RELEVANSI PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. LATAR
BELAKANG PERLUNYA PASTISIPASI MASTARAKAT DALAM PERATURAN PEMBENTUKAN
.PERUNDANG-UNDANGAN
Pokok pikiran yang melandasi perlunya
partisipasi masyarakat dikemukakan oleh Hardjasoemantri (1993 : 2- 4), yaitu :
(1)
Memberi informasi kepada
pemerintah
Partisipasi
masyarakat sangat diperlukan untuk memberi pasukan kepada pemerintah tentang
masalah yang dapat ditimbulkan oleh suatu rencana tindakan pemerintah dengan
berbagai konseksuensinya. Dengan demikian, pemerintah akan dapat mengetahui
adanya berbagai kepentingan yang dapat terkena tindakan tersebut yang perlu
diperhatikan.
Pengetahuan
tambahan dan pemahaman mengenai aspek
tertentu yang diperoleh dari pengetahuan masyarakat tentang masalah-masalah
yang mungkin timbul yang diperoleh sebagai masukan partisipasi masyarakat bagi
proses pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, akan
dapat meningkatkan kualitas keputusan tersebut dan dengan demikian partisipasi
masyarakat tersebut akan dapat meningkatkan kualitas tindakan Negara dibidang
tersebut.
(2) Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk
menerima keputusan seorang warga masyarakat yang memperoleh kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan cenderung untuk
memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri
dengan keputusan tersebut. Dengan demikian, akan dapat banyak mengurangi
kemungkinan timbulnya pertentangan, asal pertisipasi tersebut dilaksanakan pada
waktu yang tepat.
Akan tetapi perlu dipahami, bahwa suatu keputusan tidak
pernah akan memuaskan kepentingan, semua golongan atau warga golongan
masyarakat, namun kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan akan dapat
ditingkatkan.
(3) Membantu perlindungan hukum
Apabila sebuah keputusan akhir diambil dengan
memerhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama proses
pengambikan keputusan proses pengambikan keputusan berlangsung, maka setelah
keputusan diambil keberatan dari warga masyarakat akan berkurang atau kecil
kemungkinannya, karena semua alternatif sudah dibicarakan setidak-tidaknya
sampai tingkat tertentu.
Apabila sebuah keputusan dapat mempunyai konsekuensi
begitu jauh, sangat diharapkan setiap orang yang terkena akibat keputusan itu
perlu diberitahu dan dikasih kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatannya
sebelum keputusan itu diambil.
(4) Mendemokrasikan pengambilan keputusan
Didalam hubungan dengan partisipasi masyarakat ini, ada
pendapat yang menyatakan, bahwa dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan,
maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil-wakil rakyat yang di pilih
oleh rakyat.
Dengan demikian, tidak ada keharusan adanya bentuk-bentuk
dari partisipasi masyarakat karena wakil rakyat itu bertindak untuk kepentingan
untuk rakyat. Dikemukakan pula argumentasi bahwa dalm sistem perwakilan,
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan menimbulkan
masalah keabsahan demokrasis, karena warga masyarakat, kelompok atau organisasi
yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan tidaklah dipilih atau
diangkat secara demokratis. Terhadap kritik tersebut diatas, Gundling
mengemukakan pendapatnya yaitu :
(1)
Bahwa
demokrasi dengan sistem perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi, bukan
satu-satunya.
(2)
Bahwa
sistem perwakilan tidak menuntut bentuk-bentuk demokrasi langsung.
(3)
Bahwa
bukanlah warga masyarakat, kelompok warga masyarakat, atau organisasi yang
sesungguhnya mengambil keputusan. Mereka hanya berperan serta/berpartisipasi
dalam tahap-tahap persiapan pengambilan kesimpulan.
(4)
Monopoli
lembaga negara dan lembaga-lembaganya untuk mengambil keputusan tidaklah
dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat ini. Peran serta masyarakat/
partisipasi masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu negara dan
lembaga-lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih dapat
diterima dan berhasil guna.
Di dalam catatan sejarah peraturan
perundang-undangan misalnya dalam
undang-undang di Indonesia undang-undang tentang penanggulangan keadaan bahaya
merupakan undang-undang yang paling banyak menelan korban dan terjadinya
insiden pada tanggal 24 september 1999. Demontrasi masa yang melibatkan ribuan
mahasiswa dan rakyat telah membuktikan besarnya penolakan sekaligus pengorbanan
yang harus dibayar dalam menentang Raperda yang mengadung watak militerisme dan
anti demikrasi (Ahmad, 2003 :102).
Departemen dalam negeri belum pernah melakukan konsultasi
publik menyangkut UU 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah. Seperti apa yang dilakukan oleh sekretaris umum
asosiasi DPRD kota Indonesia Tabah Iskandar, bahwa kami menolak revisi UU 22
Tahun 1999 oleh tim kerhja dipdagri jika tidak didahului konsultasi publik,
supervisi, dan evaluasi karena itulah tahapannya. Demikian kata Tabah Iskandar
yang juga adalah ketua DPRD kota batam usai menyampaikan pandangan ADEKSI terhadap
revisi dimaksudkan kepada menko polkam
Susilo Bambang Yudhoyono dikantor menko polkam 31 januari 2003 (Ahmad, 2003 :
104). Kisah pembentukan peraturan perundang-undangan yang partisipatif bukanlah hal yang mencengangkan di
negeri ini. Dua kutipan diatas berusaha
mengutip ingatan untuk kembali memberi perhatian terhadap konsekuensi serius
yang bisa timbul dari mondisi demikian.
Sebagai gejala empiris, sekurang-kurangnya empat
undang-undang yang terbentuk akibat proses yang tidak partisipatif, Yaitu :
(1)
Undang-undang
atau peraturan tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang
diharapkan seperti UU No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas.
(2)
Undang-undang
tersebut tidak implementatif, dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal
sejak dini sebagai contoh undang-undang pemberantasan korupsi Tahun 1999 harus segara di amandemen kurang
dari satu tahun sejak diundangkannya.
(3)
Undang-undang
atau peraturan tersebut tidak responsif, yaitu sejak dirancang sampai
diundangkan mendapat penolakan keras dari masyarakat misalnya UUPKB.
(4)
Undang-undang
atau peraturan yang bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah
menimbulkan kesulitan baru di masyarakat, salah satu contohnya yaitu
undang-undang yayasan No. 16 Tahun 2001 yang berlaku sejak 6 Agustus 2002 yang
lalu. Akibatnya, muncul ketegangan hubungan tata pemerintahan, terlambatnya
proses perubahan ekonomi dan politik, meningkatnya skop jangkauan korupsi,
semakin terhimpitnya kehidupan kelompok-kelompok rentan, hingga melayang nyawa
manusia.
Meskipun akibat-akibat itu berasal dari adanya konbinasi
masalah yang sangat kompleks, tetapi cara atau proses pembentukan kebijakan peraturan
perundang-undangan atau peraturan daerah
tanpa adanya partisipasi masyarakat memberikan sumbangan besar terhadap segala
permasalahan diatas.
Pada dasarnya partisipasi masyarakat bukanlah tujuan
akhir. Tujuan yang sebenarnya adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada
masyarakat umumnya, kususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang
terpinggirkan atau rentan, agar mampu memberikan pengaruh yang berarti terhadap
proses pemerintahan dalam arti luas mulai dari proses pengambilam keputusan,
pelaksanaan, serta evaluasinya.
Hans (1986 : 138), mengemukakan keterbukaan dalam prosedur,
memungkinkan masyarakat untuk ikut mengetahui (meeweten), ikut
memikirkan (meedenken); bermusyawarah (meespreken); dan ikut
memutuskan dalam rangka pelaksanaan (mebesllssen); serta hak ikut
memutus (medebes lissingsreecht)
Asas keterbukaaan dan peran serta masyarakat merupakan
suatu hal yang amat esensial dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Kesempatan masyarakat untuk turut berpartisipasi di dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini
diatur dalam pasal 139 ayat (1) UU No. 32/2004 serta duanutnya asas
keterbukaan[1]
dalam kedua UU tersebut. Pasal 53 UU No. 10/ 2004 menyatakan : “masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan
maupun pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah”.
B.
APA DAN MENGAPA DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PROSES PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Partisipasi
dapat diartikan sebagai ikutn serta, berperan serta dalam satu kegiatan , mulai
dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses
pembuatan peraturan daerah
dapat dikatagorikan sebagai partipasi politik. Oleh Hultington dan Nelson[2],
partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (private
kitizen) yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi (kamus
besar bahasa Indonesia, 2001 :831)berarti ada peran atau keikut sertaan
(mengawasi, mengontrol, dan memengarui) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan
peraturan mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan peraturan
daerah. Oleh sebab itu, partisipasi masyarkat termasuk dalam kategori
partisipasi politik. Ada beberapa konsep partisipasi :
1.
Partisipasi
sebagai kebijakan
Konsep ini
memandang partisipasi sebagai prosedur konsultasi para pembuat kebijakan kepada
masyarakat sebagai sumber peraturan daerah.
2.
Partisipasi
sebagai strategi
Konsep ini
melihat partisipasi sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan
nmasyarakat demi kredibilitas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
3.
Partisipasi
sebahai alat komunikasi. Konsep ini melihat partisipasi sebagai alat komunikasi
bagi pemerintah (sebagaiu pelayan rakyat) untuk mengetahui keinginan rakyat.
4.
Partisipasi
sebagai alat penyelesaian sengketa. Partisipasi sebagai alat penyelesaian
sengketa dan toleransi atas ketidakpercayaan dan kerancuan yang ada dalam masyarakat.
Apapun
konsep partisipasi yang diterapkan oleh pemerintah, setidaknya keterlibatan
masyarakat dapat memberikan legitimasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah dan menimbulkan kepercayaan
adanya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat.
Peran partisipasi masyarakat
(di Indonesia) dalam pembentukan peraturan Perundang-Undangan termasuk dalam hal pembentukan perda, secara yuridis telah
dinormativasikan dalam UU.No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
Perundang-Undangan. Dalam UU ini dinyatakan: masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan UU dan rancangan peraturan daerah
(pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004).
Meskipun demikian, peraturan
partisipasi masyarakat dalam ketentuan tersebut belum memberikan gambaran yang
jelas. Untuk itu partisispasi masyarakat tersebut hanya bisa optimal khususnya
di tingkat daerah kaitannya dengan proses pembentukan perda kalau legislatif
(DPRD) dan pemerintah daerah mau memfasilitasinya . fasilitas yang mesti
disediakan adalah pengaturan tentang prosedur, proses dan hasil, dan
partisipasi masyarakat.
Selanjutnya kelompok belajar
partisipasi bank dunia merumuskan
partisipasi masyarakat sebagai suatu
proses melalui dimana stakeholder mempengaruhi dan ikut berbagi (share) control atas prakarsa dan keputusan seta sumber daya
pembangunan yang mempengaruhi mereka.[3]
Sherry Arnstein[4]
dalam A Ladder Of Participation
membuat skema 8 tingkat partisipasi rakyat dalam memutuskan kebijakan.
Tingkat tertinggi atau pertama adalah control warga Negara (Citizen Control).
Pada tahap ini partisipasi sudah mencapai tataran dimana public berwenang
memutuskan, melaksanakan , dan mengawasi
pengelolaan sumber daya.
Turun ke tingkat kedua
delegasi berwenang (Delegated Power)
di sini kewenangan masyarakat lebih besar daripada penyelenggara Negara dalam merumuskan
kebijakan. Ketiga, kemitraan (Partnership)
ada keseimbangan kekuatan relative antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk merencanakan dan mengambil keputusan
bersama-sama. Tiga tangga ini mengakui
eksistensi hak rakyaty untuk membuat peraturan Perundang-Undangan.
Tangga keempat sampai keenam
mengindikasikan partisipasi semu. Terdiri dari peredaman (Placation) konsultasi dan informasi (Informing).
Di tangga peredaman rakyat sudah memiliki pengaruh terhadap kebijakan
tetapi bila akhirnya terjadi voting pengambilan keputusan akan tampak sejatinya
keputusan ada ditangan lembaga Negara, sedangkan control dari rakayat tidak
amat sangat menentukan . di tangga konsultasi rakyat didengar pendapatnya lalu
disimpulkan. Rakyat sudah berpartisipasi dalam membuat peraturan
Perundang-Undangan dan lembaga Negara sudah memenuhi kewajiban , melibatkan
rakyat dalam membuat peraturan Perundang-Undangan. Sementara di tangga
reformasi rakyat sekadar diberi tahu akan adanya peraturan Perundang-Undangan,
tidak peduli apakah rakyat memahami pemberitahuan itu apalagi memberikan
pilihan guna melaksanakan negosiasi atas kebijakan itu.
Tangga ketujuh dan kedelapan,
terapi dan manipulasi menunjukkan ketiadaan partisipasi. Di tangga terapi
kelompok kebijakan masyarakat korban kebijakan dianjurkan mengadu kepada pihak
yang berwenang tetapi tidak jelas
pengaduan itu ditindaklanjuti atau tidak. Paling sial di tangga manipulasi
lembaga Negara melakukan “pembinaan” terhadap kelompok-kelompok masyarakat
untuk seolah-olah berpartisipasi adahal sejatinya yang terjadi adalah kooptasi
dan represi penguasa.
Tabel
Delapan Tingkat Partisipasi
Masyarakat Menurut Sherry Arstein [5]
1.
|
Kendali Masyarakat (Citizen
Control)
|
Degree
Of Citizen Power
(Kekuasaan
Masyarakat)
|
2.
|
Delegasi Kekuasaan(Delegated
Power)
|
|
3.
|
Kemitraan (Partnership)
|
|
4.
|
Peredaman (Placation)
|
Degree
Of Tokenism
(Semu)
|
5.
|
Konsultasi (Consultation)
|
|
6.
|
Penginformasian (Informing)
|
|
7.
|
Terapi (Therapy)
|
Nonparticipation
(Tidak
Partisipatif)
|
8.
|
Manipulasi (Manipulation)
|
Partisipasi tidak cukup hanya
dilakukan segelintir orang yang duduk dalam lembaga perwakilan karena institusi
dan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan sering kali menggunakan politik atas nama
kepentingan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok
mereka sendiri. Partisipasi rakyat secara langsung akan membawa tiga dampak
penting , yakni pertama : terhindar dari peluang terjadinya manipulasi
keterlibatan rakyat dan memperjelas apa yang dikehendaki masyarakat; kedua :
memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah
mereka yang terlibat semakin baik ; dan ketiga: meningkatkan kesadaran
dan ketrampilan politik masyarakat. [6]
Irfan Islamy, [7]
menyatakan paling tidak ada (delapan) manfaat yang akan dicapai jika
melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu : pertama,
masyarakat akan semakin siap untuk menerima dan melaksanakan gagasan
pembangunan; kedua, hubungan masyarakat, pemerintah dan legislatif akan
semakin baik; ketiga, masyarakat mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
institusi; keempat, masyarakat akan mempunyai kepercayaan yang lebih
besar kepada pemerintah dan legislatif serta bersedia bekerja sama dalam
menangani tugas dan urusan public.
Kelima, bila
masyarakat telah memiliki kepercayaan, dan menerima ide-ide pembangunan, maka
mereka juga akan merasa ikut memiliki tanggung jawab untuk turut serta
mewujudkan ide-ide tersebut; keenam, mutu/kualitas keputusan atau
kebijakan yang diambil akan menjadi semakin baik karena masyarakat turut serta
memberikan masuka; ketujuh, akan memperlancar komunikasi dari bawah
keatas dan dari atas kebawah; dan kedelapan, dapat memperlancar kerja
sama terutama untuk mengatasi masalah-masalah bersama yang kompleks dan rumit.
C. RELEVANSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN
PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN
Partisipasi masyarakat
merupakan wujud demokrasi. Sebagaimana diketahui bahwa demokrasi yang
dijalankan di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Anggota DPRD merupakan
representasi rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum. DPRD sebagai legislatif
memegang kekuasaan membentuj peraturan daerah. Sebagi stakeholder, masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
rancangan peraturan daerah daerah dengan tata cara sesuai dengan tata tertib
DPRD (pasal 53 UU No. 10/2004).
Pembentukan peraturan
Perundang-Undangan, menurut M. Solly lubis tibak pernah lepas dan 3 landasan
penyusunan peraturan Perundang-Undangan, yaitu: filosofis, yuridis, dan politis
( Djoko Prakoso, 1985:44). Jika landasan politis yang lebih mendominasi
pembetukan peraturan daerah, maka para wakil rakyat kerap kali tidak
mengindahkan kepentingan yang diwakili (rakyat), melainkan lebih
mengatamakan kepentingan kenderaan politiknya (partai politik yang
mengusungnya) atau bahkan kepentingan pribadinya.
Satjipto Rahardjo melihat pembuatan paraturan
Perundang-Undangan sebagi medan pembentukan dan pergumulan kepentingan (Tn
Harwono, 2004:27), dan sebagi suatu pelembagaan konflik sosial, memandang bahwa
UU sekaligus berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik. Dengan demikian,
peraturan Perundang-Undangan mencerminkan suasana konflik antar kekuatan dan
kepentingan masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2003: 127). Oleh sebab itu,
keterlibatan masyarakat (sebagai
pemangku kepentingan ) dalam pembentukan peraturan daerah menjadi penting.
Partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan daerah juga memiliki wujud penyelenggaraan pemerintahan
yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip Good
Governance, diantaranya:
keterlibatan masyarakat , akuntabilitas, dan transparansi (Mas Achmad Santoso,
2001: 87). Menurut satjipto Rahardjo, transparansi dan partisipasi masyarakat
dalam pembentukan hukum (peraturan daerah) adalah untuk menjaga
netralitas. Netralitas di sini berarti persamaan, keadilan, dan perlindungan
bagi seluruh pihak terutama masyarakat. Keputusan dan hasil peran serta
mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat dan menjadi sunber informasi
yang berguna sekaligus merupakan komitmen sistem demokrasi.
Urgensi patisipasi masyarakat
dalam pembentukan peraturan daerah :
1. Menjaring
pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat sehingga perda yang dibuat
benar-benar memenuhi syarat perda yang baik.
2. Menjamin
peraturan daerah sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat,
menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), rasa tanggung jawab (sense
of responsibility), dan akuntabilitas (sense of accountability)
perda tersebut. (Sirajuddin(ed), 26 :119).
3. Menumbuhkan
adanya kepercayaan (trust), penghargaan(respect), dan pengakuan (recognition)
masyarakat terhadap pemerintahan daerah. (Rudy Alfonso, 2003: xi)
Dengan demikian, tujuan utama adanya desentralisasi dapat
tercapai, diman pemerintahan daerah “Lebih
Tahu” terhadap kepntigan dan kebutuhan masyarakat di daerah sehingga
kebijakan atau perraturan yang dibentuk memiliki daya gunan dan tepat guna
terhadap masyarakat di sekitarnya.
Manfaat partisipasi masyarakat
dalam pembantukan peraturan daerah, antara lain :
1. Meningkatkan
kualitas keputusan/kebijakan yang diambil.
2. Menciptakan
kesadaran politik.
3. Meningkatkan
proses belajar demokrasi.
4. Menciptakan
masyarakat yang lebih bertanggung jawab.
5. Mengeleminasi
perasaan terasing.
6. Menimbulkan
dukungan dan penerimaan rencana pemerintah.
7. Meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
8. Memperlancar
komunikasi antara masyarakat dan pemerintah (Bottom up Communication).
9. Mempelancar
kerja sama dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama.
Adapun dampak negatif tidak
adanya pertisipasi didalam proses pembentukan peraturan daerah, antara lain:
1. Rendahnya
rasa saling memiliki masyarakat terhadap program yang disusun dalam peraturan
daerah.
2. Biaya
transaksi yang mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dan program
pemerintah.
3. Program
Pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan atau karateristik masyarakat.
4. Lunturnya
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Sirajuddin (ed), 2006:75).
Di dalam perspektif teoritis
pembuatan hukum steven vago[8]menyebutkan
terdapat 4 (empat) model, yakni : model
rasionalistik, pandangan fungsionalis, teori konflik, dan tesis “moral
entrepreneur” model rasionalistik
menyatakan bahwa hukum (khususnya hukum pidana) diciptakan sebagai suatu cara
rasional untuk melindungi warga masyarakat.
Pandangan
fungsionalis dalam pembuatan hukum adalah berkaitan dengan bagaimana hukum
timbul. Dalam pandangan ini hukum adalah satu jenis khusus dari “kebiasaan yang
dilembagakan kembali” dan hukum adalah sah karena mewakili menggambarkan suara
rakyat. Hukum secara esensial merupakan kristalisasi kebiasaan dari tertib
normatif yang berlaku. Walaupun ada konflik dalam masyarakat hukum secara
relatif marginal (tidak memihak) dan hukum tidak memerlukan nilai-nilai dasar.
Dalam pandangan ini konflik dan kompetisi dalam masyarakat sesungguhnya akan
memberi sumbangan bagi kohesi dan solidalitas masyarakat.
Teori
konflik mengemukakan bahwa pertentangan nilai, ketidaksamaan akses terhadap
sumber-sumber ekonomi dan akibat perpecahan struktural dalam masyarakat sebagai
determinan pokok dari hukum. Secara khusus timbulnya hukum dapat dilacak pada
munculnya kelas elit. Para elit ini seperti dikemulkakannya, menggunakan
melanisme kontrol sosial seperti hukum untuk memperkukuh posisi yang
menguntungkan diri mereka dalam masyarakat. Dalam peristiwa konflik di luar
norma yang ada, para penganut teori konflik akan berpendapat bahwa
kelompok-kelompok kepentingan lebih terikat erat dengan kepentingan
kelompok-kelompok elit yang mungkin menang dalam konflik.
Tesis
“moral entrepreneur” (usahawan
pejuang moral) megaitkan timbulnya peristiwa-peristiwa penting dengan
“munculnya seorang pengusaha individual ataupun kelompok” aktivitas-aktivitas
mereka dengan tepat disebut “moral enterprise”, karena apa yang mereka
usahakan adalah penciptaan sebuah fragmen baru tata moral masyarakat,
pedomannya benar atau salah. Yang patut dalam pandangan ini bahwa pengesahan
sebuah UU mungin juga merupakan simbolisasi supremasi kelimpok-kelompok yang
mendukungnya. Penciptaan sebuah hukum adalah merupakan sebuah peenyataan bahwa
prilaku ilegal adalah tidak terhormat. Dimana kelompok-kelompok secara
signifikan berbeda dalam presise dan status, atau dimana kedua kelompok
bersaing untuk status, masing-masing melihat hukum sebagai sebuah tanda
legitimasi. Mereka akan berusaha menggunakannya untuk mempertahankan kehormatan
cara hidup mereka sendiri.
Dari
paparan diatas tampak bahwa penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
berlangsung di dalam struktur sosial tertentu dan demikian merupakan bagian
dari proses sosial yang lebih besar. Berangkat dari perspektif yang demikian
itu, maka penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan tidak secara otomatis
berjalan lancar, manakala struktur sosial dimana pembuatan itu belangsung tidak
demokratis. Dengan kata lain sangat tergantung dengan kondisi masyarakat.
Untuk
menjaga realitas suatu hukum, Satjipto Raharjo mengusulkan perlu adanya
‘transparansi’ dan ‘partisipasi’ (lebih besar) dalam pembuatan hukum. Kedua hal
ini kemudian dapat diangkat sebagai asas dalam pembuatan hukum untuk kemudian dilakukan
elaborasi lebih lanjut kedalam prosudur dan mekanismenya. [9]
Namun
secara jujur harus diakui bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
hukum belum berlangsung maksimal baik pada masa berkuasanya rezim Orde baru
maupun era reformasi sekarang ini.
Menurut
Loekman Soetrisno, [10]
rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terutama pada era
orde baru paling tidak disebabkan oleh tiga hambatan. Pertama, adalah
belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana
dan pelaksana pembangunan. Definisi partisipasi di kalangan aparat perencana
dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak
program-program pemerintah dan dirancang dan ditentukan tujuannya oleh
pemerintah; kedua, munculnya reaksi balik yang datang dari masyarakat
sebagai akibat diperlakukannya pembangunan sebagai ideologi baru di negara
kita. Sebagai suatu ideologi, maka pembangunan harus diamankan dan dijaga
dengan ketat yang pada akhirnya menunjukkan “budaya diam” sebagai manifestasi
keengganan rakyat berpatisipasi; ketiga, lemahnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan adalah berakar pada banyak peraturan perundang-undangan yang
meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi.
Sementara
itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh M. Asfar, dkk.[11]
Tentang partisipasi masyarakat dalam implementasi otonoi daerah menyebutkan
paling tidak ada 7 (ketujuh) problem dan kendala partisipasi masyarakat. Yakni:
pertama, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kebijakan otonomi
daerah; kedua, banyaknya masyarakat yang mengaku memperoleh informasi
tentang otonomi daerah dari TV yang men imbulkan persoalan tersendiri bagi
upaya penyebarluasan informasi otonomi daerah sebab kebanyakan masyarakat
desa—khusunya penduduk miskin--- belum memeliki TV; ketiga, tingginya
pengetahuan masyarakat ternyata tidak banyak berkaitan dengan tingkat kemajuan
suatu daerah tetapi lebih berhubung dengan persepsi dan harapan masyarakat
terhadap masa depan otonomi daerah bagi kehidupannya. Persoalannya tidak semua
orang mempunyai persepsi dan harapan positif terhadap masa depan otonomi
daerah; keempat, beberaoa organisasi kemasyarakatan atau organisasi
tertentu yang ditunjuk oleh masyarakat sebagai fasilitator dalam banyak hal
mereka sering terlibat konflik kepentingan politik; kelima, modl
partisipasi konvensional melalui demonstasi dan unjuk rasa yang tidak jarang
melibatkan kekerasan fisik yang biasa dilakukan oleh masyarakat lokal selama
ini agaknya kurang kondusif bagi penciptaan budaya politik yang demoratis di
masa depan; keenam lembaga-lembaga politik ditingkat local umumnya
kurang responsif terhadap berbagai tuntutan masyarakat; ketujuh,
masyarakat lokal sering kali menemui beberapa kendala dalam melakukan aktifitas
politik, diantaranya adalah soal keterbatasan dana, fasilitator, izin
penyelenggaraan, kepemimpinan, teror, dan transportasi.
Selanjutnya
penelitian yang dilakukan penulis[12]
menunjukkan adanya keengganan dari pembentuk aturan daerah (perda) untuk
melibatkan masyarakat di dalam suatu proses pembentukannya. Alasan yang
dikemukakan oleh pihak eksekutif dan DPRD adalah tidak dilibatkan masyarakat
secara maksimal karena tidak adanya peraturan perundang-undangan dan mengharuskan masyarakat terlibat di dalam
suatu proses pembuatan peraturan daerah termasuk partisipasi yang harus
diterapkan.
Disamping
itu partisipasi belum optimal oleh karena, lemahnya kemauan politik dari
pemerintah daerah di dalam menerjemahkan konsep otonomi daerah dan rendahnya
kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi di dalam proses implementasi
otonomi daerah khususnya didalam pembentukan peraturan daerah.
Padahal
partisipasi masyarakat didalam suatu proses pembentukan peraturan
perundang-undangan menjadi penting karena; pertama, menjaring
pengetahuan, keahlian, atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan
perundang-undangan benar-benar memenuhi syarat peraturan perundang-undangan
yang baik; kedua, menjamin peraturan perundang-undangan sesuai degan
kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (politik, ekonomi, sosial, dan
lain-lain); ketiga, responsibility dan sense of accountibility)
atas peraturan perundang-undangan tersebut; keempat, akhir-akhir ini
para anggota DPR maupun DPRD dalam pengambilan keputusan sering kali
mengabaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya, mereka asyik dengan logika
kekuasaan yang dimilikinya dan cenderung menyuarakan dirinya sendiri.
Jajak
pendapat yang dilakukan oleh harian kompas menunjukkan bahwa 70 persen
responden masih menganggap wakilnya diparlemen lebih peduli kepada dirinya
sendiri dan kelompoknya. Berbagai kalangan menilai DPR sejauh ini belum
menangkap aspirasi publik dalam membuat dam menuangkan undang-undang. Produk
beberapa undang-undang politik, seperti undang-undang pemilu, pemilu presiden
dan wapres menjadi contoh bahwa rumusan undang-undang tidak lebih merupakan
hasil kompromi yang menguntungkan sekelompok golongan.[13]
Di
Belanda di dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan publiknya, ada
insitusi-institusi yang memberi kesempatan untuk mengerti tindakan-tindakan
pemerintah secara kritis dan melakukan protes untuk menentangnya jika dianggap
perlu. Institusi-institusi tersebut adalah oppenbaarheis (publicity)
dan inspraak. Institusi-institusi ini dihormati di Belanda sebagai
sebuah tahap dalam pengembangan demokratisasi politik. Demokrasi berarti bahwa
lebih banyak kelompok-kelompok yang dilibatkan dalam pembentukan
kebijakan-kebijakan atau bahwa mereka akan terlibat secara lebih intensif. Publicity,
berarti bahwa pemerintah memberi informasi tentang tindakan –tindakan kepada warga
negara berkepentingan. Inspiraak, berarti bahwa warga negara memberi
informasi kepada pemerintah mengenai harapan-harapannya. Publicity dan inspiraak adalah dua sisi daris
sebuah sistem komunikasi antara pemerintah dan warga negara, dimana informasi bersifat
dua arah (two way traffic communication).
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa partisipasi tidak tepat jika hanya pada tataran seberapa jauh masyarakat
terlibat didalam suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan, tetapi
seberapa jauh masyarakat terutama masyarakat marginal dan rentan dapat
menentukan hasil akhir atau dampak positif dari keberadaan peraturan
perundang-undangan tersebut.
Selanjutnya berangkat dari
situasi dan kondisi belum optimalnya partisipasi masyarakat, maka kedepan
diperlukan trobosan gerakan masyarakat sipil untuk mendorong maju partisipasi
masyarakat di dalam suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bukan lantaran alasan reformasi, otonomi daerah atau demokratisasi, maka
terobosan harus dilakukan tetapi karena peraturan perundang-undangan itu akan
berdampak pada masyarakat luas bukan pada segelintir orang yang ada di pihak
eksekutif maupun legislatif.
Paling
tidak 5 (lima) model yang bisa dikembangkan di dalam partisipasi masyarakat,
yakni ; pertama, mengikutsertakan anggota masyarakat yang dianggap ahli
dan independen di dalam tim atau kelompok kerja dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan; kedua,
melakukan publik sharing (diskusi publik) melalui seminar, lokakarya,
atau mengundang pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam
rapat penyusunan peraturan perundang-undangan; ketiga, dengan melakukan uji sahih kepada
pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan tanggapan; keempat, mengadakan
kegiatan musyawarah atas peraturan perundang-undangan sebelum secara resmi di bahas oleh institusi yang
berkompeten dan; kelima, memublikasikan rancangan peraturan
perundang-undangan agar mendapat
tamggapan masyarakat/publik.
Rival
G. Ahmad, dkk.[14]
mengajukan 8 prinsip dalam rangka optimalisasi partisipasi masyarakat di dalam
suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu :
1.
Adanya
kewajiban publikasi yang efektif;
2.
Adanya
kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas, dan mudah diakses;
3.
Adanya
jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat untuk
terlibat dalam mengawasi proses sejal perencanaan;
4.
Adanya
prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan Raperda selain anggota DPR, DPD,
dan pemerintah;
5.
Adanya
pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan bebas
diakses oleh publik, misalnya naskah akademikan rancangan peraturan
perundang-undangan.
6.
Disediakan
jaminan banding bagi publik apabila proses pembetukan peraturan
perundang-undangan tidak dilakukan
secara partisipatif;
7.
Adanya
pengaturan jangka waktu yang memadai untuk semua proses penyusunan, pembahasan
Raperda, dan diseminasi UU yang telah dilakukan; dan
8.
Adanya
pertanggugjawaban yang jelas yang memadai bagi pembentuk undang-undang yang
dengan sengaja menutup peluang masyarakat untuk berpartisipasi.
Persoalannya
kemudian adalah bagaimana mengelola konflik aspirasi di dalam suatu proses
pembentukan peraturan perundang-undangan ? Di manapun masyarakat adalah semesta yang heterogen,
multi kepentingan dan ada stratifikasi posisi sosial dan yang pasti plural.
Konflik aspirasi adalah konsekuensi logis yang pasti terjadi karena keberagaman
komunitas masyarakat. Tanpa adanya pengelolaan konflik aspirasi, maka
partisipasi dalam suatu proses pembentukan peraturan perundang-undangan akan berakhir pada dua ujung. Pertama, proses
pembentukan peraturan perundang-undangan akan berlarut-larut sehingga mengacaukan tatanan sosial;
kedua, pengerasan pihak antidemokrasi untuk mengabil keputusan sendiri
dan memberlakukan secara sewenang-wenang bagi pihak-pihak lain.[15]
Oleh
karena itu agar partisipasi masyarakat di dalam suatu proses pembentukan daerah
dapat berjalan dengan baik, maka hadirnya peraturan perundang-undangan (UU dan perda) yang mengharuskan masyarakat terlibat di
dalam suatu proses pembentuk peraturan daerah menjadi sangat urgent dan
mendesak.
Sementara
untuk menetukan aspirasi kelompok mana yang diutamakan dalam proses pengambilan
keputusan maka harus memerhatikan prinsip-prinsip berikut: (1) mengutamakan
kelompok yang terabaikan; (2) prinsip penguatan rakyat; (3) prinsip rakyat
setempat sebagai pelaku & orang luar sebagai fasilitator; (4) prinsip
saling belajar dan menghargai perbedaan; (5) prinsip santai dan informal; (6)
prinsip mengoptimalkan hasil; (7) prinsip orientasi praktis; (8) prinsip keberlanjutan;
(9) prinsip belajar dari kesalahan; dan (10) prinsip terbuka. Wallahu’alam
D. BENTUK-BENTUK PARTISIPASI MASYARKAT DI DALAM PROSES
PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Bentuk partisipasi masyarakat sangat bervariasi,
tergantung pada situasi dan kondisi di suatu tempat dan waktu dalam konsep
negara demokrasi dengan sistim perwakilan, kekuasaan pembentukan UU atau perda
hanya ada ditangan kelompok orang-orang yang telah dipilih melalui pemilihan
umum. Didalam konsep ini, bahwa tiap wakil itu akan bertarung di parlemen demi
kepentingan umum dan bila mereka bertindak sebaliknya, maka kursi yang
didudukinya akan serta merta lepas dalam pemilihan umum yang akan datang.
Disinilah titik kontrol yang utama dari rakyat kepada sang wakil. Disamping
itu, dimungkinkan pula adanya kontrol dari rakyat berupa demokrasi atau
bentuk-bentuk pengerahan massa, atau melalui prosedur hukum.
Konsep tersebut mengabaikan kenyataan bahwa posisi tawar
antara rakyat dan negara/pemerintah masih tidak seimbang.
Didalam negara seperti di indonesia ini kontrol dari
rakyat melalui pemilihan umum ternyata kurang berarti. Sumber legitimasi dari
rakyat tidak ada lagi dari rakyat, tetapi ada pada partai politik, modal,
kekuatan politik lain yang dominan.
Kasus indonesia yaiut institusi politik rakyat yang sudah
hancur akibat kebijakan politik dimasa orde baru yang represif, menjadi sangat
mudah dimanipulasi oleh partai politik dan kekuatan-kekuatan politik dan
ekonomi yang dominan sehingga pengawasan rakyat jadi sangat kecil pengaruhnya
(Ahmad, 2003: 106).
Pandangan tersebut diatas mengabaikan realita sosial yang
ada didalam masyarakat itu sendiri, yaitu bahwa di dalam suatu masyarakat pasti
ada kelas-kelas yang satu sama lain yang berbeda kepentingannya yang mungkin saja
bertentangan atau berhadapan. Selain itu, timpang posisinya ketika berhadapan
dengan negara, oleh karena itu mengakui negara sebagi ruang netral dimana semua
kalangan mampu memberi pengaruhnya secara signifikan adalah sebuah sesat pikir.
Kenyataan aktual yang juga memperlihatkan bahwa wakil rakyat memilki beban
ekonomi politik yang nyata, baik institusional maupun personil. Situasi ini yang mendorong tindakan-tindakan
wakil raktyat dan institusi birokrasi
bisa bertolak belakang dengan kepentingan publik, oleh karena itu monopoli
birokrasi dari parlemen dalam proses pembantukan peraturan sudah tidak mungkin
lagi dipertahankan (Ahmad, 2003: 106-107).
Dengan demikian, untuk mencapai tujuan Perundang-Undangan
tersebut syarrat utama yang harus dipatuhi adalah keterlibatan
rakyat/partisipasi masyarakat di dalam suatu proses pembentukan kebijakan atau
peraturan tersebut mulai dari proses lahirnya sampai pelaksanaannya di lapangan
samapai tahap evaluasi.
Habermas dalam Hardiman (2001: 46), menyatakan bahwa titik
tolak yang dapat menjadi acuan untuk menata ulang proses tersebut adalah
memperluas perdebatan politis di dalam parlemen ke masyarakat sipil. Bukan
hanya aparat negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warga negara
berpartisipasi di dalam wacana politis untuk mengambil keputusan politik
bersama. Melalui radikalisasi konsep negara hukum klasik kedaulatan rakyat
bergeser dai proses pengambilan keputusan di parlemen ke proses partisipasi
dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat
bukanlah substansi yang membeku dalam perkumpulan para wakil rakyat, melainkan juga dipelbagai forum warga negara, organisasi,
nonpemerintah, gerakan sosial, atau singkatnya dimanapun diskursus tentang
kepentingan bersama warga negara di lancarkan.
Di dalam kondisi inilah muncul gagasan sistim demokrasi
yang melibatkan partisipasi yang sekaligus bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan rakyat yang rendah dari segi
ekonomi, politik, dan sosial.
Konsep partisipasi masyarakat mengalami pemaknaan yang
berbeda-beda sehingga perlu diperjelas tentang proses yang mana yang dapat di
sebut partisipasi dan bukan, sehingga terjadi kesamaan dan cara pandang dalam menilai sebuah proses partisipasi di
masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Arenstein (Ahmad, 2003:108), menyusun model yang dapat membantu untuk
menilai tingkat partisipasi di dalam suatu proses pembentukan kebijakan atau
peraturan secara umum Perundang-Undangan/perda. Secara umum ada tiga derajat
partisipasi masyarakat :
(1) Tidak partisipatif (non
participation);
(2) Derajat semu (degress of tokenism) ; dan
(3) Kekuatan masyarakat ( degress of
citizen power).
Dasar penentuan derajat, buakan pada seberapa jauh
masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau program yang
dilaksanakan oleh negara, tetapi seberapa jauh masyarakat dapat menentukan
hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut. Derajat terbawah
terdiri dari dua tingkat partisipasi, yaitu manipulasi (manipulation)
dan terapi (therapy).
Di dalam tingkat ini partisipasi hanya bertujuan untuk
menata masyarakat dan mengobati luka timbul akibat kegagalan sistim dan
mekanisme pemerintahan. Tidak ada niatan sedikitpun untuk melibatkan masyarakat
dalam menyusun kegiatan atau program pemerintah. Derajat menengah (yang semu),
terdiri dari tiga tingkat partisipasi,
yaitu : pemberitahuan (informing); konsulatas (consultation) ;
dan peredaman (placation). Di dalam tahap ini sudah ada perluasan kadar
partisipasi, masyarakat sudah bisa mendengar (tingkat pemberitahuan) dan
didengar (tingkat konsultasi) namun begitu tahap ini belum menyediakan
jaminan yang jelas bagi masyarakat bahwa suara mereka diperhitungkan dalam
penentuan hasil dalam sebuah kebijakan publik. Sedangkan pada tahap peredaman
memang sudah memungkinkan masyarakat pada umumnya, khususnya yang rentan untuk
memberi masukan yang lebih signifikan dalam
penentuan hasil kebijakan publik, namun proses pengambilan keputusan masih
dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan.
Derajat tertinggi terdiri dari tiga tingkat partisipasi
yakni kemitraan (partnerships), delegasi kekuasaan (delegeted power),
dan yang teratas adalah kendali masyarakat (citizen control). Dalam
tahap ini partisipasi masyarakat termasuk yang rentan sudah masuk dalam ruang
penentuan proses, hasil dan dampak kebijakan. Masyarakat sudah bisa
bernegosiasi dengan penguasa tradisional dalam posisi politik yang sejajar (tingkat
kemitraan) bahkan lebih jauh mampu mengarahkan kebijakan karena ruang
pengambilan keputusan telah dikuasai (tingkat delegasi kekuasaan).
Sehingga pada tahap akhir partisipasi telah sampai pada
puncaknya yaitu ketika masyarakat secara
politi maupun administratif sudah mampu
mengendalikan proses pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakan tersebut (tingkat
kendali masyarakat).
Untuk ringkasnya ditampilkan dalam bagan sebagai berikut
:
Bagan
Delapan Tingkat
Partisipasi Masyarakat
1.
|
Kendali Masyarakat (Citizen
Control)
|
Degree
Of Citizen Power
(Kekuasaan
Masyarakat)
|
2.
|
Delegasi Kekuasaan(Delegated
Power)
|
|
3.
|
Kemitraan (Partnership)
|
|
4.
|
Peredaman (Placation)
|
Degree
Of Tokenism
(Semu)
|
5.
|
Konsultasi (Consultation)
|
|
6.
|
Penginformasian (Informing)
|
|
7.
|
Terapi (Therapy)
|
Nonparticipation
(Tidak
Partisipatif)
|
8.
|
Manipulasi (Manipulation)
|
E. TAHAPAN PARTISIPASI MASYARAKAT DAKAM PROSES
PEMBENTUKAN PEERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Sherry Arnstein, menjabarkan peran serta masyarakat
berdasarkan kekuatan masyarakat untuk mempengaruhi hasil akhir kebijakan
pemerintah sebagi berikut :
1.
Manipulasi (manipulation);
2.
terapi
(therapy);
3.
penginformasian
(informing);
4.
konsultan
(consultation);
5.
peredam
(placation);
6.
kemitraan
(partnerships);
7.
delegasi
kekuasaan (delegated power); dan
8.
kendali
masyarakat (citizen control).
(Sirajuddin
, dkk, 2006: 183)
Berdasarkan tahapan tersebut, Sirajuddin
mengklasifikasikan kedelapan tingkat partisipasi tersebut diatas menjadi 3
tingkat. Tingkat pertama diklasifikasikan sebagai tidak partisipasi ( non
participation), yaitu tingkat manipulasi dan terapi. Tingkat kedua disebut
dengan partisipasi semu (degree of takenism), yaitu tingkat peredaman,
konsultasi, dan informasi. Dalam tingkatan kedua ini masayarakat didengarkan
dan diperkenankan berpendapat , tetapi tidk memiliki keampuan dan tidak ada
jaminan bahwa pandangan mereka
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh penentu kebijakan. Dan tingkat
ketiga adalah kekuasaan masyarakat (degree
of citizen power), yaitu tingkat kemitraan, delegasi kekuasaan, dan kendali
masyarakat. Dalam tingkat ini masyarakat memiliki pengaruh dalam proses penentu
kebijakan.
Khirul Muluk, menguraikan 6 tahapan partisipasi Arnstein
diatas dan mengklasifikasikannya dalam 5 tingkat. Namun menurut Muluk hanya 4
tahapan yag tergolong partisipatif, satu
tergolong partisipatif karena partisipasi yang ada hanya formalitas, pengerahan
massa “bayaran” maupun distorsi informasi. Oleh sebab itu, tahap ini di sebut dengan non partisipatif. Dan
terakhir kendali warga bukan lagi sekedar partisipasi, tetapi wargalah yang
mengambil keputusan (decision maker). Gambaran lebih jelas lihat di
dalam tabel di bawah ini.
Tabel
Tingkat Partisipasi Masyarakat
TINGKAT
PARTISIPASI
|
KLASIFIKASI
|
|
6. Kendali
|
Partisipasi
|
Kuat
|
5. Delegasi
|
Sedang
|
|
4. Kemitraan
|
||
3. Konsultasi
|
||
2. Informasi
|
Lemah
|
|
1. Manipulasi
|
Nonpartisipasi
|
|
Dikutip dari (Khalik Muluk, 2007:171).
F. MEKANISME DAN CARA PELAKSANAAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PROSES PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Partisipasi tidak cukup hanya dilakukan oleh beberapa
orang yang duduk dilembaga perwakilan, karena situasi di dalam institusi politik
cenderung menggunakan politik atas nama kepentingan rakyat untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok atau kelompok pribadi. Oleh sebab itu dalam kegiatan wakil
rakyat juga perlu ada ruang publik untuk berperan serta dalam proses kebijakan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan partisipasi
masyarakat yang paling utama adalah masyarakat itu sendiri. Yang perlu dibangun
adalah kesadaran berpartisipasi dan dukungan terhadap aktivitas partisipasi
melalui pendidikan politik. Yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pendidikan politik bagi masyarakat adalah tokoh-tokoh masyarakat dan
organisasi-organisasi lokal, baik berupa institusi akademis, media massa, dan
lembaga swadaya masyarakat. Selain itu, harus ada dukungan dari pemerintah
daerah dan DPRD. Mungkin banyak beranggapan bahwa partisipasi masyarakat telah
cukup (cukup representatif dan legitimatif) terwakil oleh wakil rakyat
di DPRD (Khairul Muluk, 2007:225). Namun kini hal itu tidaklah cukup,
partisipasi masyarakat lebih dibutuhkan dalam memberi masukan pada saat proses
pembuatan peraturan daerah dan memberikan legitimasi terhadap perda tersebut.
Masyarakat dapat menyalurkan aspirasi mereka di dalam
setiap tahap pembentukan peraturan daerah, secara aktif maupun pasif.
Partisipasi aktif dalam arti: masyarakat memiliki inisiatif sendiri untuk
berperan serta dalam pembentukan peraturan daerah. Partisipasi aktif dapat
dilakukan dengan cara: mengikuti debat publik, rapat umum, demonstrasi, atau
melalui suart terbuka di media massa. Partispasi pasif, berarti inisiatif
partisipasi datang dari luar diri masyarakat. Inisiatif bisa datang dari
lembaga legislatif atau eksekutif dengan mengadakan dengar pendapat (hearing),
dialog publik, kunjungan kerja, maupun wawancara penelitian dalam rangka
perencanaan atau perancangan peraturan daerah.
Bentuk-bentuk pelaksanaan partisipasi masyarakat sangat
tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat dan linkungannya. Tingkat
kualitas sumber daya masyarakat, kepedulian lembaga pendidikan atau lembaga
swadaya masyarakat dan sikap pemerintah sangat mempengaruhi pola-pola
partisipasi yang digunakan oleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.
Masyarakat berhak menentukan cara yang digunakan untuk
berpartisipasi dalam proses panyusunan
peraturan daerah. Partisipasi dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan
ikut serta dalam salah satu atau seluruh proses pembentukan baik dilakukan
melalui lembaga eksekutif maupun legislatif. Partisipasi juga dapat dilakukan secara tidak langsung,
yaitu dengan melakuakan kegiatan yang
kurang lebih dapat mempengaruhi proses pembentukan peraturan daerah. Cara
paling konvensional dalam upaya mempengaruhi proses persidangan pembentukan
peraturan daerah adalah demonstrasi atau
unjuk rasa. UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum No. 9/1998
menyatakan bahwa bentuk mengeluarkan pendapat dimuka umum adalah unjuk rasa, pawai, mimbar bebas, atau
rapat umum. Melalui 4 cara tersebut, masyarakat dapat berpartisipasi
meneriakkan keinginan dan sikapnya mengenai materi yang sedang dibahas dalam
sidang pembentukan peraturan Perundang-Undangan.
Meskipun cara-cara tersebut kurang efektif, namun cara ini banyak digunakan
karena kurangnya ruang partisipasi secara langsung melalui lembaga pemerintah sangat minim. Di antara
model partisipasi yang dapat dilakukan, antara lain :
1. Mengikut
sertakan anggota masyarakat yang dianggap sah dan insependen dalam team atau
kelompok dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan.
2. Melakukan
public hearing melalui
seminar, lokakarya atau mengundang pihak-pihak yang berkepentingan dalam rapat-rapat
penyusunan peraturan perundang-undangan, musyawarah rencana pembangunan.
3. Melakukan uji sahih terhadap perda
4. Melakukan jajak pendapat, kontak publik
melalui media massa.
5. Melalui lambaga pemberdayaan masyarakat kelurahan (LPMK) atau
membentuk forum warga (sirajuddin, dkk, 2006 : 189).
Apapun
model partipasi yang disedia, tidak akan berarti jika masyarakat masih saja
bersikap apatis terhadap keputusan atau kebijakan pemerintah. Untuk itu harus
ada strategi khusus untuk mendorong masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam
setiap proses kebijakan. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
menstimulasi partisipasi masyarakat, antara lain :
1.
Mensolidkan
kekuatan masyarakat terutama para stakeholders.
2.
Memberdayakan
masyarakat (membangun kesadaran kritis masyarakat).
3.
Publikasi
hasil-hasil investigasi atau riset-riset yang penting.
4.
Berupaya
memengaruhi pengambilan kebijakan.
5.
Memunculkan
aksi dan gerakan secara kontinu.
(Sirajuddin (ed.), 2006 :152)
Ada
beberapa problematika yang terjadi berkaitan dengan hal partisipasi masyarakat
dalam peraturan
perundang-undangan. Setidaknya ada 3
faktor yang melatarbelakangi munculnya problematika partisipasi, yaitu : faktor
masyarakat, yuridis, dan birokrasi. Dari ketiga faktor tersebut ditemukan
beberapa permasalahan yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Tabel
Problematika
Partisipasi Masyarakat
Faktor
|
PROBLEMATIKA
|
Masyarakat
|
1.
Sikap
apatis masyarakat
2.
Kurangnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat.
3.
Budaya
paternalistis yang masih kuat mengakar.
4.
Tidak
ada reward (berupa tidak lanjut) partisipasi masyarakat.
5.
Responsibilitas
masyarakat yang kurang.
6.
Masyarakat
tidak mengetahui mekanisme penyaluran aspirasi.
7.
Keterbatasan
akses masyarakat informasi.
8.
Kurangnya
dukungan elemen masyarakat yang seharusnya membantu memberdayakan seperti :
LSM atau media massa yang cenderung provokatif dan/atau profid
orientid.
|
yuridis
|
1.
Banyak
peraturan yang belum berpihak kepada kepentingan masyarakat.
2.
Belum
ada peraturan yang dapat memaksa pemerintah untuk melibatkan rakyat diproses
pembentukan perda.
3.
Belum
ada peraturan yang dapat menjamin masyarakat mendapatkan informasi.
4.
Mudahnya
melakukan korupsi kebijakan di bawah payung legalitas.
5.
Adanya
ketentuan partisipasi yang tidak mengikat karena tidak adanya sangsi atas
pengabaian.
6.
Banyak
peraturan yang menyangkut kewajiban masyarakat (ex. Perda retribusi) tetapi
mengabaikan hak-hak mesyarakat.
7.
Tidak
ada sosialisasi peraturan atau kebijakan.
|
Birokrasi
|
1.
Sistem
birokrasi yang belum memberi ruang bagi publik.
2.
Birokrasi
diposisikan sebagai mesin yang hanya bekerja sesuai jalur.
3.
Tidak
ada keterlibatan masyarakat di pengambilan kebijakan dengan dalil highcost.
4.
Kurang
pahamnya birokrat akan makna partisipasi secara mendasar.
5.
Image birokrasi
yang kental dengan uang.
6.
Saluran
aplikasi yaqng kurang baik.
7.
Kerap
terjadi mobilitas massa untuk kepentingan politik.
8.
Partai
tidak mampu berperan untuk kepentingan rakyat.
|
Dikutip dan diolah
dari (sirajuddin (ed), 2006 : 149)
Di dalam rangkah membentuk peraturan daerah partisipatif
ada beberapa cara atau teknik yang dapat ditempuh oleh pemerintahan. Brenda
Dubois dan Karla Kongsrud, mengungkapkan beberapa teknik pemberdayaan
masyarakat yang biasa digunakan oleh kelompok lembaga swadaya masyarakat (an
empowering profession). Di antaranya terdapat cara untuk menciptakan masyarakat
yang berdaya (secara politis) yang dapat diadopsi oleh pemerintah sebagai upaya
mewujudkan good governance yang transparan, partisipatif, aksesable, dan
akuntable.
Berikut ini teknik pemberdayaan
masyarakat (peningkatan partisipasi masyarakat) dalam proses
pembentukan-pembentukan peraturan daerah :
1.
Membangun
relasi pertolongan yang :
a. Merefleksikan respons empati.
b. Manghargai pilihan dan hak masyarakat.
c. Menghargai perbedaan dan keunikan
masing-masing kelompok masyarakat; dan
d. Menekankan pola kerja sama klien (client
partnershipsi).
2.
Membangun
komunikasi yang :
a. Mengormati martabat dan harga diri;
b. Mempertimbangkan keragaman individu;
c. Fokus pada kepentingan masyarakat umum.
3.
Terlibat
dalam pencegahan masalah yang :
a. Memperkuat partisipasi masyarakat dalam
pemecahan masalah sosial;
b. Menghargai hak-hak masyarakat;
c. Merangkai tantangan sebagai kesempatan
belajar; dan
d. Melibatkan masyarakat dalam pembentukan
peraturan daerah dan evaluasinya.
4.
Merefleksikan
sikap dan nilai dalam kode etik jabatan pemerintahan yang ;
a. Ketaatan terhadap kode etik dan
prinsip-prisip good governance;
b. Keterlibatan dalam proses perumusan
peraturan daerah; dan
c. Penghapusan segala bentuk diskriminasi
dan ketidakadilan.
(Edi Suharto, 2005b : 68)
G. SALAH SATU WUJUD
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM BENTUK E-PARLIAMENT
Dunia
selalu mengalami perubahan, termasuk dilingkungan pemerintahan dan program
legislasi daerah. Salah satu wujud dan perubahan tersebut adalah berkembangnya
teknologi imformasi, yang ditandai oleh kesadaran akan pentingnya electonic
groverment, elecronic parliament, dan electronic pada lingkup
yang lain. Disinilah urgensitas gagasan kami tentang e-parliamen.
Alasan
yang menunjukkan urgensi elektronik parlemen di Indonesia adalah:
1.
Faktor
geografis dan kewilayahan. Negara
indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai wilayah yang sangat luas,
total luas wilayahnya adalah 1.919.440 km2, memiliki 17.504 pulau,
sekitar 6000 pulau masih belum berpenghuni.
2.
Faktor
Politis. Visi rezim reformasi
mewujudkan trasparansi dan pemenuhan kebutuhan rakyat untuk berinteraksi dengan
para wakilnya sebagai bentuk good parlemen. Sistem ini merupakan jawaban
terhadap sistem penyelenggaran tugas dan kewajiban lembaga legislatif pada
zaman rezim Orde Baru yang kurang efisien dan tidak Acessible. Sebaliknya,
kinerja parlemen pada saat itu menjadi begitu dinamis, berawal dari fenomena
amandeman UUD 1945 yang berusaha membagi kekuasaan eksekutif dan legislatif
secara proposional, menjadi latar belakang munculnya perbaikan kualitas kinerja
lembaga legislatif. Kualitas kinerja yang mengikat sangat terlihat dam
menjanjikan harapan-harapannya yang ideal. Sudah seharusnya hal ini diimbangi
dengan pengaturan informasi yang cepat dan akurat agar apa yang sudah
dikerjakan oleh lembaga legislatif bisa tersampaikan dengan cepat, akurat dan
baik kepada rakyat. Inpres No. 23 Tahun 2001 tentang pemamfaatan teknologi
komunikasi secara optimal dan tepat guna adalah wujud kebijakan pemerintah yang
menginginkan teknologi informasi menjadi sarana untuk mewujudkan pelaksanaan.
Kinerja pemerintah yang lebih baik, diharapkan teknologi menjadi salah satu
sarana demi terwujudnya sebuah pemerintahan yang accountable, trasparan,
dan accessible. Demikian adanya lembaga legislatif, pemamfaatan
teknologi informasi sebagai sarana untuk membangun komunikasi multi-arah dengan
rakyat menjadi sangat penting untuk diwujudkan.
3.
Faktor
sosialogi. Cepatnya
perkembangan teknologi informasi di Indonesia dekade 90-an meningkat secara
tajam, namun karena kebijakan pemerintah orde baru yang kurang responsif
terhadap hal ini, maka hingga akhir dekade 90-an, pemamfaatan teknologi tidak
bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dibuktikan dengan hegemoni usaha-usaha
yang masuk dalam wilayah pemamfaatan teknologi, seperti teknologi dalam bidang
transportasi, telekomunikasi, dan industri. Keadaan berbalik ketika rezim
reformasi berkuasa, ada liberisasi kebijakan dalam hal pemamfaatan teknologi,
usaha untuk meningkatkan fungsi dan peran teknologi yang dilakukan banyak pihak
mendapat dukungan positif dari pemerintah, hal ini berimplikasi pada munculnya
maksimalisasi pemamfaatan teknologi. Salah satu sektor teknologi yang mengalami
perkembangan pesat adalah teknologi informasi, sektor ini memberikan sunbangsih
konkret terhadap efisiensi dan kemudahan berkomunikasi.
Teknologi
informasi dan komunikasi dihadirkan untuk menciptakan kemungkinan (kesempatan)
pada pembangunan demokrasi yang partisipatif, mengembangkan komunikasi antara
parlemen, pemerintah, dan masyarakat. Pada sisi lain, teknologi informasi dan
komunikasi juga diciptakan untuk mengorganisir komunikasi antara parlemen dan
konstituennya dalam menentukan keputusan-keputusan. Penggunaan teknologi informasi menjadi
kebutuhan yang tidak bisa di hindari, saat ini, pilihan yang paling tepat untuk
menciptakan komunikasi yang efektif antara pemerintah, parlemen, dan rakyat
adalah dengan memamfaatkan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang.
Banyak kemudahan-kemudahan dalam berkomunikasi dan penyampaian informasi dengan
memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
Electronic
Government, online Government, atau
disebut juga transformational Government, adalah istilah yang ditujukan
kepada langkah pemerintah yang memanfaatkan teknologi informasi untuk
menyebarkan informasi, melakukan pelayanan pada masyarakatnya. Sistem
pemerintahan elektronik ini digunakan oleh lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif, dalam rangka mengembangkan efisiensi kinerja internal lembaga.
Tujuan
utama adanya elektronik government adalah terciptanya pelayanan publik
yang lebih baik. Sementara itu, electronic government banyak dipahami
sebagai (sekadar) pemamfaatan media internet untuk menunjang kinerja
pemerintah. Padahal pemahaman elecronic government lebih luas, yaitu
pemamfaatan semua media elektronik (teknologi informasi) untuk menunjang
kinerja pemerintah. Dari pemaknaan ini, diketahui definisi dan konsep
elektronik parlemen. Elektronic Parliament adalah sebuah gagasan yang
diwujudkan dalam suatu bentuk sistem,
sistem baru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk memudahkan interaksi
antara parlemen dan rakyat (parliament to citizent, citizent to parliament).
Konsep e- government di atas adalah bingkai besar, di dalamnya muncul
konsep elektronik parlemen, tidak ada perbedaan yang signifikan antara
keduanya, hanya saja elektronik parlemen merupakan konsep turunan yang
digunakan khusus untuk lambaga legislatif. Tujuan dan adanya elektronik
parlemen; sebagai sistem dasar yang menciptakan transparasi informasi,
komunikasi, dan layanan kepada masyarakat. Dengan penggunaan teknologi
informasi, dimungkinkan layanan secara online dan digital, sehingga informasi,
komunikasi, dan layanan bisa diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Elektronik parlemen menyediakan sarana interaksi antara anggota dewan dan
konstituennya, dan anggota dewan dengan masyarakat secara umum (komunikasi
tersebut meliputi usulan, kritikan, dan pengawasan terhadap kinerja parlemen),
serta mendukung manajemen persidangan, risalah rapat, agenda, kliping, dokumen,
surat, publikasi aturan daerah, RAPBD dan APBD, manajemen penanganan aduan dan
keluhan masyarakat. Interaksi dua arah dapat dilakukan melalui media web site,
sms, email, telepon, dan lain-lain (konsep e-parliament, www.e-democracyenterprise.co.id).
Sistem
e-parliement harus mempunyai content (isi), informasi tentang profil
parlemenyang bersangkutan secara lengkap dan jujur, seluruh aktifitas yang
telah, sedang, dan akan dilakukan, serta menyediakan peraturan daerah yang
dibuat, baik yang masih dalam bentuk rancangan dan yang sudah disahkan. Data
yang ada dalam sistem elektronik parlemen harus selalu di update, sehingga
dapat memberikan informasi yang semestinya pada masyarakat. Kemudian diperlukan
juga adanya optimalisasi dalam manajemen sistem, sehingga sistem tersebut bisa establish
dan selalu berkembang.
Berangkat
dari kemungkinan-kemungkinan untuk memamfaatkan kelebihan-kelebihan yang
dimiliki oleh teknologi yang baru itu dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan publik
akan informasi, transparasi dan partisipasi, maka konsep e-parliament kemudian
muncul. Dalam tahapan lebih lanjut e- parliament diharapkan memberi
implikasi pada munculnya e-democracy. E-democracy
mempresentasikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh
pelaku-pelaku demokrasi pada proses-proses politik dan kepemerintahan dalam
komunitas-komunitas lokal, negara, dan dalam tataran internasional. E-demokrasi
mensyaratkan partisipasi masyarakat secara lebih luas dan lebih aktif yang
memungkinkan melalui peraturan internet, telepon seluler, dan
teknologi-teknologi yang lain dalam demokrasi representatif saat ini serta
melalui bentuk-bentuk keterlibatan publik yang lebih partisipatif dan langsung
(nazaruddin, e-parliament dan waktu www.dprdiyyogya.go.id)
Analisis
diatas menunjukkan bahwa alasan kondisi geografis di Indonesia dan tuntutan
untuk menghadirkan pemerintahan reformatif yang lebih transparan, accountable,
dan accessible, menjadikan konsep e-parliement sangat penting
untuk diwujudkan dalam sebuah sistem yang konkret.
Walhasil,
elektronik parlemen adalah penggunaan segala bentuk teknologi informasi sebagai
alat dalam sebuah sistem untuk mewujudkan pola interaksi (meliputi, komunikasi
dan informasi) multi-arah antara parlemen dan rakyat secara umum. Teknologi
yang digunakan meliputi media internet dan non-internet, yang harus dipahami
bahwa sebuah sistem akan kering dan kurang artifical manakala tidak ada
kesadaran dan kesungguhan dari pihak parlemen untuk menggunakan teknologi informasi
sebagai sebuah sarana. Elektronik parlemen adalah solusi yang dirasa lebih
cepat untuk mewujudkan asas-asas good government, karena dengan
elektronik parlemen, akan tercipya sebuah lembaga parlemen yang accessible,
transparan, dan accountible.
H. BENTUK-BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
Pembentukan peraturan daerah baik yang berasal dari
inisiatif DPRD maupun yang berasal dan inisiatif pemerintah daerah dilakukan
melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan pembentukan peraturan daerah sama
dengan tahapan penyusunan peraturan Perundang-Undangan yang lain, meliputi
perencanaan ,perancangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, pelaksanaan,
dan evaluasi. Ruang partisipasi masyarakat harus ada disetiap tahapan tersebut.
Dengan demikian, diharapkan akan lahir perda ayng partispatif, masyarakat yang
kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial (society
needd).
Partisipasi masyarakat tidak hanya diperlakukan dalam
proses penyusunan peraturan daerah, namun dalam seluruh tahapan pembentukannya
sampai denagn evaluasi. Dalam agenda ROCCIPI – rule, opportunity,
communication, capacity, interest, process, and ideology, (peraturan ,
kesempatan, komunikasi, kemampuan, kepentingan, proses, dan nilai/sikap)
(Seidman, dkk., 2001:135) – dinyatakan bahwa dalam penyusunan peraturan yang baik harus memperhatikan tujuh
agenda tersebut. Kategori ini dapat memberikan gambaran awal reaksi masyarakat
terhadap peraturan yang akan dibentuk.
Kategori ROCCIPI mengidentifikasi faktor-faktor yang
kerap menimbulakan masalah berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan
Perundang-Undangan. Faktor interest dan ideology merupakan faktor yang bersifat
subjektif sedangkan rule, opportunity, communication, capacity dan
process merupakan faktor objektif. Agenda ini bermanfaat untuk mempersempit dan
mesistematiskan ruang lingkup hipotesis yang muncul dalam benak perancang
peraturan tentang penyebab suatu perilaku bermasalah. Di dalam agenda ini
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi peran serat masyarakat dalam
pelaksanaan peraturan daerah berkaitan materi yang terdapat dalam peraturan
daerah. Faktor-faktor dimaksud, yaitu :
1. Rule (peraturan)
Kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang terhadap suatu
peraturan, mungkin terjadi karena banyak peraturan yang tumpang tindih, tidak
jelas, atau multitafsir/bisa ditafsirkan sesuka hati, bertentangan atau saling
tidak mendukung , tidak transparan, tidak accountable dan tidak patisipatif,
atau memberikan wewenang yang berlebihan kepada pelaksana peraturan. Dan satu
hal yang tidak bisa ditawar bahwa peraturan tidak dapat menghilangkan penyebab
perilaku bermasalah.
2. Opportunity (kesempatan/peluang)
Sebuah peraturan secara tegas melarang perilaku tertentu,
namun jika terbuka kesempatan untuk tidak mematuhinya orang dengan mudah
melakukan perilaku bermasalah. Ingat kata bang Napi (seorang karakter kriminal
tobat bertopeng yang terdapat dalam acara salah satu stasiun TV swasta
Nasional) yang selalu menyatakan bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada
niat tetapi juga karena adanya kesempatan. Pelanggaran terhadap peraturan
daerah kerap terjadi karena adanya kesempatan dan tidak adanya tindakan tegas
dan aparat yang berwenang.
3. Capacity (kemampuan)
Peraturan tidak dapat memerintahkan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang dia tidak mampu. Peraturan harus dibuat dengan
mengetahui kondisi-kondisi masyarakat yang menjadi subjek peraturan . kemampuan
masyarakat dapat dirinci ke dalam kemampuan politik, ekonomi, dan sosial
budaya.
4. Communication (komunikasi)
Komunikasi pemerintah daerah dengan rakyat tidak efektif,
terutama dalam mengumumkan paraturannya. Media sosialisasi masyarakat. Hal ini
menunjukkan indikasi kesengajaan supaya masyarakat tidak tahu cacat yang ada di
daam suatu peraturan, sebut saja dalam kaitan dengan masalah anggaran ,
masyarakat tidak pernah mengetahui berapa besar dana yang dimiliki oleh daerah
dan tidak pernah tahu untuk apa saja atau oleh siapa saja anggaran tersebut
dialokasikan. (Daud Gauraf, 2002:62).
5. Interest (kepentingan)
Aspek kepentingan terkait erat dengan manfaat bagi pelaku
peran (pembuat peraturan maupun Stakeholder/masyarakat yang akan menjadi
sasaran pemberlakuan aturan tersebut). Kepentingan ini bisa terdiri dari
kepentingan ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
6. Process (proses)
Yang dimaksud
proses dalam hal ini adalah
proses bagi pelaku untuk memutuskan apakah akan mematuhi atau tidak
mematuhi atau tidak mematuhi suatu peraturan daerah. Proses ini sangat
dipengaruhi oleh substansi peraturan yang berdampak positif atau tidak bagi
kepentingan masyarakat di mana perda tersebut diberlakukan.
7. Ideology (nilai dan sikap)
Kategori ini secara umum dimaknai sebagi sekumpulan
nillai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berfikir, dan bertindak.
Termasuk didalamnya antara lain sikap mental, pandangan tentang dunia,
pemahaman keagamaan keagamaan. Kadang-kadang ideologi juga disamakan dengan
budaya yang sangat luas cakupannya. Di dalam masyarakat indonesia yang serba
majemuk (beragam) harus dapat diakomodasi oleh pengambil kebijakan agar dapat
dengan mudah diterima oleh masyarakat.(Jazim Hamidi, 2008: 77).
Bagaimanapun rumit dan kompleksnya permasalahannya yang
ditemukan didalam masyarakat, jika dijabarkan berdasarkan kategori ROCCIPI
sebagaimana diuraikan diatas, kemungkinan besar akan dapat dicegah (preventif)
atau dicarikan solusinya, tentunya dengan menyesuaikan dengan substansi suatu
perda yang hendak dibuat dengan terlebih
dahulu melakukan pengkajian terhadap keinginan-keinginan atau haraapan dari
masyarakat dimana perda itu kelak hendak diberlakukan. Tentunya pengkajian tersebut disandarkan pada tujuh kategori
ROCCIPI tersebut diatas. Meskipun demikian, akan lebih tepat jika di dalam
setiap proses pembentukan perda tersebut, masyarakat setempat senantiasa
disediakan ruang untuk berpartisipasi dan dijamin adanya informasi mengenai
prosedurnya.
Pada dasarnya keikutsertaan masyarakat di dalam proses
pembentukan suatu perda telah diatur dan dijamin oleh pasal 53 UU No. Tahun
2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan tata tertib DPRD
provinsi, kabupaten/kota di seluruh wilayah
RI, dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah ada
koridor hukum yang jelas melindungi hak atas informasi masyarakat. Ketentuan
ini juga berarti dalam pembentukan sebuah perda harus terdapat prosedur yang
memungkinkan masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses perancangan
tersebut.
Praktik yang terjadi selama ini dalam proses pembentukan
perada peran masyarakat massa yang dilakukan hanyalah sebagai pelengkap
prosedur adanya Basic research (penelitian
Dasar) yang melandasi perencanaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sudah bukan
tahap perencanaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sudah bukan rahasia umum bahwa
banyak perda (kalu tidak semuanya). Yang
terbit dengan tidak didahului proses penelitian, walaupun akhirnya “secara tiba-tiba” memiliki naskah
akademik , sementara didalam tahap perancangan pembahasan dilakukan oleh unit
kerja didalam tahap perancangan pembahasan dilakukan oleh unit kerja dinas dari
pemerintah atau oleh pansus dari DPRD. Meskipun pada tahp ini kemungkinan
melibatkan akademisi atau pakar-pakar yang kompeten di bidangnya. Namun di
dalam realitasnya masyarakat umum yang
berkepentingan tidak memiliki pintu masuk
untu ikut serta di dalamnya. Kemudian dalam tahap pembahasan di DPRD, masyarakat yang sudah terlanjur
mewakilkan kekuasaannya pada wakil rakyat di DPRD tidak lagi mendapatkan suara.
Sidang paripurna anggota DPRD yang terhormat memang bersifat terbuka , tetapi
kebal kritik karena protokol dan tata
tertib sidang. Sementara rakyat yang tidak puas, harus cukup puas
meneriakkan aspirasi dan kepentingannya
denagan cara “itu-itu saja” demo dan unjuk rasa yang tidak pernah
efektif.
Menurut Rival G. Ahmad (Sirajuddin , dkk., 2006:189)
berpendapat bahwa terdapat sedikitnya 8
prinsip mengenai optimalisasi partisipasi masyarakat di dalam proses pembentukan suatu perda, yaitu :
a. Adanya kewajiaban publikasi yang efektif;
b. Adanya kewajiaban informasi dan
dokumentasi yang sistematis, bebas dan accessible;
c. Adanya jaminan prosedur dan forum yang
terbuka dan efektif bagi masyarakat
untuk terlibat dalam mengawasi proses sejak tahap perencanaan;
d. Adanya prosedur yang menjaminpublik
bisa mengajukan Raperda selain anggota DPRD dan pemerintah;
e. Adanya pengaturan yang jelas mengenai
dokumendasar yang wajib tersedia dan accassible seperti naskah akademik dan
Ranperda;
f.
Adanya
jaminan banding bagi publik bila proses pembentukan perda tidak dilakukan
secara partisipatif;
g. Adanya pengaturan jangka waktu yang
memadai untuk seluruh proses penyusunan , pembahasa Raperda, dan diseminasi
perda yang telah dilaksanakan; dan
h. Adanya pertanggung jawaban yang jelas
dan memadai bagi proses pembentukan perda yang dengan sengaja menutup peluang
masyarakat untuk berpartisipasi. (Dahlan
Thaib, 2005:25).
Sebuah
pemerintahan yang baik (good governance) dan demokratis harus
menjamin terealisasinya prinsip-prinsip tersebut. Bentuk upaya menjaring
partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan oleh pembentukan perda dalam
pembentukan peraturan daerah, yaitu :
a. Melakukan penelitian terpadu sebelum
perancangan perda;
b. Menggelar Publik hearing materi yang
akan diperdakan (hal ini bisa dilakukan di DPRD tetapi juga bisa dilakukan
dengan cara turun langsung ke tengah-tengah masyarakat terkait/ stakeholder);
dan
c. Memberikan kesempatan kepada warga
untuk mengikuti persidangan di kantor
DPRD (dengan membuka informasi jadwal sidang pembentukan perda tersebut).
Jika pihak pemerintah telah memenuhi kewajibannya untuk
memfasilitasi partisipasi masyarakat, maka masyarakat harus mampu secara aktif
dan efektif menggunakan haknya untuk melakukan
pengawasan, pemantauan DPRD, atau patai politik sehingga masyarakat
dapat menjadi kekuatan kontrol tersendiri. (Ramlan Surbakti, 2003:185).
I. BENTUK-BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Salah satu tahapan yang penting dilakukan dalam proses
penyusunan perda addalah communication, yaitu adanya komunikasi antara pemangku
kepentigan dan pengambilan kebijakan. Komunikasi ini sangat penting dalam
pelaksanaan peraturan daerah. Setidaknya komunikasi yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah sosialisasi. Meskipun
bersifat searah, informasi yang didapatkan oleh masyarakat melalui sosialisasi
perda sedikit banyak dapat memberikan kesempatan masyarakat untuk melaksanakan atau tidak melaksaanakan
peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, pelaksanaan
perda yang tidak mencerminkan attau tidak mengakomodasikan kepentingan
masyarakat mendapat reaksi negatif dari
masyarakat.
Secara teoritis di dalam ilmu hukum di kenal adanya fiksi hukum yang menyatakan bahwa
semua orang dianggap tahu hukum, namun teori fiksi ini tidak dapat diberlakukan
begitu saja, karena masalah komunikasi sering kali muncul karena selama
ini pemerintahan kurang dalam mengumumkan peraturannya (sosialisasi).
Ketidakafektifan suatu peraturan daerah mungkin terjadi
karena beberapa faktor yang saling berkaitan dalam sistem hukum. Menurut Lwrence Meir Friedman,
ada 3 unsur yang sangat berpengaruh
dalam sistem hukum, yaitu, substansi, struktur dan kultur hukum dalam
masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi patisipasi masyarakat di
dalam pelaksanaan suatu peraturan daerah, antara lain :
a. Substansi perda yang tidak sesuai
dengan nilai masyarakat memancing reaksi masyarakat, sedangkan prosedur
partisipasi tidak jelas.
b. Kurangnya optimal kinerja aparatur pemerintah yang
berwenang dalam menangani setiap penyelewengan atau pelanggaran peraturan.
Dalam struktur hukum, masyarakat sebagai subjek hukum memiliki peran yang
sangat besar dalam pelaksanaan peraturan daerah; dan
c. Kurangnya sosialisasi dan kesadaran
serta kesadaran politik masyarakat yang rendah karena tingkat pendidikan atau
karena prioritas hidup sebagian besar masyarakat
yang lebih tersita untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sehingga
kepekaan masyarakat terhadap proses pembentukan suatu perda sangat rendah.
J. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Hukum
bukanlah sebuah mekanisme yang
dibuat dan bekerja didalam sebuah ruang hampa. Hukum senantiasa berinteraksi
dengan berbagai faktor-faktor yang bersifat nonhukum (faktor sosial).
Partisipasi masyarakat dalam tahap penegakan suatu perda adalah salah satu
bentuk dimana hukum dipengaruhi oleh faktor sosial yang ada disekitarnya. Penegakan perda
berarti upaya yang dilakukan ketika terjadi pelanggaran peraturan daerah.
Kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein adalah
suatu hal yang lazim ditemui di dunia hukum. Demikian halnya denagn proses
penegakan suatu perda yang terkadang tidak dapat berjalan sebagaimana yang
direncanakan sebelumnya. Terdapat berbagai faktor yang terkadang menjadi
penyebab proses pelaksanaan yang terjadi. Sementara proses penegakannya tidak
mendapat perhatian yang serius.
Pada proses tahapan penegakan perda ini, masyarakat
berada pada posisi peran sentral, oleh karena
bagaimana pun masalah penegakan perda senantiasa berkaitan dengan
tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh masyarakat baik karena tidak tahu
atau karena kesengajaan.
Penegakan perda dapat dilakukan secara preventif dan
represif. Penagakan secara preventif dilakukan denagn memberikan informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai berlakunya perda dan sanksi dalam
perda tersebut.
Penegakan secara represif tidak dapat dilakukan hanya
oleh aparat hukum saja, tetapi harus melibatkan peran serta masyarakat.
Meskipun masyarakat tidak berwenang mengambi tindakan hukum, namun masyarakat
dapat menjadi ukung tombak penegakan
perda dan kemudian dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegakan hukum. Hal ini
harus dilakukan, karena :
a. Pelanggaran terjadi di masyarakat, dan
masyarakat lebih mudaj mengetahui setiap pelanggaran yang terjadi;
b. Pelanggaran kadang-kadang dilakukan
oleh pejabat pemerintahan, masyarakat secara tidak langsung adalah korban yang
paling dirugikan. Oleh sebab itu, masyarakat harus mendapatkan wadah atau
saluran khusus untuk melaporkan
tersebut; dan
c. Proses hukum represif kerap menimbulkan
persepsi negatif dari masyarakat (seperti terbang pilih).
Dengan keterlibatan rakyat, penegakan perda dapat
dilakukan secara adil dan merata terhadap semua pelaku pelanggaran tanpa
pandang bulu. Peran serta masyarakat
dalam penegakan perda dapat
dilakukan dengan cara :
·
Menaati
perda yang telah diberlakukan;
·
Mencegah
pelanggaran yang diketahui aakan dilakukan oleh orang lain;
·
Melaporkan
tindakan yang menunjukkan indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh siapa saja
kepada pihak yang berwajib; dan
·
Mengkritik
penegakan perda yang dilakukan dengan setengah hati.
[1]Dalam penjelasan pasal 5 huruf g UUP3, asas keterbukaan adalah bahwa
dalam proses peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
[2] Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1994. Partisipasi politik di negara berkembang,
jakarta : Rineka Cipta
[3]Manajemen
prasarana dan sarana perkotaan (MPSP). 2002. Partisipasi dalam perencanaan
dan pemograman pembangunan prasana dan sarana perkotaan (modul peserta),
pemkot malang bekerjasama dengan USAID 2002.
[4] Lihat
dalam Emsi Warasih. 2001. Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan
hokum proses penegakan hukum dan persoalan keadilan), semarang. Badan
penerbit Universitas diponogoro; dan dalam Bimo Nugroho; 2001. partisipasi
rakyat membuat UU, Artikel opini dalam harian kompas tanggal 1
agustus 2002.
[5] Lihat
Rival G. Ahmad, dkk, 2003. “dan parlemen ke Ruang public; menggagas penyusunan
kebijakan partisipatif dalam jurnal hukum jentera edisi ke-2 tahun 2003,
diterbitkan oleh PSHK Jakarta, hal. 109.
[6]
Alexander Abe, 2005. Perencanaan daerah partisipatif, Yogyakarta : pembaruan,
hal 90-91.
[7]Irfan
Islami, 2004. Membangun masyarakat partisipatif” artikel dalam jurnal
administrasi public, Vol. IV No. 2 Maret-Agustus 2004, hlm 3-9.
[8] Steven
Vago. 1997. Low and society, Englewood Cliffs, new jersey :
prentice-Hall inc, hal.155.
[9]
Satjipto Raharjo. 1998. “mencari model
ideal penyusunan UU yang demokrasi (kajian sosiologis)”. Makalah
disampaikan dalam seminar nasional mencari model ideal penyusunan UU yang demokratis dan
kongres asosiasi sosiologi hukum Indonesia, semarang 15-16 april 1998.
[10] Loekman
Soetrisno. 1995. Menuju masyarakat partisipatif, Yogyakarta : penerbit
kanisius, hlm. 208-208.
[11]M.
Asfar, Dkk. 2001. Implementasil otonomi daerah (kasus jatim, NTT,
kaltim) Surabaya : CPPS bekerjasama dengan CSSP dan penerbit pusdeham, hlm.
317-319.
[12]
Sirajuddin dan Zulkarnain, 2002. Partisipasi masyarakat dalam proses
pembentukan peraturan daerah di era otonomi daerah (studi kasus di kabupaten malang), Laporan
Hasil penelitian. Malang : LPPM Universitas widyagama malang.
[13] Harian kompas,
tanggal 19 Desember 2003.
[14] Rival
G. Ahmad, dkk, dari parlemen…. Op. cit.
[15] Bimo
Nugroho, Op. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar