BAB II
PERANAN ISTRI TERHADAP NAFKAH KELUARGA
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Hak dan
Kewajiban Istri dalam Keluarga
Islam
telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya
dalam rumah tangga, tetapi juga dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang
ada. Hanya Islamlah yang mampu mengatur hukum yang berkenaan dengan umatnya
pada penetapan masalah secara adil dan proporsional, tidak ditambah atau
dikurangi. Karena, setiap hamba memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika
keluarga adalah dasar yang amat prinsip dalam membina sebuah masyarakat, maka
Islam mendasarkan pembentukannya atas
unsur takwa kepada Allah SWT. Hal ini merupakan perantara menuju jalan
kebahagiaan dan kemuliaan. Islam menganjurkan umatnya untuk mendirikan sebuah
keluarga atas dasar iman, Islam dan ihsan, di mana ketiga unsur ini didasari
atas rasa cinta, kasih dan sayang. [1]
Sebagaimana
firman Allah SWT:
…وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
… (البقرة: 228)
Artinya: “……Dan
mereka ( para perempuan ) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang patut........” ( Al-Baqarah: 228 )
Ayat
di atas menunjukkan suatu pengertian bahwa suami dan istri mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, namun kaum pria masih diberi derajat yang lebih tinggi
dari wanita dalam kapasitas sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab
dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Namun
kedudukan dan fungsi wanita (istri) tidak kalah penting dalam keluarga. Karena
itu, suami dan istri harus saling menghargai, saling mempercayai satu sama lain
serta bekerjasama dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya atau hak dan
kewajibannya masing-masing.[2]
Berikut
ini dijelaskan bagaimana kewajiban suami terhadap istri atau hak seorang istri
terhadap suaminya antara lain:
- Hak Mendapatkan Nafkah
Islam menetapkan berbagai hal
yang menjadi hak istri agar ia mendapatkan jaminan, mendapatkan perlindungan
dan ketenangan serta kehidupan yang tentram, tidak terlantar dan sengsara.
Islam mewajibkan suami agar bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhanya dan
menyingkirkan beban kerja yang berat di samping juga mempergaulinya dengan
sikap yang lembut dan baik. Nafkah adalah hak seorang istri dari suaminya.
Nafkah menjadi kewajiban suami sejak kehidupan bersama berlangsung. Suami harus
memberikan nafkah secara layak sesuia dengan adat kebiasaan dan tidak cenderung
kepada sikap berlebihan atau terlalu kikir dan tidak membebani dirinya dengan
sesuatu di luar batas kemampuan. Allah
SWT berfirman:
…لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا … (الطلاق: 7)
Artinya: “……..Allah
tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah
kepadanya..........” (At-Thalaq: 7 )
Islam sangat
menghargai upaya suami untuk mencukupi nafkah istrinya dan memandang sebagai
bentuk ibadah. Kemudian ada seorang yang bertanya: “Hai Nabi, saya punya satu
dinar? Nabi menjawab: sedekahkan untukmu sendiri. Dia berkata: saya punya yang
lain lagi. Nabi menjawab: sedekahkan untuk istrimu. Dia berkata lagi: saya
punya yang lain lagi. Nabi menjawab: sedekahkan untuk anakmu. Orang itu berkata
lagi: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab; sedekahkan untuk pembantumu.”
Pemberian
nafkah adalah wajib bagi istri selama dia menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Jika istri menyimpang dari fitrah dan
ketentuan hingga maksud kehidupan perkawinan itu tidak terwujud, maka dia tidak
berhak mendapatkan nafkah. Istri dikatakan menyimpang sehingga menyebabkannya
terhalang untuk mendapatkan nafkah adalah ketika suami terhalang untuk
mengambil mamfaat dari kehidupan perkawinan. Misalnya istri menyakiti suami
dengan tidak mau bertemu dengannya tanpa ada sebab yang dibenarkan, atau
meninggalkan rumah suami dengan dosa, atau menghabiskan waktunya di luar rumah
tanpa izin suami. Karena nafkah itu wajib diberikan kepada istri disebabkan
istri telah mengabdi dirinya, mencurahkan waktu dan tenaganya demi kebahagiaan
suami dan memberinya buah kehidupan perkawinan, maka ketika dia secara sengaja
tidak lagi berbuat demikian itu menjadi batal. Sebab menanggung beban
perjuangan dan bekerja keras di luar rumah
seperti yang dilakukan suami, itu sebanding dengan apa yang dia perbuat
untuk suaminya dengan memberikan kebahagiaan dan ketenangan di dalam rumah.[3]
Jika suami
tidak memberi nafkah sementara istrinya telah melaksanakan kewajibannya dengan
baik, sementara suaminya mampu dan kaya, maka dia harus memberikan hak dan
nafkahnya. Suami wajib mencari nafkah atau bekerja untuk keperluan hidup
(lahirah) Istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menyediakan sandang
(pakaian), Pangan (makanan) Dan Papan (rumah) sesuai dengan kemampuan sangsuami.
Dan istri berhak mendapat nafkah batin dari suaminya berupa suami wajib
menggauli istrinya sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan.
- Hak Mendapat Perlakuan Baik
Diantara hak istri
yang menjadi kewajiban suami adalah mendapatkan perlakuan yang baik berupa
menyenangkan istri dan membahagiakan istri. Suami dalam meminpin keluarga harus
dengan lemah lembut dan meringankan beban istri. Dalam pandangan islam, Suami
adalah pemimpin dan sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk besikab baik dalam
menjalan kepemimpinanya dan menyingkirkan rasa dendam dan amarah dari dirinya.
Suami harus pula mempelakukan istrinya dengan baik dan hormat serta tidak menganggap
istri sebagai pembatu dirinya.[4]
Islam juga
menegaskan tentang luasnya aspek diri
perempuan yang harus diperhatikaan suami. Suami jangan hanya memandang
kekurangan-kekurangan istri, atau prilakunya yang tidak ia sukai, tetapi harus
memandangnya secara menyeluruh dalam arti mencakup kekurangan dan sekaligus
kelebihan-kelebihanya Dia tidak boleh begitu yakin dengan pandanganya tentang
kekurangan istri sebab boleh jadi dia akan berbuat tidak adil.
- Hak Keterjagaan Agama
Di antara hak
istri dan menjadi kewajiban suami adalah menjaga agama dan perilakunya dan
selalu mengarahkan pada kebaikan dan kebahagiaan. Jangan sampai suami mengajak
istri melakukan penyimpangan dan membawanya menuju kerusakan. Jika suami istri
saling mengingatkan dalam kebenaran dan saling menolong dalam rangka beribadah
kepada Allah SWT dan mencari
keridhaannya, maka hal itu menyebabkan mereka berlomba dalam kebaikan dan
sampai kepada jalan yang mulia. Mereka memahami hal yang wajib dan sunnah, dan
hatinya dipenuhi dengan takwa dan ketaatan kepada Allah SWT. Bagi suami istri, agama tidak lagi bernilai
dan perhatian mereka hanya terfokus kepada kesenangan dan syahwat, dan segala
daya dikerahkan untuk meraih kemewahan dan kekayaan.
Hanya sedikit
orang yang memandang agama sebagai suatu yang penting dan harus dijaga. Kondisi
ini menyebabkan rusak dan rapuhnya keluarga. Ajaran agama sirna dari muka bumi.
Kebenaran dan kebatilan tidak lagi tampak dan mereka tidak memahami apa yang
menjadi hak dan kewajibannya. Itulah sebabnya mengapa dalam memilih istri,
orang harus memperhatikan masalah agama sebab agama dalam kehidupan rumah
tangga merupakan keniscayaan agar terwujud ketenteraman dan kebahagiaan. Laki-laki
adalah pemimpin dan setiap pemimpin
bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.
Kewajiban
istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya. Al-Qur’an
sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia, tidak menggariskan secara rinci
berbagai aturan di dalam sebuah institusi keluarga. Kebanyakan norma yang
dimuat dalam Al-Qur’an bersifat fundamental, universal dan garis besarnya saja,
meskipun terdapat pula ayat-ayat yang bersifat konteksual historis. Sedangkan
aturan-aturan secara rinci terdapat dalam hadist. Dalam buku-buku kontemporer
dan buku-buku populer yang membahas tentang fiqh munakahat banyak disebutkan
tentang kewajiban suami mencari nafkah di luar rumah/publik, sedangkan
kewajiban istri adalah bekerja di dalam rumah/domestik. Dalam fiqh sebenarnya
tidak ada pembagian peran domestik secara dikotomis.
Sebagian
fuqaha berpendapat, bahwa sang suami tidak boleh menuntut istrinya secara hukum
untuk melakukan pekerjaan rumah, karena akad nikah yang terjalin antara mereka
berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul antara suami istri untuk menjaga
kehormatan diri dan menghasilkan keturunan. Adapun pekerjaan rumah termasuk
dalam ruang lingkup kewajiban yang harus diselesaikan suami dalam kehidupan
rumah tangga, segala riwayat yang menyebutkan bahwa istri harus melayani
suaminya adalah anjuran dan akhlak yang mulia. Pendapat ini adalah pendapat
mazhab Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Azh Zhahiriyah.[5]
Islam
memberikan hak kepada suami yag berarti kewajiban bagi istri sebagai imbalan
baginya yang telah memenuhi hak istri. Kewajiban istri atas suaminya adalah
dengan menjadikan suami merasa dihargai dan dihormati, dan mencurahkan tenaga
dan pikiranya untuk suami, melindungi suami dari keburukan dan godaan.
Perempuan wajib mentaati suami namun ketaatan ini bukan berarti dominasi dan
kesewenang-wenangan laki-laki secara mutlak.
Adapun kewajiban seorang istri antara lain:
1. Menyelesaikan Urusan Rumah Tangga
Pekerjaan
rumah tangga dan menyelesaikan segala pernik-perniknya adalah kewajiban istri. Laki-laki (suami) berkewajiban mencari
nafkah, sehingga tidak masuk akal jika dia masih dibebani dengan urusan rumah
tangga. Dalam hal ini para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda, apakah
seorang istri harus menyelesaikan pekerjaannya sendiri ataukah menggunakan jasa
pembantu. Imam Ibnu Hajar dengan bersandar kepada kisah fatimah putrid Rasulullah
Saw ketika dia menghadap Nabi dan meminta agar diberi seorang pembantu untuk
meringankan beban rumah tangga. Ibnu Hajar berkata. “At-Tabari berkata: suami
tidak harus memenuhinya sekiranya istri memiliki kekuatan untuk menyelesaikan
urusan rumah tangga mulai dari memasak, membuat roti dan lain sebagainya, jika
secara umum perempuan melaksanakan semua itu sendiri. Alasannya, Ketika fatimah
putri Nabi tidak memerintahkan agar pekerjaan itu diselesaikan oleh suaminya.
Seandainya yang mesti menyelesaikan adalah Ali, tentu Nabi akan
memerintahkannya. Hak dan kewajiban seorang istri sangat relatif, tergantung
kepada situasi dan kondisi yang ada.[6]
Berdasarkan firman Allah SWT:
…وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ … (النساء: 19)
Artiinya: “……Dan bergaullah dengan mereka
secara patut…..” ( An-Nisa’: 19
)
2. Mentaatinya Bila Suami Mengajak Tidur Bersama atau Ketaatan Seorang
Istri Kepada Suaminya
Muadz
berkata, “Rasulullah Saw bersabda, Tidak
dibolehkan wanita yang beriman kepada Allah SWT untuk mengijinkan orang lain di
rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka, tidak keluar dari rumah sedangkan
suaminya tidak suka, tidak mentaati seorang pun (dengan mengabaikan suaminya),
tidak meninggalkan tempat tidur suaminya, dan tidak memukul suami. Bila suami
dizhalimi (istrinya), istri harus mendatangi suaminya sampai ia rela. Jika
suaminya menerimanya, itulah sesuatu yang paling baik dan allah SWT menerima
pemaafan wanita itu, menampakkan hujjahnya, dan ia tak berdosa. Sebaliknya bila
suami tidak rela, maka berarti ia telah menyampaikan udzurnya di sisi Allah
SWT.[7] Hadits ini memuat sejumlah hak suami
(kewajiban istri).
Nabi Saw bersabda,
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها
لعنتها الملائكة حتى تصبح. (متفق
عليه)
Artinya: “Jika seorang suami mengajak istrinya tidur di tempat tidurnya
lalu sang istri menolak, kemudian suaminya melewati malam tersebut dalam
keadaan marah, maka malaikat akan melaknat istri itu sampai pagi.” ( Muttafaq
alaih dengan lafazh Bukhari, sedangkan di dalam riwayat Muslim disebutkan,
“Niscaya yang ada di langit akan murka kepadanya hingga suaminya ridha
kepadanya”).[8]
Sedangkan dalam lafazh
Muslim disebutkan,
والذي نفسي بيده ما من رجل يدعو امر أته إلى فراشها فتأبى
عليه إلا كان الذي في السماء ساخطا عليها حتي يرضى عنها. (رواه مسلم)
Artinya: “Demi Rabb yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya bercampur, lalu
sang istri menolaknya melainkan Allah yang ada di langit murka kepadanya
sehingga suaminya itu meridhainya.” (H.R. Muslim) [9]
Hak
dan kewajiban antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga merupakan
pembagian tugas yang telah Allah SWT tetapkan berdasarkan keadilan dan kebijaksanaan, bukan merupakan pembagian
tugas yang ditetapkan oleh manusia yang umumnya ditetapkan berdasarkan hawa
nafsu, penindasan dan pelecehan.[10]Jadi
hak dan kewajiban suami istri harus seimbang. Apabila keseimbangan itu dapat
dikerjakan antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga, maka keseimbangan
antara hak dan kewajiban dapat terlaksana dengan baik dan penuh dengan tanggung
jawab. Maka dari itu, tumbuhkanlah kerjasama yang baik dalam kehidupan rumah
tangga antara suami istri agar dapat tumbuhnya keharmonisan dalam keluarga.
B. Peranan Istri Terhadap Nafkah Keluarga
Hukum
keluarga merupakan rangkaian ketentuan mengenai keluarga yang intinya terdiri
dari suami, isteri, dan anak. Dalam hukum perkawinan bagi seseorang tidak
terlepas dari hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Suami isteri harus
bekerja sama dan tidak membebani satu sama lain. Hal ini seperti tercantum
dalam surat Al-Baqarah ayat 286 sebagaimana berikut:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا
طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ
مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (البقرة: 286)
Artinya: “Allah tiada memberati manusia, melainkan sekedar tenaganya.
Baginya (pahala Yang diusahakannya dan
atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya: Ya Tuhan kami janganlah Engkau
siksa kami jika kami lupa atau salah. Ya Allah janganlah Engkau pikulkan
pekerjaan yang berat di atas pundak kami sebagaimana Engkau pikul di atas
pundak orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami, ampunilah
kami dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap
kaum kafir.” (Al-Baqarah:286)
Selain itu juga mereka harus
tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan bukan membuat pelanggaran.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة : 2)
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah:2)
Dalam
Islam tidak ada larangan istri berusaha dan bekerja di luar rumah. Menurut
realita banyak istri yang mempunyai usaha karir lebih tinggi dari suaminya.
Walaupun demikian status istri lebih tinggi dari suaminya, namun menurut hukum
Islam suami tetap sebagai pemimipin dalam keluarga. Ketegasan ini sebagaimana
difirmankan Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ …
(النساء: 34)
Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya…”
(An-Nisa’:34)
Bukanlah
merupakan suatu keadilan dan kesejahteraan jika pria dan wanita dipersamakan
dalam segala hal. Di samping adanya suasana yang terlebih kurang di kalangan
mereka dalam keistimewaan masing-masing. Keahlian masing-masing antara kaum
pria dan kaum wanita itu terlihat dalam tingkah laku individu dan keluarganya
terutama tugas sebagai ibu dan sebagai ratu yang mengatur kehidupan rumah
tangganya.[11]Sudah jelas bahwa wanita
itu tidak berdiri sendiri dalam kehidupan jenis manusia dengan memegang
pimpinan terhadap seluruh tingkah laku sosial. Selamanya wanita itu bukanlah
yang memegang peranan utama dalam menentukan nilai-nilai sosial.
Namun
dalam kehidupan dewasa ini di era globalisasi terlihat suatu fenomena bahwa
dalam kehidupan keluarga hampir tidak jelas standar yang digunakan untuk
mengukur fungsi dan tugas suami istri dalam kepemimpinan keluarga. Ukuran kepemimpinan
itu apakah pada kedudukan pangkat, harta, keturunan atau pada sisi setara sosial
lainnya sukar diukur dengan jelas. Dalam undang-undang perkawinan perumusan
pembagian pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga dinyatakan suami
adalah kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Sebagai suami
wajib melindungi istri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga
termasuk tempat tinggal sesuai dengan kemampuanya. Istri sebagai ibu rumah tangga, wajib mengatur rumah tangga
sebaiknya.
Perkataan
“ibu rumah tangga” ini tidak boleh dipandang sebagai penyurutan kedudukan atau
pengurangan kemitraan suami istri, pria dan wanita. Ia hanya pernyataan
pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Perumusan ini tidak boleh pula
diartikan sebagai alasan pelarangan istri yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk bekerja diluar rumah
tangga.
Seorang
ibu (istri) behak melakukan pekerjaan yang sesuai kodratnya sebagai wanita,
asal saja ia sebagai istri tidak melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang
bertugas mengembang “mawaddah” (cinta) dan “rahmah” (kasih saying) dalam
keluarga antara suami istri dan anak-anak untuk menciptakan sakinah
(ketenangan) guna mencapai kebahagiaan suami istri khususnya anggota keluarga
seluruhnya. [12] Sebagai contoh misalnya
dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa hak wanita itu sama dengan hak laki-laki dan
tugas wanita itu juga sama dengan tugas laki-laki. Yaitu dalam surat Al-Baqarah
ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ
اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’. Tidak boleh mereka membunyikan apa yang diciptakan Allah SWT dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya dengan cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai suatu
tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Al-Baqarah: 228)
Penentuan kewajiban suami untuk
mencari nafkah kepada wanita (istri) lebih pantas dan lebih baik daripada
pembebanannya kepada wanita (istri) yang berarti suatu penganiayaan. Dengan
memberi tugas mencari nafkah, wanita (istri) itu masih harus memikul tugas
kehamilan dan melahirkan dan sebagainya dalam mengatur kehidupan rumah
tangganya.[13]
Drs.
H. Kahar mengatakan, jika wanita tidak mempunyai suami atau lainnya yang
menjaga kehidupannya maka bolehlah ia keluar rumah berusaha asal keamanannya
tidak terganggu. Akan lebih baik jika mengadakan usaha di rumah sendiri seperti
industri kecil yang biasa dilakukan oleh wanita Jepang dan lainnya dari negara
yang termaju.[14] Namun dalam era dunia
modern sekarang, penguasa ilmu pengetahuan tidak lagi dimonopoli oleh kaum
pria, tetapi telah melibatkan kaum wanita sehingga dapat mencapai kemajuan yang
luar biasa akibat kedudukan dan derajat wanita yang meningkat. Mengenai
pembiayaan rumah tangga, Islam tidak memberi suatu patokan tentang jumlah
maksimal atau minimal yang harus diberikan kepada keluarga, tetapi kewajibannya
menurut batas kemampuan dan kepatutan dari hasil usahanya secara makruf yang
disesuiakan menurut keadaan di suatu tempat. Dan hal ini sudah dijelaskan dalam
surat at-Thalak ayat 7.
Berdasarkan
ayat di atas dapatlah dipahami bahwa Allah tidak membatasi jumlah biaya rumah
tangga yang harus diberikan keluarganya. Diwajibkan hanya sekedar keperluan dan
kebutuhan serta mengingat keadaan kekuatan yang berkewajiban menurut adat di
suatu tempat.
Dalam
kaitan ini suami istri mempunyai tugas bersama menurut fungsi dan bidangnya
masing-masing agar terwujud kedamaian dalam rumah tangga. Istri sebagai
pendidik dan pengelola tidak hanya sekedar menerima adanya yang dibawa pulang
oleh sang suami, tetapi istri juga harus pandai dalam mengatur dan memamfaatkan
harta yang diberikan oleh suami. Anggaran biaya rumah tangga hendaknya diatur
sedemikian rupa karena pemborosan dalam penggunaannya akan berakibat
ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Kedudukan
wanita sebagai individu masyarakat dapat dilihat di awal kebangkitan Islam di
mana banyak wanita secara aktif turut menegakkan kebenaran dan memberikan andil
usaha perbaikan di dunia. Dalam usaha
menjalankan ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw dibantu dan didukung oleh kaum
wanita yaitu istrinya Siti Khadijah. Sungguhpun bagi kaum wanita kurang
dibenarkan untuk mengendalikan jabatan pemimpin baik dilakukan sendiri maupun
bersama kaum pria. Namun pada permulaan Islam terdapat banyak wanita terpelajar dan terkemuka yang
saling bahu membahu dengan kaum pria dalm mempertahankan kebenaran.
Adalah
suatu tindakan yang rasional apabila menghalangi wanita melibatkan diri dalam
tanggung jawab sosial yang sepatutnya dipertanggung jawabkan kepada wanita.
Alangkah lebih baik jika waktu bekerja bagi wanita diberi kelonggaran untuk
memudahkan bagi mereka menyesuaikan waktu untuk urusan rumah tangga. Wanita
yang bersuami yang berkemampuan untuk menanggung perbelanjaan rumah tangga
hanya dibenarkan keluar rumah untuk bekerja dengan beberapa syarat. Diantarnya
tidak terhalang dari menjalankan tanggung jawab kepada keluarga. Mereka
mestilah mampu mencurahkan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Sekiranya
dikhawatirkan menimbulkan kebencian suami karena gagal berperan di rumah
tangga, maka wajib para istri tidak dibenarkan bekerja di luar rumah, tidak
mengabaikan asuhan dan pendidikan terhadap anak-anak. Demikian juga setiap
usaha yang dilakukan adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT. Apabila istri
gagal dalam menjalankan tanggung jawab sebagai istri, maka pekerjaan baginya
tidak dibolehkan, tetapi mereka hanya berkewajiban mengurus keluarga dan rumah
tangganya saja.[15]
Sebaliknya
jika suami tidak berkemampuan dan istri ingin membantu maka dalam keadaan
darurat ini mereka boleh bekerja dengan beberapa ketentuan seperti adanya
izin suami, suasana pekerjaan yang
terpelihara dari hal mungkar. Dalam hal ini Allah SWT menerangkan, antara pria
dan wanita mempunyai hak yang sama sebagai anggota masyarakat. Wanita boleh
saja membantu suaminya dalam hal mencari nafkah sesuai dengan kodratnya.
Dari
semua penjelasan di atas, jelaslah kaum wanita boleh memainkan peranan di luar
rumah tergantung kemampuan mereka dalam menyelesaikan urusan keluarga dan rumah
tangganya serta dalam suasana yang dapat menjamin terpeliharanya batas-batas
yang telah ditetapkan oleh Islam bagi seorang muslimah.
C. Konsekwensi Keikutsertaan Istri dalam
Menafkahi Keluarga
Pada
dasarnya agama Islam telah menetapkan yang bertanggung jawab menafkahi keluarga
adalah suami, sedangkan istri berkewajiban mengurus rumah tangga. Walaupun
nafkah adalah kewajiban seorang laki-laki (suami) untuk mencukupinya, namum
tidak ada dalil yang melarang seorang perempuan (istri) bekerja untuk
mendapatkan penghasilan guna membantu suaminya dalam menafkahi keluarganya.
Bahkan dengan bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri, seorang istri lebih
leluasa dalam bersedekah dan dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Alangkah
terpujilah bagi seorang istri apabila memiliki kelebihan harta dan warisan atau
hasil kerja bila mau membantu suaminya yang sedang dalam keadaan melemah
perekonomiannya, hingga iklim keluarga berada dalam kelapangan. Selain itu,
nilai istihbabnya menjadi lebih
tinggi saat memberikan nafkah bagi suami yang tidak memiliki nafkah. Manakala
istri membantu suaminya, maka ia telah meraih dua fadhilah, yaitu menyambung tali keluarga dan berinfak di jalan
Allah SWT. Dan jangan sekali-kali apa
yang telah diberikan kepada suami, diungkit-ungkit sehingga dapat merendahkan
martabat suami sebagai kepala rumah tangga.
Adapun
kosenkuwensi atau akibat yang timbul karena keikutsertaan istri menafkahi
keluarga , antara lain:
1. Harga diri suami merasa
direndahkan oleh istri. Meski begitu, kita bisa menemukan ketidakterpenuhinya
kebutuhan nafkah dalam keluarga. Terkadang para istri ragu bahwa suami mereka
menafkahi dengan cara yang makruf atau para suami yang terdiam atas luka yang
menyakitkan karena istri membelanjakan hartanya tanpa kemakrufan. Begitulah,
kehangatan akan mencair dan berubah menuju keretakan, sehingga kehidupan
keluarga pun membeku manakala muncul problem “uangku dan uangmu. Terutama ketika istri bekerja dan memiliki
pendapatan tetap dan akan terjadi perdebatan.[16]
2. Keikutsertaan istri dalam
menafkahi keluarga dapat menimbulkan beban
yang sangat berat bagi seorang istrei yang bekerja di luar rumah. Seorang laki- laki
barangkali memang melakukan kerja yang
melelahkan di luar rumah. Tetapi, selepas kerja dia bisa pulang ke rumah dan
menghilangkan penatnya. Sedangkan wanita karir atau istri yang bekerja di luar
rumah, sepulangnya ke rumah dia masih dihadapkan dengan tugas-tugas rumah
tangga dan keperluan anak dan suaminya.
Akan tetapi, dalam Islam seorang suami
disunnahkan membantu istri dalam menyelesaikan urusan rumah tangga ketika istri
terlalu sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang dianggap sunnah. Dan wajib bagi
sang suami membantu istri jika pekerjaan yang dilakukan istrinya itu adalah
pekerjaan yang termasuk katagori wajib.
Sifat
saling merelakan antara pasangan suami istri dalam berbagai macam urusan adalah
suatu hal yang sangat terpuji. Hal itu merupakan modal utama bagi keluarga yang
didirikan di atas cinta dan kasih sayang serta saling berbagi suka dan duka.
Jika hal itu tidak disertai sikap saling merelakan, kemungkinan besar akan
terjadi pertikaian dalam hal hasil yang diperoleh istri dari pekerjaannya. [17]
D. Batasan-Batasan Hukum Tentang Kebolehan
Istri Bekerja
Masalah
wanita (istri) yang berkarier atau seorang istri yang bekerja di luar rumah
memang jadi bahan pertentangan antara pendukung dan penentangnya. Yang
mendukung tentu datang dengan sejumlah dalil serta argumentasi. Dan yang
menentangnya pun tidak kalah kuat dalil dan argumentasinya.
a. Pendapat yang mendukung seorang wanita
bekerja di luar rumah
Diriwayatkan
dari cerita Khadidjah ra. Adalah seorang pebisnis. Rasulullah punya seorang
istri yang tidak hanya berdiam diri di rumah serta bersembunyi di dalam
kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita (istri) yang aktif di dunia
bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya, beliau pernah menjalin kerjasama
bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya, tidak berarti istrinya itu berhenti
dari aktifitasnya.
Wanita
(istri) yang bekerja di luar rumah hukumnya boleh, dengan catatan
memperlihatkan dan menjaga batas-batas atau adat Islam, yaitu tidak ikhtilath
(berbaur dengan lelaki dan perempuan lain), dari terhindar dari fitnah. Dalam
kondisi normal, yang seharusnya tampil di depan umum terdiri dari kaum
laki-laki. Dalam kondisi tertentu, yakni ada kebutuhan obyektif, baik dalam
skala umum atau khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain wanita yang
bersangkutan. Ia boleh tampil di muka umum untuk menyampaikan dakwah atau
memberikan pelajaran dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Islam.[18]
Islam
menuntut agar wanita (istri) bekerja dalam bidang yang sesuai dengan kodrat
kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja dan mengikut
ketentuan yang telah digariskan oleh agama. Seorang istri boleh bekerja jika
ada salah satu dari sejumlah keadaan yang membolehkan seorang istri bekerja di
luar rumah. Dengan demikian keluarnya wanita (istri) dari rumah untuk bekerja
tidak menimbulkan masalah bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat umumnya.
Diantaranya Wanita (istri) yang bekerja di luar rumah harus tahu batas-batasnya
dalam bekerja, yaitu:
1. Bagi seorang wanita yang sudah
menikah atau sudah bersuami adalah hak suami untuk menerima atau menolak
keinginan istri untuk bekerja di luar rumah, karena persetujuan suami bagi
istri yang bekerja merupakan syarat pokok yang harus dipenuhi karena suami
dalam keluarga adalah pemimpin bagi wanita.[19]
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ … (النساء: 34)
Artinya: “Kaum lelaki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita
(istri)……(an-Nisa’: 34)[20]
Mendapat
izin adalah hal yang perlu didapatkan
dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Pada dasarnya memang wanita
(istri)harus mendapatkan izin suami untuk keluar rumah. Dan ini sebenarnya sangat
manusiawi sekali. Tidak merupakan beban dan paksaan atau menjadi halangan. Izin
dari suami harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian serta wujud
tanggung jawab seorang yang idealnya menjadi pelindung. Semakin harmonis sebuah
rumah tangga, maka semakin wajar bila urusan izin keluar rumah ini lebih
diperhatikan. Namun tidak harus juga diterapkan secara kaku yang mengesankan
bahwa Islam mengekang kebebasan wanita.[21]
Jadi ini sangat tergantung dari bagaimana seorang wanita (istri) dan
pasangannya memahami dan menerapkannya dalam
rumah tangga.
2. Pekerjaan itu tidak menimbulkan
khalwat, yang dimaksud dengan khalwat adalah berduaan laki-laki dan perempuan
yang bukan mahram di dalam tempat atau ruangan tertutup.
3. Menghindari pekerjaan yang tidak
sesuai dengan karakter psikologis wanita. Dan wanita harus dapat menjauhi
pekerjaan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya atau pekerjaan yang
dapat merusak harga dirinya. Seperti memjadi pelayan di klap malam atau
diskotik yan melayani kaum laki-laki sambil menyanyi atau menari, atau menjadi
model produk tertentu untuk menarik dan memikat para pembeli.
4. Menjauhi segala sumber fitnah.
Wanita yang bekerja di luar rumah harus
memakai pakaian yang dibolehkan oleh syara’, berdasarkan firman Allah SWT dalam
surat Al-Ahzab ayat 59.[22]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا (الأحزب: 59)
Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyanyang.” (Al-Ahzab: 59)
5. Menjaga pandangan yang artinya tidak boleh melihat aurat, tidak
boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada
keperluan.
6. Menyamakan antara tuntutan rumah
tangga dan tuntutan kerja. Wanita (istri) bekerja di luar rumah harus sanggup
mengatur waktu untuk kepentingan keluarga dalam urusan rumah tangga, menjaga
hak suami, mendidik anak-anak. Jangan dengan sebab kerja kepentingan rumah
tangga diabaikan.[23]
b. Pendapat yang menolak wanita bekerja di luar
rumah
Sedangkan
mereka yang cenderung menolak kebolehan wanita bekerja di luar rumah, juga
punya dalil dan argumen yang tidak bisa disepelekan. Diantaranya adalah:
Dalil Al-Qur’an , Allah SWT berfirman
dalam surat Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ
الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزب: 33)
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan (bertingkahlaku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbalt dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Allah
SWT telah berfirman tentang keharusan wanita menetap di dalam rumah, tidak
untuk keluar berpergian kesana kemari, mengisi tempat-tempat pekerjaan laki-laki,
serta menjadi penghibur nafsu syahwat mereka. Dan hendaklah kamu (para wanita
atau istri) tetap di rumahmu dan jangan
berhias dan bertingkahlaku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Dan
mereka tidak membandingkan kondisi zaman
Rasulullah dengan zaman sekarang karena bagi mereka tidak relevan. Sebab
kondisi sosialnya sudah berbeda. Para sahabat yang tinggal di Madinah adalah
orang-orang yang suci, bersih dan sangat menjaga diri dari fitnah. Demikian
juga dengan hukum yang berlaku adalah hukum Islam, di mana hampir tidak ada
celah sedikitpun untuk bisa terjadinya penyelewengan. Maka kondisi yang
sedemikian baik itu, bolehlah para istri keluar rumah tanpa khawatir terjadi
hal yang tidak diinginkan. Sedangkan yang terjadi sekarang ini justru
sebaliknya.
Di
antara aktifitas wanita (istri) ialah memelihara rumah tangganya, membahagiakan
suaminya dan membentuk keluarga bahagia yang tentram, damai dan penuh kasih
sayang. Namun tidak berarti bahwa wanita (istri) bekerja di luar itu diharamkan
oleh syara’. Karena tidak seorangpun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa ada
nash syara’ yang shahih dan jelas.
Berdasarkan
dua pendapat yang saling bertentangan di atas dapat disimpulkan bahwa, seorang
istri dibolehkan bekerja di luar rumah asalkan mengetahui batas-batas seorang
istri yang bekerja di luar rumah dan tidak melenceng dari kodratnya seorang
wanita (istri). Dalam hal ini, disunnahkan bagi wanita melakukan kegiatan
profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman
pada tujuan-tujuan berikut ini: membantu suami, ayah atau saudaranya yang
miskin, berniat mencapai suatu kepentingan besar bagi masyarakat Islamn serta
berkorban demi kebaikan.
Dan
seorang suami pun disunnahkan membantu istri dalam menyelesaikan urusan rumah
tangga ketika istri terlalu sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang dianggap
sunnah. Dan wajib bagi sang suami membantu istri jika pekerjaan yang dilakukan
istrinya itu adalah pekerjaan yang termasuk dalam katagori wajib.[24]
BAB III
PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG
ISTRI MENAFKAHI SUAMINYA
A. Biografi Ibnu Hazm
1. Riwayat Hidup Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibnu Hazm, ialah
Ali Ibn Ahmad Ibn Sa”id Ibn Hazm Ibnu Ghalib Ibn Shalih Ibn Sufyan Ibn Yazib.[25]
Kun- yahnya Abu Muhammad dan nama inilah yang sering dipergunakannya pada kitab-kitabnya,
tetapi ia terkenal dengan nama Ibnu Hazm. Lahir di Andalusia atau daerah
tenggara kota Cordova (semenanjung diberi nama Spanyol dan Portugal sekarang).
Pada hari terakhir Ramadhan tahun 384 H,
di waktu dini hari sebelum terbit matahari dan ketika sang imam subuh selesai
mengucap salam. Kelahiran Ibnu Hazm ini bertepatan dengan 7 November 994 M.[26]
Sejarah kelahiran Ibnu Hazm telah
diserahkan oleh Abu Muhammad dengan tulisan tangannya kepada hakim Sa’id bin
Ahmad al-Andalusia. Perhatian dan ketelitian atas kelahirannya ini menunjukan
bahwa kedudukan keluarga Ibnu Hazm dikenal terpandang dan mulia. Kakeknya
bernama Yazid adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari para kakeknya,
dan beliau berkebangsaan Persia sedangkan Khalaf adalah kakeknya yang pertama
kali masuk ke negeri Andalusia. Dengan demikian Ibnu Hazm adalah seorang
berkebangsaan Persia yang dimasukkan ke dalam golongan Quraisy dengan jalan
mengadakan sumpah setia dengan Yazid Ibn Abu Sofyan itu. Karena itulah Ibnu
Hazm berpihak kepada Bani Umaiyyah.
Masa lahir beliau di Spanyol pada
masa yang tragis dan krisis bagi umat Islam di Spanyol. Meskipun pada masa itu
lingkungan budaya dan ilmu pengetahuan sudah cukup maju. Cordova tempat
kelahiran Ibnu Hazm, sebagai pusat ibu kota Spanyol yang telah berkembang
menjadi kota administrasi dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan dengan
berkembangnya perpustakaan dan Universitas Cordova. Sementara Toledo telah
menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani seperti filsafat ilmu kedokteran,
ilmu pasti, alam dan matematika.[27]
Ayah Ibnu Hazm termasuk golongan orang cerdas yang berpendidikan cukup tinggi dibidang
ilmu dan kebudayaan.
Ibnu Hazm dibesarkan dalam
keluarga kaya, namun dia memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari
harta dan kemegahan. Ibnu Hazm menghafal al-Qur’an di purinya sendiri,
diajarkan oleh inang pengasuh yang merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang
penuh kepada pendidikannya dan memperhatikan bakat dan arah kehidupannya. Oleh
karena gerak-geriknya di dalam Istana diawasi dengan ketat oleh inang
pengasuhnya, maka terpeliharalah dia dari sifat-sifat anak muda. Ibnu Hazm
mempelajari ilmu yang biasanya dipelajari oleh pemuda-pemuda bangsawan dan penguasa,
yaitu menghafal al- Qur’an, menghafal sejumlah syair dan menghadapi guru-guru
utama untuk memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka.[28]
Semenjak umur 14 tahun. Ia
menikmati keadaan aman tenteram dan penuh kebahagiaan. Tetapi setelah itu
dispanyol terjadi peristiwa-peristiwa politik kehidupan keluarga berganti suasana,
yaitu terjadi bentrokan antara pribumi spanyol, barbal dan siar. Dalam
huru-hara politik itu, jatuhnya dinasti Amirid yang kemudian digantikan oleh
Hisyam II (M. Al-Mahdi) dari keturunan umayyah, sehingga kekuasaan ayahnya.
Dalam situasi itu ayahnya bejuang dipihak Al-mahdi untuk mengusir orang-orang
siar sambil berusaha mempertahankan istananya yang terletak di madinah zahira,
tetapi keadan tidak dapat di bendung lagi, keluarganya mendapat tekanan
politik, sehingga ayahnya meningga dunia ( 402. H ). Disat itulah Ibn Hazm
mulai menempuh kehidupan keras. Seluruh keluarganya mengungsi kebarat Maghlith
( 1013 M ) yang tahun itu pula tempat inipun dihancurkan, oleh karna itu ia
bertahan dan berjuang di Almeria sampai mendapat suatu politik ( 1016. M ) yang
diratifikasi antara Gubernur kota itu dengan barban yang di pimpin oleh
Sulaeman.[29]
Ibnu Hazm wafat pada hari
ahad, dua hari terakhir bulan sya’ban 456 H di padang laplah. Ada juga yang menyebut
bahwa ia wafat di mantu laisyim. Desa kelhiran Ibnu Hazm. Umurnya ketika wafat
adalah 71 tahun 10 bulan 29 hari. Dengan wafatnya Ibnu Hazm, masyarakat mulai
merasakan keikhlasan dan keseriusannya terhadap ilmu dimana mereke telah
memojokkan dirinya. Ia hidup berkeliling di beberapa negri, tidak pernah
menetab, dan tidak merasakan ketenangan. Allah SWT hendak berbuat adil pada
seorang berilmu ini setelah kematiannya dimana ia hidup terasing dengan ilmu
dan akhlaknya.
Al-Manshur Al-Wahhidi, Khalifah ketiga dinasti
Al-Muwahhidin, pernah mengunjungi kuburan Ibnu Hazm dengan serius seraya
menyatakan kesaksian sejarah hampir semua manusia berbuat lazim terhadap Ibnu
Hazm.[30]
2. Pedidikan dan Guru Ibnu
Hazm.
Semenjak Ibnu Hazm meranjak
dewasa, pihak keluarganya mulai mengarahkan pendidikan Ibnu Hazm pada
majlis-majlis ilmu yangter dapat di Mesjid Cordova. Ibnu Hazm mulai bertatab
muka dan berdialog dengan beberapa gurunya. Guru pertama Ibnu Hazm adalah Abu
Umar Ahmat bin Muhammad bin Al-Jaswar sebelum tahun 400H. Guru-guru Ibnu Hazm
lainnya adalah Abu Muhammad Ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf bin Nami yang dikenal
sebagai tokoh yang santun dan utama, tidak pernah berhenti mengumandangkan
Al-Qur’an Al-karim di rumah seseorang berakhlak baik, khusyuk banyak menangis,
dapat diterima apa yang diriwayatkan darinya dan memelihara agamanya.
Gurunya yang lain adalah
Mas’ud bin Sulaiman bin Maflod Abu Al-Khayyar. Dari Guru ini, Ibnu Hazm
menerima Pendapatnya tentang mazhab Azh-Zhahiri sehingga ia menjadi pemimpin
tunggal mazhab ini.Adh-Dhabi berkata, Abu Muhammad bin Hazm menyebut salah satu
gurunya, Mas’ud bin Sulaiman sebagai ahli fikih, Ilmu dan zuhud yang cendrung
memilih pendapat azh-zhahiri.[31]
Ibnu Hazm belajar ilmu logika dan kalam dari Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Abu Yazid
Al-Mishri. Terhadap gurunya ini berkomentar, “Saya ingat masalah ini-awal
pergolakan politik sesungguhnya saya memperoleh kesuksesan dalam beberapa waktu
di Cordova, di dekat kuburan seorang amir, dalam lingkungan sedikit murid-murid
sedangkan tentang filsafat dan ilmu kepurbakalaan kepada Abu Abdullah Muhammad
Ibnu Al-Hasan Al-Maziji. Lebih dari itu Ibnu Hazm juga membaca karya-karya
filsafat yang telah diterjemah kedalam bahasa arab dari filsafat plato dan
an’stoteles.
Berbagai
disiplin ilmu dan beberapa orang guru telah membetuk kerangka berpikir Ibnu
Hazm yang bersifat menyeluruh. Pengalaman belajar Ibnu Hazm dilaluinya dengan
berpidah-pindah, yakni Cordova, Murcia, Jativa, Valencia dan kota-kota lain
sekitar Codova. Perpidahan yang dialaminya berkaitan dengan keadan polititik
Spanyol yang tidak menentu. pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fiqih Maliki
karna guru-gurunya bermazhab dengan mazhab itu, selama itu mazhab Maliki adalah
mazhab resmi Andalusia. Ibnu Hazm Pernah mengatakan dua mazhab yang berkembang
melalui tangan tangan kekuasaan penguasa adalah mazhab hanafi di timur dan
mazhab Maliki di barat.
Setelah
itu Ibnu Hazm menemukan kritikan-kritikan yang dilakukan oleh Asy-Syafi’i
terhadap Maliki. Karena itu Ibnu Hazm meninggalkan mazhab imam Maliki yang
merupakan mazhab penduduk negeri Andalusia pada masanya, dan berpindah pada
mulanya ke mazhab Syafi’i. Sambil mengikuti Syafi’i, Ibnu Hazm mempelajari
mazhab ulama-ulama Irak. Walaupun mazhab Hanafi juga tidak berkembang di
Andalusia, namun di situ berdiam juga ulama-ulama yang bermazhab Maliki.
Dengan
mempelajari mazhab-mazhab lain, Ibnu Hazm melakukan perbandingan mazhab. Dan
akhirnya dia tertarik pada mazhab azh-Zhahiri yang dikembangkan oleh Daud
al-Asfahani. Secara sendiri tanpa bergantung pada imam-imam yang lain. Inilah
salah satu sebabnya terciptanya pertentangan keras antara Ibnu Hazm dengan
masyarakat sehingga dia tidak tenang sampai kemudian meninggalkan kekayaan dan
dunia. Mazhab Zhahiri berprinsip hanya
berpegang pada nash semata. Larangan dan suruhan hanya berdasarkan nash atau
asar, apabila tidak ada nash baru dipakai istihsan.
Ibnu Hazm mempelajari mazhab Zhahiri selain melalui pembacaan kitab, juga
melalui seorang guru bernama Mas’ud Ibn Sulaiman. Mazhab Zhahiri inilah yang
dipeganginya sampai akhir hayat.[32]
3. Karya-Karya Ibnu Hazm
Di antara keistimewaan Ibnu
Hazm adalah karyanya yang banyak dan beragam yang mempengaruhi pemikiran
manusia, banyak pencari ilmu belajar dari karya-karya itu. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa beragam kesusahan dan kesengsaraan yang dilancarkan
lawan-lawan semasanya, telah mendorong Ibnu Hazm melahirkan karya yang banyak
dan bermamfaat. Dalam muqaddimah
kitab al-Fasl fi al-Milal wa an-Nihal
yang ditulis oleh Ibn Khallikan, dinyatakan jumlah karangan-karangan Ibnu Hazm
meliputi bidang Fiqh, hadits, mustalah al-hadits, aliran-aliran agama, sejarah,
sastra, silsilah dan karya apologetik yang kurang lebih 400 jilid yang terdiri
dari 80.000 lembar ditulis tangan sendiri, Karya-karya Ibnu Hazm tidak dapat
diketahui semuanya, sebab sebagian besar karyanya musnah terbakar oleh penguasa
dinasti al-Mu’tadi (1068-1091 M).
Adapun karya-karya Ibnu Hazm
yang terlacak antara lain:
a. Al-Ihkam fi ushul al-Ahkam
(8 jilid), memuat ushul fiqih mazhab az-Zdahiri menampilkan juga
pendapat-pendapat ulama di luar mazhab az-Zdahiri sebagai perbandingan.
b. Al-Muhalla (13 jilid), buku
fiqih yang disusun dengan metode perbandingan, penjelasannya luas, argumen,
Al-Qur’an, hadist dan ijma’ yang dikemukakan sangat memadai.
c. Ibtal al-Qiyas, pemikiran
dan berbagai argumentasi dalam menolak kehujjahan qiyas.
d. Tauq al-Hamamah, karya
autobiografi Ibnu Hazm yang meliputi perkembangan pendidikan dan pemikirannya
ditulis pada tahun 418 H.
e. Nuqat al-‘Arus fi Tawarikh
al-Khulafa, yang mengungkap para khalifah di Timor dan Spanyol.
f. Al-Fasl fi al-Milal wa
al-Ahwa’ wa an-Nihal, teologi yang disajikan dalam metode perbandingan agama
dan sekte-sekte dalam Islam.
g. Al-Abtal, pemaparan Ibnu
Hazm dalam argumen-argumen mazhab az-Zdahiri.
h. At-Talkhis wa at-Takhlis,
pembahasan rasional masalah-masalah yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an dan
sunnah.
i. Al-Imamah wa al-Khilafati
al-Fihrasah, sejarah Ibnu Hazm dan asal usul leluhur mereka.
j. Al-Akhlaq wa as-Siyar fi
Mudawwamah an-Nufus, sebuah buku sastra Arab dan
k. Risalah fi Fada’il ahl
al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tentang Spanyol. Ditulis khusus untuk
sahabatnya Abu Bakr Muhammad bin Ishaq.[33]
B.
Pendapat Ibnu Hazm tentang
Istri Menafkahi Suaminya.
Tentang
nafkah, para ulama sepakat mengenai kewajiban seorang suami untuk menafkahi
istrinya.[34] Jika demikian Ibnu Hazm
termasuk di dalamnya. Mereka berbeda pendapat tentang empat permasalahan yaitu
waktu kewajibannya, ukurannya, siapakah yang berhak menerimanya dan siapakah
yang wajib menerimanya.[35]
Akan tetapi yang membuat Ibnu Hazm berbeda pendapat dengan para ulama yang lain
apabila seorang suami tidak ada kemampuan (kesanggupan) dalam menunaikan
kewajibannya yaitu menafkahi istrinya, maka kewajiban itu berpindah kepada
istrinya. Dalam catatan istrinya seseorang yang kaya atau berkemampuan dalam
menafkahi suaminya. Dan Ibnu Hazm
berpendapat seorang istri tidak diperbolehkan memfasakh suaminya yang disebabkan
suami tidak sanggup menafkahi istrinya. Pendapat ini di tegaskan oleh Ibnu Hazm
dalam kitabnya yang berjudul Al-Muhalla Bil Atsar Juz 9.
Apabila
suami sanggup memberi nafkah menurut kesanggupannya baik itu sedikit ataupun
banyak, maka yang wajib ditunaikan oleh suami dengan kadar kesanggupannya. Dan
apabila tidak sanggub menunaikan nafkah istrinya sama sekali, maka gugurlah nafkah
atasnya (suami) jikalau sewaktu-waktu suami tesebut kaya. Istripun tidak boleh
menuntut ganti rugi atas nafkah yang telah diberikan kepada suaminya pada saat
suami miskin.
Ibnu Hazm menyatakan:
فمن قدر على بعض النفقة والكسوة،
وهو قادر عليها فسواء قل مايقدر عليه
أوكثر: الواجب أن اقضى عليه بما
قدر، ويسقط عنه ما لايقدر على شئ من ذلك
سقط عنه، ولم يجب ان يقضى عليه شيئ، فإن أيسر بعد ذلك قضى عليع من حين يوسر، ولا يقضى عليه شيئ مما انفقته على اوكسوة مدة عسره،
Artinya: Seseorang (suami) yang sanggup memberi nafkah baik itu sedikit
ataupun banyak, maka suami wajib menunaikan menurut kadar kesanggupannya, jika
(suami) tidak sanggup sama sekali memberi nafkah untuk istrinya maka gugurlah
nafkah atasnya (suami), dan tiada wajib nafkah atasnya (suami) jika
sewaktu-waktu suami tersebut kaya untuk menunaikan nafkahnya di waktu suami
mampu, dan tidak boleh menunutut oleh isttri akan ganti rugi nafkah yang tidak
diberikan suaminya ketika miskin.[36]
Dengan pernyataan demikian, sangat terlihat
perbedaan pendapat antar mazhab lain. Ibnu Hazm berpendapat seperti itu
berlandaskan Firman Allah SWT:
4 لا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا 4 (الطلاق : 7)
Artinya:......Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya...............(Q.S. Ath-Thalaq : 7)
Dalam
penafsiran ayat di atas Allah SWT tidak membebani seseorang untuk memberikan
nafkah kepada orang yang harus ditanggungnya, kecuali sekedar yang diberikan
Allah kepadanya.[37] Janganlah wahai istri
menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suamimu serta ayat di atas
ditafsirkan seorang hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan fasakh bagi wanita
(istri) disebabkan kemiskinan suaminya.[38]Dengan
berlandaskan ayat tersebut dapat memperkuat pendapat Ibnu Hazm yang bahwa
seorang istri tidak boleh memfasakh suaminya karena tidak sanggup memberi
nafkah kepadanya baik karena tidak ada pekerjaan, sakit dan sebagainya. Apabila
istri mampu (seorang yang kaya) wajib menafkahi suaminya.
Ibnu
Hazm menyatakan demikian dengan alasan, bahwa tidak benar menjadikan riwayat
yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah berpendapat
dengannya dan mengamalkannya, sebagai dasar pembatalan nikah (meminta fasakh)
dengan disebabkan seorang suami tidak mampu menunaikan kewajibannya yaitu tidak
memberi nafkah untuk istrinya.Telah diketahui bahwasanya nafkah merupakan hak
istri yang menjadi kewajiban bagi suami.
Menurut Ibnu Hazm sudah sepatutnya sikap seorang istri apabila suami tidak
mampu memberi nafkah, maka istri yang kaya wajib memberikan nafkah untuk
suaminya yang miskin (tidak mampu menafkahinya).
Syaikh
Umar Sulaiman al Asyqar-hafizhahullah berkata : “Al-hanafiyah (para ulama
mazhab Hanafi) membolehkan seorang istri berhutang atas tanggungan suaminya
untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberi nafkah.
Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) berpendapat seorang istri disuruh
memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah
darinya dengan fasakh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi istri tidak
wajib atas suaminya selama dia kesusahan.[39]
Dari
pendapat di atas Ibnu Hazm menyimpulkan dari kata-kata nafkah bagi istri tidak
wajib atas suaminya selama dia kesusahan, maka menurut beliau dengan adanya suatu
ikatan perkawinan antara suami istri sudah sepatutnya istri tetap mendampingi
suaminya dalam keadaan susah maupun senang. Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa
suatu pernikahan itu tidak dapat diserupakan dengan jual beli dengan alasan
bahwa ketidakmampuan suami dalam menunaikan kewajibannya yaitu menafkahi
istrinya. Dalam pernyataan Ibnu Hazm: “karena jual beli itu merupakan
perpindahan hak milik, sedangkan hal itu tidak terdapat dalam pernikahan”.
Ibnu
Hazm juga berkomentar tentang hadits:
Dan hadits Abu Hurayrah juga yang diriwayatkan
oleh Nasa’i:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه : قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اليد
العليا خير من اليد السفلى، ويبدأ أحدكم بمن يعول. تقول المرأة : أطعمني، أو
طلقني. رواه الدار قطني، وإسناده حسن.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, Tangan yang di
atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima). Hendaklah
salah seorang diantara kalian memberi nafkah kepada orang yang menjadi
tanggungannya. Berkatalah seorang istri, ‘Beri aku makan atau ceraikan aku.”
(Hadits riwayat ad-Daruquthni dan sanadnya hasan).[40]
Oleh karena suami tidak mampu menjaga
istrinya dengan patut (ma’ruf), maka istri menuntut fasakh kepada suaminya.
Ibnu Hazm tidak sepakat dengan hadist tersebut, karena dapat memudharatkan
salah satu pihak yaitu pihak suami. Jika suami dalam keadaan tidak mampu, maka
istri pun dapat memaklumi keadaan
suaminya. Dan Ibnu Hazm mengatakan, jika wanita tersebut (istri) dalam katagori
mampu (seorang yang kaya) maka kewajiban itu jatuh kepundaknya dalam artian
istri diwajibkan menafkahi suaminya.
Disamping
itu istri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami
dengan sesuatu yang suami tidak mampu dalam menunaikan kewajibannya, dan ini
telah dijelaskan dalam surat at-Thalaq ayat 7. Dan jikalau istri ikut serta
dalam membantu suaminya dibidang keuangan keluarga, maka janganlah seorang
istri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami
maupun keluarga, karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan
pahalanya si istri.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat
264:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا
صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ
عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ
مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (البقرة : 264)
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan
hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari akhir. Perumpamaanya (orang itu) seperti batu yang licin yang di
atasnya ada debu, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, maka tinggallah batu
itu licin lagi. Mereka tidak membolehkan sesuatu apapun dari apa yang mereka
kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.(Q.S.
Al-Baqarah: 264)
Ulama Maliki salah satunya mendukung
pendapat Ibnu Hazm dengan menyatakan bahwa gugur nafkah daripadanya suami dengan
sebab kefakirannya selama ia berada dalam kesempitan belanja, dengan arti kata
tidak wajib ke atas suami menanggung nafkah dan tidak menjadi hutang bagi
suami. Oleh karena itu, istri tidak berhak menuntut fasakh, kecuali apabila
suami telah beroleh kesenangan. Disamping itu Malik berpendapat bahwa ukuran
nafkah tidak dibatasi dengan syari’at, dan itu kembali kepada keadaan yang
dialami suami dan istri. Hal itu berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu
dan kondisi. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa suami lah yang wajib menafkahi
istrinya dalam keadaan apapun baik dalam keadaan mampu ataupun tidak mampu
menurut kemampuannya.[41]
Sebab
terjadinya perbedaan pendapat yaitu ketidakjelasan arti nafkah dalam pembahasan
ini, apakah dalam artian memberi makan dalam kafarat atau memberi pakaian.
Mereka sepakat bahwa memberi pakaian itu tidak dibatasi sedangkan memberi
makanan dibatasi.[42]
Dan perlu digaris bawahi,
nafkah istri wajib disesuaikan dengan kelapangan dan kesusahan suami. Jika
keadaan suami penuh dengan kelapanga, maka diwajibkan bagi suami menafkahi
istri dengan cara yang baik, tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Sedangkan
bagi keadaan suami yang serba kekurangan, maka menurut Ibnu Hazm istri harus
memaklumi keadaan suaminya, dan jika istri mampu (kaya) maka diwajibkan bagi
istri untuk menafkahi suaminya. Dan istri pun harus ridha (rela) atas yang
telah diberikannya kepada suaminya, karena itu merupakan kewajiban moral.
Mengenai
nafkah atau pakaian Ibnu Hazm berbeda pendapat, beliau mengatakan: Jika suami
tidak memberi nafkah atau pakaian untuk istrinya dengan tujuan menzhalimi
istrinya ataupun karena suami itu fakir yang tidak ada kemampuan untuk
menafkahi istrinya, maka istri tidak diperbolehkan berbuat yang demikian itu
juga. Karena sesungguhnya yang demikian itu sekalipun suami melakukan
kezhaliman terhadap istrinya, maka tidak boleh bagi istri tidak menunaikan
kewajibannya atau hak bagi suami. Istri hanya diperbolehkan membagi harta suami
dan istri mendapat harta suami dengan kadar haknya istri.[43]
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
عن عائشة رضي الله عنها
قالت : د خلت هند بنت عتبة – امرأة أبي سفيان – على رسول الله صلى الله عليه وسلم
. فقالت : يارسول الله ! إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني
ويكفي بني، إلا ما أحدت من ماله بغير علمه، فهل علي في ذلك من جناح؟ فقال : خذي من
ماله بالمعروف ما يكفيك، ويكفي بنيك. متفق عليه.
Artinya:
Dari Aisyah dikatakan bahwa Hindun binti Utbah berkata: “Ya Rasulullah! Abu
Sufyan adalah seorang lelaki yang sangat pelit. Dia tidak mau memberiku nafkah
yang dapat mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali apa yang kuambil dari
hartanya tanpa sepengetahuannya.”Rasulullah SAW. Berkata:”Ambillah dari
hartanya menurut cara yang patut dan bisa mencukupi kebutuhanmu dan
anak-anakmu!” (HR. Bukhari dan Muslim).[44]
Dari
penjelansan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ibnu Hazm tidak
memperbolehkan seorang istri menuntut fasakh kepada suaminya, yang disebabkan
ketidakmampuan suami dalam menafkahi istrinya. Dan Ibnu Hazm berpendapat jika suami
tidak mampu menafkahi istrinya, maka istri yang wajib menafkahi suaminya dalam
arti istri adalah seorang yang mampu (kaya) untuk menafkahi suaminya. Hal ini
dikemukakan berdasarkan adanya ikatan pernikahan antar suami istri, maka sudah
sepatutnya dalam satu keluarga adanya sikap tolong-menolong antara suami istri,
dan ini merupakan adanya suatu keadilan dalam keluarga.
Perlu
kita ingat, dalam satu keluarga diibaratkan tubuh yang satu, jika salah satu
diantara mereka yaitu suami, istri, dan anak sakit, maka yang lain juga ikut
merasakan. Jadi dalam satu keluarga itu harus saling bahu-membahu, saling
melengkapi satu sama lain agar terciptanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
C.Metode Ibnu Hazm dalam
Mengistinbathkan Hukum yang Mewajibkan Istri Menafkahi Suaminya
Dalam
metode istinbath Ibnu Hazm yang berkaitan dengan seorang istri kaya wajib
menfkahi suami yang miskin dalam artian tidak mampu dalam mencari nafkah,
sebelumnya banyak orang yang mengira
bahwa beliau tidak berpegang pada akal. Padahal sesungguhnya Ibnu Hazm
menjadikan akal dan naql sebagai sendi dalam mempelajari persoalan-persoalan
yang menyangkut dengan Islamiyah serta sebagai pokok pengetahuan dalam
menetapkan aqidah Islam. Dengan dalil-dalil naqli dan aqli menetapkan keesaan
Allah SWT, kebenaran Nabi Muhammad SAW,
kemukjizatan al-Qur’an dan dalam menetapkan bahwa segala yang terkandung
dalam al-Qur’an adalah perintah Allah SWT, larangan dan keizinannya.[45]
Prinsip
pertama berdasarkan pada konsistensi nash dan mengambil penjelasan zahir kitab
Allah SWT, dan sunah Rasulullah SAW, dan ijma’ sahabat ra. Ibnu Hazm
menjelaskan metode atau prisip ini dalam karyanya, al-Fashl dan karya-karya lainnya, seperti dikatakan berikut :
“Ketahuilah bahwa agama Allah SWT itu adalah jelas (zahir) tidak tersembunyi
(batin), dan tidak samar, kesemuanya adalah bukti penguatan (burhan). Orang
yang tidak mau berpegang pada nash dzahir, perlu dipertanyakan dari mana timbul
pendapat itu. Jika tidak dapat menjelaskan dengan jelas, berarti dia hanya
mengikuti prasangka-prasangka. Ketahuilah! Nabi Allah tidak pernah
menyembunyikan satu kalimatpun atau lebih dari syari’ah. Dari penjelasan
berikut Ibnu Hazm menolak adanya kesamaran, tersembunyi dan yang berbentuk
isyarat.[46]
Adapun
dasar-dasar yang digunakan Ibnu Hazm dalam mengistimbathkan hukum itu ada 4
seperti yang dinyatakannya:
الاصول التى لايعرف شيئ من الشرائع إلا منها، و انها اربعة
وهى: نص القرأن، ونص كلام رسول الله عليه
وسلم، الذى انما هو عن الله تعالى مما صح عنه
عليه السلام نقل الثقات او
التواتر، واجماع جميع، علماء الأمة،
اودليل منها لا يحتحل الاوجها واحدا.
Artinya:
Dasar-dasar yang tidak diketahui sesuatu dari syara’ melainkan daripada
dasar-dasar itu ada empat, yaitu nash al-Qur’an, nash hadits Rasulullah SAW
yang sebenarnya datang dari Allah SWT dan juga yang Shahih diterima dari
padanya dan dinukilkan oleh orang-orang kepercayaannya atau yang mutawatir dan
yang diijma’i oleh semua umat serta suatu dalil dari padanya yang tidak mungkin
menerima selain daripada satu cara saja.[47]
Inilah
sumber-sumber fiqh Islam menurut Ibnu Hazm. Dengan memperlihatkan apa yang
dikemukakan Ibnu Hazm tersebut, nyatalah bahwa dasar-dasar yang digunakan Ibnu
Hazm dalam beristinbath adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’ yang dinukilkan oleh
semua umat dari masa ke masa yaitu ijma’ sahabat.
4. Dalil.[48]
Ad. 1. Al-Qur’an
Ibnu
Hazm menetapkan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah.
Semuanya itu jelas dan nyata bagi setiap umat, maka barang siapa mengetahui
syari’at-syari’at Allah SWT, ia akan menemukan terang dan nyata yang
diterangkan oleh al-Qur’an sendiri atau oleh keterangan Nabi Muhammad SAW.[49]
Pokok penjelasan dalam al-Qur’an adakalanya dalam al-Qur’an sendiri, dan adakalanya terdapat penjelasan dalam
as-Sunnah. Hanya saja pemahamannya saja yang berbeda-beda, namun Syari’atnya
tetaplah sama.
Ibnu
Hazm menyatakan bahwa, penjelasan berbeda-beda keadaannya yaitu sebagian terang
dan sebagian tersembunyi. Karena itu manusia berselisih dalam pemahamannya dan
cara memahaminya, sebagaimana Ali bin Abi Talib mengatakan: terkecuali Allah
SWT memberikan kepada seseorang paham yang kuat tentang agamanya.[50]
Oleh karena itu dalam memahami al-Qur’an Ibnu Hazm sangat memperlihatkan adanya
istisna’, takhsis dan taukid serta nasikh mansukh. Beliau melihat hal-hal tersebut sebagai bayan (penjelasan) dalam al-Qur’an.
Menurut pemahaman Ibnu Hazm, istilah bayan
adalah membawa al-Qur’qn dan as-Sunnah kepada pemahaman zahir. Siapa yang
berusaha menggeser bayan tersebut
kepada ta’wil tanpa ada pemahaman
nash dan ijma’, berarti dia telah berbuat dusta kepada Allah SWT dan Rasulullah
SAW, menyalahi al-Qur’an dan menggeser
kalam-Nya dari tempat semula.
Ad. 2. As-Sunnah
Ibnu
Hazm menetapkan al-Qur’an sebagai masdarul
maqasid al-masadiri. Beliau memandang as-Sunnah maasuk ke dalam nash-nash
yang turut membina syari’at ini walaupun hujjahnya
diambil dari al-Qur’an. Dalam hal ini Ibnu Hazm menyatakan bahwa: “Tatkala kami
telah menerangkan al-Qur’an adalah pokok pangkal yang harus kita kembali
kepadanya dalam menentukan hukum, maka kamipun memperlihatkan isinya, lalu kami
dapati di dalamnya keharusan mentaati apa yang Rasulullah SAW suruh mengerjakan
dan kami dapati Allah SWT mengatakan dalam al-Qur’an untuk mensifatkan
Rasul-Nya (“dan dia tidak menuturkan sesuatu dari hawa nafsunya, tidaklah yang
dituturkan itu melainkan apa yang diwahyukan kepadanya”). Sah bagi kami
bahwasanya wahyu yang datang dari Allah SWT terbagi dua yaitu: pertama, wahyu
yang dibacakan yang merupakan mu’jizat dan hal yang kedua, wahyu yang
diriwayatkan dan dinukilkan yang tidak merupakan mu’jizat dan tidak
disyari’atkan kita membacanya sebagai ibadah, namun demikian dia tetap
dibacakan dan itulah hadist Rasulullah SAW.[51]
Ibnu
Hazm sependapat dengan asy-Syafi’i dalam memandang al-Qur’an dan as-sunnah dua
bagian yang satu sama lainnya saling menyempurnakan, yang kedua-duanya
dinamakan “nusus”. Ibnu Hazm tidak
menjelaskan apakah al-Qur’an merupakan hakim terhadap as-sunnah dalam arti kata
harus dikemukakan setiap hadits kepada al-Qur’an, sebagaimana yang dikemukakan
oleh sebagian fuqaha, dan tidak pula menjelaskan apakah as-sunnah itu menjadi
hakim tehadap al-Qur’an. Ibnu Hazm membagi as-sunnah kepada tiga bagian. Oleh
karena itu, ia menetapkan bahwa yang menunjukkan kepada wajib, hanyalah
perkataan saja. Perbuatan Nabi, hanya merupakan qudwah, tidak menunjukkan kepada wajib, sedang taqrir Nabi SAW,
merupakan ibadah. Dari segi riwayat, sunnah dibagi kepada dua bagian, sunnah mutawatirah dan khabar ahad.
Ibnu
Hazm mensyaratkan para perawi yang diterima riwayatnya, bahwa perawi itu
seorang yang adil, terkenal seorang yang benar, kukuh hafalan dan mencatat apa
yang didengar dan dinukilkan, setinggi-tinggi martabat orang kepercayaan
baginya ialah di samping dia seorang kepercayaan, juga dia seorang faqih. Maka
kefaqiahan itu syarat yang tertinggi dalam menerima hadits. Dia mensyaratkan
pula, sanad hadits itu muttasil hingga
sampai kepada Nabi SAW. Karenanya Ibnu Hazm tidak menerima hadits mursal, kecuali hadits mursal itu mempunyai nilai-nilai
tersendiri, umpamanya hadits itu diirsalkan
oleh tabi’in besar, dan hadits mursal
itu ada diriwayatkan yang semaknanya, atau dikuatkan oleh suatu hadits yang
lain atau oleh pendapat sahabat, atau diterima ahli ilmu.[52]
Ad. 3. Ijma’ yang dinukilkan oleh semua umat dari
masa ke masa yaitu ijma’ sahabat
Ibnu
Hazm menetapkan bahwa ijma’ adalah unsur ketiga fiqh dengan perkataannya:
اتفقنا واكثر المخالفين على ان الاجماع من علماء اهل الاسلام حجة وحق مقطوع فى دين الله عزوجل
Artinya:
Kami telah sepakat dan kebanyakan orang-orang menyalahi kami, bahwasanya
ijma’dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatukebenaran yang menyakinkan
dalam agama Allah SWT.[53]
Ibnu
Hazm menetapkan bahwa ijma’ yang mu’tabar adalah ijma’ sahabat Nabi SAW, karena
ijma’ tidak lain kecuali berasal dari Nabi SAW, atau dengan bimbingannya. Hal
ini seperti yang dikatakan Ibnu Hazm bahwa para sahabat adalah mereka yang
berinteraksi dan mengetahui keadaan Nabi SAW, juga memungkinkan membangun ijma’
dan mencocokkan pendapat mereka, dan mereka semua adalah orang-orang yang
beriman dimasa Nabi SAW. Kebenaran Ibnu Hazm atas ijma’ ini didasarkan pada dua
hal,
1. Tidak ada perbedaan di
antara umat Islam bahwa ijma’ yang dilakukan para sahabat Nabi SAW adalah
shahih adanya dan tidak dapat ditentang oleh siapapun.
2. Sesungguhnya agama Islam
telah sempurna.
Ad. 4. Dalil
Dasar
keempat dari dasar-dasar istinbath yang ditempuh Ibnu Hazm dan golongan
Zahiriyah ialah mempergunakan sebagai ganti qiyas, apa yang di dalam istilah
Ibnu Hazm dinamakan dalil. Beliau menetapkan bahwa apa yang dinamakan dalil itu
diambil dari nash atau ijma’ sendiri, bukan diambil dengan jalan mengkaitkan
kepada nash. Dalil menurut Ibnu Hazm berbeda dengan qiyas. Qiyas dasarnya
mengeluarkan ‘illat dari nash dan
memberikan hukum nash kepada segala yang padanya terdapat ‘illat itu, sedangkan dalil langsung diambil dari nash.
Dalil
yang diambil dari nash dibagi menjadi beberapa bagian: pertama, nash melengkapi
dua muqaddimah dengan tidak
menyebutkan natijah. Mengeluarkan natijah dari dua muqaddimah itu dinamakan dalil. Contohnya sabda Nabi SAW:
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه
وسلم قال: كل مسكر خمر و كل خمر حرام (رواه
مسلم )
Artinya:
Dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Setiap zat,
bahan atau minuman yang dapat memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah
haram. (HR. Muslim).[54]
Kedua
muqaddimah ini berkesimpulan bahwa
tiap-tiap yang memabukkan haram. Hal ini menurut Zahiriyah bukan qiyas, tetapi
penerapan nash. Lantaran ini sebagian fuqaha mengatakan bahwa golongan
Zahiriyah menggunakan qiyas jika ‘illatnya
mansus ‘alaiha.
Kedua, merupakan umum fi’il syarat. Ketiga, makna yang ditunjuki lafaz mengandung suatu pengertian yang
menolak makna yang lain, yang mungkin tidak munasabah
dengan makna lafaz. Keempat,
sesuatu itu tidak dinashkan hukumnya. Maka sesuatu itu adakalanya haram dengan
nash, lalu berdosa orang yang mengerjakannya, adakal mubah bukan fardlu, bukan haram, boleh dikerjakan,
boleh ditinggalakan. Bagian keempat ini, masuk ke dalam bab istishab yaitu segala sesuatu tinggal
dalam bab ibadah sampai ada dalil
yang mengharamkan atau memfardlukan.
Keempat-empat bagian ini, diambil dari nash.
Kelima, adalah bahwa pada hakikatya semua orang Islam sama.
Maksudnya adalah apabila sesuatu hukum dihadapakan kepada sebagian umat, maka
dia menjadi hukum bagi seluruh umat, karena mereka adalah sama-sama umat Islam,
selama tidak diperoleh nash mengkhususkan hukum itu untuk sebagian umat. Hal
yang demikian ini, telah diijma’i umat Islam dan ijma’ itu dinukilkan dari masa
Nabi SAW sendiri. Hadits-hadits yang mengenai beberapa orang, menjadi hukum
umum. Dari hal itu dipahami bahwa seluruh umat Islam masuk ke dalam umum hadits
itu.
Ibnu
Hazm menetapkan bahwa Rasulullah SAW tidaklah bangkit untuk menetapkan hukum
bagi penduduk uang sesama dengannya saja, tetapi untuk menetapkan hukum bagi
semua orang yang datang sesudahnya, hingga hari kiamat. Dengan denikian hukum
itu menjadi ‘am, walaupun lafaznya khas. Hal ini bukanlah dari golongan lafaz
khas yang menunjukkan kepada umum, tetapi ijma’ telah menetapkan bahwa risalah
Muhammad adalah umum dan harus dipersamakan bagi semua orang Islam dan
menjalankan hukum taklif. Kalau demikian, umum hukum bukan diambil dari nash,
tetapi dari ijma’. Dalil ini dinamakan golongan Zahiriyah dengan dalil yang
diambil dari ijma’.
D. Kesesuaian Pendapat Ibnu Hazm dengan Zaman
Sekarang tentang Istri Menafkahi Suami
Realita
sekarang dapat dilihat kebanyakan istri menafkahi suami atau menanggung
kebutuhan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnu Hazm yang
menyatakan, jika seorang suami tidak ada kemampuan dalam menafkahi istrinya,
maka istrilah yang wajib menafkahi suaminya dalam arti istri yang kaya (mampu
mencari nafkah). Apabila seorang suami tidak dapat mencari nafkah yaitu dalam
keadaan sakit, tidak ada pekerjaan maka dalam hal ini, disunnahkan bagi wanita
(istri) melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung
jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan berikut ini: membantu suami,
ayah, atau saudaranya yang miskin, berniat mencapai suatu kepentingan besar
bagi keluarganya serta berkorban demi kebaikan.[55]
Kesesuaian
di zaman sekarang dengan zaman dahulu dapat dilihat dalam cerita Zainab binti
Jahsy yaitu istri Ibnu Mas’ud yang ikut menafkahi suaminya dan anak yatim. Di
zaman Rasulullah melalui cerita “Zainab
binti Jahsy berkarya dengan keterampilan tangannya sendiri dan bersedekah,
sebagaimana yang telah diriwayatkan Aisyah r.a. ia telah berkata: “...ternyata
yang terpanjang tangannya diantara kami adalah Zainab sebab dia sudah bisa berusaha
dengan tangannya sendiri dan bersedekah”. (H.R. Muslim).[56]
Demikian pula dengan Zainab istri
Ibnu Mas’ud berusaha sendiri dan menafkahi suami dan anak yatim. Hal ini
diceritakan sendiri oleh Zainab istri Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut. “Pada suatu waktu aku berada di mesjid,
lalu aku melihat Nabi SAW, Beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian (hai kaum
wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!” Sedangkan Zainab sendirilah yang
memberi nafkah (suaminya Abdullah dan anak yatim yang diasuhnya). Zainab berkata,
“Lalu aku pergi menemui Nabi SAW, aku temukan seorang wanita Anshar berada di
dekat pintu masuk rumah Nabi dan keperluannya sama dengan keperluanku. Lalu
lewat Bilal dekat kami berkata padanya, “(Wahai Bilal), tanyankan pada Nabi
apakah sah apabila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak yatim yang aku
pelihara?”. Bilal pun masuk dan menyampaikan pesanku pada Nabi
SAW, Beliau menjawab, “Ya, sah dan baginya dua pahala, pahala kerabat dan
pahala sedekah”. (H.R. Bukhori Muslim).[57]
Demikianlah realita aktivitas
perempuan pada zaman Rasulullah SAW dan sahabat. Betapa kita bisa melihat bahwa
Rasulullah SAW memberi wacana (ketentuan syar’i) yang tidak kaku bahkan sangat
predictable. Karena era modern ini realitas dari aktivitas perempuan di zaman
Rasulullah SAW dan sahabat bisa dijadikan standar bagi perempuan di era
sekarang dalam beraktivitas. Maka amat disayangkan jika masih ada seseorang
atau kelompok-kelompok yang masih merendahkan martabat perempuan serta
melecehkannya dengan cara melarang mereka untuk beraktivitas disegala bidang
(asal masih dalam koridor syar’i). Dan adakala mereka (yang mengekang
perempuan) berkata, “Sekarang ini zaman yang moralitasi manusia di dalamnya
telah rusak. Jadi alangkah baiknya jika seorang perempuan (istri) tidak keluar
rumah, tidak berkomunikasi dengan laki-laki kecuali dengan hijab (pemisah)
karena fitnahnya sangat besar!”.
Maka kami akan memberikan bantahannya sebagai
berikut: “Kalau hal ini yang dikhawatirkan ketika perempuan keluar rumah untuk
kuliah, ke mesjid, ke pertemuan umum atau berkomunikasi dengan lawan jenis maka
tentulah Rasulullah SAW akan melarang itu pada sahabat-sahabatnya (ummatnya).
Dan kita telah mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah utusan Allah SWT yang
selalu menerima dan dikontrol oleh wahyu Allah SWT. Tentunya kejadian-kejadian
masa depan pastilah Allah SWTmengetahuinya, dan kegiatan wanita (istri) itu
menimbulkan fitnah di masa sekarang, maka hal itu sudah dikabarkan oleh Allah
pada Rasul-Nya.[58]
Idealnya, antara suami istri terjalin kasih-sayang
dan empati timbal balik Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung
pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur
dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami istri harus tetap
terjaga. Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil
milik istri. Begitu pun sebaliknya,istri yang berpenghasilan, sementara suami
masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyari’atkan bagi istri untuk
membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan
keluarga dengan jiwa yang ridha.[59]
Betapa indahnya, apabila seorang istri bisa melakukan sebagaimana yang
diperbuat Zainab, istri Ibnu Mas’ud dan bertindak seperti petunjuk Nabi SAW
kepadanya.
Alangkah terpuji perbuatan seorang istri apabila
memiliki kelebihan harta dari warisan atau hasil kerja bila mau membantu
suaminya yang sedang dalam keadaan melemah perekonomiannya, hingga iklim keluarga berada dalam kelapangan. Barangsiapa
memberikan nafkah untuk keluarga, maka ia berpahala sesuai maksudnya. Tidak ada
pertentangan antara ia merupakan kewajiban dan ia disebut sebagai sedekah.
Disamping itu, bersedekah untuk keluarga (untuk
suami) adalah sikap yang sangat bijaksana dalam kehidupan berumah tangga,
karena tidak mudah seorang istri dapat menerima suami, jika dia (suami) dalam
keadaan kesusahan dalan keuanganya.
Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah
al-Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas:
1)
Diperbolehkan
bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2)
Suami
adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari istrinya
dibandingkan dengan orang lain.
3)
Istri
diperbolehkan bersedekah unutuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak
menjadi tanggungannya.
Dari uraian di atas, sangat terlihat kesesuaian
pendapat Ibnu Hazm dengan perkembangan zaman tentang istri ikut serta dalam
menafkahi suaminya. Dengan adanya torelansi yang terjalin antara suami istri,
maka akan terlihat kehidupan keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah serta
jauh dari hal-hal yang tidak baik menurut syari’ah.
Ami...................................................iiiiiiiiin.
[1] Abdul
Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai
Keluarga Sakinah, ( Bandung:
Mizan Media Utama, 2003 ), cet. VIII, hlm. 120
[2] Hasbi Indra et al, Potret Wanita Shalehah, ( Jakarta:
Penamadani, 2004 ), cet. III, hlm. 183
[3] Ibid., hlm. 108
[4] Ibid,
hlm. 184
[5] Abdul
Majid Mahmud Mathlub, Panduan….., hlm.
122
[6] Syaikh
Sa’ad Yusuf, Be A Good Muslimah ( Panduan
Menjadi Wanita Shalihah ), ( Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007 ), cet. I, hlm. 306
[7]
Al-Haitsami berkata,” Diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dengan dua sanad dan para perawi salah satu sanad itu semuanya
tsiqah.” Lihat Al-Majma’/ (IV /313)
[8] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari
(5193), (1736) dalam kitab “An-Nikah”,
Abu Dawud (2141), dan Ahmad (9379). Lihat Adabuz Zafaf, Maktab,
hlm. 211.
[10] Shalih
bin Ahmad Al-Ghazali, Romantika Rumah
Tangga, ( Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1995 ), cet. I, hlm. 222.
[11]Abbas
Mahmud Al-‘Akkad, Wanita Dalam Al-Qur’an, (Terj. Dra. Chadidjah Nasution), (Jakarta: 1976), hlm. 112
[12]
Muhammad Daud Ali S.H, Hj. Habibah
Daud S.H, Lembaga-Lembaga Islam Di
Indonesia, (Jakarta:
1995), cet. I, hlm. 85
[14] H. Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta:
1994), cet. I, hlm. 414
[15] Saupi Jusuh, Majalah Wanita Islam Al-Muslimah, (Syari’at Prema Petaling Jaya
Kuala Lumpur Malaysia: 1999), hlm. 17
[16] Akram Ridha, Rahasia Keluarga Romantis, (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2008),
cet. I, hlm. 225
[17] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita,
Jilid 2, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, hlm. 432-434
[18] H.Salim Segaf Al-Jufri, M.A, Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah (Partai Keadilan
Sejahtera), (Bandung: PT Harakatuna, 2006), hlm. 133
[19] Husein Syahatah, Iqtishadil Baitil Muslim fi Dau ‘Isy Syari’atil-Islamiyyah,
(Mesir: Darut-Taba’ah), hlm. 144.
[21] Abdul
Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita,
hlm. 425
[22]
Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an Karim,
hlm. 625
[23] Husein
Syahatah, Iqtishadil Baitil
Muslim fi Dau ‘Isy Syari’atil-Islamiyyah, hlm. 146
[24] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan
Wanita, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, hlm. 432.
[26] Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah ( Entry Ibnu Hazm ), cet. I, (
Dar al-Syu’b ), hlm. 254.
[27] T.M.Hasbi Ash-shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (
Semarang: P.T. pustaka Riski Putra, 1997 ), hlm. 545
[29]Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992/1993
), hlm. 391
[30] Dr. Mahmud Ali Himayah Ibnu Hazm , Biografi, karya dan kajiannya tentang agama,
( Jakarta: lentera, 2001), hlm. 75-76
[32] T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.
556.
[33] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm (Biografi, Karya dan Kajiannya tentang Agama), (Jakarta: Lentera,
2001), hlm. 83-96.
[34] DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid III,
(Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 757.
[36] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, Jilid 9, (Bairut/Libanon: Dar Al-Kutb
Al-‘Ilmiyyah, 1970), hlm. 253.
[37] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (an-Nuur),
(Semarang: Pustaka Riski Putra, 2000), hlm. 4266.
[38] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir penjelas Al-Qur’anul Karim
(al-Bayan), Jilid 2, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2002), hlm. 1360.
[39] Ahkamuz Zawaj, penerbit Darun Nafais, hlm.
287-288.
[40] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemahan Bulughul Maram, (Jakarta:
Pustaka Imam Adz-Dzahabi, 2007), hlm. 562.
[42] Ibid,.
[43] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, hlm. 254.
[44] Bukhari, (Kitab: Nafkah dan Keutamaan Memberikan Nafkah untuk Keluarga, Bab:
Apabila Suami Tidak Memberikan Nafkah, maka si Istri Boleh Mengambil Uang Tanpa
Sepengetahuan Suaminya), Jilid II, hlm. 435. Muslim, (Kitab: Putusan Pengadilan, Bab: Kasus Hindun), Jilid V, hlm. 129.
[45] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.
564.
[47] Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid I, Beirut: Dar al-Kutb
al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 70.
[48]
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,
hlm.319.
[49] Ibid.,
hlm. 320.
[50] Ibnu Hazm,
Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,
hlm. 87.
[52] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.
331
[55] Abdul Halim Abu Syuqqah,
Kebebasan Wanita, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I,
hlm. 429-430.
[56]Muslim, Kitab: Keutamaan-Keutamaan Para Sahabat (Bab: Di antara Keutamaan
Zainab,Ummul Mukminin), Jilid VII, hlm. 144.
[57] Bukhari, Kitab: Zakat (Bab: Berzakat Kepada Suami dan Anak Yatim yang
Dipelihara), Jilid IV, hlm. 71. Muslim, Kitab:
Zakat (Bab: Keutamaan Memberikan Nafkah dan Sedekah Kepada Karib Kerabat dan
Suami), Jilid III, hlm. 80.
[58] Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 33.
[59] Al Fatawa, Kitab ad Da’wah (Dikutib dari Fatawa al Mar’ah al Muslimah), hlm.
672-673.
[60] Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, Penjelasan Hadits dan Faidah-Faidahnya Diambil
dari Fiqhul Islam Syarhu Bulugni al Maram, Jilid. 3, hlm. 154-156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar