View My Stats

Sabtu, 21 Januari 2012

PERANAN ISTRI TERHADAP NAFKAH KELUARGA MENURUT HUKUM ISLAM


BAB II

PERANAN ISTRI TERHADAP NAFKAH KELUARGA
MENURUT HUKUM ISLAM   


A. Hak dan Kewajiban Istri dalam Keluarga

            Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi juga dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya Islamlah yang mampu mengatur hukum yang berkenaan dengan umatnya pada penetapan masalah secara adil dan proporsional, tidak ditambah atau dikurangi. Karena, setiap hamba memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika keluarga adalah dasar yang amat prinsip dalam membina sebuah masyarakat, maka Islam  mendasarkan pembentukannya atas unsur takwa kepada Allah SWT. Hal ini merupakan perantara menuju jalan kebahagiaan dan kemuliaan. Islam menganjurkan umatnya untuk mendirikan sebuah keluarga atas dasar iman, Islam dan ihsan, di mana ketiga unsur ini didasari atas rasa cinta, kasih dan sayang. [1]
            Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ … (البقرة: 228)
Artinya: “……Dan mereka ( para perempuan ) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut........” ( Al-Baqarah: 228 )

            Ayat di atas menunjukkan suatu pengertian bahwa suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, namun kaum pria masih diberi derajat yang lebih tinggi dari wanita dalam kapasitas sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Namun kedudukan dan fungsi wanita (istri) tidak kalah penting dalam keluarga. Karena itu, suami dan istri harus saling menghargai, saling mempercayai satu sama lain serta bekerjasama dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya atau hak dan kewajibannya masing-masing.[2] 
            Berikut ini dijelaskan bagaimana kewajiban suami terhadap istri atau hak seorang istri terhadap suaminya antara lain:
  1. Hak Mendapatkan Nafkah
Islam menetapkan berbagai hal yang menjadi hak istri agar ia mendapatkan jaminan, mendapatkan perlindungan dan ketenangan serta kehidupan yang tentram, tidak terlantar dan sengsara. Islam mewajibkan suami agar bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhanya dan menyingkirkan beban kerja yang berat di samping juga mempergaulinya dengan sikap yang lembut dan baik. Nafkah adalah hak seorang istri dari suaminya. Nafkah menjadi kewajiban suami sejak kehidupan bersama berlangsung. Suami harus memberikan nafkah secara layak sesuia dengan adat kebiasaan dan tidak cenderung kepada sikap berlebihan atau terlalu kikir dan tidak membebani dirinya dengan sesuatu di luar  batas kemampuan. Allah SWT berfirman:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا … (الطلاق: 7)
Artinya: “……..Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya..........” (At-Thalaq: 7 )  
Islam sangat menghargai upaya suami untuk mencukupi nafkah istrinya dan memandang sebagai bentuk ibadah. Kemudian ada seorang yang bertanya: “Hai Nabi, saya punya satu dinar? Nabi menjawab: sedekahkan untukmu sendiri. Dia berkata: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab: sedekahkan untuk istrimu. Dia berkata lagi: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab: sedekahkan untuk anakmu. Orang itu berkata lagi: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab; sedekahkan untuk pembantumu.”
Pemberian nafkah adalah wajib bagi istri selama dia menunaikan kewajiban-kewajibannya. Jika istri menyimpang dari fitrah dan ketentuan hingga maksud kehidupan perkawinan itu tidak terwujud, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah. Istri dikatakan menyimpang sehingga menyebabkannya terhalang untuk mendapatkan nafkah adalah ketika suami terhalang untuk mengambil mamfaat dari kehidupan perkawinan. Misalnya istri menyakiti suami dengan tidak mau bertemu dengannya tanpa ada sebab yang dibenarkan, atau meninggalkan rumah suami dengan dosa, atau menghabiskan waktunya di luar rumah tanpa izin suami. Karena nafkah itu wajib diberikan kepada istri disebabkan istri telah mengabdi dirinya, mencurahkan waktu dan tenaganya demi kebahagiaan suami dan memberinya buah kehidupan perkawinan, maka ketika dia secara sengaja tidak lagi berbuat demikian itu menjadi batal. Sebab menanggung beban perjuangan dan bekerja keras di luar rumah  seperti yang dilakukan suami, itu sebanding dengan apa yang dia perbuat untuk suaminya dengan memberikan kebahagiaan dan ketenangan di dalam rumah.[3]  
Jika suami tidak memberi nafkah sementara istrinya telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, sementara suaminya mampu dan kaya, maka dia harus memberikan hak dan nafkahnya. Suami wajib mencari nafkah atau bekerja untuk keperluan hidup (lahirah) Istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menyediakan sandang (pakaian), Pangan (makanan) Dan Papan (rumah) sesuai dengan kemampuan sangsuami. Dan istri berhak mendapat nafkah batin dari suaminya berupa suami wajib menggauli istrinya sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan.
  1. Hak Mendapat Perlakuan Baik
Diantara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah mendapatkan perlakuan yang baik berupa menyenangkan istri dan membahagiakan istri. Suami dalam meminpin keluarga harus dengan lemah lembut dan meringankan beban istri. Dalam pandangan islam, Suami adalah pemimpin dan sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk besikab baik dalam menjalan kepemimpinanya dan menyingkirkan rasa dendam dan amarah dari dirinya. Suami harus pula mempelakukan istrinya dengan baik dan hormat serta tidak menganggap istri sebagai pembatu dirinya.[4] 
Islam juga menegaskan tentang  luasnya aspek diri perempuan yang harus diperhatikaan suami. Suami jangan hanya memandang kekurangan-kekurangan istri, atau prilakunya yang tidak ia sukai, tetapi harus memandangnya secara menyeluruh dalam arti mencakup kekurangan dan sekaligus kelebihan-kelebihanya Dia tidak boleh begitu yakin dengan pandanganya tentang kekurangan istri sebab boleh jadi dia akan berbuat tidak adil.

  1. Hak Keterjagaan Agama 
Di antara hak istri dan menjadi kewajiban suami adalah menjaga agama dan perilakunya dan selalu mengarahkan pada kebaikan dan kebahagiaan. Jangan sampai suami mengajak istri melakukan penyimpangan dan membawanya menuju kerusakan. Jika suami istri saling mengingatkan dalam kebenaran dan saling menolong dalam rangka beribadah kepada Allah SWT  dan mencari keridhaannya, maka hal itu menyebabkan mereka berlomba dalam kebaikan dan sampai kepada jalan yang mulia. Mereka memahami hal yang wajib dan sunnah, dan hatinya dipenuhi dengan takwa dan ketaatan kepada Allah SWT.  Bagi suami istri, agama tidak lagi bernilai dan perhatian mereka hanya terfokus kepada kesenangan dan syahwat, dan segala daya dikerahkan untuk meraih kemewahan dan kekayaan. 
Hanya sedikit orang yang memandang agama sebagai suatu yang penting dan harus dijaga. Kondisi ini menyebabkan rusak dan rapuhnya keluarga. Ajaran agama sirna dari muka bumi. Kebenaran dan kebatilan tidak lagi tampak dan mereka tidak memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Itulah sebabnya mengapa dalam memilih istri, orang harus memperhatikan masalah agama sebab agama dalam kehidupan rumah tangga merupakan keniscayaan agar terwujud ketenteraman dan kebahagiaan. Laki-laki adalah pemimpin dan setiap pemimpin  bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.  
            Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya. Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia, tidak menggariskan secara rinci berbagai aturan di dalam sebuah institusi keluarga. Kebanyakan norma yang dimuat dalam Al-Qur’an bersifat fundamental, universal dan garis besarnya saja, meskipun terdapat pula ayat-ayat yang bersifat konteksual historis. Sedangkan aturan-aturan secara rinci terdapat dalam hadist. Dalam buku-buku kontemporer dan buku-buku populer yang membahas tentang fiqh munakahat banyak disebutkan tentang kewajiban suami mencari nafkah di luar rumah/publik, sedangkan kewajiban istri adalah bekerja di dalam rumah/domestik. Dalam fiqh sebenarnya tidak ada pembagian peran domestik secara dikotomis. 
            Sebagian fuqaha berpendapat, bahwa sang suami tidak boleh menuntut istrinya secara hukum untuk melakukan pekerjaan rumah, karena akad nikah yang terjalin antara mereka berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul antara suami istri untuk menjaga kehormatan diri dan menghasilkan keturunan. Adapun pekerjaan rumah termasuk dalam ruang lingkup kewajiban yang harus diselesaikan suami dalam kehidupan rumah tangga, segala riwayat yang menyebutkan bahwa istri harus melayani suaminya adalah anjuran dan akhlak yang mulia. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Azh Zhahiriyah.[5]
Islam memberikan hak kepada suami yag berarti kewajiban bagi istri sebagai imbalan baginya yang telah memenuhi hak istri. Kewajiban istri atas suaminya adalah dengan menjadikan suami merasa dihargai dan dihormati, dan mencurahkan tenaga dan pikiranya untuk suami, melindungi suami dari keburukan dan godaan. Perempuan wajib mentaati suami namun ketaatan ini bukan berarti dominasi dan kesewenang-wenangan laki-laki secara mutlak.


 Adapun kewajiban seorang istri antara lain:
            1. Menyelesaikan Urusan Rumah Tangga
            Pekerjaan rumah tangga dan menyelesaikan segala pernik-perniknya adalah kewajiban  istri. Laki-laki (suami) berkewajiban mencari nafkah, sehingga tidak masuk akal jika dia masih dibebani dengan urusan rumah tangga. Dalam hal ini para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda, apakah seorang istri harus menyelesaikan pekerjaannya sendiri ataukah menggunakan jasa pembantu. Imam Ibnu Hajar dengan bersandar kepada kisah fatimah putrid Rasulullah Saw ketika dia menghadap Nabi dan meminta agar diberi seorang pembantu untuk meringankan beban rumah tangga. Ibnu Hajar berkata. “At-Tabari berkata: suami tidak harus memenuhinya sekiranya istri memiliki kekuatan untuk menyelesaikan urusan rumah tangga mulai dari memasak, membuat roti dan lain sebagainya, jika secara umum perempuan melaksanakan semua itu sendiri. Alasannya, Ketika fatimah putri Nabi tidak memerintahkan agar pekerjaan itu diselesaikan oleh suaminya. Seandainya yang mesti menyelesaikan adalah Ali, tentu Nabi akan memerintahkannya. Hak dan kewajiban seorang istri sangat relatif, tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada.[6] Berdasarkan firman Allah SWT:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ … (النساء: 19)
Artiinya: “……Dan bergaullah dengan mereka secara patut…..” ( An-Nisa’: 19 ) 
2. Mentaatinya Bila Suami Mengajak Tidur Bersama atau Ketaatan Seorang Istri    Kepada Suaminya
            Muadz berkata, “Rasulullah Saw bersabda, Tidak dibolehkan wanita yang beriman kepada Allah SWT untuk mengijinkan orang lain di rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka, tidak keluar dari rumah sedangkan suaminya tidak suka, tidak mentaati seorang pun (dengan mengabaikan suaminya), tidak meninggalkan tempat tidur suaminya, dan tidak memukul suami. Bila suami dizhalimi (istrinya), istri harus mendatangi suaminya sampai ia rela. Jika suaminya menerimanya, itulah sesuatu yang paling baik dan allah SWT menerima pemaafan wanita itu, menampakkan hujjahnya, dan ia tak berdosa. Sebaliknya bila suami tidak rela, maka berarti ia telah menyampaikan udzurnya di sisi Allah SWT.[7]  Hadits ini memuat sejumlah hak suami (kewajiban istri). 
Nabi Saw bersabda,
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح. (متفق عليه)
Artinya: “Jika seorang suami mengajak istrinya tidur di tempat tidurnya lalu sang istri menolak, kemudian suaminya melewati malam tersebut dalam keadaan marah, maka malaikat akan melaknat istri itu sampai pagi.” ( Muttafaq alaih dengan lafazh Bukhari, sedangkan di dalam riwayat Muslim disebutkan, “Niscaya yang ada di langit akan murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya”).[8]
                                            
            Sedangkan dalam lafazh Muslim disebutkan,
والذي نفسي بيده ما من رجل يدعو امر أته إلى فراشها فتأبى عليه إلا كان الذي في السماء ساخطا عليها حتي يرضى عنها. (رواه مسلم)
Artinya: “Demi Rabb yang  jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya bercampur, lalu sang istri menolaknya melainkan Allah yang ada di langit murka kepadanya sehingga suaminya itu meridhainya.” (H.R. Muslim) [9]      
            Hak dan kewajiban antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga merupakan pembagian tugas yang telah Allah SWT tetapkan berdasarkan keadilan  dan kebijaksanaan, bukan merupakan pembagian tugas yang ditetapkan oleh manusia yang umumnya ditetapkan berdasarkan hawa nafsu, penindasan dan pelecehan.[10]Jadi hak dan kewajiban suami istri harus seimbang. Apabila keseimbangan itu dapat dikerjakan antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga, maka keseimbangan antara hak dan kewajiban dapat terlaksana dengan baik dan penuh dengan tanggung jawab. Maka dari itu, tumbuhkanlah kerjasama yang baik dalam kehidupan rumah tangga antara suami istri agar dapat tumbuhnya keharmonisan dalam keluarga.

B. Peranan Istri Terhadap Nafkah Keluarga
            Hukum keluarga merupakan rangkaian ketentuan mengenai keluarga yang intinya terdiri dari suami, isteri, dan anak. Dalam hukum perkawinan bagi seseorang tidak terlepas dari hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Suami isteri harus bekerja sama dan tidak membebani satu sama lain. Hal ini seperti tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 286 sebagaimana berikut:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (البقرة: 286)
Artinya: “Allah tiada memberati manusia, melainkan sekedar tenaganya. Baginya   (pahala Yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya: Ya Tuhan kami janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau salah. Ya Allah janganlah Engkau pikulkan pekerjaan yang berat di atas pundak kami sebagaimana Engkau pikul di atas pundak orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” (Al-Baqarah:286)
            Selain itu juga mereka harus tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan bukan membuat pelanggaran. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة : 2)
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah:2)
            Dalam Islam tidak ada larangan istri berusaha dan bekerja di luar rumah. Menurut realita banyak istri yang mempunyai usaha karir lebih tinggi dari suaminya. Walaupun demikian status istri lebih tinggi dari suaminya, namun menurut hukum Islam suami tetap sebagai pemimipin dalam keluarga. Ketegasan ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ … (النساء: 34)
Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya…” (An-Nisa’:34)

            Bukanlah merupakan suatu keadilan dan kesejahteraan jika pria dan wanita dipersamakan dalam segala hal. Di samping adanya suasana yang terlebih kurang di kalangan mereka dalam keistimewaan masing-masing. Keahlian masing-masing antara kaum pria dan kaum wanita itu terlihat dalam tingkah laku individu dan keluarganya terutama tugas sebagai ibu dan sebagai ratu yang mengatur kehidupan rumah tangganya.[11]Sudah jelas bahwa wanita itu tidak berdiri sendiri dalam kehidupan jenis manusia dengan memegang pimpinan terhadap seluruh tingkah laku sosial. Selamanya wanita itu bukanlah yang memegang peranan utama dalam menentukan nilai-nilai sosial.
            Namun dalam kehidupan dewasa ini di era globalisasi terlihat suatu fenomena bahwa dalam kehidupan keluarga hampir tidak jelas standar yang digunakan untuk mengukur fungsi dan tugas suami istri dalam kepemimpinan keluarga. Ukuran kepemimpinan itu apakah pada kedudukan pangkat, harta, keturunan atau pada sisi setara sosial lainnya sukar diukur dengan jelas. Dalam undang-undang perkawinan perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga dinyatakan suami adalah kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Sebagai suami wajib melindungi istri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga termasuk tempat tinggal sesuai dengan kemampuanya. Istri sebagai  ibu rumah tangga, wajib mengatur rumah tangga sebaiknya.
            Perkataan “ibu rumah tangga” ini tidak boleh dipandang sebagai penyurutan kedudukan atau pengurangan kemitraan suami istri, pria dan wanita. Ia hanya pernyataan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Perumusan ini tidak boleh pula diartikan sebagai alasan pelarangan istri yang mempunyai kemauan  dan kemampuan untuk bekerja diluar rumah tangga.
            Seorang ibu (istri) behak melakukan pekerjaan yang sesuai kodratnya sebagai wanita, asal saja ia sebagai istri tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang bertugas mengembang “mawaddah” (cinta) dan “rahmah” (kasih saying) dalam keluarga antara suami istri dan anak-anak untuk menciptakan sakinah (ketenangan) guna mencapai kebahagiaan suami istri khususnya anggota keluarga seluruhnya. [12] Sebagai contoh misalnya dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa hak wanita itu sama dengan hak laki-laki dan tugas wanita itu juga sama dengan tugas laki-laki. Yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka membunyikan apa yang diciptakan Allah SWT dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai suatu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 228)      
            Penentuan kewajiban suami untuk mencari nafkah kepada wanita (istri) lebih pantas dan lebih baik daripada pembebanannya kepada wanita (istri) yang berarti suatu penganiayaan. Dengan memberi tugas mencari nafkah, wanita (istri) itu masih harus memikul tugas kehamilan dan melahirkan dan sebagainya dalam mengatur kehidupan rumah tangganya.[13]  
            Drs. H. Kahar mengatakan, jika wanita tidak mempunyai suami atau lainnya yang menjaga kehidupannya maka bolehlah ia keluar rumah berusaha asal keamanannya tidak terganggu. Akan lebih baik jika mengadakan usaha di rumah sendiri seperti industri kecil yang biasa dilakukan oleh wanita Jepang dan lainnya dari negara yang termaju.[14] Namun dalam era dunia modern sekarang, penguasa ilmu pengetahuan tidak lagi dimonopoli oleh kaum pria, tetapi telah melibatkan kaum wanita sehingga dapat mencapai kemajuan yang luar biasa akibat kedudukan dan derajat wanita yang meningkat. Mengenai pembiayaan rumah tangga, Islam tidak memberi suatu patokan tentang jumlah maksimal atau minimal yang harus diberikan kepada keluarga, tetapi kewajibannya menurut batas kemampuan dan kepatutan dari hasil usahanya secara makruf yang disesuiakan menurut keadaan di suatu tempat. Dan hal ini sudah dijelaskan dalam surat at-Thalak ayat 7.
            Berdasarkan ayat di atas dapatlah dipahami bahwa Allah tidak membatasi jumlah biaya rumah tangga yang harus diberikan keluarganya. Diwajibkan hanya sekedar keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan kekuatan yang berkewajiban menurut adat di suatu tempat.
            Dalam kaitan ini suami istri mempunyai tugas bersama menurut fungsi dan bidangnya masing-masing agar terwujud kedamaian dalam rumah tangga. Istri sebagai pendidik dan pengelola tidak hanya sekedar menerima adanya yang dibawa pulang oleh sang suami, tetapi istri juga harus pandai dalam mengatur dan memamfaatkan harta yang diberikan oleh suami. Anggaran biaya rumah tangga hendaknya diatur sedemikian rupa karena pemborosan dalam penggunaannya akan berakibat ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
            Kedudukan wanita sebagai individu masyarakat dapat dilihat di awal kebangkitan Islam di mana banyak wanita secara aktif turut menegakkan kebenaran dan memberikan andil usaha perbaikan di dunia. Dalam  usaha menjalankan ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw dibantu dan didukung oleh kaum wanita yaitu istrinya Siti Khadijah. Sungguhpun bagi kaum wanita kurang dibenarkan untuk mengendalikan jabatan pemimpin baik dilakukan sendiri maupun bersama kaum pria. Namun pada permulaan Islam terdapat  banyak wanita terpelajar dan terkemuka yang saling bahu membahu dengan kaum pria dalm mempertahankan kebenaran.
            Adalah suatu tindakan yang rasional apabila menghalangi wanita melibatkan diri dalam tanggung jawab sosial yang sepatutnya dipertanggung jawabkan kepada wanita. Alangkah lebih baik jika waktu bekerja bagi wanita diberi kelonggaran untuk memudahkan bagi mereka menyesuaikan waktu untuk urusan rumah tangga. Wanita yang bersuami yang berkemampuan untuk menanggung perbelanjaan rumah tangga hanya dibenarkan keluar rumah untuk bekerja dengan beberapa syarat. Diantarnya tidak terhalang dari menjalankan tanggung jawab kepada keluarga. Mereka mestilah mampu mencurahkan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Sekiranya dikhawatirkan menimbulkan kebencian suami karena gagal berperan di rumah tangga, maka wajib para istri tidak dibenarkan bekerja di luar rumah, tidak mengabaikan asuhan dan pendidikan terhadap anak-anak. Demikian juga setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT. Apabila istri gagal dalam menjalankan tanggung jawab sebagai istri, maka pekerjaan baginya tidak dibolehkan, tetapi mereka hanya berkewajiban mengurus keluarga dan rumah tangganya saja.[15]
            Sebaliknya jika suami tidak berkemampuan dan istri ingin membantu maka dalam keadaan darurat ini mereka boleh bekerja dengan beberapa ketentuan seperti adanya izin  suami, suasana pekerjaan yang terpelihara dari hal mungkar. Dalam hal ini Allah SWT menerangkan, antara pria dan wanita mempunyai hak yang sama sebagai anggota masyarakat. Wanita boleh saja membantu suaminya dalam hal mencari nafkah sesuai dengan kodratnya.
            Dari semua penjelasan di atas, jelaslah kaum wanita boleh memainkan peranan di luar rumah tergantung kemampuan mereka dalam menyelesaikan urusan keluarga dan rumah tangganya serta dalam suasana yang dapat menjamin terpeliharanya batas-batas yang telah ditetapkan oleh Islam bagi seorang muslimah.

C. Konsekwensi Keikutsertaan Istri dalam Menafkahi Keluarga
            Pada dasarnya agama Islam telah menetapkan yang bertanggung jawab menafkahi keluarga adalah suami, sedangkan istri berkewajiban mengurus rumah tangga. Walaupun nafkah adalah kewajiban seorang laki-laki (suami) untuk mencukupinya, namum tidak ada dalil yang melarang seorang perempuan (istri) bekerja untuk mendapatkan penghasilan guna membantu suaminya dalam menafkahi keluarganya. Bahkan dengan bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri, seorang istri lebih leluasa dalam bersedekah dan dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
            Alangkah terpujilah bagi seorang istri apabila memiliki kelebihan harta dan warisan atau hasil kerja bila mau membantu suaminya yang sedang dalam keadaan melemah perekonomiannya, hingga iklim keluarga berada dalam kelapangan. Selain itu, nilai istihbabnya menjadi lebih tinggi saat memberikan nafkah bagi suami yang tidak memiliki nafkah. Manakala istri membantu suaminya, maka ia telah meraih dua fadhilah, yaitu menyambung tali keluarga dan berinfak di jalan Allah SWT.  Dan jangan sekali-kali apa yang telah diberikan kepada suami, diungkit-ungkit sehingga dapat merendahkan martabat suami sebagai kepala rumah tangga.
            Adapun kosenkuwensi atau akibat yang timbul karena keikutsertaan istri menafkahi keluarga , antara lain:
1.   Harga diri suami merasa direndahkan oleh istri. Meski begitu, kita bisa menemukan ketidakterpenuhinya kebutuhan nafkah dalam keluarga. Terkadang para istri ragu bahwa suami mereka menafkahi dengan cara yang makruf atau para suami yang terdiam atas luka yang menyakitkan karena istri membelanjakan hartanya tanpa kemakrufan. Begitulah, kehangatan akan mencair dan berubah menuju keretakan, sehingga kehidupan keluarga pun membeku manakala muncul problem “uangku dan uangmu. Terutama ketika istri bekerja dan memiliki pendapatan tetap dan akan terjadi perdebatan.[16] 
2.   Keikutsertaan istri dalam menafkahi keluarga dapat menimbulkan beban  yang sangat berat bagi seorang istrei yang  bekerja di luar rumah. Seorang laki- laki barangkali memang melakukan  kerja yang melelahkan di luar rumah. Tetapi, selepas kerja dia bisa pulang ke rumah dan menghilangkan penatnya. Sedangkan wanita karir atau istri yang bekerja di luar rumah, sepulangnya ke rumah dia masih dihadapkan dengan tugas-tugas rumah tangga dan keperluan anak dan suaminya. 
      Akan tetapi, dalam Islam seorang suami disunnahkan membantu istri dalam menyelesaikan urusan rumah tangga ketika istri terlalu sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang dianggap sunnah. Dan wajib bagi sang suami membantu istri jika pekerjaan yang dilakukan istrinya itu adalah pekerjaan yang termasuk katagori wajib.
            Sifat saling merelakan antara pasangan suami istri dalam berbagai macam urusan adalah suatu hal yang sangat terpuji. Hal itu merupakan modal utama bagi keluarga yang didirikan di atas cinta dan kasih sayang serta saling berbagi suka dan duka. Jika hal itu tidak disertai sikap saling merelakan, kemungkinan besar akan terjadi pertikaian dalam hal hasil yang diperoleh istri dari pekerjaannya. [17]

D. Batasan-Batasan Hukum Tentang Kebolehan Istri Bekerja
            Masalah wanita (istri) yang berkarier atau seorang istri yang bekerja di luar rumah memang jadi bahan pertentangan antara pendukung dan penentangnya. Yang mendukung tentu datang dengan sejumlah dalil serta argumentasi. Dan yang menentangnya pun tidak kalah kuat dalil dan argumentasinya.
a.   Pendapat yang mendukung seorang wanita bekerja di luar rumah
            Diriwayatkan dari cerita Khadidjah ra. Adalah seorang pebisnis. Rasulullah punya seorang istri yang tidak hanya berdiam diri di rumah serta bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita (istri) yang aktif di dunia bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya, beliau pernah menjalin kerjasama bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya, tidak berarti istrinya itu berhenti dari aktifitasnya.
            Wanita (istri) yang bekerja di luar rumah hukumnya boleh, dengan catatan memperlihatkan dan menjaga batas-batas atau adat Islam, yaitu tidak ikhtilath (berbaur dengan lelaki dan perempuan lain), dari terhindar dari fitnah. Dalam kondisi normal, yang seharusnya tampil di depan umum terdiri dari kaum laki-laki. Dalam kondisi tertentu, yakni ada kebutuhan obyektif, baik dalam skala umum atau khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain wanita yang bersangkutan. Ia boleh tampil di muka umum untuk menyampaikan dakwah atau memberikan pelajaran dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Islam.[18]
            Islam menuntut agar wanita (istri) bekerja dalam bidang yang sesuai dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja dan mengikut ketentuan yang telah digariskan oleh agama. Seorang istri boleh bekerja jika ada salah satu dari sejumlah keadaan yang membolehkan seorang istri bekerja di luar rumah. Dengan demikian keluarnya wanita (istri) dari rumah untuk bekerja tidak menimbulkan masalah bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat umumnya. Diantaranya Wanita (istri) yang bekerja di luar rumah harus tahu batas-batasnya dalam bekerja, yaitu:
1.   Bagi seorang wanita yang sudah menikah atau sudah bersuami adalah hak suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk bekerja di luar rumah, karena persetujuan suami bagi istri yang bekerja merupakan syarat pokok yang harus dipenuhi karena suami dalam keluarga adalah pemimpin bagi wanita.[19] Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ … (النساء: 34)
Artinya: “Kaum lelaki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri)……(an-Nisa’: 34)[20]
            Mendapat izin adalah  hal yang perlu didapatkan dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Pada dasarnya memang wanita (istri)harus mendapatkan izin suami untuk keluar rumah. Dan ini sebenarnya sangat manusiawi sekali. Tidak merupakan beban dan paksaan atau menjadi halangan. Izin dari suami harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian serta wujud tanggung jawab seorang yang idealnya menjadi pelindung. Semakin harmonis sebuah rumah tangga, maka semakin wajar bila urusan izin keluar rumah ini lebih diperhatikan. Namun tidak harus juga diterapkan secara kaku yang mengesankan bahwa Islam mengekang kebebasan wanita.[21] Jadi ini sangat tergantung dari bagaimana seorang wanita (istri) dan pasangannya memahami dan menerapkannya dalam  rumah tangga.
2.   Pekerjaan itu tidak menimbulkan khalwat, yang dimaksud dengan khalwat adalah berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di dalam tempat atau ruangan tertutup.
3.   Menghindari pekerjaan yang tidak sesuai dengan karakter psikologis wanita. Dan wanita harus dapat menjauhi pekerjaan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya atau pekerjaan yang dapat merusak harga dirinya. Seperti memjadi pelayan di klap malam atau diskotik yan melayani kaum laki-laki sambil menyanyi atau menari, atau menjadi model produk tertentu untuk menarik dan memikat para pembeli.
4.   Menjauhi segala sumber fitnah. Wanita yang  bekerja di luar rumah harus memakai pakaian yang dibolehkan oleh syara’, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 59.[22]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزب: 59)
Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyanyang.” (Al-Ahzab: 59)
       5.  Menjaga pandangan yang artinya tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan.
6.   Menyamakan antara tuntutan rumah tangga dan tuntutan kerja. Wanita (istri) bekerja di luar rumah harus sanggup mengatur waktu untuk kepentingan keluarga dalam urusan rumah tangga, menjaga hak suami, mendidik anak-anak. Jangan dengan sebab kerja kepentingan rumah tangga diabaikan.[23]

b.   Pendapat yang menolak wanita bekerja di luar rumah
            Sedangkan mereka yang cenderung menolak kebolehan wanita bekerja di luar rumah, juga punya dalil dan argumen yang tidak bisa disepelekan. Diantaranya adalah:
Dalil Al-Qur’an , Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزب: 33)
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkahlaku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbalt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
            Allah SWT telah berfirman tentang keharusan wanita menetap di dalam rumah, tidak untuk keluar berpergian kesana kemari, mengisi tempat-tempat pekerjaan laki-laki, serta menjadi penghibur nafsu syahwat mereka. Dan hendaklah kamu (para wanita atau istri) tetap di rumahmu dan jangan  berhias dan bertingkahlaku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
            Dan mereka tidak membandingkan kondisi zaman  Rasulullah dengan zaman sekarang karena bagi mereka tidak relevan. Sebab kondisi sosialnya sudah berbeda. Para sahabat yang tinggal di Madinah adalah orang-orang yang suci, bersih dan sangat menjaga diri dari fitnah. Demikian juga dengan hukum yang berlaku adalah hukum Islam, di mana hampir tidak ada celah sedikitpun untuk bisa terjadinya penyelewengan. Maka kondisi yang sedemikian baik itu, bolehlah para istri keluar rumah tanpa khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Sedangkan yang terjadi sekarang ini justru sebaliknya.
            Di antara aktifitas wanita (istri) ialah memelihara rumah tangganya, membahagiakan suaminya dan membentuk keluarga bahagia yang tentram, damai dan penuh kasih sayang. Namun tidak berarti bahwa wanita (istri) bekerja di luar itu diharamkan oleh syara’. Karena tidak seorangpun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa ada nash syara’ yang shahih dan jelas.
            Berdasarkan dua pendapat yang saling bertentangan di atas dapat disimpulkan bahwa, seorang istri dibolehkan bekerja di luar rumah asalkan mengetahui batas-batas seorang istri yang bekerja di luar rumah dan tidak melenceng dari kodratnya seorang wanita (istri). Dalam hal ini, disunnahkan bagi wanita melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan berikut ini: membantu suami, ayah atau saudaranya yang miskin, berniat mencapai suatu kepentingan besar bagi masyarakat Islamn serta berkorban demi kebaikan.
            Dan seorang suami pun disunnahkan membantu istri dalam menyelesaikan urusan rumah tangga ketika istri terlalu sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang dianggap sunnah. Dan wajib bagi sang suami membantu istri jika pekerjaan yang dilakukan istrinya itu adalah pekerjaan yang termasuk dalam katagori wajib.[24]

BAB III
PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG
ISTRI MENAFKAHI SUAMINYA
A.  Biografi Ibnu Hazm
1.    Riwayat Hidup Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibnu Hazm, ialah Ali Ibn Ahmad Ibn Sa”id Ibn Hazm Ibnu Ghalib Ibn Shalih Ibn Sufyan Ibn Yazib.[25] Kun- yahnya Abu Muhammad dan nama inilah yang sering dipergunakannya pada kitab-kitabnya, tetapi ia terkenal dengan nama Ibnu Hazm. Lahir di Andalusia atau daerah tenggara kota Cordova (semenanjung diberi nama Spanyol dan Portugal sekarang). Pada hari terakhir  Ramadhan tahun 384 H, di waktu dini hari sebelum terbit matahari dan ketika sang imam subuh selesai mengucap salam. Kelahiran Ibnu Hazm ini bertepatan dengan 7 November 994 M.[26]
Sejarah kelahiran Ibnu Hazm telah diserahkan oleh Abu Muhammad dengan tulisan tangannya kepada hakim Sa’id bin Ahmad al-Andalusia. Perhatian dan ketelitian atas kelahirannya ini menunjukan bahwa kedudukan keluarga Ibnu Hazm dikenal terpandang dan mulia. Kakeknya bernama Yazid adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari para kakeknya, dan beliau berkebangsaan Persia sedangkan Khalaf adalah kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia. Dengan demikian Ibnu Hazm adalah seorang berkebangsaan Persia yang dimasukkan ke dalam golongan Quraisy dengan jalan mengadakan sumpah setia dengan Yazid Ibn Abu Sofyan itu. Karena itulah Ibnu Hazm berpihak kepada Bani Umaiyyah.
Masa lahir beliau di Spanyol pada masa yang tragis dan krisis bagi umat Islam di Spanyol. Meskipun pada masa itu lingkungan budaya dan ilmu pengetahuan sudah cukup maju. Cordova tempat kelahiran Ibnu Hazm, sebagai pusat ibu kota Spanyol yang telah berkembang menjadi kota administrasi dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan dengan berkembangnya perpustakaan dan Universitas Cordova. Sementara Toledo telah menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani seperti filsafat ilmu kedokteran, ilmu pasti, alam dan matematika.[27] Ayah Ibnu Hazm termasuk golongan orang cerdas yang berpendidikan cukup tinggi dibidang ilmu dan kebudayaan.
Ibnu Hazm dibesarkan dalam keluarga kaya, namun dia memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan kemegahan. Ibnu Hazm menghafal al-Qur’an di purinya sendiri, diajarkan oleh inang pengasuh yang merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang penuh kepada pendidikannya dan memperhatikan bakat dan arah kehidupannya. Oleh karena gerak-geriknya di dalam Istana diawasi dengan ketat oleh inang pengasuhnya, maka terpeliharalah dia dari sifat-sifat anak muda. Ibnu Hazm mempelajari ilmu yang biasanya dipelajari oleh pemuda-pemuda bangsawan dan penguasa, yaitu menghafal al- Qur’an, menghafal sejumlah syair dan menghadapi guru-guru utama untuk memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka.[28]



Semenjak umur 14 tahun. Ia menikmati keadaan aman tenteram dan penuh kebahagiaan. Tetapi setelah itu dispanyol terjadi peristiwa-peristiwa politik kehidupan keluarga berganti suasana, yaitu terjadi bentrokan antara pribumi spanyol, barbal dan siar. Dalam huru-hara politik itu, jatuhnya dinasti Amirid yang kemudian digantikan oleh Hisyam II (M. Al-Mahdi) dari keturunan umayyah, sehingga kekuasaan ayahnya. Dalam situasi itu ayahnya bejuang dipihak Al-mahdi untuk mengusir orang-orang siar sambil berusaha mempertahankan istananya yang terletak di madinah zahira, tetapi keadan tidak dapat di bendung lagi, keluarganya mendapat tekanan politik, sehingga ayahnya meningga dunia ( 402. H ). Disat itulah Ibn Hazm mulai menempuh kehidupan keras. Seluruh keluarganya mengungsi kebarat Maghlith ( 1013 M ) yang tahun itu pula tempat inipun dihancurkan, oleh karna itu ia bertahan dan berjuang di Almeria sampai mendapat suatu politik ( 1016. M ) yang diratifikasi antara Gubernur kota itu dengan barban yang di pimpin oleh Sulaeman.[29]
Ibnu Hazm wafat pada hari ahad, dua hari terakhir bulan sya’ban 456 H di padang laplah. Ada juga yang menyebut bahwa ia wafat di mantu laisyim. Desa kelhiran Ibnu Hazm. Umurnya ketika wafat adalah 71 tahun 10 bulan 29 hari. Dengan wafatnya Ibnu Hazm, masyarakat mulai merasakan keikhlasan dan keseriusannya terhadap ilmu dimana mereke telah memojokkan dirinya. Ia hidup berkeliling di beberapa negri, tidak pernah menetab, dan tidak merasakan ketenangan. Allah SWT hendak berbuat adil pada seorang berilmu ini setelah kematiannya dimana ia hidup terasing dengan ilmu dan akhlaknya.
Al-Manshur Al-Wahhidi, Khalifah ketiga dinasti Al-Muwahhidin, pernah mengunjungi kuburan Ibnu Hazm dengan serius seraya menyatakan kesaksian sejarah hampir semua manusia berbuat lazim terhadap Ibnu Hazm.[30]

2.    Pedidikan dan Guru Ibnu Hazm.
Semenjak Ibnu Hazm meranjak dewasa, pihak keluarganya mulai mengarahkan pendidikan Ibnu Hazm pada majlis-majlis ilmu yangter dapat di Mesjid Cordova. Ibnu Hazm mulai bertatab muka dan berdialog dengan beberapa gurunya. Guru pertama Ibnu Hazm adalah Abu Umar Ahmat bin Muhammad bin Al-Jaswar sebelum tahun 400H. Guru-guru Ibnu Hazm lainnya adalah Abu Muhammad Ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf bin Nami yang dikenal sebagai tokoh yang santun dan utama, tidak pernah berhenti mengumandangkan Al-Qur’an Al-karim di rumah seseorang berakhlak baik, khusyuk banyak menangis, dapat diterima apa yang diriwayatkan darinya dan memelihara agamanya.
Gurunya yang lain adalah Mas’ud bin Sulaiman bin Maflod Abu Al-Khayyar. Dari Guru ini, Ibnu Hazm menerima Pendapatnya tentang mazhab Azh-Zhahiri sehingga ia menjadi pemimpin tunggal mazhab ini.Adh-Dhabi berkata, Abu Muhammad bin Hazm menyebut salah satu gurunya, Mas’ud bin Sulaiman sebagai ahli fikih, Ilmu dan zuhud yang cendrung memilih pendapat azh-zhahiri.[31] Ibnu Hazm belajar ilmu logika dan kalam dari Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Abu Yazid Al-Mishri. Terhadap gurunya ini berkomentar, “Saya ingat masalah ini-awal pergolakan politik sesungguhnya saya memperoleh kesuksesan dalam beberapa waktu di Cordova, di dekat kuburan seorang amir, dalam lingkungan sedikit murid-murid sedangkan tentang filsafat dan ilmu kepurbakalaan kepada Abu Abdullah Muhammad Ibnu Al-Hasan Al-Maziji. Lebih dari itu Ibnu Hazm juga membaca karya-karya filsafat yang telah diterjemah kedalam bahasa arab dari filsafat plato dan an’stoteles.
            Berbagai disiplin ilmu dan beberapa orang guru telah membetuk kerangka berpikir Ibnu Hazm yang bersifat menyeluruh. Pengalaman belajar Ibnu Hazm dilaluinya dengan berpidah-pindah, yakni Cordova, Murcia, Jativa, Valencia dan kota-kota lain sekitar Codova. Perpidahan yang dialaminya berkaitan dengan keadan polititik Spanyol yang tidak menentu. pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fiqih Maliki karna guru-gurunya bermazhab dengan mazhab itu, selama itu mazhab Maliki adalah mazhab resmi Andalusia. Ibnu Hazm Pernah mengatakan dua mazhab yang berkembang melalui tangan tangan kekuasaan penguasa adalah mazhab hanafi di timur dan mazhab Maliki di barat. 
            Setelah itu Ibnu Hazm menemukan kritikan-kritikan yang dilakukan oleh Asy-Syafi’i terhadap Maliki. Karena itu Ibnu Hazm meninggalkan mazhab imam Maliki yang merupakan mazhab penduduk negeri Andalusia pada masanya, dan berpindah pada mulanya ke mazhab Syafi’i. Sambil mengikuti Syafi’i, Ibnu Hazm mempelajari mazhab ulama-ulama Irak. Walaupun mazhab Hanafi juga tidak berkembang di Andalusia, namun di situ berdiam juga ulama-ulama yang bermazhab Maliki.


            Dengan mempelajari mazhab-mazhab lain, Ibnu Hazm melakukan perbandingan mazhab. Dan akhirnya dia tertarik pada mazhab azh-Zhahiri yang dikembangkan oleh Daud al-Asfahani. Secara sendiri tanpa bergantung pada imam-imam yang lain. Inilah salah satu sebabnya terciptanya pertentangan keras antara Ibnu Hazm dengan masyarakat sehingga dia tidak tenang sampai kemudian meninggalkan kekayaan dan dunia. Mazhab Zhahiri berprinsip  hanya berpegang pada nash semata. Larangan dan suruhan hanya berdasarkan nash atau asar, apabila tidak ada nash baru dipakai istihsan. Ibnu Hazm mempelajari mazhab Zhahiri selain melalui pembacaan kitab, juga melalui seorang guru bernama Mas’ud Ibn Sulaiman. Mazhab Zhahiri inilah yang dipeganginya sampai akhir hayat.[32]  

3.    Karya-Karya Ibnu Hazm  
Di antara keistimewaan Ibnu Hazm adalah karyanya yang banyak dan beragam yang mempengaruhi pemikiran manusia, banyak pencari ilmu belajar dari karya-karya itu. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa beragam kesusahan dan kesengsaraan yang dilancarkan lawan-lawan semasanya, telah mendorong Ibnu Hazm melahirkan karya yang banyak dan bermamfaat. Dalam muqaddimah kitab al-Fasl fi al-Milal wa an-Nihal yang ditulis oleh Ibn Khallikan, dinyatakan jumlah karangan-karangan Ibnu Hazm meliputi bidang Fiqh, hadits, mustalah al-hadits, aliran-aliran agama, sejarah, sastra, silsilah dan karya apologetik yang kurang lebih 400 jilid yang terdiri dari 80.000 lembar ditulis tangan sendiri, Karya-karya Ibnu Hazm tidak dapat diketahui semuanya, sebab sebagian besar karyanya musnah terbakar oleh penguasa dinasti al-Mu’tadi (1068-1091 M).
Adapun karya-karya Ibnu Hazm yang terlacak antara lain:
a.    Al-Ihkam fi ushul al-Ahkam (8 jilid), memuat ushul fiqih mazhab az-Zdahiri menampilkan juga pendapat-pendapat ulama di luar mazhab az-Zdahiri sebagai perbandingan.
b.    Al-Muhalla (13 jilid), buku fiqih yang disusun dengan metode perbandingan, penjelasannya luas, argumen, Al-Qur’an, hadist dan ijma’ yang dikemukakan sangat memadai.
c.    Ibtal al-Qiyas, pemikiran dan berbagai argumentasi dalam menolak kehujjahan qiyas.
d.    Tauq al-Hamamah, karya autobiografi Ibnu Hazm yang meliputi perkembangan pendidikan dan pemikirannya ditulis pada tahun 418 H.
e.    Nuqat al-‘Arus fi Tawarikh al-Khulafa, yang mengungkap para khalifah di Timor dan Spanyol.
f.      Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, teologi yang disajikan dalam metode perbandingan agama dan sekte-sekte dalam Islam.
g.    Al-Abtal, pemaparan Ibnu Hazm dalam argumen-argumen mazhab az-Zdahiri.
h.    At-Talkhis wa at-Takhlis, pembahasan rasional masalah-masalah yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an dan sunnah.
i.      Al-Imamah wa al-Khilafati al-Fihrasah, sejarah Ibnu Hazm dan asal usul leluhur mereka.
j.      Al-Akhlaq wa as-Siyar fi Mudawwamah an-Nufus, sebuah buku sastra Arab dan
k.    Risalah fi Fada’il ahl al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tentang Spanyol. Ditulis khusus untuk sahabatnya Abu Bakr Muhammad bin Ishaq.[33]

B.  Pendapat Ibnu Hazm tentang Istri Menafkahi Suaminya.
Tentang nafkah, para ulama sepakat mengenai kewajiban seorang suami untuk menafkahi istrinya.[34] Jika demikian Ibnu Hazm termasuk di dalamnya. Mereka berbeda pendapat tentang empat permasalahan yaitu waktu kewajibannya, ukurannya, siapakah yang berhak menerimanya dan siapakah yang wajib menerimanya.[35] Akan tetapi yang membuat Ibnu Hazm berbeda pendapat dengan para ulama yang lain apabila seorang suami tidak ada kemampuan (kesanggupan) dalam menunaikan kewajibannya yaitu menafkahi istrinya, maka kewajiban itu berpindah kepada istrinya. Dalam catatan istrinya seseorang yang kaya atau berkemampuan dalam menafkahi suaminya. Dan  Ibnu Hazm berpendapat seorang istri tidak diperbolehkan memfasakh suaminya yang disebabkan suami tidak sanggup menafkahi istrinya. Pendapat ini di tegaskan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya yang berjudul Al-Muhalla Bil Atsar Juz 9.
Apabila suami sanggup memberi nafkah menurut kesanggupannya baik itu sedikit ataupun banyak, maka yang wajib ditunaikan oleh suami dengan kadar kesanggupannya. Dan apabila tidak sanggub menunaikan nafkah istrinya sama sekali, maka gugurlah nafkah atasnya (suami) jikalau sewaktu-waktu suami tesebut kaya. Istripun tidak boleh menuntut ganti rugi atas nafkah yang telah diberikan kepada suaminya pada saat suami miskin.
            Ibnu Hazm menyatakan:
فمن قدر على بعض النفقة والكسوة، وهو قادر عليها فسواء قل مايقدر عليه    أوكثر:  الواجب أن اقضى عليه بما قدر، ويسقط عنه ما لايقدر على شئ من  ذلك سقط عنه،  ولم يجب ان يقضى عليه شيئ،  فإن أيسر بعد ذلك قضى   عليع من حين يوسر،  ولا يقضى عليه شيئ مما انفقته على اوكسوة مدة عسره،  

Artinya: Seseorang (suami) yang sanggup memberi nafkah baik itu sedikit ataupun banyak, maka suami wajib menunaikan menurut kadar kesanggupannya, jika (suami) tidak sanggup sama sekali memberi nafkah untuk istrinya maka gugurlah nafkah atasnya (suami), dan tiada wajib nafkah atasnya (suami) jika sewaktu-waktu suami tersebut kaya untuk menunaikan nafkahnya di waktu suami mampu, dan tidak boleh menunutut oleh isttri akan ganti rugi nafkah yang tidak diberikan suaminya ketika miskin.[36]
             Dengan pernyataan demikian, sangat terlihat perbedaan pendapat antar mazhab lain. Ibnu Hazm berpendapat seperti itu berlandaskan Firman Allah SWT:
4 لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا 4  (الطلاق  : 7)  
Artinya:......Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...............(Q.S. Ath-Thalaq : 7)
            Dalam penafsiran ayat di atas Allah SWT tidak membebani seseorang untuk memberikan nafkah kepada orang yang harus ditanggungnya, kecuali sekedar yang diberikan Allah kepadanya.[37] Janganlah wahai istri menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suamimu serta ayat di atas ditafsirkan seorang hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan fasakh bagi wanita (istri) disebabkan kemiskinan suaminya.[38]Dengan berlandaskan ayat tersebut dapat memperkuat pendapat Ibnu Hazm yang bahwa seorang istri tidak boleh memfasakh suaminya karena tidak sanggup memberi nafkah kepadanya baik karena tidak ada pekerjaan, sakit dan sebagainya. Apabila istri mampu (seorang yang kaya) wajib menafkahi suaminya.
            Ibnu Hazm menyatakan demikian dengan alasan, bahwa tidak benar menjadikan riwayat yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah berpendapat dengannya dan mengamalkannya, sebagai dasar pembatalan nikah (meminta fasakh) dengan disebabkan seorang suami tidak mampu menunaikan kewajibannya yaitu tidak memberi nafkah untuk istrinya.Telah diketahui bahwasanya nafkah merupakan hak istri yang  menjadi kewajiban bagi suami. Menurut Ibnu Hazm sudah sepatutnya sikap seorang istri apabila suami tidak mampu memberi nafkah, maka istri yang kaya wajib memberikan nafkah untuk suaminya yang miskin (tidak mampu menafkahinya). 
                          Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar-hafizhahullah berkata : “Al-hanafiyah (para ulama mazhab Hanafi) membolehkan seorang istri berhutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberi nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) berpendapat seorang istri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan fasakh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi istri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan.[39]  
            Dari pendapat di atas Ibnu Hazm menyimpulkan dari kata-kata nafkah bagi istri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan, maka menurut beliau dengan adanya suatu ikatan perkawinan antara suami istri sudah sepatutnya istri tetap mendampingi suaminya dalam keadaan susah maupun senang. Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa suatu pernikahan itu tidak dapat diserupakan dengan jual beli dengan alasan bahwa ketidakmampuan suami dalam menunaikan kewajibannya yaitu menafkahi istrinya. Dalam pernyataan Ibnu Hazm: “karena jual beli itu merupakan perpindahan hak milik, sedangkan hal itu tidak terdapat dalam pernikahan”.    
            Ibnu Hazm juga berkomentar tentang hadits:
Dan hadits Abu Hurayrah juga yang diriwayatkan oleh Nasa’i:
 وعن أبي هريرة رضي الله عنه : قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اليد العليا خير من اليد السفلى، ويبدأ أحدكم بمن يعول. تقول المرأة : أطعمني، أو طلقني. رواه الدار قطني، وإسناده حسن.

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima). Hendaklah salah seorang diantara kalian memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggungannya. Berkatalah seorang istri, ‘Beri aku makan atau ceraikan aku.” (Hadits riwayat ad-Daruquthni dan sanadnya hasan).[40]
                          Oleh karena suami tidak mampu menjaga istrinya dengan patut (ma’ruf), maka istri menuntut fasakh kepada suaminya. Ibnu Hazm tidak sepakat dengan hadist tersebut, karena dapat memudharatkan salah satu pihak yaitu pihak suami. Jika suami dalam keadaan tidak mampu, maka istri pun  dapat memaklumi keadaan suaminya. Dan Ibnu Hazm mengatakan, jika wanita tersebut (istri) dalam katagori mampu (seorang yang kaya) maka kewajiban itu jatuh kepundaknya dalam artian istri diwajibkan menafkahi suaminya. 
            Disamping itu istri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang suami tidak mampu dalam menunaikan kewajibannya, dan ini telah dijelaskan dalam surat at-Thalaq ayat 7. Dan jikalau istri ikut serta dalam membantu suaminya dibidang keuangan keluarga, maka janganlah seorang istri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami maupun keluarga, karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahalanya si istri.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (البقرة : 264)

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaanya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak membolehkan sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.(Q.S. Al-Baqarah: 264)
                          Ulama Maliki salah satunya mendukung pendapat Ibnu Hazm dengan menyatakan bahwa gugur nafkah daripadanya suami dengan sebab kefakirannya selama ia berada dalam kesempitan belanja, dengan arti kata tidak wajib ke atas suami menanggung nafkah dan tidak menjadi hutang bagi suami. Oleh karena itu, istri tidak berhak menuntut fasakh, kecuali apabila suami telah beroleh kesenangan. Disamping itu Malik berpendapat bahwa ukuran nafkah tidak dibatasi dengan syari’at, dan itu kembali kepada keadaan yang dialami suami dan istri. Hal itu berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan kondisi. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa suami lah yang wajib menafkahi istrinya dalam keadaan apapun baik dalam keadaan mampu ataupun tidak mampu menurut kemampuannya.[41]  
            Sebab terjadinya perbedaan pendapat yaitu ketidakjelasan arti nafkah dalam pembahasan ini, apakah dalam artian memberi makan dalam kafarat atau memberi pakaian. Mereka sepakat bahwa memberi pakaian itu tidak dibatasi sedangkan memberi makanan dibatasi.[42]  
Dan perlu digaris bawahi, nafkah istri wajib disesuaikan dengan kelapangan dan kesusahan suami. Jika keadaan suami penuh dengan kelapanga, maka diwajibkan bagi suami menafkahi istri dengan cara yang baik, tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Sedangkan bagi keadaan suami yang serba kekurangan, maka menurut Ibnu Hazm istri harus memaklumi keadaan suaminya, dan jika istri mampu (kaya) maka diwajibkan bagi istri untuk menafkahi suaminya. Dan istri pun harus ridha (rela) atas yang telah diberikannya kepada suaminya, karena itu merupakan kewajiban moral.
            Mengenai nafkah atau pakaian Ibnu Hazm berbeda pendapat, beliau mengatakan: Jika suami tidak memberi nafkah atau pakaian untuk istrinya dengan tujuan menzhalimi istrinya ataupun karena suami itu fakir yang tidak ada kemampuan untuk menafkahi istrinya, maka istri tidak diperbolehkan berbuat yang demikian itu juga. Karena sesungguhnya yang demikian itu sekalipun suami melakukan kezhaliman terhadap istrinya, maka tidak boleh bagi istri tidak menunaikan kewajibannya atau hak bagi suami. Istri hanya diperbolehkan membagi harta suami dan istri mendapat harta suami dengan kadar haknya istri.[43]
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
 عن عائشة رضي الله عنها قالت : د خلت هند بنت عتبة – امرأة أبي سفيان – على رسول الله صلى الله عليه وسلم . فقالت : يارسول الله ! إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني، إلا ما أحدت من ماله بغير علمه، فهل علي في ذلك من جناح؟ فقال : خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك، ويكفي بنيك. متفق عليه.

Artinya: Dari Aisyah dikatakan bahwa Hindun binti Utbah berkata: “Ya Rasulullah! Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang sangat pelit. Dia tidak mau memberiku nafkah yang dapat mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali apa yang kuambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.”Rasulullah SAW. Berkata:”Ambillah dari hartanya menurut cara yang patut dan bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu!” (HR. Bukhari dan Muslim).[44]
            Dari penjelansan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ibnu Hazm tidak memperbolehkan seorang istri menuntut fasakh kepada suaminya, yang disebabkan ketidakmampuan suami dalam menafkahi istrinya. Dan Ibnu Hazm berpendapat jika suami tidak mampu menafkahi istrinya, maka istri yang wajib menafkahi suaminya dalam arti istri adalah seorang yang mampu (kaya) untuk menafkahi suaminya. Hal ini dikemukakan berdasarkan adanya ikatan pernikahan antar suami istri, maka sudah sepatutnya dalam satu keluarga adanya sikap tolong-menolong antara suami istri, dan ini merupakan adanya suatu keadilan dalam keluarga.
            Perlu kita ingat, dalam satu keluarga diibaratkan tubuh yang satu, jika salah satu diantara mereka yaitu suami, istri, dan anak sakit, maka yang lain juga ikut merasakan. Jadi dalam satu keluarga itu harus saling bahu-membahu, saling melengkapi satu sama lain agar terciptanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.     
C.Metode Ibnu Hazm dalam Mengistinbathkan Hukum yang Mewajibkan Istri Menafkahi Suaminya    
            Dalam metode istinbath Ibnu Hazm yang berkaitan dengan seorang istri kaya wajib menfkahi suami yang miskin dalam artian tidak mampu dalam mencari nafkah, sebelumnya banyak orang yang  mengira bahwa beliau tidak berpegang pada akal. Padahal sesungguhnya Ibnu Hazm menjadikan akal dan naql sebagai sendi dalam mempelajari persoalan-persoalan yang menyangkut dengan Islamiyah serta sebagai pokok pengetahuan dalam menetapkan aqidah Islam. Dengan dalil-dalil naqli dan aqli menetapkan keesaan Allah SWT, kebenaran Nabi Muhammad SAW,  kemukjizatan al-Qur’an dan dalam menetapkan bahwa segala yang terkandung dalam al-Qur’an adalah perintah Allah SWT, larangan dan keizinannya.[45]
            Prinsip pertama berdasarkan pada konsistensi nash dan mengambil penjelasan zahir kitab Allah SWT, dan sunah Rasulullah SAW, dan ijma’ sahabat ra. Ibnu Hazm menjelaskan metode atau prisip ini dalam karyanya, al-Fashl dan karya-karya lainnya, seperti dikatakan berikut : “Ketahuilah bahwa agama Allah SWT itu adalah jelas (zahir) tidak tersembunyi (batin), dan tidak samar, kesemuanya adalah bukti penguatan (burhan). Orang yang tidak mau berpegang pada nash dzahir, perlu dipertanyakan dari mana timbul pendapat itu. Jika tidak dapat menjelaskan dengan jelas, berarti dia hanya mengikuti prasangka-prasangka. Ketahuilah! Nabi Allah tidak pernah menyembunyikan satu kalimatpun atau lebih dari syari’ah. Dari penjelasan berikut Ibnu Hazm menolak adanya kesamaran, tersembunyi dan yang berbentuk isyarat.[46]
            Adapun dasar-dasar yang digunakan Ibnu Hazm dalam mengistimbathkan hukum itu ada 4 seperti yang dinyatakannya:
الاصول التى لايعرف شيئ من الشرائع إلا منها، و انها اربعة وهى: نص القرأن،  ونص كلام رسول الله عليه وسلم، الذى انما هو عن الله تعالى مما صح عنه   عليه السلام نقل الثقات  او التواتر، واجماع جميع، علماء  الأمة، اودليل منها لا يحتحل الاوجها واحدا.

Artinya: Dasar-dasar yang tidak diketahui sesuatu dari syara’ melainkan daripada dasar-dasar itu ada empat, yaitu nash al-Qur’an, nash hadits Rasulullah SAW yang sebenarnya datang dari Allah SWT dan juga yang Shahih diterima dari padanya dan dinukilkan oleh orang-orang kepercayaannya atau yang mutawatir dan yang diijma’i oleh semua umat serta suatu dalil dari padanya yang tidak mungkin menerima selain daripada satu cara saja.[47]
            Inilah sumber-sumber fiqh Islam menurut Ibnu Hazm. Dengan memperlihatkan apa yang dikemukakan Ibnu Hazm tersebut, nyatalah bahwa dasar-dasar yang digunakan Ibnu Hazm dalam beristinbath adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijma’ yang dinukilkan oleh semua umat dari masa ke masa yaitu ijma’ sahabat.
4.      Dalil.[48]

Ad. 1. Al-Qur’an   
            Ibnu Hazm menetapkan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah. Semuanya itu jelas dan nyata bagi setiap umat, maka barang siapa mengetahui syari’at-syari’at Allah SWT, ia akan menemukan terang dan nyata yang diterangkan oleh al-Qur’an sendiri atau oleh keterangan Nabi Muhammad SAW.[49] Pokok penjelasan dalam al-Qur’an adakalanya dalam al-Qur’an sendiri, dan  adakalanya terdapat penjelasan dalam as-Sunnah. Hanya saja pemahamannya saja yang berbeda-beda, namun Syari’atnya tetaplah sama.
            Ibnu Hazm menyatakan bahwa, penjelasan berbeda-beda keadaannya yaitu sebagian terang dan sebagian tersembunyi. Karena itu manusia berselisih dalam pemahamannya dan cara memahaminya, sebagaimana Ali bin Abi Talib mengatakan: terkecuali Allah SWT memberikan kepada seseorang paham yang kuat tentang agamanya.[50] Oleh karena itu dalam memahami al-Qur’an Ibnu Hazm sangat memperlihatkan adanya istisna’, takhsis dan taukid serta nasikh mansukh. Beliau melihat hal-hal tersebut sebagai bayan (penjelasan) dalam al-Qur’an. Menurut pemahaman Ibnu Hazm, istilah bayan adalah membawa al-Qur’qn dan as-Sunnah kepada pemahaman zahir. Siapa yang berusaha menggeser bayan tersebut kepada ta’wil tanpa ada pemahaman nash dan ijma’, berarti dia telah berbuat dusta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, menyalahi al-Qur’an  dan menggeser kalam-Nya dari tempat semula.

Ad. 2. As-Sunnah
            Ibnu Hazm menetapkan al-Qur’an sebagai masdarul maqasid al-masadiri. Beliau memandang as-Sunnah maasuk ke dalam nash-nash yang turut membina syari’at ini walaupun hujjahnya diambil dari al-Qur’an. Dalam hal ini Ibnu Hazm menyatakan bahwa: “Tatkala kami telah menerangkan al-Qur’an adalah pokok pangkal yang harus kita kembali kepadanya dalam menentukan hukum, maka kamipun memperlihatkan isinya, lalu kami dapati di dalamnya keharusan mentaati apa yang Rasulullah SAW suruh mengerjakan dan kami dapati Allah SWT mengatakan dalam al-Qur’an untuk mensifatkan Rasul-Nya (“dan dia tidak menuturkan sesuatu dari hawa nafsunya, tidaklah yang dituturkan itu melainkan apa yang diwahyukan kepadanya”). Sah bagi kami bahwasanya wahyu yang datang dari Allah SWT terbagi dua yaitu: pertama, wahyu yang dibacakan yang merupakan mu’jizat dan hal yang kedua, wahyu yang diriwayatkan dan dinukilkan yang tidak merupakan mu’jizat dan tidak disyari’atkan kita membacanya sebagai ibadah, namun demikian dia tetap dibacakan dan itulah hadist Rasulullah SAW.[51]
            Ibnu Hazm sependapat dengan asy-Syafi’i dalam memandang al-Qur’an dan as-sunnah dua bagian yang satu sama lainnya saling menyempurnakan, yang kedua-duanya dinamakan “nusus”. Ibnu Hazm tidak menjelaskan apakah al-Qur’an merupakan hakim terhadap as-sunnah dalam arti kata harus dikemukakan setiap hadits kepada al-Qur’an, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian fuqaha, dan tidak pula menjelaskan apakah as-sunnah itu menjadi hakim tehadap al-Qur’an. Ibnu Hazm membagi as-sunnah kepada tiga bagian. Oleh karena itu, ia menetapkan bahwa yang menunjukkan kepada wajib, hanyalah perkataan saja. Perbuatan Nabi, hanya merupakan qudwah, tidak menunjukkan kepada wajib, sedang taqrir Nabi SAW, merupakan ibadah. Dari segi riwayat, sunnah dibagi kepada dua bagian, sunnah mutawatirah dan khabar ahad.
            Ibnu Hazm mensyaratkan para perawi yang diterima riwayatnya, bahwa perawi itu seorang yang adil, terkenal seorang yang benar, kukuh hafalan dan mencatat apa yang didengar dan dinukilkan, setinggi-tinggi martabat orang kepercayaan baginya ialah di samping dia seorang kepercayaan, juga dia seorang faqih. Maka kefaqiahan itu syarat yang tertinggi dalam menerima hadits. Dia mensyaratkan pula, sanad hadits itu muttasil hingga sampai kepada Nabi SAW. Karenanya Ibnu Hazm tidak menerima hadits mursal, kecuali hadits mursal itu mempunyai nilai-nilai tersendiri, umpamanya hadits itu diirsalkan oleh tabi’in besar, dan hadits mursal itu ada diriwayatkan yang semaknanya, atau dikuatkan oleh suatu hadits yang lain atau oleh pendapat sahabat, atau diterima ahli ilmu.[52]

Ad. 3. Ijma’ yang dinukilkan oleh semua umat dari masa ke masa yaitu ijma’ sahabat
            Ibnu Hazm menetapkan bahwa ijma’ adalah unsur ketiga fiqh dengan perkataannya:
اتفقنا واكثر المخالفين على ان الاجماع من علماء  اهل الاسلام حجة وحق  مقطوع فى دين الله عزوجل
Artinya: Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang menyalahi kami, bahwasanya ijma’dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatukebenaran yang menyakinkan dalam agama Allah SWT.[53]
            Ibnu Hazm menetapkan bahwa ijma’ yang mu’tabar adalah ijma’ sahabat Nabi SAW, karena ijma’ tidak lain kecuali berasal dari Nabi SAW, atau dengan bimbingannya. Hal ini seperti yang dikatakan Ibnu Hazm bahwa para sahabat adalah mereka yang berinteraksi dan mengetahui keadaan Nabi SAW, juga memungkinkan membangun ijma’ dan mencocokkan pendapat mereka, dan mereka semua adalah orang-orang yang beriman dimasa Nabi SAW. Kebenaran Ibnu Hazm atas ijma’ ini didasarkan pada dua hal,
1.      Tidak ada perbedaan di antara umat Islam bahwa ijma’ yang dilakukan para sahabat Nabi SAW adalah shahih adanya dan tidak dapat ditentang oleh siapapun.
2.      Sesungguhnya agama Islam telah sempurna.

Ad. 4. Dalil  
            Dasar keempat dari dasar-dasar istinbath yang ditempuh Ibnu Hazm dan golongan Zahiriyah ialah mempergunakan sebagai ganti qiyas, apa yang di dalam istilah Ibnu Hazm dinamakan dalil. Beliau menetapkan bahwa apa yang dinamakan dalil itu diambil dari nash atau ijma’ sendiri, bukan diambil dengan jalan mengkaitkan kepada nash. Dalil menurut Ibnu Hazm berbeda dengan qiyas. Qiyas dasarnya mengeluarkan ‘illat dari nash dan memberikan hukum nash kepada segala yang padanya terdapat ‘illat itu, sedangkan dalil langsung diambil dari nash.
            Dalil yang diambil dari nash dibagi menjadi beberapa bagian: pertama, nash melengkapi dua muqaddimah dengan tidak menyebutkan natijah. Mengeluarkan natijah dari dua muqaddimah itu dinamakan dalil. Contohnya sabda Nabi SAW: 
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال: كل   مسكر خمر و كل خمر حرام  (رواه  مسلم )

Artinya: Dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Setiap zat, bahan atau minuman yang dapat memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram. (HR. Muslim).[54]
            Kedua muqaddimah ini berkesimpulan bahwa tiap-tiap yang memabukkan haram. Hal ini menurut Zahiriyah bukan qiyas, tetapi penerapan nash. Lantaran ini sebagian fuqaha mengatakan bahwa golongan Zahiriyah menggunakan qiyas jika ‘illatnya mansus ‘alaiha.
            Kedua, merupakan umum fi’il syarat. Ketiga, makna yang ditunjuki lafaz mengandung suatu pengertian yang menolak makna yang lain, yang mungkin tidak munasabah dengan makna lafaz. Keempat, sesuatu itu tidak dinashkan hukumnya. Maka sesuatu itu adakalanya haram dengan nash, lalu berdosa orang yang mengerjakannya, adakal mubah bukan fardlu, bukan haram, boleh dikerjakan, boleh ditinggalakan. Bagian keempat ini, masuk ke dalam bab istishab yaitu segala sesuatu tinggal dalam bab ibadah sampai ada dalil yang mengharamkan atau memfardlukan. Keempat-empat bagian ini, diambil dari nash.
            Kelima, adalah bahwa pada hakikatya semua orang Islam sama. Maksudnya adalah apabila sesuatu hukum dihadapakan kepada sebagian umat, maka dia menjadi hukum bagi seluruh umat, karena mereka adalah sama-sama umat Islam, selama tidak diperoleh nash mengkhususkan hukum itu untuk sebagian umat. Hal yang demikian ini, telah diijma’i umat Islam dan ijma’ itu dinukilkan dari masa Nabi SAW sendiri. Hadits-hadits yang mengenai beberapa orang, menjadi hukum umum. Dari hal itu dipahami bahwa seluruh umat Islam masuk ke dalam umum hadits itu.
            Ibnu Hazm menetapkan bahwa Rasulullah SAW tidaklah bangkit untuk menetapkan hukum bagi penduduk uang sesama dengannya saja, tetapi untuk menetapkan hukum bagi semua orang yang datang sesudahnya, hingga hari kiamat. Dengan denikian hukum itu menjadi ‘am, walaupun lafaznya khas. Hal ini bukanlah dari golongan lafaz khas yang menunjukkan kepada umum, tetapi ijma’ telah menetapkan bahwa risalah Muhammad adalah umum dan harus dipersamakan bagi semua orang Islam dan menjalankan hukum taklif. Kalau demikian, umum hukum bukan diambil dari nash, tetapi dari ijma’. Dalil ini dinamakan golongan Zahiriyah dengan dalil yang diambil dari ijma’.

D. Kesesuaian Pendapat Ibnu Hazm dengan Zaman Sekarang tentang Istri Menafkahi Suami
            Realita sekarang dapat dilihat kebanyakan istri menafkahi suami atau menanggung kebutuhan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan, jika seorang suami tidak ada kemampuan dalam menafkahi istrinya, maka istrilah yang wajib menafkahi suaminya dalam arti istri yang kaya (mampu mencari nafkah). Apabila seorang suami tidak dapat mencari nafkah yaitu dalam keadaan sakit, tidak ada pekerjaan maka dalam hal ini, disunnahkan bagi wanita (istri) melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan berikut ini: membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin, berniat mencapai suatu kepentingan besar bagi keluarganya serta berkorban demi kebaikan.[55]
            Kesesuaian di zaman sekarang dengan zaman dahulu dapat dilihat dalam cerita Zainab binti Jahsy yaitu istri Ibnu Mas’ud yang ikut menafkahi suaminya dan anak yatim. Di zaman Rasulullah melalui cerita “Zainab binti Jahsy berkarya dengan keterampilan tangannya sendiri dan bersedekah, sebagaimana yang telah diriwayatkan Aisyah r.a. ia telah berkata: “...ternyata yang terpanjang tangannya diantara kami adalah Zainab sebab dia sudah bisa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah”. (H.R. Muslim).[56]
            Demikian pula dengan Zainab istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri dan menafkahi suami dan anak yatim. Hal ini diceritakan sendiri oleh Zainab istri Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut. “Pada suatu waktu aku berada di mesjid, lalu aku melihat Nabi SAW, Beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!” Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi nafkah (suaminya Abdullah dan anak yatim yang diasuhnya). Zainab berkata, “Lalu aku pergi menemui Nabi SAW, aku temukan seorang wanita Anshar berada di dekat pintu masuk rumah Nabi dan keperluannya sama dengan keperluanku. Lalu lewat Bilal dekat kami berkata padanya, “(Wahai Bilal), tanyankan pada Nabi apakah sah apabila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak yatim yang aku pelihara?”. Bilal pun masuk dan menyampaikan pesanku pada Nabi SAW, Beliau menjawab, “Ya, sah dan baginya dua pahala, pahala kerabat dan pahala sedekah”. (H.R. Bukhori Muslim).[57]
            Demikianlah realita aktivitas perempuan pada zaman Rasulullah SAW dan sahabat. Betapa kita bisa melihat bahwa Rasulullah SAW memberi wacana (ketentuan syar’i) yang tidak kaku bahkan sangat predictable. Karena era modern ini realitas dari aktivitas perempuan di zaman Rasulullah SAW dan sahabat bisa dijadikan standar bagi perempuan di era sekarang dalam beraktivitas. Maka amat disayangkan jika masih ada seseorang atau kelompok-kelompok yang masih merendahkan martabat perempuan serta melecehkannya dengan cara melarang mereka untuk beraktivitas disegala bidang (asal masih dalam koridor syar’i). Dan adakala mereka (yang mengekang perempuan) berkata, “Sekarang ini zaman yang moralitasi manusia di dalamnya telah rusak. Jadi alangkah baiknya jika seorang perempuan (istri) tidak keluar rumah, tidak berkomunikasi dengan laki-laki kecuali dengan hijab (pemisah) karena fitnahnya sangat besar!”.
Maka kami akan memberikan bantahannya sebagai berikut: “Kalau hal ini yang dikhawatirkan ketika perempuan keluar rumah untuk kuliah, ke mesjid, ke pertemuan umum atau berkomunikasi dengan lawan jenis maka tentulah Rasulullah SAW akan melarang itu pada sahabat-sahabatnya (ummatnya). Dan kita telah mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah utusan Allah SWT yang selalu menerima dan dikontrol oleh wahyu Allah SWT. Tentunya kejadian-kejadian masa depan pastilah Allah SWTmengetahuinya, dan kegiatan wanita (istri) itu menimbulkan fitnah di masa sekarang, maka hal itu sudah dikabarkan oleh Allah pada Rasul-Nya.[58]
Idealnya, antara suami istri terjalin kasih-sayang dan empati timbal balik Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami istri harus tetap terjaga. Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik istri. Begitu pun sebaliknya,istri yang berpenghasilan, sementara suami masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyari’atkan bagi istri untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha.[59] Betapa indahnya, apabila seorang istri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, istri Ibnu Mas’ud dan bertindak seperti petunjuk Nabi SAW kepadanya.  
Alangkah terpuji perbuatan seorang istri apabila memiliki kelebihan harta dari warisan atau hasil kerja bila mau membantu suaminya yang sedang dalam keadaan melemah perekonomiannya, hingga iklim  keluarga berada dalam kelapangan. Barangsiapa memberikan nafkah untuk keluarga, maka ia berpahala sesuai maksudnya. Tidak ada pertentangan antara ia merupakan kewajiban dan ia disebut sebagai sedekah.
Disamping itu, bersedekah untuk keluarga (untuk suami) adalah sikap yang sangat bijaksana dalam kehidupan berumah tangga, karena tidak mudah seorang istri dapat menerima suami, jika dia (suami) dalam keadaan kesusahan dalan keuanganya.
            Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al-Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas:
1)      Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2)      Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari istrinya dibandingkan dengan orang lain.
3)      Istri diperbolehkan bersedekah unutuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4)      Sedekah istri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.[60]
Dari uraian di atas, sangat terlihat kesesuaian pendapat Ibnu Hazm dengan perkembangan zaman tentang istri ikut serta dalam menafkahi suaminya. Dengan adanya torelansi yang terjalin antara suami istri, maka akan terlihat kehidupan keluarga yang  sakinah, mawaddah wa rahmah  serta jauh dari hal-hal yang tidak baik menurut syari’ah. Ami...................................................iiiiiiiiin.



[1] Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, ( Bandung: Mizan Media Utama, 2003 ), cet. VIII, hlm. 120
[2]  Hasbi Indra et al, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta: Penamadani, 2004 ), cet. III, hlm. 183
[3] Ibid., hlm. 108
[4] Ibid, hlm. 184
[5] Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan….., hlm. 122
[6] Syaikh Sa’ad Yusuf, Be A Good Muslimah ( Panduan Menjadi Wanita Shalihah ), ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007 ), cet. I, hlm. 306
[7] Al-Haitsami berkata,” Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan dua sanad dan para perawi salah satu sanad itu semuanya tsiqah.” Lihat Al-Majma’/ (IV /313)
[8] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (5193), (1736) dalam kitab “An-Nikah”, Abu Dawud (2141), dan Ahmad (9379). Lihat Adabuz Zafaf,  Maktab,  hlm. 211.
[9] Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet. I, hlm. 206.
[10] Shalih bin Ahmad Al-Ghazali, Romantika Rumah Tangga, ( Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1995 ), cet. I, hlm. 222.
[11]Abbas Mahmud Al-‘Akkad, Wanita Dalam Al-Qur’an, (Terj. Dra. Chadidjah Nasution), (Jakarta: 1976), hlm. 112
[12] Muhammad Daud Ali S.H, Hj. Habibah Daud S.H, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia, (Jakarta: 1995), cet. I, hlm. 85
[13] Abbas Mahmoud Al-Akkad,Wanita dalam Al-Qur’an, hlm. 116
[14] H. Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: 1994), cet. I, hlm. 414
[15] Saupi Jusuh, Majalah Wanita Islam Al-Muslimah, (Syari’at Prema Petaling Jaya Kuala Lumpur Malaysia: 1999), hlm. 17
[16] Akram Ridha, Rahasia Keluarga Romantis, (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2008), cet. I, hlm. 225
[17] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 2, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, hlm. 432-434
[18] H.Salim Segaf Al-Jufri, M.A, Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah (Partai Keadilan Sejahtera), (Bandung: PT Harakatuna, 2006), hlm. 133
[19] Husein Syahatah, Iqtishadil Baitil Muslim fi Dau ‘Isy Syari’atil-Islamiyyah, (Mesir: Darut-Taba’ah), hlm. 144.
[20] Mahmud yunus, Tafsir Al-Qur’an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1986), cet. I, hlm. 830.
[21] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, hlm. 425
[22] Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an Karim, hlm. 625
[23] Husein Syahatah, Iqtishadil Baitil Muslim fi Dau ‘Isy Syari’atil-Islamiyyah, hlm. 146
[24] Abdul Halim Abu  Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, hlm. 432.
[25] Yaqud al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’, ( Cairo: Dar al- Ma’mum, tth ), hlm. 235-236.  
[26] Dairah al-Ma’arif  al-Islamiyyah ( Entry Ibnu Hazm ), cet. I, ( Dar al-Syu’b ), hlm. 254.
[27] T.M.Hasbi Ash-shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, ( Semarang: P.T. pustaka Riski Putra, 1997 ), hlm. 545
[28] Ibid, hlm. 546
[29]Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992/1993 ), hlm. 391
[30] Dr. Mahmud Ali Himayah Ibnu Hazm , Biografi, karya dan kajiannya tentang agama, ( Jakarta: lentera, 2001),  hlm. 75-76
[31] Ibid., hlm. 59-60
[32] T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 556.
[33] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm (Biografi, Karya dan Kajiannya tentang Agama), (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 83-96.
[34] DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid III, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 757.
[35] Ibnu  Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),  cet I, hlm. 107.
[36] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, Jilid 9, (Bairut/Libanon: Dar Al-Kutb Al-‘Ilmiyyah, 1970), hlm. 253.
[37] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (an-Nuur), (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2000), hlm. 4266.
[38] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir penjelas Al-Qur’anul Karim (al-Bayan), Jilid 2, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2002), hlm. 1360.
[39] Ahkamuz Zawaj, penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288.
[40] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemahan Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka Imam Adz-Dzahabi, 2007), hlm. 562.
[41] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Pendapat Maliki),  hlm. 107.
[42] Ibid,.
[43] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, hlm. 254.
[44] Bukhari, (Kitab: Nafkah dan Keutamaan Memberikan Nafkah untuk Keluarga, Bab: Apabila Suami Tidak Memberikan Nafkah, maka si Istri Boleh Mengambil Uang Tanpa Sepengetahuan Suaminya), Jilid II, hlm. 435. Muslim, (Kitab: Putusan Pengadilan, Bab: Kasus Hindun), Jilid V, hlm. 129.
[45] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 564.
[46] Ibnu Hazm, al-Fashl,  Jilid II, Shubaih. 116.
[47] Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid I, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 70.
[48] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.319.
[49]  Ibid., hlm. 320.
[50]  Ibnu Hazm,  Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, hlm. 87.
[51] Ibid, hlm. 95.     
[52] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 331
[53] Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, hlm. 538.
[54] Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 287.  
[55] Abdul Halim Abu  Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, hlm. 429-430.
[56]Muslim, Kitab: Keutamaan-Keutamaan Para Sahabat (Bab: Di antara Keutamaan Zainab,Ummul Mukminin), Jilid VII, hlm. 144.
[57] Bukhari, Kitab: Zakat (Bab: Berzakat Kepada Suami dan Anak Yatim yang Dipelihara), Jilid IV, hlm. 71. Muslim, Kitab: Zakat (Bab: Keutamaan Memberikan Nafkah dan Sedekah Kepada Karib Kerabat dan Suami), Jilid III, hlm. 80.
[58] Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 33.
[59] Al Fatawa, Kitab ad Da’wah (Dikutib dari Fatawa al Mar’ah al Muslimah), hlm. 672-673.
[60] Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, Penjelasan Hadits dan Faidah-Faidahnya Diambil dari Fiqhul Islam Syarhu Bulugni al Maram, Jilid. 3, hlm. 154-156. 

Tidak ada komentar: