View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

HUKUM ISLAM


HUKUM ISLAM



A. Pengertian Hukum Islam

Konsepsi hukum adalah dalam ajaran islam berbeda dengan konsepsi hukum pada umumnya, khususnya hukum modern. Dalam islam hukum dipandang  sebagai bagian dari ajaran islam, dan norma-norma hukum bersumber kepada agama. Umat islam menyakini bahwa hukum islam berdasarkan kepada wahyu ilahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah, yang berarti jalan yang digariskan tuhan untuk manusia.

Namun demikian, syariah itu sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat manusia, diinterprestasi dan dijabarkan oleh aktivitas intelektual manusia dalam merespon berbagai problem yang dihadapi manusia dalam perkembangan masyarakat, sehingga terhimpun sejumlah ketentuan hukum hasil ijtihad dan penafsiran  manusia disamping ketentuan-ketentuan yang secara langsung ditetapkan dalam wahyu ilahi. Oleh karena itu, hukum islam dinamakan pula hukum fikih, yang berarti pemahaman dan penalaran rasional. Jadi, fikih itu merupakan keseluruhan  yang terdiri dari kumpulan berbagai satuan kaidah atau norma mangenai kasus-kasus individual. Satuan ketentuan atau kaidah mengenai suatu kasus ini disebut hukum syar’i atau hukum syara’. Sebagian dari kumpulan hukum syara’ ini diambil alih oleh Negara untuk dilegislasi dan dijadikan peraturan perundangan positif yang berlaku secara yuridis formal pada bidang-bidang hukum tertentu. Peraturan demikian disebut kanun (al-qanuni) yang kemudian dalam bahasa Indonesia digunakan kata hukum islam.

Jadi terdapat banyak istilah yang digunakan untuk menyebut hukum islam. Istilah-istilah itu berbeda satu sama lain dan menggambarkan sisi tertentu dari hukum isla. Namun secara keseluruhan istilah istilah tersebut sering diidentikkan dan digunakan untuk menyebut hukum islam. Istilah-istilah dimaksud adalah syariah, fikih, hukum syar’i, kanun dan terjemahannya dalam suatu bahasa lain bukan arab.

1. Syariah

Secara harfiah, kata “syariah” berarti jalan, dan lebih khusus lagi jalan menuju ketempat air. Dalam pemakaian religiusnya, syariah berarti jalan yang digariskan tuhan menuju kepada keselamatan atau lebih tepatnya jalan menuju tuhan. Ajaran –ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw disebut syariah karena merupakan jalan menuju tuhan dan menuju keselamatan abadi[1].

Syariah digunakan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan sebagai keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaannya maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya. Singkatnya syariah adalah ajaran ajaran agama islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek: ajaran tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku (amaliah). Dalam hal ini, syariah dalam arti luas identik dengan syara’ (asy-syar’) dan ad-din (agama islam)[2].

Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis (amaliah) dari syariah arti luas, yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia. Yariah dalam arti sempit inilah yang lazimnya diidentikkan dan diterjemahkan  sebagai hukum islam. Hanya saja, syariah dalam arti sempit ini lebih luas dari sekedar hukum pada umumnya, karena syariah dalam arti sempit tidak saja meliputi norma hukum itu sendiri, tetapi juaga norma etika atau kesusilaan, norma sosial, dan norma keagamaan (seperti ibadah) yang diaarkan islam.

2. Fikih

Kata “fikih” – berasal dari kata arab al-fiqh- berarti mengerti, tahu atau paham. Sebagai istilah, fikih dipakai dalam dua arti: dalam arti ilmu hukum (jurisprudence) dan dalam arti hukum itu sendiri (law).

Dalam arti pertama, fikih adalah ilmu hukum islam , yaitu suatu cabang studi yang mengkaji norma-norma syariah dalam kaitannya dengan tingkah laku konkrit manusia dalam berbagai dimensi hubungannya. Dalam pengertian kedua , fikih adalah hukum islam itu sendiri, yaitu kumpulan norma-norma atau hukum-hukum syara’ yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi hubungannya, baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung didalam alquran dan Sunnah nabi Saw. Maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interprestasi dan penjabaran oleh para ahli hukum islam (fuqaha’) terhadap kedua sumber tadi. Contoh hukum yang ditetapkan langsung dalam alquran atau hadis adalah hukum haramnya transaksi riba (QS. 2: 275), kewajiban memenuhi perjanjian (Qs. 5: 11). Contoh hukum yang tidak terdapat dalam alquran dan Sunnah Nabi Saw, tetapi merupakan hasil ijtihad para ahli hukum islam dengan mempertimbangkan kedua sumber tadi adalah kewajiban mencatatkan nikah, ketentuan menjatuhkan talaq di muka sidang pengadilan. Jadi, bila ada arrti pertama fikih adalah suatu cabang studi, maka dalam arti kedua, fikih adalah himpunan norma-norma yang menjadi objek kajian fikih dalam  arti pertama.  

3.  Hukum Syar’i

Hukum syar’i (hukum syara’, hukum syariah) secara harfiah berarti ketentuan, norma atau peraturan hukum islam, dan merupakan satuan dari syariah. Kumpulan dari satuan ketentuan atau peraturan ini membentuk syariah dalam arti sempit atau fikih (dalam arti hukum islam) seperti dijelaskan di atas. Oleh karena itu, istilah ini serng dipakai dalam bentuk jamak “hukum-hukum syarak”.

Secara teknis, dalam ilmu hukum islam , hukum syarak didefinisikan sebagai “sapaan alahi terhadap subjek hukum mengenai perbuatan atau tingkah lakunya, sapaan mana berisi tuntutan, perizinan atau penetapan.[3] Definisi ini mengandung dua hal : (i) bahwa hukum itu adalah sapaan ilahi yang tertuju kepada manusia sebagai subjek hukum menyangkut tingkah lakunya dan  (ii) bahwa hukum  yang merupakan sapaan ilahi itu berisi tuntutan, perizinan (pembolehan) atau penetapan.

Pernyataan bahwa hukum adalah sapaan ilahi ini menggambarkan dua hal.  Pertama,  dalam konsepsi ini hukum memiliki dasar-dasar keilahian dalam pengertian bahwa hukum itu bersumber kepada bimingan ddan tuntunan ilahi sebagimana dapat ditemukan dalam wahyu-Nya. Kedua,  hukum merupakan kata kerja, karena hukum dikonsepsikan sebagai suatu sapaan. Dalam hukum, menurut konsepsi ini, tuhan menyapa manusia mengenai tingkah lakunya , dan penyapaan tuhan itulah yang di sebut hukum. Setidaknya ini adalah konsepsi teoritisi hukum islam (ahli-ahli usul fikih). Sapaan ilahi itu bias berwujud mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan, atau membolehkan (mengizinkan) manusia sebagai subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan juga bisa berwujud menetapkan hubungan dua hal di mana yang satu menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Misalnya, dalam Alquran pembuat hukum syara’ menyapa manusia melalui firman-Nya, “wahai orang-orang beriman , penuhilah perjanjian-perjanjian,”[4] ayat ini adalah dalil hukum dan sapaan ilahi yang terkandung didalamnya adalah yang dimaksud dengan hukum. Sapaan pemuat hukum syar’ dalam ayat ini berwujud mewajibkan untuk memenuhi perjanjian; maka pewajiban­ – yang dalam istilah usul fikih disebut al-ijab – oleh pembuat hukum menurut konsepsi para teoritisi hukum islam.

            Dalam ayat lain, tuhan manyapa manusia melalui firman-Nya, “Janganlah kamu makan Riba yang berlipat ganda.”[5] Sapaan pembuat hukum syara’ dalam ayat ini wujudnya adalah pelarangan (pengharaman) kepada seseorang untuk makan riba berlipat ganda; maka pengharaman – yang dalam istilah usul fikih disebut at-tahrim – oleh Allah terhadap perbuatan makan riba secara berlipat ganda itu adalah hukum. Dalam suatu hadisnya. Nabi Saw, menyapa umatnya melalui sabda beliau, “ Penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur mampu menghalalkan diumumkan utangnya dan dijatuhi hukuman.”[6] Hadits ini adalah Dalil hukum dan isi yang terkandung didalamnya berupa sapaan ilahi adalah hukum. Sapaan ilahi dalam hadis ini wujudnya adalah menghubungkan  penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur mampu dengan kehalalan pengumuman utang dan penjatuhan hukuman di mana yang pertama (penunda-nundaan) ditetapkan  sebagai dari yang kedua (pengumuman atau hukuman). Penetapan sebagai sebab  oleh pembuat Hukum syara’ ini adalah hukum. Nabi Saw juga menyapa  umatnya dengan sabdanya, “Tiada sah nikah tanpa Wali”.[7]  Hadits ini merupakan dalil hukum dan isi yang terkandung didalamnya berupa sapaan ilahi melalui lidah Nabi-Nya adalah hukum. Sapaan tersebut berwujud penetapan wali sebagai syarat sahnya nikah, dan Penetapan sebagai Syarat  oleh pembuat hukum ini adalah hukum.

Dalam suatu hadis lain, Nabi Saw menyapa umatnya dengan sabdanya, “pembunuhan tidak mewarisi suatu apapun dari orang yang dibunuhnya.”[8] Hadis ini adalah dalil hukum dan isi yang terkandung didalam bagiannya berupa sapaan  ilahi adalah hukum. Sapaan ilahi dalam hadis ini wujudnya adalah bahwa pembuat Hukum menghubungkan  dua hal, yaitu peristiwa pembunuhan oleh ahli waris terhadap muwaris (pewaris yang meninggalkan harta warisan) dan hak mewarisi.    Hubunganya adalah bahwa peristiwa pembunuhan  itu ditetapkan  sebagai penghalang bagi pembunuh untuk menikmati hak memperoleh wrisan dari muwaris (pewaris yang meninggalkan harta warisan ) yang dibunuhnya; dan penetapan sebagai penghalang  oleh Pembuat Hukum ini adalah hukum. Secara keseluruhan, hukum adalah pewajiban  (al-ijab), pengharaman (at-tahrim), penganjuran (an-nadh), pemakruhann (al-karahah), pembolehan (al-ibahah) dan penetapan sebab (al-wadh’), syarat, atau penghalang oleh pembuatan hukum berkaitan dengan perbuatan manusia.

Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa para teoretisi  hukum islam mengonsepsikan hukum dalam arti kata kerja, karena hukum tidak lain dari tindakan Pembuat Hukum Syara’ berupa mewajibkan, malarang, menganjurkan, memakruhkan atau membolehkan subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan atau menetapkan kaitan dua hal dimana yang satu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Untuk menjelaskan ini beberapa teoretisi hukum islam meminjam kategori sepuluh Aristoteles dan mereka manyatakan bahwa hukum alam pengertian ushliyyin (teoretisi hukum islam) termasuk ke dalam kategori aksi (maqulah al-fi’l)[9]. hukum syara’ menurut para ahli ushul fikih termasuk kategori aksi, yang berarti bahwa hukum merupakan aksi tuhan menyapa manusia dengan mewajibkan , melarang mnganjurkan, memakruhkan atau membolehkan melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu atau menetapkan hubungan dua hal yang menyangkut manusia dimana yang satu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain.

Berbeda dengan para teoretisi hukum islam. Para Fuqaha (juris) mengonsepsikan hukum sebagi efek yang timbul dari sapaan ilahi, namun bukan aksi penyapaan itu sendiri. Dengan demikian, hukum menurut para ahli fikih (juris islam) termasuk kategori penderitaan, yaitu efek yang timbul dari adanya aksi tuhan menyapa tingkah laku manusia. Apabila pembuat hukum syara’ memerintahkan untuk memenuhi perjanjian (Qs 5: 1), maka efek dari perintah itu adalah bahwa pemenuhan perjanjian itu menjadi wajib, jadi, wajibnya (dalam bahasa arabnya disebut al-wujub) memenuhi perjanjian adalah hukum menurut para juris (fuqaha’). Apabila pembuat hukum Syara’ menetapkan bahwa aqad jual beli menjadi sebab pindahnya hak milik atas barang dari penjual kepada pembeli, maka berpindahnya hak milik atas barang  dari penjual kepada pembeli adalah ukum menurut konsepsi juris karena pindahnya hak milik itu merupakan efek dari penetapan pembuat hukum Syara’ bahwa Aqad manjadi sebab pepindahan hak milik.[10]

Meskipun tampak berbeda, kedua konsepsi hukum yang dikemukakan diatas, yaitu menurut para teoretisi (ahli-ahli usul fikih) dan menurut para juris hukum islam (ahli-ahli fikih) pada hakikatnya tidak berbedda pada substansinya, karena kedua pihak sama mengajui hukum itu sebagai sapaan ilahi. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang   masing-masing. Para teoretisi hukum islam melihat sapaan itu dalam kaitannya dengan penyapa, yaitu Pembuat Hukum Syara’, dengan demikian, hukum diartikan sebagai aksi-Nya dalam menyapa manusia. Sementara itu Para juris islam melihat sapaan itu dari segi efek yang ditimbulkannya terhadap perbuatan manusia.

Sebagi penutup dari analisis mengenai konsep hukum islam perlu dilihat kaitan hukum dengan otoritas politik. Lazimnya dalam konsepsi hukum positif, pengertian hukum dikaitkan kepada kekuasaan politik, karena hukum itu diartikan sebagai aturan perilaku yang didukung oleh sanksi memaksa yang ditentukan oleh kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara yang memerintahkan apa yang boleh atau terlarang untuk dilakukakan.[11] Dalam pengertian hukum islam, meskipun sangat penting untuk pelaksanaan dan penegakan hukum, otoritas kekuasaan politik pada tingkat Negara tidak merupakan bagian pokok dari konsepsi hukum. Penekanan konsepsi hukum dalam pengertian islam tidak lebih ditekankan pada the commands of the supreme power in a state,  melainkan lebih pada sapaan ilahi. Karena itu validitas suatu aturan sebagi hukum sangat ditentukan oleh sejauhmana ia merupakan pencerminan sapaan ilahi. Tetapi ini tidak berarti bahwa kekuasaan Negara tidak penting untuk menanami konsepsi hukum islam. Kekuasaan itu sangat penting sebagai srana pelaksanaan dan penegakan hukum syariah, tetapi tidak merupakan  unsure substansial dalam konsepsi hukum. Aturan-aturan yang dibuat oleh Negara bukan sama sekali tidak mendapat tempat dalam konsepsi hukum islam. Aturan-aturan itu juga penting dan biasanya ditempatkan di dalam dimain as-siasah asy-syar’iyyah.

B. Penjenjangan Norma-Norma Hukum Islam

Ahli-ahli hukum islam klasik membuat perjenjangan  norma-norma hukum islam menjadi dua tingkat, yaitu (1) al-ushul (asas-asas umum) dan (2) al-furu’ (peraturan-peraturan hukum konkret). Al-ushul (asas-asas umum) meliputi kategori yang luas sehingga mencakup juga norma-norma filosofis dasar yang menjadi tempat tegaknya kedua norma diatas. Oleh karena itu, menurut penulis, norma-norma hukum islam dapat dijenjangkan menjadi tiga lapis yaitu :

1). Nilai-nilai dasar atau norma-norma filosofis (al-qiyam al-asasiyyah)
2). Asas-asas umum ( al-ushul al-kulliyyah), dan
3). Peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah)

Ilmu-ilmu filosofis adalah nilai-nilai  dasar yang menjadi fondasi ajaran islam termasuk hukumnya seperti kemaslahatan , keadilan, persamaan, kebebasan, aqidah, akhlak, persaudaraan (al-ukhuwwah) dan seterusnya. Nilai-nilai dasar ini diterjemahkan agar menjadi lebih konkret dalam bentuk, dan sekaligus menjadi dasar darri  asas-asas umum yang merupakan norma-norma tengah. Asas-asas umum ini ada yang bersifat lepas yang disebut asas-asas hukum islam (An Nazariyyah Al-Fiqhiyyah) seperti asas-asas  yang berlaku dalam perjanjian, pidana, siyasah, dan seterusnya. Ada pula asas-asas umum yang dirumuskan secara singkat dan padat dalam rumusan yuristik dan inilah yang disebut kaidah-kaidah hukum islam atau al-qawa’id al fiqhiyyah seperti kaidah  “Adat kebiasaan adalah sumber hukum,” kaidah” pada asasnya perjanjian adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah perikatan yang mereka tetapkan melalui janji. “Kaidah” tidak ada perbuatan merugikan diri sendiri dan perbuatan merugikan orang lain. “Kaidah” kesukaran membawa kemudahan.” Dan seterusnya seperti yang disebutkan dala kitab-kitab kaidah hukum islam.

Peraturan hukum konkret adalah konkretisasi dan asas umum dan terwujud baik dalam ketentuan-ketentuan hukum  taklifi  seperti halal, haram, wajib sunnat, makruh dan mubah, maupun dalam ketentuan-ketentuan hukum wadh’i yang meliputi sebab, syarat, dan halangan. Contoh peraturan hukum konkret yang termasuk hukum taklifi  keharaman transaksi riba, wajibnya memenuhi perjanjian. Boleh menarik kembali ijab sebelum ada Kabul dari pihak yang kepadanya ijab tersebut ditujukan, dan seterusnya. Contoh peraturan konkret yang termasuk hukum wadh’i  adalah bahwa penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur mampu menghalalkan diumumkan namanya atau dijatuhi hukuman, kehadiran dua orang saksi  adalah syarat untuk dapatnya dilangsungkan aqad nikah secara sah, keadaan memaksa menjadi penghalang dilaksanakannya perjanjian, dan lain-lain seperti itu.

Ketiga lapisan norma ini tersusun secara  hierarkis di mana norma yang lebih abstrak dikonkretisasi dalam norma yang lebih konkret. Dengan kata lain, nilai-nilai dasar dikonkretisasikan dalam norma-norma antara, baik berupa asas-asas hukum islam (an nazhariyyat al fiqhiyyah) . maupun berupa kaidah-kaidah hukum islam (Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah).[12] Norma-norma tengah (asas-asas umum) hukum islam pada gilirannya dikonkretkan lagi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al fari’yyah). Misalnya, nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi umpamanya dalam norma tengah (asas umum) yang berupa kaidah hukum islam, yaitu antara lain kesukaran memberi kemudahan.[13]  Norma tengah ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret, misalnya dalam hukum perdata: debitur yang sedang menghadap perubahan keadaan yang memberatkan  dapat mengajukan perubahan klausul perjanjian kepada hakim.[14] Contoh kedua: nila dasar kebebasan dikonkretisasi dalam norma tengah , misalnya dalam asas hukum islam berupa asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyah at-ta’aqud),[15] dan asas kebebasan berkontrak ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk norma konkret, misalnya boleh  (mubah) hukumnya membuat aqad baru, seperti aqad sewa beli , asuransi (at-ta’min), sepanjang tidak melanggar ketertiban umum syara’ dan akhlak islam. Contoh ketiga : nilai dasar keadilan diejawantahkan dalam bidang hukum kewarisan dalam asas bahwa setiapa orang baik lelaki maupun wanita, mendapat bagian warisan dari peningggalan orang tua atau kerabatnya.[16] Asas ini dikonkretisasi lagi dalam peraturan hukum konkret berupa ketentuan mengenai rincian bagian masing-masing ahli waris . begitulah seterusnya.

Ragaan 1 : pelapisan norma hukum islam


I                                               Nilai-nilai filosofis/dasar
(al-qiyam al-asasiyyah)






II                      Norma-norma tengah/doktrin-doktrin umum hukum islam
(al-ushul al-kulliyyah)








Al-qawa’id al-fiqhiyyah                                  an-nazhariyyat al-fiqhiyyah









III                                Peraturan-peraturan hukum konkret
(al-ahkam al-far’iyyah)


[1] Ibn Manzhur, Lisan al –‘Arab (Mesir : ad-Dar al-Mishriyyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, t.t ), X: 40; Ibn ‘al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), I: 201.
[2] At-Tahanawi, Kasysyaf Ishthilahat al-Funun (Beirut: Syirkah al-Khayyath Li al-Kutub wa an-Nasyr, 1966), III: 759.
[3] Shard asy-Syari’ah, at-Taudhih fi Hal Gawamidh at-Tanqih (Kairo: Dar al-‘Ahd al-Jadid li Ath- Thiba’ah, 1957), I: 13-4. Teks Aslinya dalam Bahasa Arab Berbunyi,
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع
[4] Qs. 5:1. Teks aslinya berbunyi, . . . . . .يأيها الذين امنوا أوفوا بالعقود
[5] Qs. 3;129. Teks aslinya berbunyi,
يأيها الذين امنوا لا تأكلوا الربوا أضعافا مضاعفة
[6] Hadis ini diriwayatkan oleh an Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad. Teks diatas dikutip dari Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh Shidqi Muhammad Jamil (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 177, Hadis no.3628, Kitab al-Aqdhiyah.
[7] Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tarmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan Ad-Darimi. Teks ini diambil dari Abu Dawud, op. Cet.,I: 479, hadis no. 2085, Kitab an-Nikah.
[8] Hadis Mauquf Riwayat ad-Darimi dari Ibn ‘Abbas. Lihat Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi (Ttp: Dar al-Fikr li Ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at Tauzi’, t.t), II: 385. Ibn Majah meriwayatkan  hadits Marfu’ dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda القاتل لا يرث (pembunuh tidak mendapat warisan). Ibn Majah, op. Cit: 913, Hadis no.2735, “kitab Al-Fara’adh, Bab Mirats  al-Qatil.”
[9] Lihat Amir Badsyah, Taisir at-Tahrir (Beirut: dar al-Kutub al ‘Ilmiyyah, t.t), II: 134; dan al-Anshari , Fawatih ar-Rahamut bi Syarh Musallam ats-Tsubut, diterbitkan bersama al-Ghazali, al Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah , 1983), I: 59-60. Kesepuluh kategori Aristoteles dimaksud adalah Substansi, Kuantitas Relasi, Tempat, Waktu, Posisi, Milik, aksi, dan penderitaan. Lihat al-Ghazali, al-Maqashid al-Falasifah, edisi Sulaiman dunya (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t), hlm. 163-5 dan 170.
[10] Lihat Amir Badsyah, op. Cit., II: 129 dan 134.
[11] Davitt, the Element of Law (Wisconsin: Marquette University Press, 1977), hlm.5.
[12] Kaidah disini bukan dalam arti norma, tetapi dalam arti asas.
[13] Az-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Beirut: Dar al-Garbi al-Islami, 1983), hlm.105, kaidah no.16. teks Aslinya bebunyi المشقة تجلب التيسير
[14] Lihat uraian tentang keadaan memberatkan pada Bab XI B angka 3.
[15] Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam hukum Islam lihat az-Zurqa;, al-Fiqh al-Islami fi Tsaubihi al-Jadid (Damaskus:Mathabi’ Alifba al-Adib, 1968), I: 466. dan seterusnya.
[16] Sesuai dengan firman Allah dalam Alquran, “lelaki mendapat bagian (warisan) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka dan wanita pun mendapat bagian (warisan) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka . . .” (QS. 4: 7).

Tidak ada komentar: