View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

Manusia dalam al-Qur'an


 

Manusia dalam al-Qur'an

 

MANUSIA DALAM AL-QUR’AN*

Oleh Machnun Husein

Manusia dalam kitab suci Al-Qur’an disebut dengan lima macam istilah: basyar, Bani Adam, ins, nas dan insan. Dalam berbagai kamus dan Kitab Tafsir Al-Qur’an, istilah-istilah tersebut sering dianggap sama. Tetapi bila diperhatikan secara seksama, terutama dalam siyak Qur’aninya, akan terlihat bahwa masing-masing memi­liki makna konotatif yang berbeda satu sama lain.
Basyar dan Bani Adam

Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali, 25 di antaranya berkaitan dengan sifat-sifat manusiawi (basyari) yang dimiliki oleh para nabi dan rasul serta umat mereka. Dua di an­tara sifat-sifat tersebut yang secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an adalah makan makanan dan berjalan di pasar-pasar.[1] Selain itu juga disebut tentang kejadiannya dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk.[2] Dan ini berbeda dengan kejadian jin yang dicipta dari api yang sangat panas.[3]
Dengan demikian kata basyar itu digunakan oleh Al-Qur’an se­bagai nama jenis makhluk atau species, menurut istilah Biologi, yang memiliki sifat-sifat biologik yang berbeda dengan jin. Kare­na itu para nabi dan rasul serta umat mereka masing-masing ada­lah manusia biasa (basyar), bukan manusia luar biasa (super hu­man), jin, atau pun malaikat.
Lantas, termasuk species manakah manusia yang disebut basyar dalam Al-Qur’an itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa menurut Al-Qur’an,[4] basyar itu adalah makhluk yang dicipta dari tanah lihat yang ber­asal dari lumpur hitam yang diberi bentuk, dan kemudian disempur­nakan oleh Allah dengan meniupkan ruh-Nya kepadanya. Setelah itu Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepadanya, dan semua­nya mematuhi perintah itu kecuali iblis, karena dia merasa tidak sepantasnya menyembah makhluk yang dicipta dari bahan baku yang lebih hina. Dan itulah basyar pertama yang dicipta oleh Allah.
Dalam kaitan ini ada baiknya disimak firman Allah dalam Al-Qur’an Su­rat 2:30 yang artinya sbb.:

Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Se­sungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Para malaikat berkata, “Mengapa Engkau akan menjadikan [khali­fah] yang akan membikin kerusakan dan pertumpahan darah di sa­na, padahal kami senantiasa bertasbih, bertahmid dan bertaqdis terhadap-Mu?” Allah berfirman, “Aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui.”

Ins, Nas dan Insan

Selain basyar dan Bani Adam, Al-Qur’an juga menggunakan is­tilah-istilah ins dan nas. Kata ins senantiasa disebut secara berurutan dengan kata jin sebanyak 19 kali dalam 18 ayat, 14 di antaranya termasuk ayat-ayat Makkiyyah dan 4 lainnya adalah ayat-ayat Madaniyyah. Sedangkan kata nas disebut dalam Al-Qur’an seki­tar 240 kali. Menurut ‘A’isyah binti Syati’ dalam bukunya,[6] kata ins menunjukkan sifat manusia yang tidak liar dan ganas, sedangkan kata jin berarti tersembunyi, penuh misteri, li­ar, mengerikan dan sekaligus ganas. Dengan demikian kata ins me­nunjukkan perbedaan manusia dalam penampilannya dengan jin: ma­nusia adalah makhluk yang tampak dan tidak menakutkan sedangkan jin adalah makhluk yang tidak tampak (ghaib) yang mengerikan. De­ngan perkataan lain kata ins juga menunjukkan sifat dari basyar dan Bani Adam. Binti Syati’ juga menyatakan bahwa kata ins dan insan, yang kedua-duanya berasal dari huruf-huruf alif, nun dan sin, mempunyai pengertian yang sama sebagai makhluk biologik yang berbeda dengan jin yang liar atau dengan binatang. Namun sepan­jang keterangan Al-Qur’an, antara ins dan hayawan (binatang) ter­dapat kesamaan-kesamaan disamping perbedaan-perbedaan.
Adapun kata nas, menurut Binti Syati’, juga mempunyai penger­tian yang sama dengan Bani Adam, sebagai nama jenis atau species.[7] Ini berarti bahwa manusia yang disebut nas atau Bani Adam itu tidak berbeda satu sama lain: mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku sehingga satu sama lain dapat saling kenal-mengenal. Perbedaannya hanyalah pada ketaqwaan mereka terhadap Allah swt.[8]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya isti­lah-istilah basyar, Bani Adam, ins dan nas yang digunakan dalam Al-Qur’an lebih menekankan pada eksistensi manusia sebagai makh­luk biologik dengan ciri-ciri basyariyyah-nya. Atau dengan perka­taan lain, keempat kata tersebut lebih menampilkan manusia seba­gai objek, berbeda dengan istilah insan yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.

Insan

Kata insan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali dan bila disimak secara cermat, dari segi siyaknya, terlihat bahwa ia me­miliki makna yang berbeda dengan keempat istilah yang telah dise­but sebelumnya.
Memang ada keterkaitan antara manusia sebagai basyar dan ma­nusia sebagai insan sepanjang keterangan Al-Qur’an. Sebagai bukti dapat dikemukakan dua buah ayat Al-Qur’an dalam surat 15:26 dan 28 yang sama-sama menyatakan bahwa manusia dicipta dari tanah li­at yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Ayat 26 menggunakan istilah insan sedangkan ayat 28 menggunakan istilah basyar. Bukti lain terdapat dalam Al-Qur’an Surat 25:54 dan Surat 32:7 dan 8. Pada surat 25:54 dinyatakan bahwa manusia (basyar) dicipta da­ri air, sedangkan pada surat 32:7-8 dinyatakan bahwa keturunan manusia (insan) dicipta dari saripati air yang hina.
Ini berarti bahwa insan itu juga basyar, tetapi dalam kata insan itu terkandung makna yang lebih esensial dan signifikan, yaitu manusia yang berpribadi, yang karenanya dia mampu mengemban khilafah atau amanat Allah di muka bumi. Dengan perkataan lain, insan adalah manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek sebagai­mana dinyatakan dalam keempat istilah yang disebut sebelumnya.
Untuk mengenali ciri-ciri kemanusiaan (insaniyyah) manusia yang disebut insan ini barangkali bisa disimak firman Allah dalam Al-Qur’an Surat 96:1-8 sebagai berikut:

Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah mencipta. Mencipta ma­nusia dari `alaq. Bacalah dan tuhanmu Maha Mulia. Yang telah mengajar dengan perantaraan kalam. Mengajar manusia apa yang belum diketahuinya. Tetapi ketahuilah, manusia itu cenderung membangkang. [Lantaran] manusia menganggap dirinya serba kecu­kupan [dan tidak memerlukan bantuan]. [Padahal] kepada tuhanmu­lah kamu akan kembali.

Pada ayat-ayat tersebut kata insan diulang sebanyak tiga ka­li. Pertama, pada ayat 2 dengan menekankan pada asal-usul kejadi­annya, yaitu ‘alaq atau embryo yang menempel [pada rahim wanita]. Kedua, pada ayat 5 dengan menekankan keistimewaannya karena me­nerima ilmu dari Allah swt. Dan ketiga, pada ayat 6 dengan peri­ngatan bahwa manusia itu cenderung membangkang karena merasa di­rinya tidak memerlukan bantuan dari siapa pun, termasuk dari Allah swt., penciptanya, padahal kepada-Nya jualah dia akan kemba­li. Dari siyak ayat-ayat tersebut kiranya dapat disimpulkan bah­wa manusia yang disebut insan itu seharusnya menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Allah, bahwa ilmu serta kemampuan yang dimilikinya ber­sumber kepada Allah, dan dia pada akhirnya akan kembali kepada Allah juga. Kesadaran itulah yang merupakan ciri-ciri insaniyyah manusia yang disebut insan itu. Bila salah satu di antara kesada­ran-kesadaran itu hilang, berarti hilang pulalah insaniyyah-nya.
Menurut Al-Qur’an,[9] insan itu dicipta Allah da­lam kondisi yang paling baik, tetapi karena kecenderungannya un­tuk membangkang dan sombong, Allah secara berangsur-angsur mencam­pakkannya ke dalam kondisi yang paling buruk, kecuali bila mereka beriman dan beramal saleh. Posisi dan fungsi iman dan amal saleh – yang juga dikenal sebagai `aqidah dan syari‘ah – itu ternyata begitu penting sehingga dalam Al-Qur’an kedua kata tersebut di­sebut secara berurutan sebanyak 83 kali. Menurut pendapat Mahmud Syaltut dalam bukunya,[10] penyebutan secara berurutan sebanyak itu menunjukkan bahwa orang beriman yang mengabaikan syari‘ah [amal saleh] atau mengamalkan syari`ah [amal saleh] tetapi tidak beriman, di mata Allah, sama sekali bukan Muslim.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia dalam Al-Qur’an disebut dengan bermacam-macam istilah yang masing-ma­sing memiliki makna konotatif tersendiri sesuai dengan siyaknya dalam Al-Qur’an. Manusia dalam Al-Qur’an disebut sebagai objek dan sekaligus subjek. Sebagai objek, manusia memiliki ciri-ciri basyariyyah dan sebagai subjek, memiliki ciri-ciri insaniyyah, tetapi ciri-ciri insaniyyah ini secara berangsur-angsur bisa han­cur karena kecenderungannya untuk membangkang dan sombong. Untuk menghindari kehancuran itu manusia wajib beriman dan beramal sa­leh. Salah satu bentuk pengabdiannya kepada Allah dan amal sa­lehnya adalah menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di mu­ka bumi.***




FASE EMBRIO MENURUT ALQURAN
Diskusi dengan Profesor Georinger membawa kami untuk berbicara tentang fakta bahwa penemuan baru-baru ini menghapuskan beberapa kontroversi. Meskipun kelahiran Nabi Isa itu suci yang telah menjadi kepercayaan orang-orang Nasrani selama berabad-abad, beberapa di antara umat Nasrani bersikeras bahwa Nabi Isa harus memiliki seorang ayah, sebagai kelahiran yang suci “secara ilmiah adalah hal yang tidak mungkin”. Mereka memperdebatkan hal ini dan kemungkinan mereka tidak tahu, bahwa ada kemungkinan penciptaan tanpa seorang ayah. Al-Quran menjawab mereka dan memberikan contoh penciptaan Nabi Adam AS. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. “ (QS Ali Imran : 59)
Ada tiga tipe penciptaan:
1. Nabi Adam AS diciptakan tanpa seorang ayah maupun ibu.
2. Hawa diciptakan tanpa seorang ibu.
3. Nabi Isa AS diciptakan tanpa seorang ayah.
Oleh karena itu, hanya Allah yang bisa menciptakan Adam tanpa seorang ayah maupun ibu yang juga bisa menciptakan Nabi Isa AS dari seorang ibu tetapi tanpa seorang ayah. Namun demikian, umat Nasrani masih melanjutkan perdebatan mereka meskipun Allah telah mengirim bukti petunjuk kepada mereka setelah adanya bukti. Kemudian, ketika mereka tetap memper­tahankan kontroversi ini, mereka menjawab bahwa mereka tidak pernah melihat atau mendengar seseorang yang diciptakan tanpa seorang ayah dan seorang ibu. Tetapi ilmu pengetahuan modern sekarang telah mengungkapkan bahwa beberapa binatang yang ada di muka bumi ini dilahirkan dan direproduksi tanpa perbuatan dari spesies jantan. Sebagai contoh, lebah jantan memiliki telur tidak lebih dari satu yang mana telur tersebut tidak dibuahi oleh pejantan, sedangkan telur yang dibuahi pejantan itu berfungsi sebagai betina. Lagi pula, lebah jantan diciptakan dari telur ratu tetapi tidak mengalami pembuahan dari pejantan. Ada beberapa contoh lain selain contoh binatang ini di muka bumi. Terlebih Iagi manusia sekarang memiliki peralatan ilmiah yang membangkitkan semangat telur betina dari beberapa organisme untuk itulah telur ini berkembang tanpa pembuahan dari pejantan.


MANUSIA MENURUT ALQURAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik dan paling sempurna di muka bumi ini.Karena manusia oleh allah telah di bekali dengan akal yang membedakannya dengan makhlu-makhluq tuhan yang lainnya ,dengan akalnya manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil , antara yang pantas dan tidak pantas di lakukan , bahkan seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan hukum agamapun dengan bekal akal dan hati nuraninya bisa merasakan dan membedakan antara yang benar dan yang salah, karena tujuan penciptaan manusia memang untuk menjadi khalifah di muka bumi .
Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.

Namun dalam makalah ini kami akan membahas tentang manusia dari berbagai segi dan sudut karena manusia terdiri dari jisim dan roh ( jasmani dan Rohani ) ,setiap manusia mempunyai keunikan tersendiri sehingga antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak pernah ada yang sama ,baik dalam segi fisik ataupun kejiwaannya, karena setiap manusia unik secara fisik sehingga setiap manusia mempunyai sidik jari yang berbeda dengan yang lainnya ,dan juga unik secara mental dan kejiwaannya ,sehingga setiap manusia mempunyai karakter yang unik yang berbeda dari yang lainnya
Manusia diciptakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga unsur padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal (intelektua), dan unsur jasmani.Ketiga unsur ini berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur dengan unsur yang lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia adalah Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bentuk dan perbuatan. jika jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia tidak dapat dipakai dalam arti manusia yang hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya saja yang berbuat atau jiwanya saja, melainkan keduanya sekaligus. Secara lahiriyah memang raganya yang berbuat yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa [Sukirin, 1981 : 17-18].
Jadi unsur yang terdapat dalam diri pribadi manusia yaitu rasa, akal, dan badan harus berjalan seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan pincang. Sebagai contoh : apabila manusia yang hanya menitik beratkan pada memenuhi fungsi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus dan tergelan dalam kehidupan spritualistis saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi tidak penting. Apabila manusia hanya menitik beratkan pada fungsi akal [intelektual] saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang dapat diterima oleh akal itulah yang dapat diterima kebenarannya. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan [ilusi] semata-mata. Selain perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani atau badaniah, cenderung kearah kehidupan yang meterialistis dan positivistis. Maka Al-Qur’an memberikan hudan kepada manusia, yaitu mengajarkan agar adanya keseimbangan antara unsur-unsur tersebut, yaitu unsur perasaan terpenuhi kebutuhannya, unsur akal juga terpenuhi kebutuhannya, demikian juga unsur jasmani terpenuhi kebutuhannya [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 8].
Manusia di ciptakan dengan rancangan yang sangat sempurna dan berbeda dari makhluq yang lainnya karena tujuan penciptaan manusia sebagai Kholifah di muka bumi ini. Sebagaiman firman alloh dalam surat Al-baqarah
30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Berbicara tentang fungsi manusia menurut al-Qur’an, apabila memperhatikan surah al-Mukminun : ayat 115
115. Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?
dapat ditemukan dalam konteks ayat tersebut, bahwa “manusia adalah makhluk fungsional dan bertanggungjawab”. Artinya manusia
berfungsi terhadap diri pribadinya, berfungsi terhadap masyarakat, berfungsi
terhadap lingkungan, dan berfungsi terhadap Allah Sang Pencipta Manusia.
1. asal kata manusia menurut al-quran
Dalam al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyah serta persamaanya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan seperti yang terungkap pada al-Qur’an.
110. Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
(Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110)
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasa-yanusu (terguncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan.
Yang jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut al-Qur’an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiwa, dan dengan cara ini mengingat kita akan pentingnya jiwa manusia itu ungkapan tanda-tanda dan jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan sebagai berikut :
53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.

KRISIS MORAL DAN KEPRIBADIAN
Kita hidup dalam sebuah dunia yang gelap, dimana setiap orang meraba-raba, namun tidak menemukan denyut nurani, tidak merasakan sentuhan kasih, dan tidak melihat sorot mata persahabatan yang tulus, dalam hal ini masyarakat mungkin mengalami krisis moral. Krisis moral dapat ditandai oleh dua gejala yaitu tirani dan keterasingan. Tirani merupakan gejala dari rusaknya perilaku sosial, sedangkan keterasingan menandai rusaknya hubungan sosial.

Penyebab terjadinya krisis moral adalah :

1. Adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks antarnilai, misalnya etika dan estetika

2. Hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya

3. Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral

4. Lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis pendidikan moral
Krisis moral ini menimbulkan begitu banyak ketidakseimbangan di dalam masyarakat yang tentunya tidak membuat masyarakat bahagia. Maka solusi yang sangat tepat bagi masalah ini hanya satu yaitu : Kembali menempuh jalan Allah, kembali kepada jalan islam. “Maka, barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 38)
Akhlak Dalam Semua Sisi Kehidupan
Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia itu.
Akhlak = Iman + Amal Shalih
Maka akhlak Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki individu manusia dan merekonstruksi visi, membangun mentalitas, serta membentuk akhlak dan karakternya. Demikianlah, Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki masyarakat manusia dan mereformasi sistem, serta membangun budaya dan mengembangkan peradabannya.
Walaupun islam merinci satuan akhlak terpuji, namun dengan pengamatan mendalam, kita menemukan satuan tersebut sesungguhnya mengakar pada induk karakter tertentu. Sedangkan akhlak tercela seperti penyakit syubhat dan syahwat, sama bersumber dari kelemahan akal dan jiwa.

Pembentukan prilaku

Faktor-faktor pembentuk perilaku antara lain :
Faktor internal :
Instink biologis, seperti lapar, dorongan makan yang berlebihan dan berlangsung lama akan menimbulkan sifat rakus, maka sifat itu akan menjadi perilaku tetapnya, dan seterusnya
Kebutuhan psikologis, seperti rasa aman, penghargaan, penerimaan, dan aktualisasi diri
Kebutuhan pemikiran, yaitu akumulasi informasi yang membentuk cara berfikir seseorang seperti mitos, agama, dan sebagainya
Faktor eksternal
Lingkungan keluarga
Lingkungan sosial
Lingkungan pendidikan
Islam membagi akhlak menjadi dua yaitu :
fitriyah, yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang yang dengannya ia diciptakan, baik sifat fisik maupun jiwa.
Muktasabah, yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun diperoleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman
Proses pembelajaran
Dalam konsep Islam, karakter tidak sekali terbentuk, lalu tertutup, tetapi terbuka bagi semua bentuk perbaikan, pengembangan, dan penyempurnaan, sebab sumber karakter perolehan ada dan bersifat tetap. Karenanya orang yang membawa sifat kasar bisa memperoleh sifat lembut, setelah melalui mekanisme latihan. Namun, sumber karakter itu hanya bisa bekerja efektif jika kesiapan dasar seseorang berpadu dengan kemauan kuat untuk berubah dan berkembang, dan latihan yang sistematis.
Tahapan perkembangan perilaku

Tahap I (0 – 10 tahun)
Perilaku lahiriyah, metode pengembangannya adalah pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan (hukuman), indoktrinasi
Tahap II ( 11 – 15 tahun)
Perilku kesadaran, metode pengambangannya adalah penanaman nilai melalui dialog, pembimbingan, dan pelibatan
Tahap III ( 15 tahun ke atas)

Kontrol internal atas perilaku, metode pengembangannya adalah perumusan visi dan misi hidup, dan penguatan tanggung jawab kepada Allah swt
Ambivalensi Kejiwaan Manusia

Ambivalensi adalah dua garis jiwa yang berbeda bahkan berlawanan, namun saling berhadapan. Fungsinya :

Merekatkan sisi-sisi kepribadian manusia tetap utuh
Memperluas wilayah kepribadian manusia dengan tetap menjaga pusat keseimbangannya
Menjaga dinamika perkembangan jiwa manusia
Seseorang akan memiliki tingkat kesehatan mental yang baik, jika garis jiwa yang ambivalen berjalan dan bergerak secara harmonis, seakan simfoni indah orkestra handal. Maka langkah yang harus ditempuh agar simfoni tersebut mengalun indah dan harmonis adalah :
Atur posisi dan komposisi garis jiwa itu secara benar, dan hilangkan semua kecenderungan jiwa yang salah
Berikan atau tentukan arah kecenderungan jiwa secara benar dan natural.
Lihat ekspresinya dalam bentuk sikap dan perilaku kesehariannya
Garis jiwa yang ambivalen ada dalam diri manusia sejak ia lahir sampai ia mati, melekat, dan mewarnai semua sisi kehidupannya. Walaupun demikian, tetap ada perbedaan mendasar tentang objek dan alasan yang melahirkan garis jiwa menjadi perilaku, pada tahapan usia yang berbeda pula.
Pembentukan Kepribadian
Kepribadian terbentuk setelah melalui proses :
Adanya nilai yang diserap seseorang dari berbagai sumber, mungkin agama, ideologi, dan sebagainya
Nilai membentuk pola pikir seseorang yang secara keseluruhan ke luar dalam bentuk rumusan visinya
Visi turun ke wilayah hati dan membentuk suasana jiwa yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk mentalitas
Mentalitas mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap
Sikap yang dominan dalam diri seseorang secara kumulatif mencitrai dirinya adalah kepribadian
Tiga langkah merubah karakter

1. Terapi kognitif
Cara yang paling efektif untuk memperbaiki karakter dan mengembangkannya adalah dengan memperbaiki cara berfikir
Langkah :
Pengosongan, berarti mengosongkan benak kita dari berbagai bentuk pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari segi agama maupun akal yang lurus
pengisian, berarti mengisi kembali benak kita dengan nilai-nilai baru dari sumber keagamaan kita, yang membentuk kesadaran baru, logika baru, arah baru, dan lensa baru dalam cara memandang berbagai masalah
Kontrol, berarti kita harus mengontrol pikiran-pikiran baru yang melintas dalam benak kita, sebelum berkembang menjadi gagasan yang utuh

Doa, berarti bahwa kita mengharapkan unsur pencerahan Ilahi dalam cara berfikir kita
2. Terapi mental
Warna perasaan kita adalah cermin bagi tindakan kita. Tindakan yang harmonis akan mengukir lahir dari warna perasaan yang kuat dan harmonis
Pengarahan, berarti perasaan-perasaan kita harus diberi arah yang jelas, yaitu arah yang akan menentukan motifnya. Setiap perasaan haruslah mempunyai alasan lahir yang jelas. Itu hanya mungkin jika perasaan dikaitkan secara kuat dengan pikiran kita
Penguatan, berarti kita harus menemukan sejumlah sumber tertentu yang akan menguatkan perasaan itu dalam jiwa kita. Ini secara langsung terkait dengan unsur keyakinan, kemauan, dan tekad yang dalam yang memenuhi jiwa, sebelum kita melakukan suatu tindakan.
3. Perbaikan fisik
Sebagaimana ahli kesehatan mengatakan bahwa dasar-dasar kesehatan itu tercipta melalui perpaduan yang baik antara tiga unsur :
Gizi makanan yang baik dan mencukupi kebutuhan
Olahraga yang teratur dalam kadar yang cukup
Istirahat yang cukup dan memenuhi kebutuhan relaksasi tubuh
Hadist riwayat Imam Ahmad :
Rasulullah berkata, “Inginkah kalian kuberitahu tentang siapa dari kalian yang paling kucintai dan akan duduk di majelis terdekat denganku di hari kiamat?”
Kemudian Rasul mengulanginya sampai tiga kali, dan sahabat menjawab “Iya, ya rasulullah !” Lalu rasul bersabda, “Orang yang paling baik akhlaknya.”

Tidak ada komentar: