HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hukum Islam
Konsepsi hukum adalah dalam ajaran islam berbeda dengan konsepsi hukum
pada umumnya, khususnya hukum modern. Dalam islam hukum dipandang sebagai bagian dari ajaran islam, dan
norma-norma hukum bersumber kepada agama. Umat islam menyakini bahwa hukum
islam berdasarkan kepada wahyu ilahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah, yang
berarti jalan yang digariskan tuhan untuk manusia.
Namun demikian, syariah itu sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sosial
masyarakat manusia, diinterprestasi dan dijabarkan oleh aktivitas intelektual
manusia dalam merespon berbagai problem yang dihadapi manusia dalam
perkembangan masyarakat, sehingga terhimpun sejumlah ketentuan hukum hasil
ijtihad dan penafsiran manusia disamping
ketentuan-ketentuan yang secara langsung ditetapkan dalam wahyu ilahi. Oleh
karena itu, hukum islam dinamakan pula hukum fikih, yang berarti pemahaman dan
penalaran rasional. Jadi, fikih itu merupakan keseluruhan yang terdiri dari kumpulan berbagai satuan
kaidah atau norma mangenai kasus-kasus individual. Satuan ketentuan atau kaidah
mengenai suatu kasus ini disebut hukum syar’i atau hukum syara’. Sebagian dari
kumpulan hukum syara’ ini diambil alih oleh Negara untuk dilegislasi dan
dijadikan peraturan perundangan positif yang berlaku secara yuridis formal pada
bidang-bidang hukum tertentu. Peraturan demikian disebut kanun (al-qanuni)
yang kemudian dalam bahasa Indonesia digunakan kata hukum islam.
Jadi terdapat banyak istilah yang digunakan untuk menyebut hukum islam.
Istilah-istilah itu berbeda satu sama lain dan menggambarkan sisi tertentu dari
hukum isla. Namun secara keseluruhan istilah istilah tersebut sering
diidentikkan dan digunakan untuk menyebut hukum islam. Istilah-istilah dimaksud
adalah syariah, fikih, hukum syar’i, kanun dan terjemahannya dalam suatu bahasa
lain bukan arab.
1. Syariah
Secara harfiah, kata “syariah” berarti jalan, dan lebih khusus lagi jalan
menuju ketempat air. Dalam pemakaian religiusnya, syariah berarti jalan yang
digariskan tuhan menuju kepada keselamatan atau lebih tepatnya jalan menuju
tuhan. Ajaran –ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw disebut syariah karena
merupakan jalan menuju tuhan dan menuju keselamatan abadi[1].
Syariah digunakan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas,
syariah dimaksudkan sebagai keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh
nabi Muhammad Saw. Yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek
kepercayaannya maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya. Singkatnya syariah
adalah ajaran ajaran agama islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek:
ajaran tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku (amaliah).
Dalam hal ini, syariah dalam arti luas identik dengan syara’ (asy-syar’)
dan ad-din (agama islam)[2].
Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis (amaliah) dari
syariah arti luas, yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang
mengatur tingkah laku konkret manusia. Yariah dalam arti sempit inilah yang
lazimnya diidentikkan dan diterjemahkan
sebagai hukum islam. Hanya saja, syariah dalam arti sempit ini lebih
luas dari sekedar hukum pada umumnya, karena syariah dalam arti sempit tidak
saja meliputi norma hukum itu sendiri, tetapi juaga norma etika atau
kesusilaan, norma sosial, dan norma keagamaan (seperti ibadah) yang diaarkan
islam.
2. Fikih
Kata “fikih” – berasal dari kata arab al-fiqh- berarti mengerti,
tahu atau paham. Sebagai istilah, fikih dipakai dalam dua arti: dalam arti ilmu
hukum (jurisprudence) dan dalam arti hukum itu sendiri (law).
Dalam arti pertama, fikih adalah ilmu hukum islam , yaitu suatu cabang
studi yang mengkaji norma-norma syariah dalam kaitannya dengan tingkah laku
konkrit manusia dalam berbagai dimensi hubungannya. Dalam pengertian kedua ,
fikih adalah hukum islam itu sendiri, yaitu kumpulan norma-norma atau
hukum-hukum syara’ yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi
hubungannya, baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung didalam alquran dan
Sunnah nabi Saw. Maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interprestasi dan
penjabaran oleh para ahli hukum islam (fuqaha’) terhadap kedua sumber tadi.
Contoh hukum yang ditetapkan langsung dalam alquran atau hadis adalah hukum
haramnya transaksi riba (QS. 2: 275), kewajiban memenuhi perjanjian (Qs. 5:
11). Contoh hukum yang tidak terdapat dalam alquran dan Sunnah Nabi Saw, tetapi
merupakan hasil ijtihad para ahli hukum islam dengan mempertimbangkan kedua
sumber tadi adalah kewajiban mencatatkan nikah, ketentuan menjatuhkan talaq di
muka sidang pengadilan. Jadi, bila ada arrti pertama fikih adalah suatu cabang
studi, maka dalam arti kedua, fikih adalah himpunan norma-norma yang menjadi
objek kajian fikih dalam arti pertama.
3.
Hukum Syar’i
Hukum syar’i (hukum syara’, hukum syariah) secara harfiah berarti
ketentuan, norma atau peraturan hukum islam, dan merupakan satuan dari syariah.
Kumpulan dari satuan ketentuan atau peraturan ini membentuk syariah dalam arti
sempit atau fikih (dalam arti hukum islam) seperti dijelaskan di atas. Oleh
karena itu, istilah ini serng dipakai dalam bentuk jamak “hukum-hukum syarak”.
Secara teknis, dalam ilmu hukum islam , hukum syarak didefinisikan
sebagai “sapaan alahi terhadap subjek hukum mengenai perbuatan atau tingkah
lakunya, sapaan mana berisi tuntutan, perizinan atau penetapan.[3] Definisi
ini mengandung dua hal : (i) bahwa hukum itu adalah sapaan ilahi yang tertuju kepada
manusia sebagai subjek hukum menyangkut tingkah lakunya dan (ii) bahwa hukum yang merupakan sapaan ilahi itu berisi
tuntutan, perizinan (pembolehan) atau penetapan.
Pernyataan bahwa hukum adalah sapaan ilahi ini menggambarkan dua hal. Pertama, dalam konsepsi ini hukum memiliki dasar-dasar
keilahian dalam pengertian bahwa hukum itu bersumber kepada bimingan ddan
tuntunan ilahi sebagimana dapat ditemukan dalam wahyu-Nya. Kedua, hukum merupakan kata kerja, karena hukum
dikonsepsikan sebagai suatu sapaan. Dalam hukum, menurut konsepsi ini, tuhan
menyapa manusia mengenai tingkah lakunya , dan penyapaan tuhan itulah yang di
sebut hukum. Setidaknya ini adalah konsepsi teoritisi hukum islam (ahli-ahli
usul fikih). Sapaan ilahi itu bias berwujud mewajibkan, melarang, menganjurkan,
memakruhkan, atau membolehkan (mengizinkan) manusia sebagai subjek hukum untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan juga bisa berwujud menetapkan
hubungan dua hal di mana yang
satu menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Misalnya, dalam
Alquran pembuat hukum syara’ menyapa manusia melalui firman-Nya, “wahai
orang-orang beriman , penuhilah perjanjian-perjanjian,”[4]
ayat ini adalah dalil hukum dan sapaan ilahi yang terkandung didalamnya adalah
yang dimaksud dengan hukum. Sapaan pemuat hukum syar’ dalam ayat ini berwujud
mewajibkan untuk memenuhi perjanjian; maka pewajiban – yang dalam
istilah usul fikih disebut al-ijab – oleh pembuat hukum menurut konsepsi
para teoritisi hukum islam.
Dalam
ayat lain, tuhan manyapa manusia melalui firman-Nya, “Janganlah kamu makan
Riba yang berlipat ganda.”[5]
Sapaan pembuat hukum syara’ dalam ayat ini wujudnya adalah pelarangan
(pengharaman) kepada seseorang untuk makan riba berlipat ganda; maka pengharaman
– yang dalam istilah usul fikih disebut at-tahrim – oleh Allah terhadap
perbuatan makan riba secara berlipat ganda itu adalah hukum. Dalam suatu
hadisnya. Nabi Saw, menyapa umatnya melalui sabda beliau, “ Penunda-nundaan
pembayaran utang oleh debitur mampu menghalalkan diumumkan utangnya dan
dijatuhi hukuman.”[6] Hadits
ini adalah Dalil hukum dan isi yang terkandung didalamnya berupa sapaan ilahi
adalah hukum. Sapaan ilahi dalam hadis ini wujudnya adalah menghubungkan penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur
mampu dengan kehalalan pengumuman utang dan penjatuhan hukuman di mana yang
pertama (penunda-nundaan) ditetapkan
sebagai dari yang kedua (pengumuman atau hukuman). Penetapan sebagai
sebab oleh pembuat Hukum syara’ ini
adalah hukum. Nabi Saw juga menyapa
umatnya dengan sabdanya, “Tiada sah nikah tanpa Wali”.[7]
Hadits ini merupakan dalil hukum dan
isi yang terkandung didalamnya berupa sapaan ilahi melalui lidah Nabi-Nya
adalah hukum. Sapaan tersebut berwujud penetapan wali sebagai syarat sahnya
nikah, dan Penetapan sebagai Syarat oleh pembuat hukum ini adalah hukum.
Dalam suatu hadis lain, Nabi Saw menyapa umatnya dengan sabdanya, “pembunuhan
tidak mewarisi suatu apapun dari orang yang dibunuhnya.”[8]
Hadis ini adalah dalil hukum dan isi yang terkandung didalam bagiannya berupa
sapaan ilahi adalah hukum. Sapaan ilahi
dalam hadis ini wujudnya adalah bahwa pembuat Hukum menghubungkan dua hal, yaitu peristiwa pembunuhan oleh ahli
waris terhadap muwaris (pewaris yang meninggalkan harta warisan) dan hak
mewarisi. Hubunganya
adalah bahwa peristiwa pembunuhan itu ditetapkan
sebagai penghalang bagi pembunuh
untuk menikmati hak memperoleh wrisan dari muwaris (pewaris yang meninggalkan
harta warisan ) yang dibunuhnya; dan penetapan sebagai penghalang oleh Pembuat Hukum ini adalah hukum. Secara
keseluruhan, hukum adalah pewajiban (al-ijab),
pengharaman (at-tahrim), penganjuran (an-nadh), pemakruhann (al-karahah),
pembolehan (al-ibahah) dan penetapan sebab (al-wadh’), syarat,
atau penghalang oleh pembuatan hukum berkaitan dengan perbuatan manusia.
Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa para teoretisi hukum islam mengonsepsikan hukum dalam arti
kata kerja, karena hukum tidak lain dari tindakan Pembuat Hukum Syara’ berupa
mewajibkan, malarang, menganjurkan, memakruhkan atau membolehkan subjek hukum
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan atau menetapkan kaitan dua
hal dimana yang satu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Untuk
menjelaskan ini beberapa teoretisi hukum islam meminjam kategori sepuluh
Aristoteles dan mereka manyatakan bahwa hukum alam pengertian ushliyyin (teoretisi
hukum islam) termasuk ke dalam kategori aksi (maqulah al-fi’l)[9].
hukum syara’ menurut para ahli ushul fikih termasuk kategori aksi, yang berarti
bahwa hukum merupakan aksi tuhan menyapa manusia dengan mewajibkan , melarang
mnganjurkan, memakruhkan atau membolehkan melakukan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu atau menetapkan hubungan dua hal yang menyangkut manusia
dimana yang satu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain.
Berbeda dengan para teoretisi hukum islam. Para Fuqaha (juris)
mengonsepsikan hukum sebagi efek yang timbul dari sapaan ilahi, namun bukan
aksi penyapaan itu sendiri. Dengan demikian, hukum menurut para ahli fikih
(juris islam) termasuk kategori penderitaan, yaitu efek yang timbul dari adanya
aksi tuhan menyapa tingkah laku manusia. Apabila pembuat hukum syara’
memerintahkan untuk memenuhi perjanjian (Qs 5: 1), maka efek dari perintah itu
adalah bahwa pemenuhan perjanjian itu menjadi wajib, jadi, wajibnya
(dalam bahasa arabnya disebut al-wujub) memenuhi perjanjian adalah hukum
menurut para juris (fuqaha’). Apabila pembuat hukum Syara’ menetapkan bahwa
aqad jual beli menjadi sebab pindahnya hak milik atas barang dari penjual
kepada pembeli, maka berpindahnya hak milik atas barang dari penjual kepada pembeli adalah ukum
menurut konsepsi juris karena pindahnya hak milik itu merupakan efek dari
penetapan pembuat hukum Syara’ bahwa Aqad manjadi sebab pepindahan hak milik.[10]
Meskipun tampak berbeda, kedua konsepsi hukum yang dikemukakan diatas,
yaitu menurut para teoretisi (ahli-ahli usul fikih) dan menurut para juris
hukum islam (ahli-ahli fikih) pada hakikatnya tidak berbedda pada substansinya,
karena kedua pihak sama mengajui hukum itu sebagai sapaan ilahi. Perbedaannya
hanya terletak pada sudut pandang masing-masing. Para teoretisi hukum islam
melihat sapaan itu dalam kaitannya dengan penyapa, yaitu Pembuat Hukum Syara’,
dengan demikian, hukum diartikan sebagai aksi-Nya dalam menyapa manusia.
Sementara itu Para juris islam melihat sapaan itu dari segi efek yang
ditimbulkannya terhadap perbuatan manusia.
Sebagi penutup dari analisis mengenai konsep hukum islam perlu dilihat
kaitan hukum dengan otoritas politik. Lazimnya dalam konsepsi hukum positif,
pengertian hukum dikaitkan kepada kekuasaan politik, karena hukum itu diartikan
sebagai aturan perilaku yang didukung oleh sanksi memaksa yang ditentukan oleh
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara yang memerintahkan apa yang boleh atau
terlarang untuk dilakukakan.[11] Dalam
pengertian hukum islam, meskipun sangat penting untuk pelaksanaan dan penegakan
hukum, otoritas kekuasaan politik pada tingkat Negara tidak merupakan bagian
pokok dari konsepsi hukum. Penekanan konsepsi hukum dalam pengertian islam
tidak lebih ditekankan pada the commands of the supreme power in a state, melainkan lebih pada sapaan ilahi.
Karena itu validitas suatu aturan sebagi hukum sangat ditentukan oleh
sejauhmana ia merupakan pencerminan sapaan ilahi. Tetapi ini tidak berarti
bahwa kekuasaan Negara tidak penting untuk menanami konsepsi hukum islam.
Kekuasaan itu sangat penting sebagai srana pelaksanaan dan penegakan hukum syariah,
tetapi tidak merupakan unsure
substansial dalam konsepsi hukum. Aturan-aturan yang dibuat oleh Negara bukan
sama sekali tidak mendapat tempat dalam konsepsi hukum islam. Aturan-aturan itu
juga penting dan biasanya ditempatkan di dalam dimain as-siasah
asy-syar’iyyah.
B. Penjenjangan Norma-Norma Hukum
Islam
Ahli-ahli hukum islam klasik membuat perjenjangan norma-norma hukum islam menjadi dua tingkat,
yaitu (1) al-ushul (asas-asas umum) dan (2) al-furu’
(peraturan-peraturan hukum konkret). Al-ushul (asas-asas umum) meliputi
kategori yang luas sehingga mencakup juga norma-norma filosofis dasar yang
menjadi tempat tegaknya kedua norma diatas. Oleh karena itu, menurut penulis,
norma-norma hukum islam dapat dijenjangkan menjadi tiga lapis yaitu :
1). Nilai-nilai
dasar atau norma-norma filosofis (al-qiyam al-asasiyyah)
2). Asas-asas
umum ( al-ushul al-kulliyyah), dan
3).
Peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah)
Ilmu-ilmu filosofis adalah nilai-nilai
dasar yang menjadi fondasi ajaran islam termasuk hukumnya seperti
kemaslahatan , keadilan, persamaan, kebebasan, aqidah, akhlak, persaudaraan
(al-ukhuwwah) dan seterusnya. Nilai-nilai dasar ini diterjemahkan agar menjadi
lebih konkret dalam bentuk, dan sekaligus menjadi dasar darri asas-asas umum yang merupakan norma-norma
tengah. Asas-asas umum ini ada yang bersifat lepas yang disebut asas-asas hukum
islam (An Nazariyyah Al-Fiqhiyyah) seperti asas-asas yang berlaku dalam perjanjian, pidana,
siyasah, dan seterusnya. Ada pula asas-asas umum yang dirumuskan secara singkat
dan padat dalam rumusan yuristik dan inilah yang disebut kaidah-kaidah hukum
islam atau al-qawa’id al fiqhiyyah seperti kaidah “Adat kebiasaan adalah sumber hukum,”
kaidah” pada asasnya perjanjian adalah kesepakatan para pihak dan akibat
hukumnya adalah perikatan yang mereka tetapkan melalui janji. “Kaidah” tidak
ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain. “Kaidah”
kesukaran membawa kemudahan.” Dan seterusnya seperti yang disebutkan
dala kitab-kitab kaidah hukum islam.
Peraturan hukum konkret adalah konkretisasi dan asas umum dan terwujud
baik dalam ketentuan-ketentuan hukum taklifi
seperti halal, haram, wajib sunnat,
makruh dan mubah, maupun dalam ketentuan-ketentuan hukum wadh’i yang meliputi
sebab, syarat, dan halangan. Contoh peraturan hukum konkret yang termasuk hukum
taklifi keharaman transaksi riba,
wajibnya memenuhi perjanjian. Boleh menarik kembali ijab sebelum ada Kabul dari
pihak yang kepadanya ijab tersebut ditujukan, dan seterusnya. Contoh peraturan
konkret yang termasuk hukum wadh’i
adalah bahwa penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur mampu
menghalalkan diumumkan namanya atau dijatuhi hukuman, kehadiran dua orang saksi adalah syarat untuk dapatnya dilangsungkan
aqad nikah secara sah, keadaan memaksa menjadi penghalang dilaksanakannya
perjanjian, dan lain-lain seperti itu.
Ketiga lapisan norma ini tersusun secara
hierarkis di mana norma yang lebih abstrak dikonkretisasi dalam norma
yang lebih konkret. Dengan kata lain, nilai-nilai dasar dikonkretisasikan dalam
norma-norma antara, baik berupa asas-asas hukum islam (an nazhariyyat al
fiqhiyyah) . maupun berupa kaidah-kaidah hukum islam (Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyyah).[12] Norma-norma
tengah (asas-asas umum) hukum islam pada gilirannya dikonkretkan lagi dalam
bentuk peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al fari’yyah).
Misalnya, nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi umpamanya dalam norma tengah
(asas umum) yang berupa kaidah hukum islam, yaitu antara lain kesukaran
memberi kemudahan.[13]
Norma tengah ini dikonkretisasi lagi
dalam bentuk peraturan hukum konkret, misalnya dalam hukum perdata: debitur
yang sedang menghadap perubahan keadaan yang memberatkan dapat mengajukan perubahan klausul perjanjian
kepada hakim.[14]
Contoh kedua: nila dasar kebebasan dikonkretisasi dalam norma tengah , misalnya
dalam asas hukum islam berupa asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyah
at-ta’aqud),[15]
dan asas kebebasan berkontrak ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk norma
konkret, misalnya boleh (mubah) hukumnya
membuat aqad baru, seperti aqad sewa beli , asuransi (at-ta’min), sepanjang
tidak melanggar ketertiban umum syara’ dan akhlak islam. Contoh ketiga : nilai
dasar keadilan diejawantahkan dalam bidang hukum kewarisan dalam asas bahwa
setiapa orang baik lelaki maupun wanita, mendapat bagian warisan dari
peningggalan orang tua atau kerabatnya.[16] Asas
ini dikonkretisasi lagi dalam peraturan hukum konkret berupa ketentuan mengenai
rincian bagian masing-masing ahli waris . begitulah seterusnya.
Ragaan 1 : pelapisan norma
hukum islam
I Nilai-nilai
filosofis/dasar
(al-qiyam
al-asasiyyah)
II Norma-norma
tengah/doktrin-doktrin umum hukum islam
(al-ushul al-kulliyyah)
Al-qawa’id al-fiqhiyyah an-nazhariyyat
al-fiqhiyyah
III Peraturan-peraturan hukum konkret
(al-ahkam
al-far’iyyah)
[1] Ibn Manzhur,
Lisan al –‘Arab (Mesir : ad-Dar al-Mishriyyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, t.t
), X: 40; Ibn ‘al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), I: 201.
[2] At-Tahanawi,
Kasysyaf Ishthilahat al-Funun (Beirut: Syirkah al-Khayyath Li al-Kutub wa
an-Nasyr, 1966), III: 759.
[3] Shard
asy-Syari’ah, at-Taudhih fi Hal Gawamidh at-Tanqih (Kairo: Dar al-‘Ahd al-Jadid
li Ath- Thiba’ah, 1957), I: 13-4. Teks Aslinya dalam Bahasa Arab Berbunyi,
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين
بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع
[4] Qs. 5:1.
Teks aslinya berbunyi, . . . . . .يأيها الذين امنوا أوفوا بالعقود
[5] Qs. 3;129. Teks aslinya berbunyi,
يأيها الذين امنوا لا
تأكلوا الربوا أضعافا مضاعفة
[6] Hadis
ini diriwayatkan oleh an Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad. Teks diatas
dikutip dari Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh Shidqi Muhammad Jamil (Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), II: 177, Hadis no.3628, Kitab al-Aqdhiyah.
[7] Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tarmizi,
Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan Ad-Darimi. Teks ini diambil dari Abu Dawud,
op. Cet.,I: 479, hadis no. 2085, Kitab an-Nikah.
[8] Hadis Mauquf Riwayat ad-Darimi dari Ibn ‘Abbas.
Lihat Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi (Ttp: Dar al-Fikr li Ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa
at Tauzi’, t.t), II: 385. Ibn Majah meriwayatkan hadits Marfu’ dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi
Saw bersabda القاتل
لا يرث (pembunuh tidak mendapat warisan). Ibn Majah, op. Cit: 913, Hadis
no.2735, “kitab Al-Fara’adh, Bab Mirats
al-Qatil.”
[9] Lihat Amir Badsyah, Taisir at-Tahrir (Beirut:
dar al-Kutub al ‘Ilmiyyah, t.t), II: 134; dan al-Anshari , Fawatih ar-Rahamut bi
Syarh Musallam ats-Tsubut, diterbitkan bersama al-Ghazali, al Mustashfa min ‘Ilm
al-Ushul (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah , 1983), I: 59-60. Kesepuluh kategori
Aristoteles dimaksud adalah Substansi, Kuantitas Relasi, Tempat, Waktu, Posisi,
Milik, aksi, dan penderitaan. Lihat al-Ghazali, al-Maqashid al-Falasifah, edisi
Sulaiman dunya (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t), hlm. 163-5 dan 170.
[10] Lihat Amir Badsyah, op. Cit., II: 129 dan
134.
[11] Davitt, the Element of Law (Wisconsin:
Marquette University Press, 1977), hlm.5.
[12] Kaidah disini bukan dalam arti norma,
tetapi dalam arti asas.
[13] Az-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
(Beirut: Dar al-Garbi al-Islami, 1983), hlm.105, kaidah no.16. teks Aslinya bebunyi
المشقة تجلب التيسير
[14] Lihat uraian tentang keadaan memberatkan
pada Bab XI B angka 3.
[15] Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam
hukum Islam lihat az-Zurqa;, al-Fiqh al-Islami fi Tsaubihi al-Jadid
(Damaskus:Mathabi’ Alifba al-Adib, 1968), I: 466. dan seterusnya.
[16] Sesuai dengan firman Allah dalam Alquran,
“lelaki mendapat bagian (warisan) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang
tua dan kerabat mereka dan wanita pun mendapat bagian (warisan) dari apa yang
ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka . . .” (QS. 4: 7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar