan-perbedaan. Kemudian timbul kebutuhan untuk menyederhanakan dengan proses klasifikasi dan stematisasi sehingga diperoleh prinsip-prinsip yang lebih mendasar dan bersifat umum
Pernyataan yang bersifat kualitatif ini kadang-kadang sudah merupakan pengetahuan yang memadai dan bermanfaat terutama untuk bidang dimana metode kuantitatif belum dapat berkembang. Sebagai contoh kaidah-kaidah dalam ilmu sosial kebanyakan masih berupa pernyataan yang bersifat kualitatif. Ini disebabkan karena kesulitan dalam teknik pengukuran terhadap gejala sosial. Namun sedikit demi sedikit kesulitan ini dapat diatasi, sehingga ahli-ahli dalam ilmu sosial dewasa ini telah memasuki tahap yang bersifat kuantitatif.

B. Tahap Simulatif dan Kuantitatif
Metode kuantitatif berkembang sebagai akibat penggunaan metematika dalam IPA, sifat kuantitatif ini dapat meningkatkan daya kontrol dan daya ramal dari ilmu serta dapat memberikan jawaban yang lebih eksak. Dengan demikian akan menghasilkan pemecahan masalah sehingga menjadi lebih seksama, cermat, tepat dan hasilnya lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain pengetahuan yang diperoleh melalui metode kuantitatif menjadi lebih dapat diandalkan.

C. Ipa Bersifat Dinamis
Kegiatan IPA berawal dari pengamatan dan pencatatan baik terhadap gejala-gejala alam pada umumnyamaupun dalam percobaan-percobaan yang dilakukan dalam laboratorium. Dari hasil pengamatan atau observasi ini, manusia berusaha untuk merumuskan konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum dan teori.
Proses IPA yang dinamis ini oleh karena menggunakan metode keilmuan dimana peranan teori dan eksperimen saling memperkuat. Keuntungan dari IPA yang dinamis ini adalah perkembangan IPA yang pesat sehinga dalam jangka waktu 10-15 tahun pengetahuan IPA telah menjadi lipat dua. Dan didukung dengan perkembangan teknologi yang dapat menaikkan kesejahteraan manusia.
Beberapa penemuan yang dapat merugikan, misalnya senjata nuklir, senjata kimiawi dan biologis serta timbulnya pencemaran udara air dan tanah, yang dapat mengganggu keseimbangan dan keserasian lingkungan hidup.
Jadi, perkembangan IPA yang dinamis ini disamping banyak memberikan keuntungan juga membawa resiko sekecil-kecilnya, maka arah perkembangan IPA dan pemanfaatan hasil IPA harus dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN :
1. Teori terbentuknya alam semesta dapat diberi metode melalui cara:
(1) Teori Ledakan
(2) Teori Ekspansi dan Kontraksi
2. Jenis planet-planet luar dan dalam di angkasa meliputi :
a. matahari sebagai pusat tata surya b. Merkurius
c. Venus d. Mars
e. Yupiter f. Saturnus
g. Uranus h. Neptunus
i. Pluto j. Benda-benda langit dalam tata surya
terdiri dari: Astroida, Komet, dan Meteor
3. Kelahiran Alam Semesta Ditinjau Dari Ilmu Pengetahuan Modern dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
A. Tahap Deskriptif dan Kualitatif
B. Tahap Simulatif dan Kuantitatif
C. IPA Bersifat Dinamis
4. Perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur'an berisi informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir.
Dalam Al Qur'an, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang sangat menarik tentang langit:
وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ.
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al Qur'an, Al Anbyaa':32)
DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu dan Supratmo.A. 2004. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Al-Su’ud, Fadh bin Abdul Aziz. 2005. Al-Qur’anul Karim wa Tarjamatu Ma’aniyah ilal Lughatul Indunisiyyah. Madinah Munawwarah: Qur’an compleks.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Purnama, Heri. 2008. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yahya, Harun. 2003. Penciptaan Alam Raya. Bandung: Dzikra.
Yahya, Harun. 2006. Pesona Al-Qur’an. Bandung: Dzikra.

DUNIA KERJA DI ACEH DIPANDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

DUNIA KERJA DI ACEH
DIPANDANG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM


ABSTRAK
Pendidikan Islami sebagai suatu sistem pendidikan di Aceh mengandung berbagai komponen yang antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Komponen dimaksud meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompotensi dan profesionalitas guru, pola hubungan guru-murid, evaluasi, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, pendanaan dan sebagainya. Berbagai komponen tersebut seringkali berjalan apa adanya, bersifat alamiah dan tradisional, tanpa didukung oleh konsep manajerial yang handal dan terukur. Akibatnya mutu pendidikan Islam kadang kala memperlihatkan hasil yang tidak dapat dihandalkan.
Oleh karena itu, dalam hal peranan guru sebagai pendidik profesional dengan sendirinya menghendaki guru mampu bekerja secara profesional. Reorientasi pengembangan profesionalitas ini dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Aceh pada prinsipnya mencakup aspek:
(1) Kemampuan memahami al-Qur’an dan mengintegrasikannya ke dalam proses belajar mengajar serta mensucikan jiwa dari dosa dan kemungkaran;
(2) Keterampilan komunikasi yang efektif antara guru dan muridnya;
(3) Menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar;
(4) Mengoptimalkan pengaruh lingkungan sekolah untuk peningkatan mutu lulusan; dan
(5) Penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran.





Pendahuluan
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dan di Aceh pada khususnya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut telah diupayakan, di antaranya:
(1) Pengadaan buku dan alat pelajaran;
(2) Berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru;
(3) Perbaikan, pengadaan sarana/prasarana pendidikan; dan
(4) Peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, dilihat dari berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Mulyani AN menyebut bahwa pendidikan di Indonesia secara kuantitatif dapat dikatakan telah mengalami kemajuan. Indikatornya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai 67.24%. Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendididikan, terutama melalui Inpres SD yang dibangun pada masa Orde Baru. Sedangkan keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakteristik bangsa yang cerdas dan kreatif, apalagi yang unggul.
Banyaknya lulusan pendidikan formal, baik pada tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi, terlihat belum mampu mengembangkan kreativitas dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah masih sukar bekerja di sektor formal karena belum memiliki keahlian khusus. Bagi sarjana, yang dapat berperan secara aktif di sektor formal terbilang hanya sedikit. Keahlian dan profesionalisasi yang melekat pada lembaga pendidikan tampaknya hanya simbol belaka, lulusannya tidak profesional.
Lembaga industri (swasta, BUMN dan pemerintah) sering menuntut persyaratan tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga tersebut. Penguasaan bahasa Inggris, keterampilan komputer dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama yang diminta. Sementara ijazah yang diperoleh para lulusan setelah menempuh pendidikan selama 20 atau 25 tahun dari lembaga pendidikan formal terabaikan. Hal ini memberikan indikasi bahwa kualitas lulusan pendidikan belum layak pakai. Melihat kenyataan ini, dapat diduga bahwa terjadi kesenjangan antara tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam menghasilkan output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan dalam peningkatan mutu lulusannya.
Di samping itu, dilihat dari segi aktualisasinya pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Guru, siswa dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk triangle, yang jika hilang salah satunya, maka hilang pulalah hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain, seperti media teknologi tetapi tidak dapat digantikan.
Oleh karena itulah, tugas guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional karena munculnya fenomena para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap untuk memasuki lapangan kerja atau bahkan dalam bersaing untuk memasuki dunia pendidikan tinggi. Jika fenomena ini dijadikan tolok ukur, maka peranan guru sebagai pendidik profesional baik langsung maupun tidak langsung menjadi dipertanyakan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui seminar dengan tema "Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami secara Kaffah” yang diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Pidie Jaya ini, hendaknya dilihat sebagai upaya revitalisasi peran guru, yaitu mewujudkan apa yang harus dikerjakan sebagai guru yang profesional.
Dengan revitalisasi peran guru ini diharapkan adanya peningkatan mutu pendidikan secara signifikan. Dasarnya adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dinyatakan bahwa otonomi pendidikan berasaskan desentrasilasi, dengan pendekatan manajemen bebasis sekolah (MBS). Pendekatan MBS dimaksudkan untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas kepemimpinan kepala sekolah dan guru bidang studi yang kuat dan efektif.
Oleh karena itu amanat dalam UU tersebut harus menjadi dasar dan arah dalam pengembangan profesionalitas guru masa depan. Dalam penerapan konsep MBS untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah dan guru bidang studi yang aktif, kreatif dan inovatif dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik, --di mana sebagian besar urusan persekolahan menjadi urusan sekolah yang bersangkutan, yakni oleh kepala sekolah, dewan guru dan masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa pokok pikiran di atas, maka reorientasi pengembangan profesionalitas guru menjadi peluang yang amat terbuka dan amat urgen dilakukan, terutama dilihat:
(1) Dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas guru bidang studi, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efesien;
(2) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaannya secara akademik-profesional;
(3) Setiap guru dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan; dan
(4) Khususnya di Provinsi Aceh, termasuk Kabupaten Pidie Jaya di dalamnya wajib menerapkan Pendidikan Islami sesuai dengan amanat UU PA yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu.
Oleh karena itu, dipandang perlu adanya reorientasi pengembangan profesionalitas guru di Provinsi Aceh pada umumnya dan di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya, terutama aspek:
(1) Integrasi penguasaan pengetahuan agama ke dalam tugas pokok bidang studi;
(2) Keterampilan membangun komunikasi yang efektif;
(3) Menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar;
(4) Pemahaman dan penguasaan karakteristik sekolah di perkotaan dan pedesaan; dan
(5) Penguasaan dan penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran. Dalam proses reorientasi ini harus berpegang pada prinsip “Teguh mempertahankan nilai-nlai lama yang baik dan bersungguh-sungguh pula mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Hal ini menjadi penting supaya sistem pendidikan yang digunakan tidak ketinggalan zaman berbaringan dengan munculnya paradigma baru pendidikan.
Reorientasi Pengembangan Profesionalitas Guru
Sejalan dengan peranan guru sebagai pendidik profesional, maka dengan sendirinya guru harus bekerja secara profesional. Bekerja sebagai seorang profesional berarti bekerja dengan keahlian dan keahlian ini hanya diperoleh melalui pendidikan khusus. Di sini, guru tentunya telah mengikuti pendidikan profesional melalui LPTK. Keahlian dalam bidang pendidikan ditandai dengan diberikannya sertifikat atau akta mengajar. Pertanyaannya adalah, apakah benar guru telah bekerja secara profesional dan bagaimana guru yang profesional dalam proses pembelajaran? Dalam makalah ini hendak dikemukakan beberapa aspek penting reorientasi pengembangan profesionalitas guru dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya serta di Provinsi Aceh pada umumnya.



Pertama, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa makhluk yang paling mulia di muka bumi ini ialah manusia. Sebaik-baik dari bagian tubuh manusia itu ialah qalbunya. Guru atau pendidik selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan qalbu itu serta menuntunnya untuk selalu dekat kepada Allah Swt. Seseorang yang berilmu dan kemudian ia bekerja dengan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagaikan matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ia ibarat minyak kasturi yang harumnya dinikmati oleh orang lain dan dinikmati pula oleh dirinya sendiri. Di sini dapat dipahami bahwa tenaga pendidik merupakan profesi yang paling mulia. Dengan profesi yang mulia itu, bahkan guru dipandang sebagai perantara antara manusia, --dalam hal ini muridnya,-- dengan Penciptanya, yakni Allah Swt.
Rasulullah Saw sendiri sebagai guru pertama dalam Islam (muallimul awwal fil Islam) bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini. Dengan demikian, tampaklah bahwa pendidik itu betugas dan bertanggung jawab sebagai pewaris para rasul. Dalam konteks tugas kerasulan, semua pendidik wajib dapat bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini.
Di sini pendidik tidak terikat dengan bidang keilmuwan secara khusus yang harus diajarkannya, yang terpenting dari pendidik itu ialah mengantarkan dan menjadikan muridnya menjadi manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan. Pendidik tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tahap-tahap pekembangan siswa dan sesuai bidang keahliannya, tetapi semua pendidik bertanggung jawab pula memberikan dasar-dasar pendidikan kesusilaan atau akhlak mulia dan pendidikan itu dipandang sebagai suatu proses memanusiakan manusia.
Kedua, bahwa antara mengajar dan belajar merupakan dua hal yang berbeda. Yang paling menonjol dari perbedaan ini adalah mengajar dilakukan oleh satu orang sedangkan belajar dapat terjadi pada setiap orang. Suatu hal yang perlu dipertimbangkan di sini adalah proses belajar mengajar hanya terlaksana dengan efektif jika ada hubungan yang unik antara dua organisme—suatu “hubungan”, mata rantai atau jembatan antara guru dan muridnya. Keterampilan berkomunikasi yang diperlukan, sebenarnya tidaklah rumit, --tidak sukar bagi guru untuk mengerti,-- meskipun diperlukan latihan dan kesungguhan, sama halnya dengan keterampilan lainnya, misalnya menjahit, memahat, bermain ski, bernyaji atau keterampilan menggunakan alat musik.
Inti keterampilan komunikasi ini pada dasarnya adalah melibatkan ”keterampilan berbicara”, sebagai sesuatu yang sudah lazim dilakukan dan dapat dipraktekkan dengan mudah. Dengan kekuatan berbicara itu, sesungguhnya dapat memperbaiki hubungan antar manusia dan dapat mendekatkan atau pun dapat menjauhkan hubungan antara pendidik dan muridnya, bahkan dapat merusak hubungan pribadi dan memutuskan tali persaudaraan. Di samping itu, berbicara itu juga tergantung dari kualitas topik pembicaraan dan pemilihan topik pembahasan yang sesuai untuk situasi yang berbeda-beda.


Oleh karena itu, cara-cara untuk menjadi pendidik yang efektif itu dibangun berdasarkan aktivitas-aktivitas mendasar yang setiap hari telah dikerjakan oleh pendidik. Yang diperlukan di sini hanyalah seperangkat keterampilan, kepekaan dan kepandaian tambahan saja mengenai beberapa hal, seperti keterampilan memberikan pujian dan keterampilan mendengar. Setiap orang tua dan pendidik tahu bagaimana memberikan pujian kepada seorang anak muda. Menjadi pendidik yang efektif yang ditawarkan di sini adalah dibangun berdasarkan konsep pujian itu juga. Yang penting di sini adalah bagaimana pujian pendidik dapat membuat murid memandang pendidik sebagai seorang yang sangat manusiawi, tulus dan benar-benar penuh perhatian. Jika pendidik memuji anak didiknya, maka jangan sampai dengan pujian itu murid merasa tidak dipahami dan merasa dipermainkan.
Di sini pendidik perlu mengetahui cara-cara sederhana agar dapat meneliti kembali ketepatan pendengaran untuk memastikan bahwa apa yang pendidik dengar itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh anak didik. Pada saat yang bersamaan, hal ini akan membuktikan kepada murid bahwa pendidik tidak saja mendengarkan, tetapi juga memahaminya.
Ketiga, menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar. Bila guru tidak efektif dalam berhubungan dengan murid, sebaiknya jangan mengabaikan pengaruh sistem organisasi sekolah yang diterapkan. Ketika guru tidak efektif dalam mempermudah proses belajar mengajar, untuk sebagian dari kegagalan mereka harus dikaitkan dengan faktor-faktor organisasi sekolah yang membatasi peran seorang guru. Kadang-kadang ada kecenderungan guru diharapkan mampu memenuhi kebutuhan murid sekalipun kebutuhan mereka sendiri tidak terpenuhi. Dalam penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah yang aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengelola sekolah dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Di antara tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan MBS ini adalah mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, yakni menjadikan sekolah sebagai tempat sumber belajar yang menyenangkan bagi anak didik dari aspek fisik maupun psikologisnya. Untuk mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, kepala sekolah juga harus berperan aktif dalam menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar. Tugas mengajar harus menjadi sumber utama mata pencaharian dan kehidupan guru bertumpu pada pekerjaannya itu. Dengan kata lain, pekerjaan mengajar menjadi sumber utama kesejahteraan guru.
Keempat, pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu pendidikan di Aceh nampaknya merupakan salah satu fokus yang penting diperbincangkan. Ace Suryadi menyebut mutu pendidikan pada negara-negara maju cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel masyarakat, antara lain sosial ekonomi, aspirasi keluarga, interaksi anak dan orang tuanya. Sebaliknya, mutu pendidikan pada negara-negara berkembang cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel sekolah, antara lain mutu guru, buku paket dan alat-alat belajar. Studi tentang mutu pendidikan dasar di Indonesia menunjukkan bahwa mutu pendidikan yang lebih tinggi di daerah perkotaan ditandai dengan lebih besarnya efek faktor luar sekolah dibandingkan dengan faktor sekolah, sedangkan di pedesaan mutu pendidikannya cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor sekolah.
Gambaran pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu pendidikan di atas, ada kesamaannya dengan mutu pendidikan di Aceh, terutama dilihat dari perbedaan kualitas pendidikan di desa (gampong) dan kota. Kalau diamati pada kondisi proses pendidikan di gampong-gampong dalam Provinsi Aceh dewasa ini, menunjukkan bahwa “efek” dari faktor-faktor sekolah terhadap prestasi belajar tampaknya memiliki keterbatasan, yakni sejauh atau sebesar yang dapat ditentukan oleh kelengkapan fasilitas pendidikan.
Perbedaan prestasi belajar murid di perkotaan lebih banyak diterangkan oleh faktor luar sekolah, di antaranya aspirasi pendidikan, pengalaman pendidikan di TK dan keadaan sosial ekonomi orang tuanya. Jika perbedaan ini dipersempit lagi, maka prestasi belajar murid di kota banyak ditentukan oleh peran orang tua mereka, sedangkan di gampong-gampong banyak ditentukan oleh peran guru. Oleh karena itu, komitmen dan profesionalitas guru untuk memaksimalkan pemanfaatan buku paket, alat-alat pelajaran dan kualitas kehadiran guru dalam mengajar menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan.
Kelima, penerapan teknologi dalam proses pendidikan. Yang terjadi selama ini, proses pembelajaran cenderung berpusat pada guru dan kurang mendorong proses berpikir kreatif, proses inkuiri (penyelidikan) serta proses pemecahan masalah. Di samping itu, proses pembelajaran cenderung belum menggunakan teknologi informasi. Guru harus dapat meletakkan information technology sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan.
Hal ini berarti mulai dari tingkat pendidikan rendah sampai perguruan tinggi di mana pun lembaga tersebut berada merupakan jalur linier pendidikan, pengenalan, pemahaman dan pengamalan ilmu dan teknologi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, guru dan segenap warga sekolah tidak ketinggalan dengan percaturan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah secara terjadwal hendaknya membuat program belajar dengan TVEdukasi yang sudah dipopulerkan oleh Mendiknas.
Penerapan Pendidikan Islami Aceh
Menurut al Qur’an, semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian dari pengetahuan itu diwahyukan oleh Allah Swt kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan qalbunya. Pengetahuan yang diwahyukan itu mempunyai kebenaran absolut (mutlak), sedangkan pengetahuan yang diperoleh manusia, kebenarannya tidak mutlak. Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Pengetahuan yang diwahyukan disebut pengetahuan naqliyah dan pengetahuan yang diperoleh manusia disebut pengetahuan aqliyah.
Ketika pemikiran dan teknologi telah begitu maju, maka hubungan antara pengetahuan naqliyah dengan pengetahuan aqliyah mulai terganggu sehingga muncul keterpisahan antara keduanya. Dalam berbagai buku, juga dalam pembicaraan sehari-hari, sering kali dijumpai istilah pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Dari istilah ini kemudian berkembang pula istilah lainnya, seperti sekolah umum dan sekolah agama, guru umum dan guru agama. Bahkan muncul pula kategori masalah dunia (masalah pengetahuan umum) dan masalah akhirat (masalah pengetahuan agama). Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri individu maupun dalam kehidupan masyarakatnya.
Oleh karena itu, keterpisahan ini seharusnya diakhiri, keduanya harus disatukan lagi dalam satu sistem penerapan yang terpadu dan harmonis. Secara sederhana pendidikan Islami diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat Islam.
Berbagai komponen pendidikan mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan guru-murid, evaluasi, sarana dan prasarana dan lingkungan pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Jika semua komponen ini membentuk suatu sistem yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut selanjutnya disebut sistem pendidikan Islami.
Ajaran Islam yang dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits telah meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, cakupan pendidikan Islami harus diarahkan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan ini, dan inilah yang menjadi cita-cita Islam untuk berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
Dalam bidang sosial, Islam mencita-citakan suatu masyarakat yang egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan kesetaraan dan kesederajatan sebagai makhluk Allah Swt. Atas dasar ini, kedudukan dan kehormatan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt, bukan didasarkan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, pangkat, keturunan dan sebagainya.
Dalam bidang politik, Islam mencita-citakan suatu kehidupan negara yang dipimpin oleh orang yang adil, jujur, amanah, dan demokratis, sehingga ia tidak menyalahgunaan kekuasaan, menciptakan kemakmuran dan memperhatikan aspirasi rakyatnya.
Dalam bidang ekonomi, Islam mencita-citakan sistem ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli dan saling menguntungkan.
Dalam bidang hubungan sosial, Islam mencita-citakan suatu sistem masyarakat yang didasarkan pada ukhuwah yang kokoh, hubungan yang harmonis, saling tolong menolong sesama manusia.
Dalam bidang hukum, Islam mencita-citakan tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten dan obyektif yang diarahkan untuk melindungi seluruh aspek HAM yang meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan harta, hak memiliki keturunan, hak mengembangkan cita-cita dan memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Islam mencita-citakan pengembangan ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah. Sedangkan dalam bidang budaya, Islam membolehkan masuknya budaya baru sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam.
Gambaran tentang cita-cita Islam dalam berbagai lapangan kehidupan di atas selain harus disosialisasikan kepada umat Islam melalui jalur pendidikan, juga sekaligus menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Ciri-Ciri Pendidikan Islami
Untuk lebih mudah mengenal pendidikan Islami, terlebih dahulu dipandang penting disebutkan ciri-ciri yang melekat padanya. Ciri-ciri pendidikan Islami adalah sifat-sifat yang melekat pada pendidikan Islami yang membuat ia berbeda atau sama dengan pendidikan konvensional pada umumnya. Dalam pemahaman ini, penamaan pendidikan Islami sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk secara langsung menggambarkan karakteristik dan identitas pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Di samping itu, pembahasan mengenai ciri-ciri ini juga merupakan suatu ajakan serius untuk memikirkan komponen-komponen penting yang menjadi unsur-unsur utama pendidikan Islami. Hal ini mengingat pendidikan Islami sebagai wadah yang masih menanti kelengkapan isi dan masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk memantapkan jati dirinya. Jati diri pendidikan Islami secara konseptual harus menggambarkan secara spesifik nilai-nilai etik ajaran Islam.
Pandangan mengenai Hakikat Manusia
Ciri utama pendidikan dapat dikatakan Islami ialah senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Allah Swt mengenai hakikat manusia dan menjadikan penjelasan Allah Swt itu sebagai rujukan utama di mana pun dan kapan pun pendidikan itu dilaksanakan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyebut perbedaan pandangan itu karena masyarakat Barat pada umumnya berpegang pada hasil rasio manusia tentang hakikat manusia, sedangkan di kalangan masyarakat Muslim senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Sang Penciptanya mengenai hakikat manusia dan menjadi penjelasan Sang Pencipta sebagai rujukan utama para ilmuwan Muslim di mana pun mereka berada. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Di antara ciri-ciri pendidikan Islami yang perlu dikembangkan akibat perbedaan pandangan mengenai hakikat manusia, yakni jika dalam pendidikan konvensional pada umumnya hanya mengakui semata-mata tri-dimensional raga (organo-biologis), jiwa (psiko-edukasi) dan lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia, maka dalam pendidikan Islami mengakui dimensi Ruhani sebagai dimensi inti dalam sistem kejiwa-ragaan manusia.
Pandangan mengenai Aspek Akidah, Ibadah dan Akhlak
Ciri kedua pendidikan Islami ialah menempatkan permasalahan ”konstan” aspek akidah, ibadah dan akhlak sebagai fondasi pendidikan. Sekiranya aspek konstan ini bukan bersumber dari ajaran Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai pendidikan Islami. Oleh karena itu, pendidikan Islami harus mempunyai landasan yang kuat menurut ajaran Islam, terutama dalam hal:
Landasan pendidikan Islami harus bertumpu pada akidah, ibadah dan akhlak, yakni:
(a) Landasan akidah dalam Islam adalah meng-Esakan Allah Swt, mengimani malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, qadha dan qadar sampai pada keyakinan bahwa al-Qur'an adalah kebenaran yang mutlak dan harus menjadi landasan, wawasan dan sumber ilhami bagi pendidikan Islami;
(b) Landasan ibadah yang benar terhadap Allah sesuai ajaran Islam, dimulai dengan melaksanakan rukun Islam, melaksanakan ibadah dalam arti luas seperti berlaku adil dan ihsan, menyeru kepada kebaikan, melaksanakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, berjihad di jalan Allah sampai dengan mewujudkan perubahan-perubahan positif pada setiap diri individu yang berangkat dari perintah dan larangan Allah Swt; dan
(c) Landasan akhlak mulia, yakni mengembangkan perbuatan-perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau tercela. Dengan demikian, pendidikan Islami secara konsisten diarahkan untuk membina manusia bermoral.

Pendidikan Islami dalam tujuan dan proses-prosedur interaksi antar sesama manusia harus sesuai dengan syariat Islam, yakni memperlakukan setiap individu sesuai perintah dan larangan Allah Swt, mensucikan dirinya dengan amal ibadah dan taubat, mendekatkan kepada Allah Swt dan mengerjakan segala amal perbuatan wajib dan amal-amal sunah. Konsep interaksi antara sesama manusia sesuai syariat Islam termasuk kepada mereka yang non-muslim, di mana Islam melarang tindakan seseorang muslim yang dapat menggangu dan merugikan pihak non-muslim. Bahkan sampai pada tingkat tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk Islam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi dan sebagainya.
Pandangan mengenai Perubahan dan Perkembangan Zaman
Ciri ketiga pendidikan Islami ialah mampu berinteraksi dengan perkembangan dan perubahan yang ada, yakni adanya fleksibilitas dan berwawasan luas, mempunyai pandangan komprehensif dan mendalam terhadap berbagai permasalahan kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah. Oleh karena itu, kemampuan dalam berinteraksi terhadap perkembangan ini adalah sebuah pandangan yang menerima suatu perkembangan atau kemajuan jika tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak segala perkembangan kehidupan, baik pemikiran, kebudayaan, keilmuwan, politik, ekonomi, sosial, jika bertentangan dengan Islam. Dengan demikian, pendidikan yang tidak bisa berinteraksi dengan perkembangan, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan Islami.
Pandangan mengenai Keterbukaan dan Kebebasan Berpikir


Ciri keempat pendidikan Islami adalah terbuka terhadap pergulatan pemikiran manusia. Manusia selalu memiliki dorongan untuk berkarya dan bercita-cita. Dalam setiap karya yang dilakukan oleh seseorang Muslim terdapat dua bagian, yakni bagian yang harus dikerjakan dan bagian yang harus ditinggalkan. Sedangkan cita-cita ialah yang bisa memberikan motivasi bagi hidup. Pendidikan Islami haruslah memberikan peluang kepada akal untuk berpikir, hak untuk belajar dan hak untuk berkreasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini merupakan gambaran kebebasan berpikir yang diberikan oleh Islam kepada manusia, sebagai penghargaan dan penghormatannya.
Program Aksi Penerapan Pendidikan Islami
Tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini dalam bidang pendidikan Islami ialah belum memiliki teori pendidikan Islami yang komprehensif dan integral dalam membentuk pribadi Muslim yang diharapkan dan bagaimana menemukan teori pendidikan Islami itu menjadi praktis dan aplikatif. Namun demikian, jika dicermati perkembangannya, Islamisasi disiplin ini merebak kuat dan karenanya perbincangan tentang Islamisasi disiplin ilmu menguat tajam. Dalam perkembangan sekarang ini, telah muncul Islamic Anthropology yang dipelopori oleh Merril Wynn Davies dan Akbar S. Akhmad, Islamic Economy yang dipelopori oleh Muhammad Anwar dan Muhammad Najatullah Siddiqie, Islamic Sociology diprakarsai oleh Ilyas B. Yunus dan Muhammad al-Mubarrak, Psikologi Islami (Islamic Psychology) digerakkan oleh Malik B. Badri, Muhammad Utsman Najati dan Hanna Djumhana Bastaman dan terakhir ini sedang diperbincangkan adalah pendidikan Islami (Islamic Education).
Mencermati perkembangan di atas, maka ada sejumlah program aksi yang diperlu diperbincangkan untuk pengembangan profesionalitas guru dan unggul dalam menerapkan pendidikan Islami di Aceh. Beberapa program aksi yang mendesak untuk dikembangkan, di antaranya:
Pertama, mewujudkan keunggulan dalam mutu lulusan. Masa depan umat manusia di abad 21 sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mampu eksis secara fungsional di tengah-tengah kehidupan global yang amat kompetitif. Dalam situasi tersebut manusia yang akan survive adalah yang dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan dapat mengisi peluang tersebut dengan produktif. Sementara itu, faktor kepribadian atau moralitas yang baik akan menjadi salah satu daya tarik dalam berkomunikasi dengan sesama manusia. Masa depan membutuhkan manusia-manusia kreatif, inovatif, dinamis, terbuka, bermoral baik, mandiri atau penuh percaya diri, menghargai waktu, mampu berkomunikasi dan memanfaatkan peluang serta menjadikan orang lain sebagai mitra yang saling menguntungkan.
Dengan memperhatikan keunggulan kompetitif masa depan di atas, maka lulusan pendidikan Islam hendaknya senantiasa memiliki sikap berpegang teguh kepada nilai-nilai spiritual yang bersumber pada ajaran agama semakin dibutuhkan masyarakat masa depan. Hal yang demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai kegoncangan jiwa atau stress akibat kekalahan, kelelahan atau keterbatasan daya dalam bersaing dengan orang lain untuk memperebutkan kesempatan atau sebagai akibat dari kehidupan sekuler-materialistik yang semakin merajalela.
Kedua, beberapa indikator keunggulan lulusan pendidikan Islam yang perlu diperjuangkan, yakni:
(1) Secara akademik, lulusan pendidikan Islam dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama pada PTN terkemuka;
(2) Secara moral, lulusan pendidikan Islam dapat menunjukkan tanggung jawab dan kepeduliannya kepada masyarakat sekitarnya;
(3) Secara individual, lulusan pendidikan Islam semakin meningkat ketakwaannya;
(4) Secara sosial, lulusan pendidikan Islam dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya; dan
(5) secara kultural, lulusan pendidikan Islam mampu menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, dimensi kognitif intelektual, afektif emosional, psikomotorik-praktis dan kultural dapat terbina secara seimbang dan selaras. Inilah indikator-indikator yang dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat ketepatan strategi penerapan pendidikan Islam yang diterapkan.
Ketiga, pengembangan profesionalitas guru. Pengembangan profesionalitas guru di satu pihak mengacu kepada sikap guru terhadap profesinya, dan di satu pihak lagi adalah derajat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki guru dalam rangka melakukan pekerjaannya sebagai guru. Ada dua hal yang sangat inti dalam pengembangan profesionalitas ini, yakni panggilan hidup dan keahlian.
Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi yang disandangnya adalah sebagai pemenuhan panggilan hidupnya. Artinya itulah lapangan pengabdiannya dan itulah lapangan kehidupannya. Kriteria ”panggilan hidup” mengacu kepada pengabdian, sekarang orang lebih senang menyebutnya dengan ”dedikasi”.
Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi guru yang disandangnya adalah diperoleh dengan suatu keahlian khusus. Oleh karenanya, kriteria ”keahlian khusus” mengacu kepada mutu layanan yang tercermin dalam proses belajar mengajar.
Jika demikian halnya, maka persoalan ”dedikasi” dan ”keahlian” guru itulah yang secara sungguh-sungguh hendak dikembangkan profesionalitasnya. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Karena adanya pendidik profesional itu, maka sekolah-sekolah unggul bernuansa Islami-lah yang dilirik dan menjadi alternatif pilihan masyarakat di masa kini dan masa depan, Insya Allah.






Penutup
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.
Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertangung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar, memahami dan mengamalkan ilmunya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Peningkatan mutu pendidikan Islami sangat ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan serta kualitas kehadiran guru dalam proses belajar mengajar.
Salah satu aspek penting dalam reorientasi pengembangan profesionalitas guru di sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup.



Daftar Pustaka
Abidin Ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abuddin Nata, (2003), Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana PreAceha Media Group.
Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole.
Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
M. Quraish Shihab, (2000), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Volume 2, Ciputat Jakarta: Lentara Hati.
Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta.
Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahman, (Editor), (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor.
Thomas Gordon dan Noel Burch, (1997), Teacher Effectiveness Training (Menjadi Guru Efektif), (Alih bahasa: Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

PARA PEMUDA DAN ETIKA PERGAULAN DALAM (DAKWAH) ISLAM*

PEMUDA DAN ETIKA PERGAULAN DALAM (DAKWAH) ISLAM*
Oleh : S. Bekti Istiyanto, S.Sos **

Bila kita berbicara tentang pemuda maka Al Qur’an telah menyebut banyak kisahnya. Ada pemuda Yusuf a.s., pemuda Al Kahfi, pemuda Sulaiman dan banyak kisah lain yang cemerlang. Atau dalam sirah maka kita bisa temukan banyak pemuda yang menjadi sahabat Rasul, seperti Mus’ab bin Umair, Usamah bin Zaid atau Hasan-Husein bin Ali dari Ahlul Bait. Di kalangan pemudi kita bisa lihat Aisyah dan Fatimah dari Keluarga Rasul atau Khaulah yang menunjukkan sisi kepahlawanannya dengan ikut berjuang di jalan Allah, dan banyak lagi lainnya. Artinya, Islam menganggap pemuda (selanjutnya pemudi masuk ke dalamnya) merupakan aset potensial yang ikut menentukan arah masa depan. Bila pemuda dalam suatu masyarakat tergolong baik, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut baik, demikian pula sebaliknya.
Tugas berat yang disandang pemuda dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Sebagai penyambung generasi kaum beriman (QS.52:21, 25:74)
2. Sebagai pengganti orang-orang yang beriman yang telah terjadi degradasi iman (QS.5:54)
3. Sebagai reformer spiritual terhadap kaum yang telah menyimpang dari agama (QS.5:104)
4. Sebagai unsur perbaikan (QS.18:13-14)
Hanya sayangnya, kebanyakan pemuda tidak memahami tugas berat ini karena lemahnya pemahaman terhadap Islam yang syamil dam mutakamil. Kita lebih sering mendapati mereka lebih suka nongkrong dan begadang di jalan, cuci mata di pusat perbelanjaan atau yang parah lebih suka menceritakan bagaimana mereka tawuran, teler, ajojing di pub dan diskotek bahkan hubungan liar beda jenis antar mereka (seperti kebanyakan kota besar yang -saya yakin- akhirnya merembet ke kota kecil seperti Kudus ini) daripada mereka yang baca Qur’an atau sedang mengaji di mushola atau seperti sekarang ini mengikuti kajian Islam. Suatu hal yang ironis, dikarenakan banyak tugas berat yang tidak mereka sadari karena ketidak pahaman atas makna dasar kehidupan ini. Seperti dari mana mereka berasal, untuk apa diciptakan dan akan bagaimana mereka hidup. Jarang jawaban yang dapat kita ambil dari mereka saat ditanya siapa idolanya, yang menjawab tokoh-tokoh panutan umat. Tapi tokoh glamour yang cenderung hedonisme (keduniaan) seperti artis, atlit -lah yang kebanyakan mereka agung-agungkan dan dijadikan teladan hidup.
Arus informasi yang semakin kompleks dan menerpa kita dari bangun tidur sampai kita tidur lagi semakin menambah rumitnya permasalahan. Banyak yang kemudian terlena tidak hanya masalah yang menjadi kewajiban utama tadi di atas tapi sekadar belajar untuk mengerjakan pe-er sekolah pun jadi jarang terkerjakan secara sempurna. Akibatnya semakin fatal, benteng pemahaman yang tidak matang dikepung terpaan informasi yang cenderung bias dan menyesatkan semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai pemahaman Islam yang sempurna. Kita bisa melihat contoh media massa (khususnya televisi) lebih sering menampilkan adegan seronok -minimal memudahkan cara untuk berhubungan dengan lawan jenis- dan sarkasme seperti cara membunuh, tindakan kriminal, mengumpat, dsb. Atau minimal musik yang melalaikan ditambah goyangan dan desahan suara yang membikin hati tidak tenang. Akhirnya norma pergaulan ketimuran -yang sarat batasan- pun mengalami goncangan. Jarang kita bisa menemukan orang tua yang mampu mengontrol pergaulan anak-anaknya, dengan siapa mereka bermain, bermain apa dan dimana, apa tujuan dan cara bermainnya. Privasi kehidupan semakin diagungkan, perhatian diartikan campur tangan dan dominasi. Dan akhirnya hubungan orang tua dan anak semakin renggang. Efek lain yang muncul adalah larinya anak ke dalam pergaulan bebas yang lebih sering tanpa aturan, karena samanya keinginan dan usia yang menyebabkan anak jadi semakin susah diatur. Kalau mungkin larinya mereka (dalam banyak kasus dengan alasan mencari jati diri) ke dalam pergaulan yang bermanfaat seperti kegiatan ekstra sekolah atau kegiatan lain yang lebih mengandung kebaikan, nggak akan membawa masalah. Tapi bila sebaliknya, akan berpengaruh yang sangat besar tidak saja secara pribadi tapi meluas ke dalam masyarakat secara umum. Dan biasanya mereka cenderung menyembunyikan apa yang mereka lakukan di luar rumah kepada keluarga mereka, dengan alasan renggangnya hubungan antar anggota keluarga. Hasilnya banyak orang tua yang kaget ketika mendapat laporan anak mereka menyimpang demikian jauh, padahal di rumah menunjukkan perilaku sebagai anak mami yang manis.
Satu masalah yang perlu mendapat perhatian serius adalah bebasnya hubungan antar jenis diantara pemuda yang nantinya menjadi tonggak pembaharuan. Islam sangat memperhatikan masalah ini dan banyak memberikan rambu-rambu untuk bisa berhati-hati dalam melewati masa muda. Suatu masa yang akan ditanya Allah di hari kiamat diantara empat masa kehidupan di dunia ini. Kita bisa memahami hakikat pergaulan dalam Islam dengan melihat Al Qur’an :
“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan” (QS.17:32). Dan kita bisa memahami rambu-rambu Ilahiah seperti berikut :
1. Rambu hati, didasarkan hadits shahih Bukhari :
“Zina itu banyak cabangnya, yaitu zina hati, mata, dan telinga, dan alat kelaminlah yang akan membuktikan apakah berzina atau tidak”.
2. Rambu mata, didasarkan pada hadits shahih Bukhari “
“Apabila seseorang memalingkan pandangannya pada wanita (lawan jenis;pen) yang bukan muhrimnya karena takut kepada Allah, maka Allah akan membuat dia merasakan manisnya iman”.
Dalam An-Nur/24:30-31 ada larangan untuk mengumbar pandangan, dan hadits lewat Imam Ali : Hai Ali, hanya dijadikan halal bagimu pandangan yang pertama”(Bukhari).
3. Rambu telinga, adanya larangan untuk mendengar perkataan-perkataan yang tidak senonoh dan jorok.
4. Rambu tangan, wujudnya dengan martubasi dan bersalaman atau menyentuh lawan jenis yang bukan muhrimnya. Didasarkan pada hadits :
“Lebih baik seseorang menggenggam bara api (babi, di lain riwayat) atau ditombak dari duburnya hingga menembus kepala daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.”
Rasullullah selama hidupnya tidak pernah menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, hanya mengucapkan salam.
5. Rambu kaki, larangan untuk melangkahkan kaki ke tempat-tempat maksiat atau tempat dimana terjadi pembauran laki-laki wanita yang tidak dikehendaki dalam Islam. Khusus wanita dilarang menghentakkan kaki dengan maksud memperlihatkan perhiasan (An-Nur/24:31).
6. Rambu suara, dasarnya surat Al-Ahzab/33:32 :
“Hai isteri-isteri Nabi, tiadalah kamu seperti salah seorang dari perempuan-perempuan itu jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lembut dalam berbicara sehingga tertariklah orang yang di hatinya ada penyakit (keinginan), dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Ayat ini tentu tidak hanya ditujukan buat isteri Rasul semata. Untuk itu kita perlu berhati-hati terhadap suara yang mendayu, mendesah, merayu seperti sering dieksploitasi media massa.
7. Rambu seluruh tubuh, dasarnya An-Nur/24:1, 31, Al-Ahzab/33:59).
“Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan perempuan-perempuan mukmin, ‘Hendaklah mereka itu memakai jilbab atas dirinya.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal, maka mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampunlagi Maha Penyayang”.
Ayat di atas mewajibkan kita untuk menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, kecuali muhrimnya. Sementara untuk pria auratnya adalan antara pusar dengan lutut.
Dalam operasional pergaulan Islam ada aturan baku yang mesti mutlak untuk ditaati a.l. :
1. Wajib atas pria dan wanita untuk menundukkan pandangannya, kecuali empat hal :
1. bertujuan meminang
2. belajar-mengajar
3. pengobatan
4. proses pengadilan (At-Tarbiyah Al-Aulad Fil Islam, Abdullah Nashih Ulwan)
2. Menutup aurat secara sempurna, tidak sekadar tutup tapi masih kelihatan lekuk tubuh dan bentuknya.
3. Larangan bepergian buat wanita tanpa muhrim sejauh perjalan sehari semalam (pendapat lain, seukuran jamak sholat).
4. Bagi yang sudah berkeluarga, seorang isteri dilarang pergi tanpa ijin suami.
5. Larangan bertabarruj bagi wanita (bersolek/berdandan untuk memperlihatkan perhiasan dan kecantikan kepada orang lain) kecuali untuk suami.
6. Larangan berkhalwat (berdua-dua antara pria dan wanita di temapat sepi)
7. Perintah untuk menjauhi tempat-tempat yang subhat, menjurus maksiat.
8. Anjuran untuk menjauhi ikhtilat antara kelompok pria dan kelompok wanita.
9. Hubungan ta’awun (tolong menolong) pria dan wanita dilakukan dalam bentuk umum, seperti mu’amalah.
10. Anjuran segera menikah, bila tidak mampu suruhan berpuasa dilaksanakan.
11. Anjuran bertawakkal, menyerahkan segala permasalahan pada Allah.
12. Islam menyuruh pria dan wanita untuk bertakwa kepada Allah sebagai kendali internal jiwa seseorang terhadap perbuatan dosa dan maksiat.

Kita memahami bahwa masa muda adalah masa yang sangat berat. Ditambah faktor eksternal yang demikian kuat membelokkan tujuan utama beribadah mencapai ridha Allah, maka dalam penyampaian kebenaran ini juga perlu mendapat perhatian yang seksama. Kita tidak bisa saja dengan gampang memberi peringatan tanpa memahami uslub dan wasilah dakwah dan mengerti sejauh mana pemahaman yang dipahami teman dan masyarakat kita. Minimal yang mesti kita siapkan untuk berdakwah tentang etika pergaulan Islam ini adalah :
1. Menyamakan persepsi dan kepahaman, bahwa ini merupakan masalah yang besar dan cukup kompleks.
2. Memahami fiqh dakwah dan syar’i secara cukup komprehensif.
3. Memahami bahwa hidayah tidak bisa dipaksakan, tapi tetap kita mengupayakan sebab-sebab terjadinya sunnatullah (turunnya hidayah).
4. Mempelajari kaidah dakwah agar dalam proses penyampaiannya tidak mengalami benturan yang justru membuat kita tertolak seperti :
1. Qudwah sebelum dakwah ; peringatan harus dimulai dari diri kita dulu.
2. Menjalin keakraban sebelum pengajaran ; menumbuhkan kasih sayang, perhatian, dan kelembutan dalam kata dan perilaku (suluk).
3. Mengenalkan sebelum memberi tugas ; tingkat kepahaman masing-masing orang berbeda, perlu pemahaman yang tepat.
4. Bertahap dalam pemberian tugas.
5. Mempermudah bukan mempersulit ; dalam menyampaikan jangan beri aturan yang rumit dan terkesan menakutkan.
6. Ushul sebelum furu’ : yang utama adalah mengajarkan tauhid sebelum yang lain.
7. Memberi kabar gembira sebelum ancaman.
8. Memahamkan dengan perbuatan dan kata, bukan mendikte/instruksi.
9. Mendidik bukan menelanjangi ; bukan malah menyebarkan aib dan dosa orang lain.
10. Menjadi murid orang yang paham bukan hanya baca buku.

Terakhir dalam dakwah tentang pergaulan Islam, kita dianjurkan untuk tidak ekslusif artinya justru bergaul hanya kepada orang yang sepaham saja dan meninggalkan mereka yang awam terhadap Islam. Terpenting untuk menyerahkan diri kepada Allah segala urusan dan memperkuat ibadah-ibadah yang makin mengeratkan hubungan dengan Allah sehingga lebih bisa menjaga diri dari perbuatan yang mendekati zina, yang diharamkan Allah.
KepadaNya lah saja kita bertawakkal.

BUDAK INTELEKTUAL INTELEKTUALISME DAN VISI KEMANUSIAAN

BUDAK INTELEKTUAL
INTELEKTUALISME DAN VISI KEMANUSIAAN
Revitalisasi Intelektualisme Untuk Kemanusiaan Universal
Keinginan seseorang untuk menjadi seorang cendekiawan adalah merupakan keputusan yang sulit. Bukan keterpelajaran dan kecerdasan saja layaknya seorang sarjana atau profesor yang dibutuhkan. Sebut sajalah gologan yang cerdik dan pandai yang menerbangkan pada permadani menara gading tempat huniannya, tetapi cendekiawan tentunya mementa lebih dari itu. Seperti halnya nabi Muhammad, betapa cendekiawanya telah membawa konflik lahir dan batin dalam dirinya manakala ia dihadapkan dengan pertanyaan dan persoalan kaumnya. Seyogyanya seorang cendekiawan kerap merasakan konflik dan gelisah, gusar, serta serah tatkala ada diskrepansi apa yang ia rasakan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat.
Cendekiawan merupakan salah satu unsur yang dapat melakukan transformasi sosial, bila mana sadar diri dan sadar sosial ditengah-tengah masa yang talah tidur bahkan sedang amnestia. Mereka memiliki kepedualan untuk membangkitkan kesadaran masyarakatnya dan menjadi motor penggerak bagi perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik. Bagi Kuntowijoyo cendekiwan berani pilihan dan jalan cara dalam melakukan transformasi sosial, memiliki sifat independen dan hurus berani, tidak berpangkat dan tak berhata. Bahkan sifat kecendekiawan Kunto dapat terlihat dalam salah satu puisinya dari judul bukunya Daun Makrifat, Makrifat Daun, ia menuliskan; sebagai hadiah, malaikat menanyakan, apakah aku ingin berjalan diatas mega, dan aku menolak, karena kakiku masih di bumi, sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai dhu’afa dan mustadh’afin, diangkat Tuhan dari penderitaan.
Dalam hal ini, Intelektualisme sudah semestinya bergerak maju secara progresif dan kritis, tidak berkutat lagi pada kerja-kerja akademik, apalagi hanya jargon mati yang terkooptasi oleh hukum-hukum keilmuan dan penelitian ilmiah yang cenderung membajak kekhasan intelektualitas yang kritis, mendiktai objetifitas dengan seperangkat aturan-aturan yang tidak memahami makna liberasi visi kemanusiaan dan intelektualisme, dibonsai oleh pusaran petuah-petuah yang tak berdaya menembus tembok realitas untuk menemukan visi kemanusiaan sejati. Sementara di balik bentangan tembok anomali sosial, ada mutiara-mutiara kemanusiaan yang mesti dikuak dan diperjuangkan untuk kemaslahatan kemanusian sosial yang bermartabat dan berkeadilan.
Progresifitas dan kritisme harus menjadi jiwa intelektualisme agar tetap hidup dan berstamina prima di tengah morat-marit tatanan sosial (social order), serta lantang berbicara tentang perjuangan keadilan bagi kemaslahatan kemanusiaan. Derita dunia intelektualisme adalah “menghambanya” kaum intelektualitas terhadap penguasa. Fungsi-fungsi inteleksinya digerakkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan dan otoritarianisme kaum elit dan penguasa. Intelektualisme adalah perlambang energisitas subjek sebagai manifestasi ke-beragamaan yang memiliki visi pencerahan, penyadaran dan pencerdasan, bermuara kepada kebebasan dan kemerdekaan sebagai “manusia sadar” yang berperan untuk membebaskan manusia dari penjara kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, krangkeng pragmatisme politik, serta perbudakan, globalisme yang menghabisi nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi).
Peranan profetik visioner ini telah dilakoni oleh seorang Rasul (Nabi Muhammad SAW) dengan dakwah tauhid sebagai dakwah inti semua nabi dan rasul Allah SWT yang diutus kepada manusia. Agresifitas intelektualisme yang berparadigma tauhid terintegrasi meretas kejahiliaan besar kala itu, yakni perbudakan kemanusiaan berupa penyerahan dan ketundukan kepada sesuatu selain Sang Realitas Tertinggi (baca; Allah SWT). Misi memerdekakan manusia dari kooptasi kekuasaan, otoritarianisme dan keangkuhan intelektual akibat ke-beragamaan yang simbolik dan ritualistik, lepas dari ikatan-ikatan teologis Islam (tauhid) yang paradigmatik. Subjek yang beragama memiliki peran besar bagi pemuliaan moral kemanusiaan serta menorobos kebekuan problematika kemanusiaan.
Kaum intelektual lazimnya seperti para nabi yang menyadarkan kaumnnya dari kebodohan, kebebalan, dan ketertindasan.
Kaum intelektual merupakan rausyanfikr yang selalu hadir untuk menyadarkan dan membebaskan. Kaum intelektual menurut Karl Mannheim (1940:52-26) adalah meraka yang memiliki rasionalitas substansial dan rasional fungsional. Intelektual bukan hanya sebatas kepemilikan wawasan yang tajam dan bijak, melainkan juga mampu mengartikulasikan wawasan tersebut untuk mencapai tujuannya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila bermunculan kaum intelektual bagi Robert J. Brym (1993:2) merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan dunia modern.
Seorang intelektual adalah seorang yang memusatkan diri untuk memikirkan ide dan masalah non materil dengan menggunakan kemampuan penalarannya. Julian Benda (1867-1956) dalam karya termasyurnya “La Trahison des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual), melukiskan bahwa intelektual merupakan sosok ideal yang kegiatan utamanya tidak mengejar tujuan-tujuan praktis, melainkan lebih ke arah pencarian dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik. Lain lagi dengan Antonio Gramsci (1971) dalam bukunya “Selections from Prison Notebooks”, mengatakan bahwa semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual. Gramsci membedakan dua jenis intelektual, yaitu ;
- Pertama, intelektual tradisional yang representasinya ada pada mereka yang secara terus menerus melakukan hal-hal yang sama dari generasi ke generasi. Mereka yang karena ideology agama dan monopoli kuasanya berfungsi sebagai penyebar ide dan mediator antara massa rakyat denga kelas atasnya.
- Kedua, intelektual organik, sosok personifikasi yang gigih dalam perenungannya, reflektif atas konteks historisnya dan revolusioner memperjuangkan manifest perenungannya bagi kaumnya. Intelektual organik, Gramsci semakna dengan pemahaman Karl Mannheim tentang sosok academicus yang menghasilkan tulisan-tulisan tentang realitas masyarakat dengan refleksi yang lebih sistematis dan dengan studi mendalam yang lebih berciri teoritis untuk menunjukkan strategis praksisnya atau menunjuk pemikiran Alvin Gouldner (1985:93) yang menempatkan intelektual organik sebagai sosok berbakat yang secara otodidak mampu merumuskan suatu peran bagi lahirnya gerakan sosial baru dalam masyarakat modern. Suatu sosok yang oleh Gouldner dalam “Against Fragmentation” disebut sebagai intelektual pergerakan.
Sedangkan Edward W. Said (1995) merumuskan intelektual dalam bukunya “Representation of The Intellectual” sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan pesan, pandangan, sikap, atau filosofis kepada publik. Aktualisasi yang bertujuan melahirkan kebebasan untuk memotivasi dan menggugah rasa kritis orang lain agar berani menghadapi ortodoksi, dogma, serta tidak mudah dikooptasi kuasa tertentu (rezim atau korporasi).
Suatu tugas dan tanggung jawab intelektual yang hampir mirip dengan apa yang ditulis Noam Chomsky (1966) dalam “The Responsibility of Intellectua”, yaitu intelektual yang berada dalam posisi mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif-motif, serta maksud-maksud yang sering tersembunyi di sana. Makanya, bagi Said kemudian, seorang intelektual harus selalu aktif bergerak dan berbuat. Dengan ketajaman nalarnya, ia harus mampu merepresentasikan dan mengartikulasikan ide emansipatoris dan mencerahkan orang lain.
Kaum intelektual bukanlah kelompok masyarakat yang tidak berakar ataupun pasti terkait dengan suatu kelas atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Intelektual tidak sekedar dipahami sebagai pemikir yang kritis, progresif dan terasing (terpisah) dari masyarakat, atau justeru sebaliknya, intelektual yang bebas dari ikatan sosial dan kecenderungan ideologis tertentu. Karena itu untuk mengetahui pola mobilitas intelektual dan keberadaan kaum intelektual dalam masyarakat, kita dapat menganalisanya berdasarkan lokasi sosial kaum intelektual dari orientasi politiknya.
Intelektulisme Profetik
Peradaban yang berkemanusiaan adalah cita utama kaum intelektualitas, bukan sebuah tatanan sosial yang tak mengindahkan nilai dan estetika kemanusiaan yang beradab. Olehnya itu, pijakannya adalah nilai agama (religious value) . Agama menjadi khas dan karakteristiknya sehingga peradabannya tidak kebablasan. Konstruk peradaban yang humanis dan berbasis nilai adalah sebuah kemestian, namun akan menjadi disorientatif ketika tidak dibangun dengan frame-frame profetik dan kerangka keagamaan (baca; islam).
Intelektualisme profetik adalah konstruk intelektualitas yang berparadigma kerasulan, sebuah frame dan kerangka rasionalitas dalam menafsir realitas untuk berpraksis sosial sebagai bentuk penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan manusia (masyarakat) dari keterpurukan moral, ketidakberdayaan, dan kemiskinan. Namun, tetap dalam bingkai Ilahiyah (nilai transendental) sebagai basis paradigmatinya.
Telah dipahami bersama bahwa nabi dan Rasul yang menghantarkan wahyu dan ajaran Ilahiyah masing-masing mengalirkan titisan teologis yang berkesadaran Ilahiyah (transendental) dan berkemanusiaan (humanis). Nabi Muhammad SAW dengan dakwah tauhid yang kritis, menyadarkan dan mencerahkan, dideklarasikan lebih awal sebagai pijakan paradigmatik ideologis untuk mengkonstruk tatanan sosial. Sebab dakwah tauhid memiliki karater dasar, yaitu;
- Pertama, karakter Ilahiyah. Sehingga apapun perubahan itu senantiasa berawal dari perubahan nilai, yakni nilai agamis yang berkesadaran Ilahiyah (Sang Kreator Tunggal). Perombakan tatanan sosial tersebut adalah revolusi nilai namun tetap bersemangat humanis, menjaga dan menjunjung nilai kemanusiaan karena sesungguhnya nilai Ilahiyah itu adalah nuraninya nilai sosial kemanusiaan dan nuraninya peradaban yang hendak dipancangkan.
- Kedua, Karakter Humanis. Ini bersimbiosis dengan karakter yang pertama dan tidak bisa didikotomikan, namun berintegrasi sebagai satu keutuhan kemanusiaan yang ber-Ilahiyah.
Gerakan perubahan para kaum intelektualis zaman dulu (para Nabi dan Rasul) yang dipancangkan sangat kental dengan karakter humanitas. Perang dan jihad fi Sabilillah yang dikobarkan, bukan sekedar heroisme, bukan pula sebuah bentuk dehumanisasi, tapi malah sebaliknya, sebuah proyek pemanusiaan-humanis yang bernurani. Menurut hemat penulis, bahwa karakter ini adalah persyaratan mutlak. Tidak akan mungkin lahir sebuah peradaban, yakni tatanan sosial yang bernurani jika tidak dilatari dengan basis-basis pengetahuan. Basis pengetahuan adalah khas perubahan, karena kesadaran untuk berubah tidak mungkin diproduk oleh doktrinasi, irasionalitas, dan perbudakan. Rasulullah dengan gerakan revolutifnya sangat kental dengan ilmu yang menghentakkan nurani rasionalismenya manusia kala itu.
Menelaah konteks zaman hari ini, dengan kondisi dunia intelektual yang cenderung paradoks dari pijakan ideologis-filosofis dan humanis sosial perlu sebuah penegasan dan revitalisasi pemaknaan peran dan fungsi intelektualisme yang lebih orientatif, dalam artian bahwa visi perubahan dan visi peradaban mesti terancang secara ideologis dan metodologis sebagaimana konstruk kaum intelektual zaman nabi yang namun tentunya tetap berbasis konteks kekinian. Berkarakter dimaksudkan bahwa nilai Ilahiyah, humanis dan keilmuan adalah prasyarat integral dalam jiwa kaum inteleksi. Inilah yang penulis maksudkan sebagai intelektualisme profetik, berketuhanan, bernas dan berbasis spiriti zaman.
Nurani Intelektualisme
Penerjemahan intelektualitas adalah sebuah kemestian dalam ruang apapun, dalam semua dimensi kehidupan dengan spirit perubahan humanis yang berbasis nilai telah ditorehkan oleh manusia-manusia besar sekaliber para Nabi dan Rasul, termasuk kaum intelektual ternama seperti Noam Chomsky, Julian Benda, Antonio Gramsci, Edward W. Said dan lainnya pada zamannya.
Intelektualisme yang hampa dari agenda humanisasi, sesungguhnya adalah sebuah penghianatan terhadap nurani kemanusiaan, nuraninya intelektualisme.
Nurani kemanusiaan adalah fitrah yang senantiasa berdeklarasi untuk penegakan kebenaran, keadilan, anti pembodohan dan penindasan. Intelektualisme yang bernurani kemanusiaan akan selalu resah dan gelisah atas realitas paradoks dengan keadilan universal, penghianatan terhadap kebenaran, amoral dan seabrek anomali sosial. Namun keresahan itu dijawab dengan praksis sebagai sebuah bentuk interupsi terhadap berbagai penyimpangan sosial yang ada.
Sosok intelektual yang bernurani intelektualisme adalah sosok yang bernurani kemanusiaan. Seorang Antonio Gramsci, walau hidup dalam kemiskinan, namun kecerdasan otaknya dan pengalaman hidupnya membuat Gramsci kerap curiga terhadap realtas. Tubuh yang sakit-sakitan tak membuatnya patah semangat untuk belajar sekaligus menulis risalah-risalah perlawanan. Dengan dedikasi pada kaum buruh, dirinya mulai berubah paham dan pengertian seorang ilmuwan. Bukannya belajar dari teks, tapi Gramsci membalik dengan berangkat dari kenyataan. Karenanya seorang intelektual, menurut Gramsci, adalah pribadi yang berpihak. Baginya, sebuah teori selalu hanya benar sejauh mengungkapkan apa yang sedang dialami oleh kelas yang bersangkutan. Ringkasnya, teori tidak bisa dilepaskan daro praksis.
Prinsip serupa ditorehkan oleh Ali Syariati yang sangat percaya dengan mandate cendekiawan muslim sebagai sosok yang berpihak pada si lemah. Olehnya itu, Syariati sangat menghormati seorang Abu Dzar, sahabat nabi yang hidup dalam kemiskinan dan selalu melakukan kritik pada segala bentuk kemapanan. Bahkan dalam doa sekalipun, syariati menegaskan dorongan untuk berpihak dan terus mengobarkan perlawanan. Bagi Syariati maupun Gramsci, garis hidup seorang intelektual adalah dengan masyarakat yang tertindas. Perjuangan kaum intelektual adalah perjuangan akar rumput, pembelaan dan pemberdayaan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan dan keterpurukan moral. Penolakan terhadap kehidupan yang berada dalam, garis lurus kemapanan apalagi menjadi budak kekuasaan. Sebuah ungakapan Bloody Jack (Jack si Pemberani) “……ingatlah teman-teman, pemberontakan terhadap penindas adalah kepatuhan kepada Tuhan……”
Intelektualisme akan mati digilas oleh keberingasan modernisme yang mengglobal. Hegemoni global tidak akan pernah berkompromi dengan intelektualitas yang bernurani. Oleh karena globalisme pada satu sisi telah terwujud sebagai ideology liberalisme dan kapitalisme yang menghegemonik peradaban manusia, sementara nurani intelektualisme sebagai tonggak peradaban kemanusiaan universal beradan pada titik blok terpisah yang senantiasa melakukan counter hegemony.
Kapitalisme yang berselingkuh dengan liberalisasi politik tengah memancangkan kuku ideologisnya untuk selalu mengangkangi pilar-pilar peradaban. Intelektualisme yang bernurani adalah pilar utama peradaban, sebab nurani intelektualisme senantiasa menancapkan nilai ideologis keutuhan kemanusiaan dan keadilan universal. Penuh dengan nilai dan etika kemanusiaan, mendorong perubahan mendasar untuk kesejahteraan dan keadilan. Sebaliknya, intelektualisme yang tidak bernurani kemanusiaan akan turut bermesraan ”biologis” dengan liberalisme dan kepatalisme hari ini yang tidak ramah terhadap tatanan sosial (Social Order) peradaban.
Tidak suatu masyarakat yang tidak berubah. Sosiologi sangat memperhatikan perubahan social, oleh karena itu banyak teori yang dilahirkan untuk menganalisis tentang perubahan social. Perubahan social merupakan proses yang berkesinambungan, penelaahan mengenai proses tersebut mempunyai perfektif sejarah atau evolusioner. Pada dasarnya teorri tentang perubahan social dapat digolongkan ada dua macam teori linier dan teori siklus. (H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Perubahan social yang terjadi secara terus menerus tetapi perlahan-lahan tanpa direncanakan maka dapat dikatan sebgai uplened social change atau yang disebut sebagai perubahan social yang tak terencana.
Perubahan social yang demikian, disebabkan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Ada juga perubahan social yang direncanakan atau didesaint dan ditetapkan dalam tujuan serta srateginya. Ini merupakan perubahan social planned social change (perubahan social yang terencana. Perubahan social yang terencana dapat dikatan sebagai rekayasa social. Dalam rekayasa social akan diajarkankiat dan strategi dalam mengubah masyarakat.
Sebab sebab perubahan social dalam teori social beragam ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas; berupa pandangan hidup, pandangan idea, dan nilai-nilai. Penganut teori ini penyeabab utama dalam perubahan adalah idea sebagaimana yang dikemukakan oleh Max Weber. Weber banyak menekankan betapa pengaruhnya idea terhadap suatu masyarakat.
Tesis utama weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar terhadap ideology sebagai variable independent dalam perkembangan masyarakat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh nabi perubahan yang dilakukan dengan berdasarkan al Qur’an, sehingga perubahan social yang dilakukan lewat idea al Qur’an. Selanjutnya dalam perubahan dilakukan oleh orang-orang besar, hal ini dapat dilihat perubahan yang tercatat dalam tinta emas sejarah merupakan biografi dari orang-orang besar yang melakukan trnasformasi social. Perubahan dilakukan oleh orang kreatif yang berkumpul menjadi suatu gerakan social yang terlembagakan dalam bentuk lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat. (Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Social)
Pemberlakukan strategi dalam perubahan social dapat dipetakan dengan dua cara pertama dengan masuk kedalam system. Kedua dengan melakukan penyadaran lewat pendidikan. Pertama, perubahan yang masuk kedalam system maka perubahan yang terjadi revolusioner dam memiliki dampak menyeluruh. Perubahan terjadi dari tingkatan atas sampai tingkatan bawah, perubahan dilakukan dengan menggunakan kebijakan dan bersifat instruktif. Perubahan ini tercapai lewat jalur partai politik yang menjadi jalur dalam memasuki system Negara yang mengeluarkan kebijakan dalam melakukan perubahan. Sedangkan perubahan yang dilakukan dengan penyadaran lewat lembaga pendidikan baik yang dilakukan oleh LSM ataupun lembaga yang bersifat transformative.
Perubahan dilakukan dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat dengan cara mereka terjun secara langsung pada msyarakat dan ini bersifat partisipatoris dan transformative. Masyarakat diajak untuk melakukan refleksi tentang realitas kehidupannya, dan diajak untuk bersikap kritis terhadap kehidupan yang dialami bersama. Perubahan ini bersifat lambat dan dilakukan oleh orang yang peduli terhadap kehidupan social dan biasanya lemabaga itu, menangani dalam permasalahan (bidang) tertentu yang spesifik. Hasil dari perubahan sulit untuk dirasakan dikarenakan ia menyentuh krangka berfikir agar dapat mandiri dan tidak memiliki ketrgantungan.
Transformasi dalam istilah antropologi ataupun sosiologi memiliki makna tentang perubahan yang mendalam sampai pada perubahan nilai dan cultural. Bersamaan, dengan proses terjadainya transformasi, terjadi pula proses adaptasi, adopsi atau seleksi terhadap kebudayaan lain.
Menurut Neong Muhadjir pengertian tersebut merupakan hasil pengamatan ats sejarah dan bagian dari ideology yang berkembang. Misalkan ideology kapitalis menitik beratkan dengan penumpukan capital (modal atau harta ) yang bersifat individual. Sementara kapitalisme menitik beratkan pada konflik antara borjuis-proletariat sebagai strategi dalam melakukan perjuangan. Semua filsafat social dan ideology memiliki pertanyaan pokok yang menjadi kepentingan manusia. Pertanyaan tersebut yakni bagaimana cara mengubah masyarakat dari kondisi sekarang ke tatanan yang lebih ideal.
Selanjutnya orang atau institusi yang mengelaborasi pertanyaan tersebut dapat menghasilkan teori-teori social, memiliki fungsi menjelaskan kondisi masyarakat secara empiris, pada masa kini dan sekaligus memberikan wawasan tentang perubahan dan transformasinya.
Transformasi yang terutama perubahan prilaku dapat lahir dari sebuah proses perubahan kesadaran dari individu yang terdapat dalam masyarakat, yakni kesadaran mengubah pemahaman, cara pandang, interpretasi dan aksinya. Untuk pemahaman lebih lanjut, maka akan dibahas perubahan social pada tokoh awal yang mempeloporinya diantaranya Durkeim, Weber, dan Marx.
Referensi:
http://www.imm.or.id/berita-topmenu-191/19-berita-muktamar/80-bazar-muktamar.html
http://www.imm.or.id/berita-topmenu-191/19-berita-muktamar/80-bazar-muktamar.html
http://profetik.wordpress.com/2007/09/07/filsafat-manusia-siapakah-manusia/

BAHAYA ZINA DAN JENISNYA BESERTA HADITSNYA

BAHAYA ZINA
خطورة الزنا " مقتبس من كتاب "الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي"

IBNU QAYYIM AL JAUZIYAH
ابن قيم الجوزية

Penerjemah : TIM DAARUL HAQ- JAKARTA
ترجمة: اللجنة العلمية لدار الحق- جاكرتا
Murajaah :
MUHAMMADUN ABD HAMID, MA
DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
BAKRUN SYAFI'I, MA
ERWANDI TARMIZI
Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 2007
DAFTAR ISI
Pendahuluan …………….…………. 4
Bahaya Zina …………………. 4
Empat Pintu Masuk Maksiat Menuju Manusia 11
1- Al Lahazhat ( Lirikan Mata ) 11
2- Al Khatharat ( Pikiran Yang Terlintas ) 18
3- Al Lafazhat ( Ungkapan Kata Kata ) 32
4- Al Khuthuwat ( Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan) 43
Zina Disetarakan Dengan Kufur Dan Membunuh. 46
Pengkhususan hukum zina dengan tiga hal 52
Pelaku maksiat dikhawatirkan akan mati su’ul khatimah 59



Pendahuluan
الْحَمْدُ لِهَِ’u رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ  وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ؛
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya “Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘an Ad Dawaa’ Asy Syafi”, mengungkapkan tentang:
Bahaya Zina
Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kesucian istri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan.
Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu setingkat di bawah pembunuhan. Oleh karena itu, Allah  menggandeng keduanya di dalam Al-Qur’an, juga Rasulullah  dalam keterangan hadits beliau.
Al Imam Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan pengharaman zina dalam firman-Nya:
      •    •           •                
“Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang orang yang bertaubat ” (QS. Al Furqan, 68 –7 ).
Dalam ayat tersebut, Allah  menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan hukumannya kekal dalam azab yang berat dan dilipat gandakan, selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal shalih.
Allah  berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32).
Di sini Allah  menjelaskan tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah” maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui kekejiannya oleh setiap orang yang berakal, bahkan oleh sebagian banyak binatang.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Amru bin Maimun Al Audi, ia berkata, “Aku pernah melihat – pada masa jahiliyah – seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina, lalu datanglah kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati.”
Kemudian Allah  juga memberitahukan bahwa zina adalah seburuk-buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab di akhirat.
Dan karena menikahi bekas istri-istri ayah termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali, sehingga Allah  secara khusus memberikan “cela” tambahan bagi orang yang melakukannya.
Allah  berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk menikahi bekas istri-istri ayah mereka, pent.):

“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa’: 22).
Allah  juga mensyaratkan keberuntungan seorang hamba pada kemampuannya dalam menjaga kesuciannya, tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan menjaga kesucian.
Allah  berfirman:
                   •          •            •     
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 1 – 7 ).
Dalam ayat-ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan:
Pertama: bahwa orang yang tidak menjaga kemaluannya, tidak termasuk orang yang beruntung.
Kedua: dia termasuk orang yang tercela.
Ketiga: dia termasuk orang yang melampaui batas.
Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak mendapat predikat “melampaui batas”, dan jatuh pada tindakan yang membuatnya tercela. Padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan ketimbang menanggung sebagian akibat yang disebutkan tadi.
Selain itu pula, Allah  telah menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah, tidak sabar dan tidak mampu mengendalikan diri saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan dia menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh. Begitulah tabiat manusia, kecuali orang-orang yang memang dikecualikan dari hamba-hamba-Nya yang sukses, diantaranya adalah mereka yang disebut di dalam firman-Nya:
        •            •    
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29 – 31).
Oleh karenanya, Allah  memerintahkan Nabi-Nya  untuk memerintahkan orang-orang mu’min agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka, juga diberitahukan kepada mereka bahwa Allah  selalu menyaksikan dan memperhatikan amal perbuatan mereka.

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(QS. Ghafir: 19).
Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang keji ini tumbuh dari pandangan mata, maka Allah  lebih mendahulukan perintah memalingkan pandangan mata sebelum perintah menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang berasal dari pandangan; seperti kobaran api yang besar berasal dari bunga api. Mulanya hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata, kemudian tindak kejahatan besar (zina).
Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al Lahazhat (pandangan mata), Al Khatharat (pikiran yang terlintas di hati), Al Lafazhat (ucapan), Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).
Dan seyogyanya, seorang hamba Allah menjadi penjaga empat pintu di atas dengan penuh siap siaga agar tidak kecolongan, sebab dari sana musuh menyusup, menyerang dan merasuk kedalam dirinya dan merusak segalanya.


EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT MENUJU MANUSIA

Umumnya maksiat menyerang seorang hamba, melalui empat pintu yang telah disebutkan di atas.
Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang empat pintu tersebut, di bawah ini:
1- Al Lahazhat (Pandangan Mata).
Lirikan adalah pelopor, atau "utusan" syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan modal dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kebinasaan.
Rasulullah  bersabda:
(( لاَ تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّمَا لَكَ الأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأُخْرَى ))
“Janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.” (HR. At Turmudzi, hadits hasan gharib).
Di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah  , beliau bersabda:
(( النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ لله أَوْرَثَ الله قَلْبَهُ حَلاَوَةً إِلىَ يَوْمِ يَلْقَاهُ ))
“Pandangan itu adalah anak panah beracun milik iblis. Maka barang siapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kenikmatan hingga hari kiamat.” (HR. Ahmad).
Beliau juga bersabda:
(( غُضُّوْا أَبْصَارَكُمْ وَاحْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ ))
“Palingkanlah pandangan kalian, dan jagalah kemaluan kalian.” (HR. At Thabrani dalam Al mu’jam al kabir).
Dalam hadits lain beliau bersabda:
(( إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلىَ الطُّرُقَاتِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ الله, مَجَالِسُنَا، مَا لَنَا بُدٌّ مِنْهَا. قَالَ: فَإِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْنَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ، قَالُوْا: وَمَا حَقَّهُ؟ قَالَ: غَضُّ البَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ ))
“Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir) jalan”, mereka berkata, “ya Rasulallah, tempat-tempat duduk kami pasti di pinggir jalan”, beliau bersabda, “Jika kalian memang harus melakukannya, maka berikan hak jalan”, mereka bertanya, “Apa hak jalan itu? beliau menjawab, “Memalingkan pandangan (dari hal-hal yang dilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan, dan menjawab salam.” (HR. Muslim).
Pandangan adalah pangkal petaka yang menimpa manusia. Sebab, pandangan akan melahirkan lintasan dalam hati, kemudian lintasan akan melahirkan pikiran, dan pikiran akan melahirkan syahwat, dan syahwat membangkitkan keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat, dan berubah menjadi tekad yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya.
Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan mata (bebannya) lebih ringan dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya.”
Seorang pujangga berperi:
كُلُّ الحَوَادِثِ مَبْـدَاهَا مِن النَّظَرِ
وَمُعْظَمُ النَّارِ مِنْ مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ
كَمْ نَظْرَةً بَلَغَتْ مِنْ قَلْبِ صَاحِبِها
كَمَبْلَغِ السَّهْمِ بَيْنَ القَوْسِ وَالوَبَرِ
وَالعَبْدُ مَا دَامَ ذَا طَرَفٍ يُقَلِّبُـه
فِيْ أَعْيُنِ الغَيْرِ مَوْقُوْفٌ عَلىَ الخَطَرِ
يَسُرّ مُقْلَتَـه مَا ضَرَّ مِهْجَتَـه
لاَ مَرْحَبـًا بِسُرُوْرٍ عَادَ بِالضَّرَرِ
Setiap petaka bermula dari lirikan
laksana kobaran api berasal dari bunganya yang kecil.
Betapa banyak lirikan menembus hati tuannya
seperti anak panah mengenai sasaran, melesat dari busur dan senarnya.
Seorang hamba, selama dia masih mempunyai kelopak mata yang mengedip orang lain
maka dia berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan.
(Dia memandang hal-hal yang) menyenangkan matanya, tapi membahayakan jiwanya
maka janganlah kau sambut kesenangan yang membawa petaka.

Di antara bahaya pandangan
Pandangan yang dilepaskan begitu saja itu akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati panas terasa disulut. Terkadang mata seorang hamba melihat sesuatu, yang dia tidak sanggup menahan diri, membendung keinginan, namun tak kuasa mewujudkan keinginannya, tentu jiwanya sangat tersiksa; dapat melihat namun tak kuasa menjamahnya.
Seorang penyair berkata:
وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَائِدًا
لَقَلْبُـكَ يَوْمًا أَتْعَبَـتْكَ المَنَاظِرُ
رَأَيْتَ الذِيْ لاَ كُلَّـهُ أَنْتَ قَادِرُ
عَلَيْهِ وَلاَ عَنْ بَعْضِـهِ أَنْتَ صَابِرُ
Bila -suatu hari– engkau lepaskan pandangan matamu menuntun hatimu
niscaya apa yang dipandangnya akan melelahkan (menyiksa) dirimu sendiri.
Engkau melihat sesuatu yang engkau tidak mampu mewujudkannya secara keseluruhan
dan engkau juga tak kuasa menahan diri untuk tidak melihat (walau hanya) sebagian saja.
Lebih jelasnya, maksud bait syair di atas: engkau akan melihat sesuatu yang engkau tidak sabar untuk tidak melihatnya walaupun sedikit, namun saat itu juga engkau tidak mampu untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya sedikit.
Betapa banyak orang yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, akhirnya dia binasa karena pandangan itu sendiri. Seperti gubahan seorang pujangga:
يَا نَاظِرًا مَا أَقْلَعَت لَحَظَاتُـه  حَتَّى تَشَحَّطَ بَيْنَهُنَّ قَتِيْـلاً
Wahai orang yang suka melirik, matamu tak akan usai jelalatan
Hingga engkau jatuh bersimbah darah di antara lirikan matamu.
Ada untaian bait lain yang mengatakan:
مَلَّ السَّلاَمَةَ فَاغْتَدَتْ لَحَظَاتُـهُ  وَقْفًا عَلَى طَلَلٍ يَظُنُّ جَمِيْلاً
مَا زَالَ يَتْبَـعُ إِثْرَه لَحَـظَاتِـه  حَتَّى تَشَحَّطَ بَيْنَهُـنَّ قَتِيْلاً
Jemu sudah dia selamat, lalu ia biarkan matanya jelalat,
Berdiri di tempat tinggi menyaksikan segala yang diduganya indah.
Begitulah, dia terus larut, lirikan demi lirikan
hingga akhirnya jatuh bersimbah darah terbunuh di antara lirikan matanya.
Sungguh aneh, pandangan merupakan anak panah yang tidak pernah mengena sasaran yang dipandang, sementara anak panah itu benar-benar mengena hati orang yang memandang.
Ada untaian bait syair yang mengatakan:
يَا رَامِيًا سِهَامَ اللَّحَـظِ مُجْتَهِـدًا
أَنْتَ الْقَتِيْـلُ بِمَا تَرْمِيْ فَلاَ تُصِبِ
وَبَاعِثَ الطَّرْفِ يَرْتَادُ الشِّفَاءَ لَـهُ
احْبِسْ رَسُوْلَكَ لاَ يَأْتِيْكَ بِالْعَطَبِ
Wahai orang yang sungguh-sungguh melepas anak panah lirikannya,
engkaulah sebenarnya yang terbunuh oleh anak panah yang engkau lepaskan, ia tidak mengenai sasaran yang engkau tuju.
Orang yang melepas pandangan akan kehilangan kesehatannya.
tahanlah pandanganmu, agar tidak mendatangkan petaka bagimu.
Suatu hal yang lebih mengherankan lagi, bahwa satu lirikan dapat melukai hati dan (dengan lirikan kedua) berarti dia menoreh luka baru di atas luka lama; namun ternyata perihnya luka-luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus-menerus melukainya.
مَا زِلْتَ تُتْبِعُ نَظْـرَةً فِي نَظْـرَةٍ  فِي إِثْرِ كُـلِّ مَلِيْحَـةٍ وَمَلِيْـحٍ
وَتَظُنُّ ذَاكَ دَوَاءَ جُرْحِكَ وَهْوَ فِي الـتَّحْقِيْقِ تَجْرِيْحٌ عَلىَ تَجْرِيْحٍ
فَذَبَحْتَ طَرْفَكَ بِاللِّحَاظِ وَبِالْبُكَاءِ  فَالقَلْبُ مِنْكَ ذَبِيْـحٌ أَيُّ ذَبِيْحٍ
Kau senantiasa melirik satu demi satu,
menguntit (wanita) cantik dan (pria) tampan.
Kau kira dapat menawar luka (syahwat)mu,
Sesungguhnya engkau menoreh luka di atas luka.
Kau sembelih matamu dengan (pisau) lirikan dan tangisan,
hatimu juga tersembelih sejadinya.
Oleh karena itu dikatakan, “sesungguhnya menahan pandangan mata lebih mudah dari pada menahan penyesalan berkepanjangan.”

2- Al Khatharat (Pikiran Yang Terlintas Di Hati).
Adapun “Al Khatharat” (pikiran yang terlintas di hati) maka urusannya lebih rumit. Di sinilah tempat bermulanya aktifitas, yang baik ataupun buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah menjadi tekad yang bulat.
Maka siapa yang mampu mengendalikan pikiran-pikiran yang melintas di hatinya, niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikirannya, maka hawa nafsunya yang berbalik menguasainya. Dan barang siapa yang menganggap remeh pikiran-pikiran yang melintas di hatinya, maka ia akan diseret menuju diseret menuju kebinasaan secara paksa.
Pikiran-pikiran itu akan terus melintas di hati seseorang, sehingga akhirnya dia akan menjadi angan-angan tanpa makna (palsu).
                        
“Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila ia mendatanginya maka ia tidak mendapatkannya walau sedikitpun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisi-Nya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amalnya dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An Nur: 39).
Orang yang paling nista cita-citanya dan paling hina jiwanya adalah orang yang merasa puas dengan angan-angan semu. Dia genggam angan-angan itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga dan senang dengannya. Padahal demi Allah, angan-angan itu adalah modal orang-orang yang pailit, dan barang dagangan para pengangguran serta merupakan makanan pokok jiwa yang hampa, yang bisa merasa puas dengan bayangan dalam hayalan, dan angan-angan palsu.
Seperti dikatakan oleh seorang penyair:
أَمَانِي مِنْ سُعْدَى رَوَّاء عَلَى الظَّمَا
سَقَتْنَا بِهَا سُعْدَى عَلَى ظَمَـٍأ بَرْدًا
مُنَى إِنْ تَكُنْ حَقًّا تَكُنْ أَحْسَنَ الْمُنَى
وَإِلاَّ فَقَدْ عِشْنَا بِهَا زَمَنًا رَغَـدًا
Angan-angan mengenang su’da, melepas dahaga.
Dengan angan-angan itu Su’da menuangi kami air dingin di kala haus.
Angan-angan yang sekiranya menjadi kenyataan, tentu menjadi kebahagiaan,
kalaupun tidak, sungguh kami telah hidup senang beberapa waktu dalam angan-angan itu.
Angan-angan adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi manusia. Dia melahirkan sikap ketidak-berdayaan sekaligus kemalasan, dan melahirkan sikap lalai, penderitaan dan penyesalan. Orang yang suka berkhayal saat tak kuasa menjamah realita –sebagai pelampiasannya, maka dia merubah gambaran realita yang dia inginkan ke dalam hatinya; dia mendekap dan memeluknya. Selanjutnya dia akan merasa puas dengan gambaran-gambaran palsu yang dikhayalkan oleh pikirannya.
Padahal itu semua, sedikitpun tidak berfaedah, seperti orang yang sedang lapar dan dahaga, membayangkan sedang makan dan minum, padahal dia tidak sedang makan dan minum.
Perasaan tenang dan puas dengan kondisi semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya, menunjukkan kerendahan dan kedinaan jiwa seseorang, sebab kemuliaan jiwa seseorang, kebersihan, kesucian dan ketinggiannya dicapai, tidak lain adalah dengan cara menyingkirkan setiap khayalan yang jauh dari realita, dan dia tidak rela bila hal-hal tersebut sampai melintas di benaknya, serta dia juga tidak sudi hal itu terjadi pada dirinya.
Kemudian “khatharat” pikiran yang melintas di hati itu terbagi banyak macam, namun pada pokoknya ada empat:
1- Pikiran yang mengarah untuk mencari keuntungan dunia / materi.
2- Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian dunia/ materi.
3- Pikiran yang mengarah untuk mencari kemaslahatan akhirat.
4- Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian akhirat.
Semestinya, seorang hamba menjadikan pikiran-pikiran dan keinginannya hanya berkisar pada empat macam di atas. Bila semua bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya untuk yang lain. Kalau ternyata pikiran-pikiran yang datang itu banyak dan bertumpang tindih, maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih penting, yang dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk itu, kemudian mengakhirkan yang tidak terlalu penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk itu.
Tinggallah sekarang dua bagian lagi, yaitu:
Pertama: yang penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Kedua: yang tidak penting, namun dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Dua bagian ini sama-sama mempunyai alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir sikap ragu dan bimbang untuk memilih. Bila dia dahulukan yang penting, dia khawatir akan kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan sesuatu yang penting. Begitulah terkadang seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mungkin dipadukan menjadi satu, yang mana salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan mengorbankan yang lain.
Di sinilah akal, bijak dan pengetahuan itu berperan. Di sini akan diketahui siapa orang yang tinggi, siapa orang yang sukses, dan siapa orang yang merugi. Kebanyakan orang yang mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan anda lihat dia mengorbankan sesuatu yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan untuk itu, demi melakukan sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan anda tidak akan menemukan seorangpun yang selamat (dan terlepas) dari hal seperti itu. Hanya saja ada yang jarang dan ada pula yang sering menghadapinya.
Dan sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai penentu pilihan dalam masalah ini adalah sebuah kaidah agung dan mendasar yang merupakan poros berputarnya aturan-aturan syar’iyyah dan kauniyah, dan juga pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan. Kaidah itu adalah: mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi dalam dua pilihan yang ada – walaupun harus mengorbankan kemaslahatan yang lebih kecil – kemudian kaidah itu pula yang menyatakan bahwa kita memilih kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah terjadinya mudharat yang lebih besar.
Jadi, sebuah kemaslahatan akan dikorbankan dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar, begitu pula sebuah kemudharatan akan dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.
Pikiran-pikiran serta ide-ide orang yang berakal itu tidak akan keluar dari apa yang telah kita jelaskan di atas. Dan itu misi syariat atau aturan yang dibawa. Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu didasarkan pada hal-hal tersebut. Dan pikiran-pikiran serta ide-ide yang paling tinggi, paling mulia dan paling bermanfaat ialah yang bertujuan untuk Allah  dan kebahagiaan di alam akhirat nanti.
Kemudian pikiran yang bertujuan adalah untuk Allah ini bermacam macam:
Pertama: memikirkan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dan berusaha untuk memahami maksud Allah dari ayat-ayat tersebut; dan memang untuk itulah Allah menurunkannya; tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, tetapi membaca hanya sarana saja.
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an untuk diamalkan, maka jadikanlah membaca Al Qur’an itu (sarana) untuk beramal.”
Kedua: memikirkan dan merenungi ayat- ayat atau tanda-tanda kebesaran-Nya yang dapat dilihat langsung; dan menjadikannya sebagai bukti akan asma` Allah, sifat-sifat, hikmah, kebaikan dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya, memikirkan dan memahaminya; Allah menegur dan mencela orang yang melalaikannya.
Ketiga: memikirkan ni’mat, kebaikan dan berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada seluruh makhluk-Nya, dan merenungi keluasan rahmat, ampunan dan kasih saying-Nya.
Tiga hal di atas dapat membangkitkan –di hati seorang hamba– ma’rifatullah (mengenal Allah), kecintaan serta perasaan cemas dan harap kepada-Nya. Dan bila tiga hal tadi senantiasa dilakukan, disertai dengan dzikir kepada Allah, maka hati seorang hamba akan diwarnai secara sempurna dengan ma’rifah dan cinta kepada-Nya.
Keempat: memikirkan aib, cela dan kelemahan yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal ini memberikan faedah yang sangat besar, pintu utama setiap kebajikan, ia berdampak mematahkan nafsu amarah (hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukkan). Bila nafsu amarah telah patah, tentu nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan hidup, bangkit dan menjadi penentu segala keputusan. Selanjutnya hati menjadi hidup dan kebijakannya didengar diseluruh penjuru, dia perintahkan para ajudan dan prajuritnya untuk melakukan hal yang membawa kemaslahatanya.
Kelima: memikirkan kewajiban terhadap waktu sekaligus bagaimana cara menggunakannya, serta menumpahkan seluruh perhatian guna pemanfaatan waktu. Seorang yang arif, adalah anak zaman, karena dia yakin, bila waktunya disia-siakan, berarti dia telah menyia-nyiakan seluruh kemaslahatannya. Sebab, seluruh kemaslahatan bertumpu pada waktu, bila diabaikan, dia tidak akan terulang kembali untuk selamanya.
Al Imam Asy Syafi’i berkata, “aku pernah berteman dengan orang-orang sufi dan aku tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat saja:
Pertama:
الوَقْتُ سَيْفٌ، فَإِنْ قَطَعْتَهُ وَإِلاَّ قَطَعَكَ
“Waktu itu laksana pedang, bila engkau tidak (menggunakannya untuk) menebas, dialah yang akan menebas (leher)mu.”
Kedua:
وَنَفْسُكَ إِنْ لَمْ تُشْغِلْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ شَغلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Dan dirimu, bila tidak engkau sibukkan dengan kebenaran, maka dialah yang akan menyibukkanmu dengan kebathilan.”
Waktu yang dimiliki manusia, adalah umurnya yang hakiki. Waktu juga modal utama untuk kehidupan nan abadi dalam kenikmatan yang kekal, di lain sisi juga modal untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang pedih. Waktu berlalu lebih cepat dari pada awan berarak. Maka, barang siapa yang berhasil menjadikan waktunya untuk Allah dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya yang sejati. Dan waktu yang tidak digunakan untuk Allah tidaklah dihitung sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia hidup tapi kehidupannya laksana kehidupan binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan waktunya penuh dengan kelalaian, syahwat dan angan-angan hampa atau waktunya yang paling banyak digunakan untuk tidur dan leha-leha, maka bagi orang semacam ini "mati" lebih baik dari pada hidup.
Bila seorang hamba –yang sedang melakukan shalat– tidak akan mendapatkan pahala shalatnya selain pada bagian shalat yang dia lakukan dengan khusyu`, begitu juga dengan umur, yang sesungguhnya adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan bersama Allah.
Pikiran-pikiran yang tidak termasuk salah satu bagian di atas, dapat dikatagorikan sebagai was-was syaithaniyah (bisikan syaitan), angan-angan kosong atau halusinasi bohong, seperti pikiran-pikiran orang yang tidak waras, baik karena mabuk atau terbius, kesurupan dan lain sebagainya. Dimana ketika segala hakikat kenyataan itu tampak, kondisi mereka saat itu mengatakan:
إِنْ كَانَ مَنْزِلَتِيْ فِي الحَشْرِ عِنْدَكُممَا قَدْ لَقِيْتَ فَقَدْ ضَيَّعْتَ أَيَّامِيْ
أُمْنِيَةٌ ظَفَرَتْ نَفْسِيْ بِـهَا زَمَنـًا  وَاليَوْم أحْسِبُهَا أَضْغَاثَ أَحْلاَمِ
Bila kedudukanku, saat dikumpulkan bersama kalian,
seperti apa yang telah aku temui sendiri (sekarang ini), maka sungguh aku telah menyia-nyiakan hari-hariku.
Angan-angan itu telah menguasai jiwaku dalam waktu lama,
dan hari ini, aku menganggapnya hanya sebagai kembang tidur.
Ketahuilah, sebenarnya pikiran-pikiran yang melintas itu tidaklah membahayakan, namun yang bahaya bila pikiran-pikiran itu sengaja didatangkan dan terjadi interaksi dengannya. Pikiran yang melintas laksana orang lewat di suatu jalan, bila anda tidak memanggilnya dan anda biarkan dia, maka dia akan berlalu meninggalkan anda. Namun bila anda memanggilnya, anda akan terpesona dengan percakapan, dan tipuannya. Tindakan ini akan terasa begitu ringan bagi jiwa yang kosong, penuh kebatilan, dan begitu berat dirasa oleh hati dan jiwa yang suci lagi tenang.
Allah  telah memasang dua macam nafsu pada diri manusia; nafsu amarah dan nafsu muthmainnah, yang kedua-duanya saling bertolak-belakang. Segala sesuatu yang terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa berat oleh yang lain.
Apa yang dirasa nikmat oleh yang satu, maka akan dirasa siksa oleh yang lain. Tak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu amarah melebihi perbuatan yang dilakukan karena Allah dan mendahulukan keridhaan-Nya dari pada hawa nafsu, padahal tidak ada amal yang lebih bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu pula, tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu muthmainnah dari perbuatan yang bukan untuk Allah dan mengikuti kehendak hawa nafsu. Padahal tidak ada amal yang lebih berbahaya baginya dari amal tersebut.
Dalam hal ini, malaikat itu berada disamping kanan hati manusia, sementara syaitan disamping kirinya. Dan perseteruan antara keduanya tidak akan pernah berhenti hingga waktu yang ditentukan (oleh Allah) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan akan berpihak kepada syaitan dan nafsu amarah, sementara semua macam kebenaran akan berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah. Dalam perseteruan ini kalah dan menang datang silih-berganti. Dan kemenangan ada bersama kesabaran.
Maka barang siapa yang benar-benar bersabar, berusaha keras dan bertakwa kepada Allah, niscaya baginya balasan yang baik, di dunia dan di akhirat nanti. Dan Allah telah menetapkan sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah selamanya, bahwa balasan baik untuk ketakwaan, dan pahala untuk mereka yang bertakwa.
Hati laksana papan ukiran, dan pikiran-pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir di atasnya. Maka, sangat tidak pantas seorang yang berakal mengukir papannya hanya dengan dusta, tipu daya, angan-angan dan fatamorgana yang tidak ada realitanya, hikmah, ilmu dan hidayah tak mungkin dapat dipahatkan bersama ornament tersebut. Apabila hikmah, ilmu dan hidayah ingin dipahatkan pada papan hatinya, maka tak ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat di sebuah lembaran yang sudah dipenuhi tulisan yang tidak berguna. Bila hati tidak dikosongkan dari pikiran-pikiran kotor, maka pikiran-pikiran positif yang bermanfaat tidak akan dapat menetap di dalamnya, karena memang, dia tidak dapat menghuni kecuali tempat yang kosong, seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair:
أَتَانِيْ هَوَاهَا قَبْلَ أَنْ أَعْرِفَ الهَوَى  فَصَادَفَ قَلْبًا فَارِغًا فَتَمَكَّنَا
Cintanya telah memanahku sebelum aku mengenal cinta,
Panah asmaranya mengenai hati yang kosong, lalu bersarang.
Olah jiwa di atas banyak dilakukan oleh orang-orang tasawuf, mereka membangun kepribadian mereka dengan cara menjaga hati dari pikiran-pikiran yang melintas, mereka tidak memberikan kesempatan kepada pikiran-pikiran tersebut untuk masuk ke dalam hati, saat hati dalam keadaan kosong, maka dapat melakukan kasyaf (menyingkap rahasia) dan menerima hakikat-hakikat yang bermakna tinggi di dalamnya.
Mereka itu menjaga diri dari satu hal, tetapi membiarkan kehilangan banyak hal yang lain, sebab mereka mengosongkan hati dari lintasan-lintasan pikiran sehingga benar-benar kosong dari segala sesuatu, tidak ada apa-apa di dalamnya, maka syaitan memanfaatkan kondisi hati yang kosong ini, ia menabur benih kebatilan di hati tersebut dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang paling tinggi dan paling mulia, syaitan meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis pikiran-pikiran yang merupakan bahan dasar ilmu pengetahuan dan hidayah.
Apabila hati itu sudah kosong dari berbagai macam pikiran, maka syaitan datang dan menemukan tempat yang kosong untuknya. Syaitan akan berusaha untuk mengisinya dengan hal-hal sesuai dengan kondisi pemilik hati tersebut. Bila syaitan tidak berhasil mengisinya dengan pikiran-pikiran nista maka ia mengisinya dengan keinginan melepaskan diri dari keinginan-keinginan – yang sebenarnya – tidak ada kebaikan dan kesuksesan bagi seorang hamba kecuali bila keinginan keinginan tersebut berhasil menguasai hatinya, yaitu: mengosongkannya dari keinginan untuk mengikuti perintah-perintah tersebut secara rinci untuk kemudian melaksanakannya di masyarakat, lalu berusaha menyampaikannya kepada orang-orang dengan harapan mereka juga mau melaksanakannya. Dalam hal ini, syaitan akan berusaha menyesatkan orang yang mempunyai keinginan demikian dengan mengajak untuk meninggalkan keinginan baik tersebut dan melepaskannya, tidak usah memikirkan dunia dan masyarakat di sekitar dengan alasan zuhud.
Syaitan akan membisikkan kepada mereka bahwa kesempurnaan itu dapat mereka capai dengan cara melepaskan diri dan mengosongkan hati dari semua hal itu. Sungguh amat jauh ungkapan tersebut dari kebenenaran, karena kesempurnaan itu hanya dapat diperoleh bila hati itu penuh terisi dengan keinginan dan pikiran yang baik, serta usaha untuk merealisasikannya. Maka, manusia yang paling sempurna adalah mereka yang paling banyak memiliki pikiran dan keinginan untuk tunduk kepada perintah Allah, mencari keridhaan-Nya. Sebagaimana manusia yang paling hina adalah mereka yang paling banyak memiliki keinginan dan pikiran untuk memenuhi hawa nafsunya dimana saja dia berada. Wallahul musta’an (dan Allah-lah tempat mohon pertolongan).
Lihatlah Umar bin Khathab , pikirannya penuh dengan keinginan dalam mencari keridhaan Allah, barangkali dia dalam keadaan shalat, namun saat itu dia juga sedang mempersiapkan tentaranya (untuk jihad), dengan demikian dia telah memadukan antara jihad dan shalat, sehingga beberapa ibadah dipadukan dalam satu ibadah.
Ini adalah hal yang mulia dan agung, yang tidak diketahui kecuali oleh mereka yang mempunyai keinginan yang benar-benar kuat, dan pandai mencari, luas ilmunya serta tinggi cita-citanya, dimana dia melaksanakan satu ibadah namun dia memperoleh pahala lebih dari satu ibadah, itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.

3 – Al Lafazhat (Ungkapan Kata-Kata).
Adapun tentang Al Lafazhat (ungkapan kata-kata), maka cara menjaganya adalah dengan mencegah keluarnya kata-kata atau ucapan yang tidak bermanfaat dari lidahnya. Dengan cara tidak berbicara kecuali dalam hal yang diharapkan bisa memberikan keuntungan dan tambahan agama. Bila ingin berbicara, hendaklah seseorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan keuntungannya atau tidak? Bila tidak menguntungkan, tahan lidah agar tidak berbicara, dan bila diperkirakan ada keuntungannya, lihat lagi, apakah ada kata-kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata-kata tersebut? Bila memang ada, maka janganlah sia-siakan.
Bila anda ingin mengetahui kondisi hati seseorang, maka lihatlah ucapan lidahnya, suka ataupun tidak suka, ucapan itu akan menjelaskan kepada anda apa yang ada dalam hati seseorang.
Yahya bin Mu’adz berkata, "hati itu laksana panci yang sedang menggodok isinya, dan lidah bagaikan gayungnya, maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin, dan sebagainya. Ia menjelaskan kepada anda bagaimana “rasa” hatinya, melalui ucapan lidahnya, artinya: sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada dalam panci itu dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya, anda dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya dengan lidahnya, sebagaimana anda juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.
Dalam hadits Anas  yang marfu’, Nabi  bersabda:
(( لاَ يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُهُ ))
“Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga hatinya beristiqamah (lebih dahulu), dan hati dia tidak akan istiqamah sehingga lidahnya istiqamah (lebih dahulu).”
Nabi Muhammad  pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan”. (HR. Turmudzi, dan ia berkata, hadits ini hasan shahih).
Sahabat Mu’adz bin Jabal  pernah bertanya kepada Nabi  tentang apa amal yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari api neraka? Lalu Nabi memberitahukan tentang pokok, tiang dan puncak yang paling tinggi dari amal tersebut, setelah itu beliau bersabda:
(( أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قَالَ: بَلىَ يَا رَسُوْلَ الله، فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقَالَ : وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِد أَلْسِنَتِهِمْ ))
“Bagaimana kalau aku beritahu pada kalian inti dari semua itu? dia berkata,"ya, wahai Rasulallah," lalu Nabi  memegang lidah beliau sendiri kemudian bersabda, “jagalah olehmu yang satu ini”, maka Mu’adz berkata,"adakah kita disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan ?, beliau menjawab, “Duhai, malang nian engkau, wahai Mu’adz! Bukankah yang menyungkurkan banyak manusia di atas wajah mereka (ke Neraka) karena hasil (ucapan) lidah mereka?” (HR. Turmudzi, dan ia berkata,"hadits hasan shahih").
Dan yang paling mengherankan bahwa banyak orang yang merasa mudah menjaga dirinya dari makanan yang haram, perbuatan aniaya, zina, mencuri, minum-minuman keras serta melihat hal-hal yang diharamkan dan lain sebagainya, namun merasa kesulitan dalam mengawasi gerak lidahnya, sampai-sampai orang yang dikenal punya pemahaman agama, dikenal dengan kezuhudan dan kekhusyu’an ibadahnya, juga masih mengucapkan kata-kata yang dapat mengundang kemurkaan Allah , tanpa dia sadari bahwa satu kata saja dari apa yang dia ucapkan dapat menjauhkannya (dari Allah dengan jarak) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Dan betapa banyak anda lihat orang yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan kotor dan aniaya, namun lidahnya tetap saja membicarakan aib orang-orang, baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup, dan dia tidak memperdulikan ucapannya.
Untuk mengetahui hal itu, perhatikanlah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, dari Jundub bin Abdillah , bahwa Rasulullah  bersabda:
(( قَالَ رَجُلٌ: وَالله لاَ يَغْفِرُ الله لِفُلاَنٍ، فَقَالَ الله : مَنْ ذَا الَّذِيْ يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنِّيْ لاَ أَغْفِرُ لِفُلاَنٍ؟ قَدْ غَفَرْتُ لَهُ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ ))
“Ada seorang laki laki yang mengatakan, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan itu", maka Allah berfirman,“Siapa orang yang bersumpah bahwa aku tidak akan mengampuni si Fulan? sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalmu.”
Lihatlah, hamba yang satu ini, dia telah beribadah kepada Allah dalam waktu yang cukup lama, namun satu kalimat yang diucapkannya telah menyebabkan semua amalnya terhapus.
Dan di dalam hadits Abu Hurairah  juga diriwayatkan kisah seperti ini, kemudian Abu Hurairah berkata,"Dia telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya".
Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah , Nabi Muhammad  bersabda:
(( إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ الله لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ الله بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ الله لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ. وَعِنْدَ مُسْلِمٍ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ))
“Sesungguhnya seorang hamba terkadang mengucapkan kata yang dicintai Allah, dia tidak menaruh perhatian terhadap kata tersebut, namun ternyata Allah berkenan meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba terkadang mengucapkan satu kata yang dibenci Allah, dia tidak menaruh perhatian terhadap kata tersebut, namun ternyata dengan kata tersebut dia masuk ke dalam neraka Jahannam.” Dalam riwayat Muslim,“sesungguhnya seorang hamba itu mengucapkan satu kata yang tidak jelas apa yang dikandungnya, ternyata kata tersebut menjerumuskannya ke neraka (yang jaraknya) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”
Dan dalam riwayat Turmudzi, dari Bilal bin Al Harits Al Muzani  dari Nabi Muhammad  , beliau bersabda:
((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ الله مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، فَيَكْتُب الله لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ الله مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، فَيَكْتُب الله لَهُ بِهَا سُخْطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ ))
“Sesungguhnya seorang dari kalian terkadang mengucapkan satu kata yang dicintai Allah, dia tidak menyangka (pahalanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata dengan kalimat itu Allah memberikan kepadanya keridhaan-Nya hingga hari dia berjumpa dengan-Nya kelak. Dan sesungguhnya seorang dari kalian terkadang mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah, dia tidak menyangka (dosanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata Allah memurkainya sampai dia bertemu Allah kelak.” `Alqamah berkata,“betapa banyak ucapan yang tidak jadi aku katakan disebabkan oleh hadits yang diriwayatkan Bilal bin Al Harits ini.”
Dalam kitab Jami’ At Turmudzi, diriwayatkan dari Anas , dia berkata,"ada seorang sahabat yang meniggal, lalu ada seorang laki-laki berkata,"berilah kabar gembira dengan surga", maka Nabi bersabda:
(( وَمَا يُدْرِيْكَ؟ فَلَعَلَّهُ تَكَلَّمَ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ، أَوْ بَخِلَ بِمَا لاَ يَنْقُصُهُ ))
“Dari mana kamu tahu? Barangkali dia pernah mengucapkan (kata) yang tidak ada gunanya atau dia pelit untuk (memberikan) sesuatu yang tidak mengurangi miliknya.” (Turmudzi berkata,“hadits ini hasan”).
Dalam lafadz hadits yang lain disebutkan:
(( إِنَّ غُلاَمًا اسْتُشْهِدَ يَوْمَ أُحُدٍ، فَوَجَدَ عَلَى بَطْنِهِ صَخْرَةً مَرْبُوْطَةً مِنَ الجُوْعِ، فَمَسَحَتْ أُمُّهُ التُّرَابَ عَنْ وَجْهِهِ، وَقَالَتْ: هَنِيْئًا لَكَ يَا بُنَيَّ، لَكَ الْجَنَّةُ. فَقَالَ النَّبِيُّ : وَمَا يُدْرِيْكِ؟ لَعَلَّهُ كَانَ يَتَكَلَّمُ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ وَيَمْنَعُ مَا لاَ يَضُرُّهُ ))
“Ada seorang anak yang mati syahid diperang Uhud, ditemukan di atas perutnya sebuah batu yang diikat untuk menahan lapar, kemudian ibunya mengusap debu yang ada di wajahnya, sambil berkata lirih, “berbahagialah engkau hai anakku, engkau akan mendapatkan surga”, maka Nabi Muhammad  bersabda, “Dari mana kamu tahu? barangkali dia pernah mengucapkan kata-kata yang tidak berguna baginya, dan enggan melakukan sesuatu yang tidak memudharatkannya .”
Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah  bersabda:
( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ))
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengatakan yang baik-baik atau diam.”
Dan dalam lafadz hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:
(( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ ))
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bila ia menyaksikan suatu perkara maka hendaklah ia mengatakan yang baik baik atau diam.”
At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Nabi Muhammad , bahwa beliau bersabda:
(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمِرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ))
“Termasuk (salah satu tanda) kebaikan Islam seseorang yaitu dia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.”
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafi, dia berkata:
((قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أحَدًا بَعْدَكَ، قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِالله ثُمَّ اسْتَقِمْ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا))
“Aku berkata, "Ya Rasulallah, katakanlah kepadaku dalam Islam suatu kalimat yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorangpun setelah engkau," Nabi menjawab, “Katakanlah , aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah”, aku bertanya, "Ya Rasulallah, apa yang paling engkau khawatirkan terhadapku? Kemudian Nabi memegang lidah beliau sendiri lalu bersabda, “ini” (maksudnya lidah, pent). (HR. Turmudzi, dan ia berkata, "hadits ini shahih").
Dan Ummu Habibah isteri Nabi  meriwayatkan dari Nabi  beliau bersabda:
(( كُلُّ كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لاَ لَهُ، إِلاَّ أَمْرًا بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرَ الله ))
“Semua ucapan anak Adam (manusia) itu akan merugikannya, tidak akan menguntungkannya, kecuali ucapan untuk amar ma’ruf (memerintahkan yang baik), atau nahi mungkar (mencegah perbuatan mungkar), atau dzikir kepada Allah .” (Tirmidzi berkata,"derajat hadits ini hasan").
Dalam hadits yang lain disebutkan:
(( إِذَا أَصْبَحَ العَبْدُ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللَّسَانَ، تَقُوْلُ: اتَّقِ الله فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِذَا اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وَإِن اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا ))
“Bila seorang hamba berada di pagi hari, maka semua anggota tubuh memberikan peringatan kepada lidah dan berkata, "takutlah engkau kepada Allah, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu, bila kamu istiqamah kami akan istiqamah, dan bila kamu melenceng, kami terbawa serta.”
Sebagian ulama salaf menyesali dirinya, hanya karena mengucapkan, “hari ini panas dan hari ini dingin”, dan sebagian ulama juga ada yang tidur kemudian bermimpi dan dia ditanya tentang keadaannya, lalu dia menjawab, “aku tertahan oleh satu ucapan yang telah aku katakan, aku pernah mengatakan, “oh, betapa butuhnya orang-orang ini kepada hujan”, tiba-tiba ada yang berkata kepadaku, “dari mana kamu tahu itu? Akulah yang lebih tahu tentang kemaslahatan hamba-Ku.”
Seorang sahabat berkata kepada khadamnya, tolong ambilkan alas makan kita gunakan untuk bermain-main, lalu dia berkata, "Astaghfirullah, aku tidak pernah mengucapkan kata-kata kecuali aku pasti bisa mengendalikan dan mengekangnya, kecuali kata-kata yang tadi ku ucapkan, ia keluar dari lidahku tanpa kendali dan tanpa kekang.”
Anggota tubuh manusia yang paling mudah digerakkan adalah lidah, tapi dia juga yang paling berbahaya terhadap manusia…
Ada perbedaan pendapat antara ulama salaf dan khalaf dalam masalah, apakah semua yang diucapkan oleh manusia itu semua akan dicatat, ataukah ucapan yang baik dan yang jelek saja? Di sini ada dua pendapat, namun yang lebih kuat adalah yang pertama.
Sebagian ulama salaf mengatakan, “semua perkataan anak Adam akan merugikan dirinya dan tidak akan menguntungkannya, kecuali ucapan yang dikutip dari kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya".
Abu Bakar As Shiddiq  pernah memegang lidahnya dan berkata, “inilah yang menjebakku ke dalam berbagai masalah,” ucapan itu adalah tawanan anda, bila ia sudah keluar dari mulut anda berarti andalah yang menjadi tawanannya. Allah selalu memperhatikan lidah setiap kali berbicara.

“Tidak suatu ucapanpun yang diucapkan kecuali ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”(QS. Qaaf: 18).

Bahaya lidah:
Pada lidah terdapat dua penyakit berbahaya. Bila seseorang bisa selamat dari salah satu penyakit maka dia tidak bisa lepas dari penyakit yang satunya lagi, yaitu penyakit berbicara dan penyakit diam. Dalam satu kondisi bisa jadi salah satu dari keduanya akan mengakibatkan dosa yang lebih besar dari yang lain.
Orang yang diam terhadap kebenaran adalah syaitan bisu, dia durhaka kepada Allah, serta bersikap riya’ dan munafik bila dia tidak khawatir hal itu akan menimpa dirinya. Begitu pula orang yang berbicara tentang kebatilan adalah syaitan yang berbicara, dia durhaka kepada Allah. Kebanyakan orang sering keliru ketika berbicara dan ketika mengambil sikap diam. Mereka itu selalu berada di antara dua posisi ini.
Adapun orang orang yang ada di tengah tengah –yaitu mereka yang berada pada jalan yang lurus– sikapnya adalah menahan lidah mereka dari ucapan yang batil dan membiarkannya berbicara dalam hal hal yang dapat membawa manfaat untuk mereka di akhirat. Sehingga anda tidak akan melihat mereka mengucapkan kata-kata yang akan membahayakan mereka di akhirat nanti.
Sesungguhnya ada seorang hamba datang pada hari kiamat dengan pahala kebaikan sebesar gunung, namun dia dapati lidahnya sendiri telah menghapus pahala tersebut. Dan ada pula yang datang dengan dosa-dosa sebesar gunung, namun dia dapati lidahnya telah menghapus itu semua dengan banyaknya dzikir kepada Allah, dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya.

4- Al Khuthuwat (Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan).
Adapun tentang Al Khuthuwat maka hal ini bisa dicegah dengan cara seorang hamba tidak menggerakkan kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala dari Allah . Bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka menyurutkan langkah tersebut tentu lebih baik.
Dan sebenarnya bisa saja seseorang memperoleh pahala dari setiap perbuatan mubah (yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan, pent.) yang dilakukannya dengan cara berniat untuk Allah . Dengan demikian maka seluruh langkahnya akan bernilai ibadah.
Tergelincirnya seorang hamba dari perbuatan salah itu ada dua macam: tergelincirnya kaki dan tergelincirnya lidah. Oleh karena itu kedua macam ini disebutkan berurutan oleh Allah  dalam firman-Nya:
             
“Dan hamba-hamba Ar Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan: 63).
Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa sifat mereka itu adalah istiqamah dalam ucapan dan langkah-langkah mereka, sebagaimana Allah juga mensejajarkan antara pandangan dan lintasan pikiran, dalam firmanNya:

“Allah mengetahui khianat mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19).
Semua hal yang kami sebutkan di atas adalah sebagai pendahuluan bagi penjelasan akan haramnya zina, dan kewajiban menjaga kemaluan.
Rasulullah  bersabda:
(( أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الفَمُ وَالفَرْجُ ))
“Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka ialah lidah dan kemaluan.” (HR. Ahmad dan At Turmudzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam silsilah hadits shahih).
Dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad  bersabda:
(( لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثيِّبِ الزَّانِي، وَالنَّفْسِ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكِ لِدِيْنِهِ المُفَارِقِ لِجَمَاعَتِهِ ))
“Tidak halal darah seorang muslim (ditumpahkan) kecuali sebab tiga hal: orang yang (pernah menikah) melakukan zina, dibunuh (qishash) karena membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta meninggalkan jamaah.”
Dalam hadits ini ada penyetaraan antara zina dengan kufur dan membunuh jiwa, persis seperti yang terdapat dalam ayat pada surat Al Furqan, juga seperti yang terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud .


PENYETARAAN ZINA, KUFUR DAN MEMBUNUH JIWA

Dalam hadits di atas Nabi  menyebut hal yang paling banyak terjadi secara berurutan. perbuatan zina itu lebih sering terjadi dibanding dengan pembunuhan, dan pembunuhan lebih sering terjadi dibanding dengan riddah (keluar dari agama Islam). Juga urutan diatas berdasarkan dosa besar, kemudian dosa yang lebih besar dan seterusnya. Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh zina sungguh bertolak belakang dengan kemaslahatan dalam kehidupan.
Sebab, bila seorang wanita melakukan zina berarti ia telah membuat aib keluarga, suami dan kerabatnya serta mencoreng wajah mereka di hadapan orang banyak. Bila dia sampai hamil kemudian membunuh anaknya, berarti dia telah menggabungkan perbuatan zina dengan pembunuhan, dan jika setelah hamil ia tetap hidup bersama suaminya, berarti dia telah memasukkan pada keluarga si suami dan keluarga si wanita sendiri orang lain yang bukan anggota keluarga mereka. Dan si anak yang tak sah tersebut mungkin mendapat warisan yang bukan haknya, ia melihat aurat dan berkhalwat dengan (ibunya) wanita yang bukan mahramnya, bernasab kepada orang yang bukan bapaknya, Dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan lain yang ditimbulkan oleh zina. Jika yang berzina itu adalah seorang pria, maka hal ini –selain hal yang di atas- juga akan menyebabkan simpang siurnya hubungan nasab, kemudian merusak kehormatan wanita yang terjaga dan menjadikan hidupnya hancur dan binasa.
Jadi, di belakang perbuatan keji ini (zina) terdapat kerusakan dunia dan agama sekaligus. Sungguh betapa banyak pelanggaran terhadap larangan-larangan (pelecehan terhadap kehormatan), penyia-nyiaan hak orang dan penganiayan yang ada di balik perbuatan zina.
Diantara dampak yang ditimbulkan oleh zina adalah bahwa zina dapat mendatangkan kefakiran, memperpendek umur dan membuat wajah pelakunya suram serta menimbulkan kebencian orang.
Termasuk di antara dampaknya pula, bahwa zina dapat memporak-porandakan hati, membuatnya sakit kalau tidak sampai mematikannya, juga mendatangkan perasaan gundah, gelisah dan takut, serta menjauhkan pelakunya dari malaikat dan mendekatkannya kepada setan. Tak ada bahaya –setelah bahaya perbuatan membunuh- yang lebih besar daripada bahaya zina. Oleh karenanya, untuk menghukum pelaku zina Allah mensyariatkan hukuman bunuh (rajam) dengan cara yang mengerikan. Bila ada seseorang yang mendengar kabar bahwa isterinya dibunuh orang, tentu kabarnya lebih ringan dibanding dia mendengar bahwa isterinya berzina.
Sa’ad bin Ubadah  berkata, “Sekiranya aku melihat seorang pria berzina dengan isteriku, tentu aku akan memenggal lehernya dengan pedang tanpa pikir panjang lagi.” Maka sampai perkataan ini kepada Rasulullah , lalu beliau bersabda:
(( أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْد؟ وَالله لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَالله أَغْيَرُ مِنِّيْ، وَمِنْ أَجْلِ غِيْرَةِ الله حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ))
“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, sungguh aku ini lebih cemburu dari dia, dan Alah lebih cemburu dari aku, dan oleh karena betapa agungnya kecemburuan Allah, maka Dia haramkan segala perbuatan keji, baik yang lakhir maupun yang batin.” (Muttafaq alaih).
Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi .
(( إِنَّ الله يَغَارُ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغِيْرَةُ الله أَنْ يَأْتِيَ العَبْدُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ ))
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan sesungguhnya seorang mu’min itu juga cemburu. Dan kecemburuan Allah itu akan timbul bila seorang hamba melakukan apa yang diharamkan.”.(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi  :
(( لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِن اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ العُذْرُ مِن اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِن اللهِ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ ))
“Tak ada seorangpun yang cemburu melebihi Allah, oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, yang lakhir maupun yang batin. Tak ada seorangpun yang lebih senang menerima alasan daripada Allah, oleh karena itu Dia mengutus para Rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tak ada satupun yang lebih senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji diri-Nya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga dalam kitab Ash-shahihain, diriwayatkan khutbah Nabi  di saat shalat gerhana matahari, beliau bersabda:
(( يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، وَاللهِ لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ، يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ "))
“Hai ummat Muhammad, demi Allah, tak ada satupun yang lebih pencemburu dari Allah ketika ada seorang hamba-Nya yang laki-laki atau perempuan berbuat zina. Hai ummat Muhammad, demi Allah, sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disebutkannya perbuatan dosa besar ini secara khusus setelah shalat gerhana matahari mengandung isyarat rahasia yang menakjubkan; dan semaraknya fenomena zina merupakan tanda rusaknya tatanan alam, dan itu semua adalah salah satu tanda kiamat; seperti yang disebutkan dalam As-Shahihain, dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, "aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada orang yang akan menceritakannya kepada kalian setelah aku. Aku mendengar Rasulullah  bersabda:
(( مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ, وَيَظْهَرَ الزِّنَى، وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ، حَتَّى يَكُوْنَ لِخَمْسِيْنَ امْرَأَةٍ القَيِّمُ الوَاحِدُ ))
“Di antara tanda-tanda kiamat bila ilmu (syar’i) menjadi sedikit (kurang), dan kebodohan menggejala serta zina menyebar (di mana-mana), jumlah pria sedikit dan jumlah wanita banyak sehingga seorang laki-laki mengayomi lima puluh orang wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu sunnatullah (hukum alam) yang diberlakukan pada makhluk-Nya, yaitu ketika zina semarak di mana-mana, Allah akan murka dan kemurkaannya sangat keras, maka pasti kemurkaan itu akan berdampak pada bumi ini dalam bentuk azab dan musibah yang diturunkan.
Abdullah bin Mas’ud  berkata, “Tidaklah riba dan zina merajalela di suatu negri, melainkan Allah memaklumkan untuk dihancurkan.”
Seorang pendeta bani Israil pernah melihat anaknya sedang mengerling seorang gadis, lalu dia berkata, “Pelan-pelan, wahai anakku!” kemudian sang ayah itu pingsan di atas tempat tidurnya lalu meninggal, dan isterinya keguguran dan dikatakan kepadanya,“Beginikah caranya engkau marah untuk-Ku (melihat perzinahan hanya mengatakan, "pelan-pelan")? Sungguh, keturunanmu tidak ada yang baik selamanya.”


HUKUMAN ZINA MEMILIKI TIGA KEKHUSUSAN

Allah  mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal :
Pertama: hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari negerinya selama satu tahun.
Kedua: Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk merasa kasihan terhadap pelaku zina sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina. Sebab, Allah mansyari’atkan hukuman tersebut didasarkan atas kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka. Allah sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan memberlakukan hukuman ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati kalian menghalangi kalian untuk melaksanakan perintah Allah.
Hal ini –walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan- namun disebutkan dalam hukuman zina secara khusus, karena memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai rasa marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu membuat tidak ditegakkannya hukuman Allah .
Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya adalah: karena perbuatan zina mungkin terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara tabiat hati manusia merasa kasihan terhadap orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara mereka yang siap memberikan bantuan kepada mereka, walaupun sebenarnya bentuk percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal ini tidak diperselisihkan lagi. Dan diakui oleh mayoritas manusia yang cara berfikir mereka tidak jauh berbeda dengan binatang ternak, seperti kisah cinta yang sering diceritakan para jongos dan budak wanita.
Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi atas dasar suka dan rela dari kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan pemerkosaan yang membuat jiwa orang-orang geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehinga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan menghambat ditegakkannya hukuman Allah  ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perintah Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah dalam perintah dan rahmat-Nya.
Ketiga: Allah memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk ataupu rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mu’min, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hal tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr” (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang “muhshan” (pernah menikah) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi Luth  yang dilempar dengan batu. Karena perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth ) adalah sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang bertentangan dengan hikmah Allah dalam penciptaan alam semesta. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homoseks) itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih baik dibunuh daripada jadi objek homo; sebab dia telah tertular kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menghisap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Allah, juga kepada makhluk-Nya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah diracuni oleh sperma pelaku liwath seperti pengaruh racun dalam tubuh manusia.
Ada perbedaan pendapat di antara sebagian orang; apakah orang yang menjadi objek liwath bisa masuk surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku mendengar Syaikhul islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini. Mereka yang mengatakan tidak akan masuk surga memberikan hujjah dengan beberapa hal:
Diantaranya, bahwa Nabi  bersabda:
(( لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ زَنِيَّةٍ ))
“Anak zina tidak akan masuk surga”. )HR. Bukhari dalam At tarikh ash shaghir (124), dan derajatnya hasan).
Bila nasib dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai dosa apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan kotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kebaikan apapun selamanya, disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang nista; bila tubuh yang tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja sangat pantas untuk masuk neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang memang tercipta dari sperna yang haram?
Mereka mengatakan, "orang yang menjadi objek liwath itu lebih jelek dari anak hasil zina, lebih hina dan lebih dina pula. Dia itu memang pantas untuk tidak mendapat hidayah kebaikan. Dia juga pantas dihalangi mendapatkan hidayah tersebut. Dan setiap kali dia melakukan amal yang baik, maka Allah akan menggandengkannya dengan amalan lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang jarang kita dapati bahwa orang yang pernah jadi objek liwath di masa kecilnya, kecuali dia akan lebih parah di masa tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan taubat yang nasuha.
Namun setelah diteliti, yang lebih tepat untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan karunia taubat yang nasuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih baik dari kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-parbuatan jeleknya dengan berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluannya dari yang haram dan benar-banar jujur kepada Allah dalam amalannya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk penduduk surga. Bila taubat itu –kita ketahui- dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Allah, membunuh para Nabi dan para wali Allah, atau sihir, kufur dan lain sebagainya, maka kita tidak boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan bahwa:
(( التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ ))
“Orang yang bertaubat dari dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Majah).
Dan Allah sendiri telah memberikan jaminan bahwa barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan zina, Allah akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.
Allah berfirman:

“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih.” (QS. Az-Zumar: 53).
Dan tidak akan keluar dari keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi mereka yang bertaubat.
Bila ternyata orang yang menjadi objek liwath di masa tuanya lebih jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nasuha dan amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak pula mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam surga di saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatan yang jelek dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek yang akan diterimanya, sebagaimana Allah juga memberikan ganjaran bagi sebuah perbuatan baik dengan perbuatan baik selanjutnya.



PARA PELAKU MAKSİAT DİKHAWATİRKAN AKAN MATİ DALAM SU’UL KHATİMAH

Bila anda perhatikan kondisi kebanyakan orang saat sakaratul maut menjemput, anda akan melihat bahwa mereka terhalangi untuk mendapatkan husnul khatimah, sebagai hukuman akibat perbuatan-perbuatan jelek mereka.
Al-hafizh Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman Al Isybili berkata( ), “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga Allah menjauhkan kita darinya) mempunyai beberapa penyebab. Ada jalan-jalan dan pintu-pintu yang menghantarkan kepadanya. Penyebab, pintu dan jalan yang paling besar adalah larut dengan urusan keduniaan, tidak perhatian dalam urusan akhirat dan berani maksiat kepada Allah. Bisa saja ada seseorang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan atau maksiat tertentu, sehingga menguasai hatinya, akalnya tertawan oleh kebiasaan tersebut, pelita hatinya padam dan terbentuklah tabir yang menutupinya. Akibatnya, teguran tidak lagi akan berguna, nasihat tidak lagi akan bermanfaat dan bisa saja kematian datang menjemput saat dia dalam keadaan demikian. Lalu datanglah panggilan kebaikan dari sebuah tempat yang jauh, namun dia tidak dapat memahami maksudnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh panggilan itu, sekalipun orang yang meneriakkan panggilan itu terus mengulangi dan mengulanginya lagi”.
Diriwayatkan, bahwa ada seorang anak buah An Nashir (salah seorang pemimpin di masa Mamlukiyyah) yang menjelang sakaratul maut, kemudian anaknya berkata, “ucapkanlah, laa Ilahaa Illallah!” orang itu berucap, "An Nashir adalah tuanku.” Diulangi ucapan itu kepadanya, namun jawaban orang itu tetap sama. Tiba-tiba orang itu tidak sadarkan diri dan setelah dia siuman dia berucap lagi , “An Nashir adalah tuanku”. Begitulah terus menerus setiap kali dikatakan kepadanya ucapan, “laa Ilaaha Illallah” dia malah berucap, “An Nashir adalah tuanku”. Kemudian ia berkata kepada anaknya , “ Hai fulan, sesungguhnya An Nashir itu dapat mengenalmu hanya dengan pedang dan keberanianmu membunuh (berperang)”. Kemudian dia meninggal dunia.
Abdul Haq berkata, “pernah dikatakan juga kepada orang lain (yang saya mengenalnya) ucapkanlah, laa Ilaaha Illallah dia malah berucap, “ tolong rumah yang di sana itu diperbaiki, dan kebun yang di sana dikerjakan…”
Abdul Haq juga berkata, “di antara riwayat dari Abu thakhir As Silafiy yang mana dia telah mengizinkan aku untuk meriwayatkannya, yaitu sebuah kisah dimana ada seorang pria yang sedang sakaratul maut, kemudian dikatakan kepadanya, ucapkanlan ‘laa Ilaaha Illallah’ namun dia malah mengatakan kata-kata dengan bahasa Persia yang artinya: sepuluh dengan sebelas (maksudnya, boleh berhutang sepuluh tapi bayarnya sebelas, pent).
Dan pernah dikatakan pula pada orang lain, ucapkanlah laa Ilaaha Illallah dia malah mengatakan “mana jalan ke pemandian manjab?
Kata Abdul Haq, "jawaban yang diucapkannya itu ada ceritanya. Suatu ketika pria tersebut berdiri di depan rumahnya. Rumah tersebut pintunya menyerupai pintu sebuah tempat pemandian, tiba-tiba di situ lewat wanita cantik dan bertanya, ‘mana jalan ke pemandian manjab ? dia menjawab (sambil menunjuk ke pintu rumahnya), ini dia pemandian manjab itu! Maka, wanita itu pun masuk ke dalam rumahnya sampai kebelakang. Setelah dia sadar terjebak di rumah sang pria dan tahu bahwa dia sedang ditipu, dia pura-pura menampakkan rasa gembira dan suka cita karena pertemuannya dengan pria itu. Kemudian wanita itu berkata, "sebaiknya (sebelum kita berkumpul) engkau harus mempersiapkan untuk kita apa-apa yang dapat membuat keindahan kehidupan kita sekaligus menyenangkan hati kita". Dengan segera pria itu menjawab,’ sekarang juga aku akan membawakan untukmu semua yang kamu inginkan dan senangi". Lalu dia pergi ke luar dan meninggalkan si wanita dalam rumah, dan tidak menguncinya. Kemudia ia mengambil barang yang bisa dibawa, lalu kembali ke rumah. Tapi saying, si wanita telah keluar dan pergi. Sedikitpun wanita itu tidak mengambil apa-apa dari rumahnya. Pria itu akhirnya mabuk kepayang dan selalu ingat wanita itu tadi. Dia berjalan di lorong-lorong dan gang-gang sambil mengatakan:
يَا رُبَّ قَائِلَةٍ يَوْمًا وَقَدْ تَعِبَتْ  كَيْفَ الطَّرِيْقُ إِلَى حَمَامِ مُنْجَاب؟
Wahai tuhan, dimana wanita yang mengatakan suatu hari dalam kondisi letih, mana jalan ke pemandian munjab?
Suatu saat, waktu dia mengucapkan bait syair tadi, ada seorang wanita berkomentar dari jendela pintu rumahnya:
هَلاَّ جَعَلْتَ سَرِيْعًا إِذْ ظَفَرْتَ بِهَا
حِرْزًا عَلَى الدَّارِ أَوْ قُفْلاً عَلَى البَابِ
Mengapa di saat sudah mendapatkannya tidak dengan segera,
engkau menutup rumah atau mengunci pintunya ?
Mendengar itu ia tambah mabuk kepayang. Begitulah terus kondisinya sehingga bait syair itu menjadi kata-kata terakhirnya saat meninggal dunia.”
Suatu malam, sufyan Ats- tsauri menangis sampai pagi. Di pagi itu ada yang bertanya kepadanya, “ adakah semua yang kau lakukan ini karena takut akan dosa ?” lalu sufyan mengambil segenggam tanah seraya berkata, “dosa lebih ringan dari segenggam tanah ini, aku menangis karena takut akan su’ul khatimah.”
Sungguh, ini adalah pemahaman yang cemerlang, seseorang khawatir dosa-dosanya akan membuatnya terhina di kala meninggal dunia nanti, sehingga dia terhalang untuk memperoleh husnul khatimah.
Al Imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa Abu Darda’ di saat sakaratul maut, dia pingsan tak sadarkan diri, kemudian dia siuman dan membaca:
        •      
“Dan (begitulah) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS. Al An’am: 110).
Dan oleh karena itu, para ulama salaf khawatir kalau dosa-dosa itu dapat menghalangi mereka untuk memperoleh husnul khatimah.
Abdul Haq juga berkata, “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga kita dilindungi oleh Allah darinya) tidak akan terjadi pada orang yang istiqamah dan shahih lahir dan batin, kenyataannya tidak pernah didengar dan diketahui (walillahilhamd).
Su`ul khatimah akan menimpa orang yang dasarnya sudah rusak atau senantiasa melakukan dosa besar dan mengerjakan kemaksiatan. Barangkali itu menjadi kebiasaannya, sehingga kematian datang menjemputnya sebelum sempat bertaubat, akhirnya dia meninggal sebelum memperbaiki dirinya, urat nadinya dicabut sebelum dia kembali kepada Allah, sehinga saat itu setan berhasil merenggut dan menyambarnya disaat yang genting tersebut. Na’udzu billah!”
Diriwayatkan bahwa di mesir dulu ada seseorang yang selalu pergi ke masjid untuk adzan dan melakukan shalat. Wajahnya berwibawa dan penuh cahaya ibadah. Suatu hari dia naik ke menara seperti biasanya untuk adzan, di bawah menara itu ada rumah seorang nashrani, dia melongok ke dalam rumah tersebut, dan melihat anak perempuan pemilik rumah itu, akhirnya ia tergoda dengannya, lalu dia tinggalkan adzan saat itu, dan turun untuk menemuinya, dan masuk ke dalam rumahnya. Anak perempuan itu bertanya, “ada apa, apa yang kamu inginkan?” Dia menjawab, "Aku menginginkan kamu. Dia bertanya lagi, “mengapa demikian?” dia menjawab, “sungguh engkau telah menawan jiwaku dan menguasai seluruh relung hatiku.” Perempuan itu berkata, “Aku tidak akan pernah memenuhi keinginanmu selamanya.” Pria tadi menjawab, “aku akan mengawinimu lebih dahulu.” Perempuan itu berkata, “engkau seorang muslim, aku Nasrani, ayahku tidak akan mengawinkan aku denganmu. Lelaki itu berkata, “aku akan masuk agama Nasrani!” Maka wanita itu berkata, “jika kamu lakukan itu, maka aku mau!” akhirnya lelaki itu resmi masuk Nasrani agar dapat kawin dengannya. Diapun tinggal bersama mereka. Dan pada hari itu, dia naik ke atap rumah tersebut, kemudian jatuh dan langsung mati.
Kasihan, dia tidak berhasil mendapatkan perempuan tersebut dan dia kehilangan agamanya.
Diriwayatkan pula, ada seorang laki-laki yang senang kepada seseorang. Kesenangan dan kecintaannya semakin kuat, sehingga menguasai hatinya. Bahkan, dia sampai jatuh sakit dan harus tidur istirahat karenanya. Sementara orang yang dicintai itu tidak mau menemuinya. Dia benar-benar tidak suka dan menjauh darinya. Sementara itu orang-orang berusaha mempertemukan keduanya, sehingga ia berjanji untuk menemuinya. Orang-orang datang membawa kabar tersebut, diapun gembira dan sangat bersuka-cita. Sesak di dadanya terasa hilang. İa menunggu waktu yang dijanjikan. Di saat itu, tiba-tiba datang orang yang akan mempertemukan keduanya, lalu menyampaikan, “dia sudah berangkat bersamaku sampai di tengah perjalanan, namun dia kembali lagi. Aku terus mendorong dan merayunya, tapi dia berkata, “orang itu ingat dan menyebut-nyebut aku dan dia pun bergembira dengan kedatanganku. Namun aku tidak akan masuk ke tempat yang meragukan. Aku tidak akan mempersembahkan diriku untuk tempat-tempat yang mencurigakan. Aku terus membujuknya, namun dia tidak mau dan terus pergi. Mendengar hal itu, orang yang sakit tadi langsung menjatuhkan diri dan kembali sakit dengan kondisi yang lebih parah lagi dari sebelumnya, tanda-tanda kematian sudah tampak di wajahnya, saat itu dia mengatakan dalam untaian syair:
يَا سَلْمَى يَا رَاحَةَ العَلِيْلِ  وَيَا شِفَا المدنف النحيل
رِضَاكَ أَشْهَى إِلَى فُؤَادِي  مِنْ رَحْمَةِ الخَالِقِ الجَلِيْلِ
Wahai salma, wahai penenang hati yang sakit.
Wahai obat bagi tubuh yang kurus.
Keridhaanmu lebih diharapkan oleh hatiku,
ketimbang rahmat Allah yang maha pencipta dan maha mulia.
Maka abdul Haq Al Isybili berkata kepadanya, “wahai fulan, takutlah engkau kepada Allah!! dia menjawab, "semuanya sudah terjadi, akhirnya aku meninggalkannya. Dan belum lagi aku melewati pintu rumahnya, aku medengar jerit suara kematiannya.
Kita berlindung kepada Allah dari su’ul khatimah.

Zina mata yaitu, sesuatu yang kita lihat dengan sengaja, yang daharamkan dalam agama.
Zina tangan yaitu, tangan adalah bagian dari tubuh manusia untuk mengerjakan sesuatu yang baik, tapi jika tangan mengerjakan yang sebaliknya, menyentuh sesuatu yang bukan hak kita (wanita) itu termasuk zina.
Zina mulut yaitu, mengupat, atu membicarakan sesuatu yang tidak ada guna, dan dapat menyebabkan fitnah.
Zina pikiran yaitu, zina pikiran tarjadi karena kita tidak dapat mengontrol dengan baik, pikiran tidak digunakan untuk memikirkan hal-hal yang positif, setiap sesuatu yang kita lihat selalu berfikiran yang macam-macam.