F.
MEKANISME DAN
PROSES PARANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. KONSEP PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut Achmad Ruslan (2005: 105), bahwa dalam kaitan dengan konsep
perancangan suatu peraturan perundang-undangan, maka dapat dikemukakan dua
pendapat ahli, yaitu :
1. Reed
Dickreson
Reed Dickreson mengemukakan (Hariningsih, 2000:4-7) mengenal
langkah-langkah dalam perancangan peraturan perundang-undangan meliputi sebagai
berikut :
a. Langkah-Langkah
Kebijakan Substansi, yakni :
1). Mengetahui apa yang diinginkan
klien
Tahap ini seseorang perancang harus dapat mengembangkan esensi kebijakan
yang kadang-kadang sangat kabur, untu diterjemahkan kedalam ketentuan yang
disusun secara terpadu. Dalam praktek tahap ini biasanya diawali dengan
kegiatan melakukan penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian
dokumen atau bahan-bahan kepustakaan.
2). Menyelidiki kerangka hukum.
Di dalam tahap ini seseorang perancang harus menganalisis semua
instrument hukum yang berkaiatan untuk mengetahui apakah ada yang harus diubah,
dicabut, atau ditambah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih
atau ketidak konsistenan pengaturan suatu UU (peraturan) terhadap UU
(peraturan) lain (oleh penulis, kata UU tersebut diatas dapat dianalogikan
dengan suatu perda atau peraturan perundang-undangan lainnya).
3). Mengembangkan rencana organisasi.
Di dalam tahap ini, perancang harus memilih konsep yang tepat dan
kemudian mencocokkan antara konsep yang satu dengan yang lain. Tahap ini adalah
tahap yang paling sulit bagi seorang perancang, karena harus menutup
celah-celah, tumpang tindih, atau pertentangan satu sama lainnya, serta aspek
yang mutlak diperhatikan aspek yuridis, filosofis, sosiologis, dan politis.
b. Langkah-Langkah
dalam Komposisi
1). Membuat draft pertama.
Didalam tahap ini perancangan baru membuat sketsa atau outline
untuk menuangkan pokok-pokok pikiran tersebut, selanjutnya dimintakan pendapat
dari pihak lain yang terkait.
2). Revisi.
Di dalam tahap ini, perancang penyusun ulang outline dengan memasukkan pendapat pihak lain, untuk
disusun lebih rinci, dalam rumusan pasal-pasal yang lebih konkret.
3). Dikonsultasikan pada pihak yang ahli di bidangnya.
Di dalam taahap ini, perancang harus melakukan konsultasi dengan para
ahli sesuai bidangnya. Dalam praktek tahap ini dilakukan , berupa :
-
Seminar
-
Lokakarya; atau
-
Panel Diskusi
4). Mengadakan penghalusan
Pada tahap ini, perancang melakukan draft final (penghalusan
konsep), yakni dengan merangkum pendapat dan hasil seminar dan sebagainya.
2. Robert B.
Seidman
Konsep yang diajukan oleh Seidman, yaitu bahwa dalam rangka merancang
peraturan perundang-undangan yang dapat mengatasi masalah sosial, maka intinya
ada dua tahap yang ditempuh dalam merancang peraturan perundang-undangan, yaitu
: pertama, tahap penelitian yang ditindak lanjuti dengan laporan penelitian;
dan kedua tahap penyusunan Draft peraturan perundang-undangan.
a. Tahap Penelitian
Suatu hasil laporan penelitian dari seorang pembuat
rancangan harus menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan
bahwa rancangan UU yang diusulkan bertumpu pada dasar pemikiran berdasarkan
pengalaman.
Untuk maksud-maksud mengembangkan perundang-undangan
supaya dapat mengatasi masalah-masalah sosial,
maka pemecahan masalah terdiri dari empat langkah yang masing-masing
berdasarkan fakta-fakta yang terkait dan dihubungkan dengan logika.
Pada tahap ini ada empat langkah, sebagai berikut :
1). Mengenali masalahnya.
Langkah ini dimulai dengan persepsi dari pembuat
keputusan tentang suatu masalah, yang mengilhami proses pembuat rancangan.
Laporan hasil penelitian dari pembuat UU harus melalui dengan menggunakan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesis
deskriptif/gambar manifestasi, dari masalah tersebut membuat rancangan UU yang
efektif harus menyebutkan perilaku siapa dan yang bagaimana yang digambarkan
masalah tersebut, dengan demikian harus mengenali peran pelaku-pelaku sosial
terkait yang perilakunya merupakan masalah sosial yang akan dicoba untuk
diperbaiki melalui UU.
2). Mengusulkan dan menjamin penjelasannya.
Laporan hasil penelitian harus sistematis mengusulkan
dan menguji pilihan-pilihan hipotesis penjelasan sebab-sebab perilaku
bermasalah dan pelaku peran. Untuk membenarkan hipotesis tersebut, laporan
harus menyatakan/mengemukakan bukti-bukti yang menunjukkan faktor-faktor khusus
yang menyebabkan perilaku bermasalah tersebut.
3). Pengusulan solusi.
Setelah langkah kedua diketahui, maka usulan mengenai
sebab-sebab perilaku yang ada dengan memperkirakan perilaku selanjutnya
sepanjang sebab-sebab yang sama dan hanya sebab-sebab tersebutlah yang berlaku,
maka perilaku tersebut kemungkinan akan
berlanjut terus sehingga harus dikaji rangkaian tindakan-tindakan perundang-undangan termasuk rincian
pelaksanaannya, yang secara logis mungkin dapat mengubah/menghilangkan
sebab-sebab perilaku yang bermasalah dan mendorong perilaku ke arah yang lebih
diinginkan. Di dalam laporan tersebut dicantumkan (solusinya), mengenai
ketentuan-ketentuan yang mana saja yang harus dimaksudkan dalam suatu
rancangan. Untuk itu solusi yang diajukan harus mempertimbangkan akibat sosial
dan ekonomi serta dampak sosialnya terhadap kelompok dan kepentigan yang tidak
ikut dalam proses pengambilan keputusan.
4). Memantau dan menilai pelaksanaan.
Tidak ada satupun UU yang seefektif mungkin sebagaiman
yang direncanakan karena keadaan akan
berubah secara terus menerus (dinamis). Terutama dalam masa transisi. Setelah diundangkan dan dilaksanakannya suatu
UU, maka para pembuat UU harus memantau dan menilai pelaksanaannya, oleh karena
itu pembuat UU memerlukakan masukan untuk menentukan apakah pemegang peran
termasuk lembaga pelaksana yang ditunjuk berperilaku sebagaimana yang
ditentukan dan menghasilkan akibat yang diharapkan.
Langkah kedua dan keempat merupakan kesinambungan yang
penting yang mendukung logika pemecahan masalah. Di dalam langkah kedua pembuat
rancangan merumuskan dan menguji penjelasan yang dimaksudkan untuk menjelaskan
perilaku yang bermasalah (Seidman, 2001 : 111-116).
Untuk mengidentifikasi kategori yang memungkinkan membantu menjelaskan
perilaku-perilaku yang bermasalah yang dibutuhkan untuk merancang peraturan perundang-undangan
yang efektif suatu teori perundang-undangan memilahnya kedalam
kategori yang lebih sempit, yaitu : peraturan ( Rule), kesempatan (opportunity),
kemampuan (capacity), komunikasi (communication), kepentingan (interest),
proses (process), ideology (ideology).
Bersama dengan kategori ini di singkat “ROCCIPI”. (Dalam teks asli ROCCIPI berasal dari
kata Rule, opportunity, capacity, comunicatiaon, interest, process, and
ideology). (Seidman, 2001: 117).
Untuk menulis suatu bagian penjelasan dan laporan penelitian, seorang penyusun ranvangan UU harus memeriksa semua kategori ROCCIPI
untuk mendapatkan masukan tentang proposisi penjelasan yang dapat diuji dan
saling berkaitan. Selanjutnya hipotesis-hipotesis tersebut membantu menyusun
rancangan dalam melakukan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan guna
mendapapatkan bukti tentang penyebab dan perilaku tersebut.
Kategori-kategori ROCCIPI dapat
dipilih menjadi dua kelompok, faktor panyebab, yaitu faktor subjektif dan
objektif. Faktor subjektif yaitu : (a) kepentingan (atau interest) kategori ini
mengacu pada pandangan pelaku peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka
sendiri. Hal ini termasuk bukan hanya inisiatif materiil akan tetapi inisiatif
non materiil, seperti penghargaan dan acuan kelompok berkuasa. Focus pada
penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya menghasilkan tindakan perundang-undangan yang menerapkan tindakan
motivasi kearah kesesuaian bersifat langsung – Hukum dan Penghargaan – yang
dirancang untuk mengubah kepentingan-kepentingan tersebut. Akan tetapi, perilaku-perilaku
sosial jarang memperhitungkan hukuman tertulis dari suatu UU. Tanggapan mereka
tergantung pada apa yang mereka harapkan
akan dilakukan oleh badan pelaksana.
Sebuah kata peringatan: muadah sekali bagi orang untuk mengembangkan
kategori “kepentingan”, sehingga mencakup semua penjelasan yang mungkin untuk
perilaku tersebut. Dengan melakukan hal tersebut, sebagaimana yang telah kita
lihat sebelumnya, mereka melepaskannya dari penjelasannya. Bila “kepentingan” berpadu pada kategori
penjelasan lainnya maka hal tersebut tidak lebih baik dari kategori yang
terlalu luas dan hambatan dari sumber daya Dan keadaan pelaku peran.
Kategori-kategori ROCCIPI bertujuan untuk membantu para penyusun rancangan UU
untuk menentukan kemungkinan penyebab yang saling berkaitan dari pelaku yang
bermasalah; (b). ideology (nilai dan sikap). Ideology merupakan kategori
subjektif kedua yang mencakup motivasi-motivasi subjektif dari palaku yang
tidak tercakup dalam kepentingan. Motivasi tersebut termasuk mulai dari nilai,
sikap, dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia kepercayaan
keagamaan, dan ideology politik, sossial dan ekonomi yang mendorong bagi pelaku
peran sehingga melakukan (berperilaku bermasalah).
Faktor objektif terdiri dari : (a). peraturan; (b) kesempatan; (c)
kemampuan; (d). komunikasi; dan (e). proses.
3).
Regulatory Impact Assessments (RIA)
Perkembangan terakhir (tahun 2003) mengenai upaya dari berbagai Negara
untuk menciptakan suatu peraturan yang efektif/mencapai tujuannya, telah
diterbitkan suatu konsep yang berfungsi sebagai kontrol kualitas produk
perundang-undangan yang diberi nama
Regulatory Impact Assessments (RIA) yang merupakan hasil rumusan dari Best
practices (Praktik-Praktik terbaik) yang diterapkan oleh berbagai Negara.
Berbagai Negara, baik Negara barat maupun bekas blok Uni soviet saan ini tengah
melakukan reformasi regulasi seperti AS, Kanada, Inggris. RIA menggunakan
tahapan sebagai berikut :
1). Perumusan masalah atau Issue yang menimbulkan
kebutuhan untuk menerbitkan suatu kebijakan (melakukan tindakan);
2). Identifikasi tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai dengan kebijakan tersebut; tahapan ini disebut penilaian Risiko (Risk
Assessments);
3). Identifikasi berbagai alternatif tindakan (opsi)
untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut;
4). Assessments atas manfaat dan biaya (keuntungan
dan kerugian) untuk setiap opsi, dilihat dari sudut pandang pemerintah
masyarakat, pelaku usaha, konsumen, dan ekonomi secara keseluruhan;
5). Konsultasi dan komunikasi dengan Stakeholder,
dalam semua tahapan tersebut;
6). Penentuan opsi terbaik (yang dipilih) : dan
7). Perumusan strategi untuk menerapkan dan merevisi
kebijakan. (Takuji Kameyama, Dkk, 2003: 25-27).
Sesuai dengan teori dan metode perundang-undangan yang mendasarinya, maka
pendekatan maslah bentuk dalam perundang-undangan ini berpijak pada dua
preposisi : pertama, bahwa isi
memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk; dan kedua, bahwa kriteria utama untuk menilai
bentuk-bentuk alternative untuk suatu
rancangan UU dan beberapa komponennya terdiri dari kegunaannya bagi para
pengguna rancangan undang-undang.
Bentuk suatu undang-undang ini, berpijak pada akibat wajar bahwa sebuah
undang-undang mempengaruhi perilaku secara paling efektif ketika para pihak
yang dituju memehaminya. Proposisi tersebut mendasari praktik penyusunan
rancangan undang-undang yang modern yang
bertujuan untuk mencapai kejelasan dan
mempermudah pemahaman kelompok-kelompok yang diharapkan menggunakan
undang-undang tersebut. Hal tersebut
tidak berarti bahwa rancangan undang-undang harus mudah dibaca seperti halnya
novel biasa., akan tetapi banyak rancangan
undang-undang tidak terhindar dari masalah-masalah rumit. Oleh karena
itu, para perancang harus merumuskannya dengan cara merangkai kata-kata dalam
suatu bentuk yang mudah bagi pengguna
rancangan undang-undang itu atau paling tidak semudah mungkin.
Teori perundang-undangan mengajarkan bahwa untuk menangani suatu masalah
sosial dengan cara yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih diperlukan enam
jenis ketentuan normative. Yang pertama, memberitahukan kepada para pelaku
peran utama apa yang mereka lakukan, apa yang dapat mereka lakukan atau apa
yang tidak boleh mereka lakukan. Kedua, jenis ketentuan berikut memberikan tiga
macam perintah yang sama kepada para pejabat badan pelaksana. Pertama,
menginformasikan kepada para pejabat tentang jenis tindakan yang mendorong,
penyesuaian untuk mereka laksanakan dan yang kedua, menentukan kriteria dan
prosedur yang harus digunakan oleh para pejabat dalam memutuskan apakah akan
dan bagaimana cara untuk melaksanakan tindakan-tindakan tersebut. Ketentuan
selanjutnya memberikan serangkaian perintaah yang serupa kepada para pejabat
yang terlibat dalam sistem penyelesaian sengketa.
Di dalam suatu undang-undang terdiri atas pengelompokan-pengelompokan
yang keseluruhannya berisi enam jenis norma yang merupakan acuan untuk
pengelompokan dan pengurutan, yaiut sebagai berikut: (a) ditujukan kepada pihak
utama/pemeran utam (role occupant); (b) ditujukan kepada badan
pelaksana/penegak hukum (implementing agency); (c) menentukan
tindakan-tindakan yang mendorong kearah
penyesuaian (sanksi); (d) tentang sistem penyelesaian sengketa; (e) menetapkan
ketentuan-ketentuan pembiayaan; dan (f) menyangkut masalah-masalah teknis.
Daftar tersebut memberikan
pemeriksaan awal untuk menginformasiakan kepada para penyusun untuk secara
bergantian memusatkan perhatian mereka kepada masing-masing ketentuan tersebut guna menentukan apa saja yang akan dimasukkan ke dalam rancangan
undang-undang (Seidman, 2001 :266).
Sistem baku untuk menentukan susunan rancangan undang-undang yaitu,
sebagai berikut:
- Bagian UMUM.
- Suatu bagian UNDANG-UNDANG yang menetapkan perilaku yang menggambarkan perilaku pelaku peran.
- Suatu bagian PELAKSANAAN yang menggambarkan perilaku lembaga pelaksana.
- suatu bagian SANKSI yang menentukan hukuman atau tindakan-tindakan pendorong kepatuhan yang berkaitan dengan perilaku yang ditetapkan.
- Suatu bagian PENYELESAIAN PERSELISIHAN yang memberikan ketentuan penyelesaian perselisihan berdasarkan undang-undang tersebut.
- Suatu bagian PENYALURAN yang menentukan sumber-sumber daya (dana yang diperlukan) untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan rancangan undang-undang.
- Suatu bagian LAIN-LAIN (Seidman, 2001:276).
Didalam proses perancangan suatu Undang-Undang, unsur peran serta
masyarakat baik pada tahap penelitian maupun pada tahap penyusunan Draft
sebagaimana telah dikemukakan pada waktu
menguraikan partai politik (yang termasuk dalam suasana politik rakyat), yaitu
bahwa lembaga swadaya masyarakat dapat memberikan kritikan maupun masukan dalam
proses perancangan suatu peraturan
perundang-undangan.
Di dalam kaitan ini, Reed Dickerson mengemukakan langkah dalam proses
perancangan antara lain bahwa rancangan tersebut harus dikonsultasikan pada pihak
yang ahli di bdangnya. Dalam tahap ini perancang harus melakukan konsultasi
dengan para ahli sesuai bidangnya. Di dalam praktik tahap ini dilakukan
kegiatan berupa: seminar, lokakarya , dan panel diskusi ( Sri Hariningsih,
2000:4), pada tahap ini peran perguruan tinggi maupun lembaga swadaya
masyarakat mempunyai peluang untuk berperan
(memberi masukan atau
kritiakan terhadap suatu rancangan
peraturan Perundang-Undangan).
Kedua konsep yang telah dikemukakan oleh dua ahli tersebut amat relevan
dengan konteks ini, sehingga penulis sangat setuju. Namun demikian, menurut
penulis bahwa sesuai dengan dasar pemikiran yang melandasi pembentikan
peraturan Perundang-Undangan yang harus
diterapkan untuk mewujudkan peraturan
Perundang-Undangan yang baik, secara filosofi perancangan yang dapat
dianut, akan mempunyai implikasi pada langkah-langkah yang di tempuh di dalam
proses perancangan, maka dapat ditambahkan menurut Achmad Ruslan (2005:116).
1. Pada langkah
penelitian/pengkajian ditekakan pula mengenai:
(a) Kerangka Hukum. Menyangkuta asas-asas hukum yang
amat mendasar (dasar pemikiran yang melandasi perbuatan peraturan
Perundang-Undangan), asas-asas umum dan khusus serta ketentuan-ketentuan hukum
baik yang lebih tinggi tingkatannya maupun yang sederajat.
(b) Partisipasi Masyarakat. Harus dibuka secara luas
yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan pendapatnya/ saran/
kehendak-kehendaknya. Hal ini ditekankan oleh karena partisipasi masyarakat
inilah yang membedakan dengan adanya landasan sosiologis yang selama ini
dipandang bahwa perancanglah yang harus merekam apa yang dikendaki oleh
masyarakat (perancang dipandan lebih tau kepentingan masyarakatnya daripada
masyarakat itu sendiri).
(c) Politik Hukum (Perundang-Undangan) yang sedang dijalankan.
Perlu dikali sehingga dapat diketahui oleh parancang apakah politik hukum dan
peraturan Perundang-Undangan yang sedang dirancang itu adalah sesuai atau
sebaliknya.
2. Pembuatan Draft Perancangan. Hasil kegiatan dari
ketiga hal tersebut digunakan untuk menyempurnakan langkah-langkah yang
diperoleh dari setiap langkah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh dua ahli
dalam metode perancangan diatas.
B. LANDASAN HUKUM PERANCANGAN PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Proses pembentukan peraturan Perundang-Undangan, pada dasarnya bukkanlah
suatu pekerjaan yang mudah, karena itu diperlukan orang-orang yang memiliki
kapasitas tertentu (bidang ilmu dan teknis perancangan). Salah satu hal yang
harus dipahami oleh setiap perancang peraturan Perundang-Undangan (legal
drafting) adalah merumuskan secara naik dan benar landasan peraturan
Perundang-Undangan yang dibentuk sehingga mampu mencerminkan peraturan
Perundang-Undangan yang baik.
Beberapa landasan yang perlu diperhatikan secara seksama dalam membentuk
/ membuat peraturan Perundang-Undangan, antara lain :
1. Landasan
Filosofis
Landasan filosofis adalah uraian
yang memuat tentang pemikiran terdalam yang harus terkandung didalam suatu
peraturan Perundang-Undangan, dan pandangan hidup yang mengarahkan perbuatan
peraturan Perundang-Undangan. Pemikiran terdalam dan pandangan hidup yang harus
tercermin didalam peraturan Perundang-Undangan adlah nilai-nial Proklamasi dan
Pancasila.
2. Landasan
Yuridis
Landasan yuridis adalah uraian tentang ketentuan-ketentuan hukum yang
harus diacu (menjadi acuan) di dalam proses pembentukan peraturan
Perundang-Undangan.
Landasan Yuridis dapat dibedakan manjadi :
a. Landasan Yuridis Formal, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang menunjukkan atau memberi kewenangan kepada
lembag/organ atau lingkungan jabatan untuk membuat suatu peraturan
Perundang-Undangan.
Contoh:
Pasal
5
Ayat (1) UUD 1945, masing-masing mengatur kewenangan presiden mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR, yang kewenangan presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk melaksanakan undang-undang.
Pasal
20
Ayat (1) UUD 1945, mengatur kewenangan DPR membentuk undang-undang. Pasal
18 Ayat (6) UUD 1945, mengatur kewenangan
pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah.
b. Landasan Yuridis Material, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan isi daripada peraturan
Perundang-Undangan yang dibentuk.
Contoh :
Pasal
23
Ayat
(2) UUD 1945, mengatur tentang pajak.
Pasal
28
UUD 1945, mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan
pikiran dan pendapat, baik lisan amupun tertulis.
3. Landasan
Sosiologis
Landasan sosiologis adalah bahwa UU atau perda harus mencerminkan
kenyataan hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, UU atau Perda yang
dibentuk akan dapat diterima masyarakat, mempunyai daya laku efektif, dan tidak
banyak memerlukan pengerahan institusi/penegak hukum di dalama melaksanakannya
(Bagir Manan, 1992: 15-16).
4. Landasan Ekonomis
Landasan ekonomis adalah bahwa UU atau perda harus pula memuat
pertmbangan-pertimbangan ekonomi, baik mikro maupun makro. Denagn landasan
ekonomis, maka UU atau perda yang dibentuk tidak terlalu memberatkan kepada
mereka yang terkena pada saat pelaksanaan.
5. Landasan
Ekologis
Landasan ekologis ialah bahwa di dalam pembentukan undang-undang atau
perda harus pula memuat pertimbangan-pertimbangan ekologis yang berkaitan
dengan keselamatan dan kelestarian lingkungan hidup serat ekosistemnya.
Misalnay, perda tentang perizinan di bidang
pertambangan, perikaknan, kehutanan, dan lain-lain (Jazim Hamidi,
2005:7-8).
6. Landasan
Kultural
Indonesia adalah Negara dengan tingkat keberagaman atau kemajemukan yang
cukup tinggi dan karenanya melahirkan adanya perbedaan-perbadaan: suku,
kebudayaan, adapt istiadat, dan sebagainya. Perbedaan yang sama juga ada di
daerah-daerah. Karena itu, pembentukan UU atan perda harus pula
mempertimbangkan sebagai Culture yang ada di daerah sehingga tidak menimbulkan
konflik dengan nilai-nilai kultur yang hidup dalam masyarakat.
7. Landasan
Religi
Sebagai bangsa dan Negara yang berketuhanan, nilai-nilai religi
(keagamaan) memegang peranan penting di dalam hamper semua aspek kehidupan
manusia. Karena itu nilai-nilai religi juga penting untuk dipertimbangkan di
dalam pembentukan UU atau perda, khususnya UU atau perda tertentu yang
bersentuhan dengan nilai-nilai religi tersebut.
C. PENYELENGGARAAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN KEKUSAAN PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Montesquieu mencetuskan doktrin pemisahan kekuasaan dalam peyelenggaraan
pemerintahan Negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif.
Ketiga jenis kekuasaan ini mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai
tugas (functi) maupun mengenai alat perlengkapannya (organ) yang melakukannya (
Suny, 1986:15).
Suny (1986: 16) dengan berdasarkan teori Jennings menyatakan bahwa
pemisahan kekuasaan dalam arti materiil yaitu behwa pembagian kekuasaan itu
dipertahankan dengan prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara
karakteristik memperlihatkan pemisahan ke-3 bagian tidak dianut oleh UUD 1945.
UUD 1945 hanya mengenal pemisahan
kekuasaan dalam arti formal. Oleh karena pemisahan kekuasaan itu tidak
dipertahankan secara prinsipiil, dalam arti bahwa UUD 1945 menganut pembagian
kekuasaan (Division Of Power)
bukan pemisahan kekuasaan (Separation of Power).
1. Kekuasaan Membentuk Peraturan Perundang-Undangan
(Legislative power)
Presiden RI menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan menurut UUD ini
dirumuskan dalam pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, dan presiden berhak mengajukan
rancangan UU kepada DPR, diatur pada
pasal 5 ayat (1) UUD 1945. sedangkan pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 pemerintahan
menetapkan peraturan pemerintahan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
Tentang DPR antara lain diatur didalam pasal 20 Ayat (1)-(5) UUD 1945,
untuk jelasnya dikutip sebagai berikut :
Pasal
20
(1)
DPR memegang kekuasaan untuk membentuk
UU.
(2)
Setiap rancangan UU dibahas oleh DPR dan
presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)
Jika rancangan UU tidak mendapat
persetujuan bersama Raperda itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu.
(4)
Presiden mengesahkan rancangan UU yang
telah disetujui bersama untuk menjadi UU.
(5)
Dalam hal rancangan UU yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam jangka waktu 30
hari semenjak Raperda tersebut disetujui Raperda tersebut sah menjadi UU dan
wajib diundangkan.
Selanjutnya, tentang fungsi DPR, hak anggota DPR, tata cara pembentukan
UU serta pajak dan pungutan lainnya, diatur dalam UUD 1945, untuk jelasnya
dikutip sebagai berikut :
Pasal
20A
(1) DPR memiliki fungsi legislative, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan.
Pasal
21
Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan UU
Pasal
22
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
UU diatur dengan UU.
Pasal
23
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan Negara diatur dengan UU.
Tentang pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18 Ayat (1), (2), (3), (4), (6), dan (7) UUD 1945
sebagai berikut :
Pasal
18
(1)
Negara kesatuan RI dibagi atas daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap
provinsi, kabuupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
(2)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas ekonomi dan tugas pembantuan.
(3)
Pemerintahan daerrah provinsi, daerah
kabupaten , dan kota memiliki DPRD yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4)
Gubernur, bupati, dan walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis.
(5)
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat.
(6)
Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain yang melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
(7)
Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
DPRD mampunyai hak, antara lain :
Pasal
19
(1)
DPR mempunyai hak mengajukan rancangan
peraturan daerah.
(2)
Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1); diatur dengan tata tertib DPRD.
Adapun kewajiban DPRD antara lain, yaitu :
Pasal
22
Butir e: Memerhatikan
dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan; dan pengakuan masyarakat , serta
memfasilitasi tindak lanjut penyelesaian.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan di atas, maka telah dapat diketahui bahwa kewenangan DPRD
dalam hubungannya dengan peraturan daerah provinsi, kabupaten dan kota, yaitu:
(1)
Kewenangan DPRD provinsi , kabupaten dan
kota menetapkan peraturan daerah bersama
dengan gubernur, bupati, dan walikota.
(2)
Mempunyai
hak untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah.
(3)
Kewajibabn memerhatikan dan menyakurkan
aspirasi masyarakat.
(4)
Hak anggota DPRD untuk mengusulkan
rancangan peraturan daerah.
(5)
Pelaksanaan kewenangan, kewajiban, dan
hak-hak tersebut diatur dalam tatatertib DPRD.
Ini berarti bahwa lembaga DPRD dan kepala daerah serta perangkatnya
merupakan lembaga pemerintahan daerah. Dan dalam kaitan dengan pembuatan
peraturan Perundang-Undangan daerah merupakan institusi yang utama.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya dapat dirangkum
yaitu kewajiban kepala daerah di bidang
pembuatan perundang-undangan, antara lain :
-
kewajiban mengajukan rancangan peraturan
daerah.
-
Kewenangan menetapkan Ranperda setelah
membahas dan menyetukui bersama menjadi peraturan daerah.
-
Arahan untuk pembuatan peraturan daerah,
yaitu perda tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan-peraturan yang
lebih tinggi.
Tata cara pembuatannya diatur dalam ketentuan-ketentuan yang berlaku
(Keppres 44 Tahun 1999 dan keputusan menteri dalam negeri yang merupakan
penjabaran lebih lanjut dan keppres tersebut. Yang selanjutnya menjadi pedoman
dalam pembuatan rancangan peraturan daerah oleh pihak pemerintah daerah).
Pelaksanaan kewenangan DPRD maupun kepada daerah dalam hal pembuatan
peraturan daerah, mempunyai aturan-aturan tersendiri, yaitu :
(1)
Bagi DPRD, ketentuan tentang tata cara
untuk pembuatan peraturan daerah. Dalam arti mulai dan inisiatif dan
persetujuan diatur dalam tata tertib DPRD tersebut.
(2)
Bagi kepala daerah, ketentuan tentang
tata cara untuk membuat peraturan daerah mulai dari inisiatif sampai pada
pengesahannya , setelah dibahas dengan disetujui bersama dengan DPRD, diatur
dalam peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan daerah sebagaui instrument penyelenggara pemerintahan dan
sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat di daerah, maka peratturan daerah mengatur
materi muatan yang merupakan kewenangan daerah kewenangan daerah otonom dan
tugas pembantuan. Namun demikian, dalam proposal ini hanya akan menekankan pada
kewenangan daerah otonom, yaitu kewenangan yang oleh UU, menentukan pengaturannya melalui bentuk
peraturan daerah, yakni peraturan daearah pajak daerah dan retribusi daerah.
Adapun isi Tap MPR No. III 2000 dalam hal tata urutan Perundang-Undangan sebagai berikut :
-
UUD1945
-
Tap MPR
-
Undang-undang
-
Peraturan pemerintahan pengganti
undang-undang
-
Peraturan pemerintahan
-
Keputusan presiden
-
Peraturan daerah
Hierarki Perundang-Undangan menurut Tap MPR tersebut diatas sudah tidak
berlaku lagi setelah keluarnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan
peraturan Perundang-Undangan, berdasarkan ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003
tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan MPR RI tahun 1960-2002, yaitu ketetapan
MPR yang termasuk dalam kategori ketetapan
MPR RI yang tidak berlaku lagi
karena telah terbentuknya UU.
Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa :
(1) Jenis dan
hierarki peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945.
b. UU/peraturan pemerintah pengganti UU;
c. Peraturan pemerintahan;
d. Peraturan presiden; dan
e. Peraturan daerah.
(2) Peraturan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan
perwakialn rakyat daerah provinsi bersama dengan Gubernur;
b. Peraturan daerah provinsi di buat oleh DPRD
kabupaten/kota bersama bupati / wali kota; dan
c. Peraturan desa/peraturan yang setingkat , dibuat
oleh badan perwakilan desa atau lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.
D. TAHAP PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Untuk memperoleh sebuah produk hukum dalam arti peraturan
Perundang-Undangan, khususnya UU dan peraturan daerah (perda) yang berkualitas,
maka didalam proses pembentukannya harus dilakukan dengan melalui proses
penahapan. Proses penahapan pembentukan suatu UU atau Perda dapat diurut,
sebagai berikut :
1. Tahap
Perencanaan
Tahap pertama pembentuukan UU atau perda, pada dasarnya adalah sama,
yakni diawali dengan tahap perencanaan yang dituangkan di dalam bentuk program
legislasi. Untuk program pembentukan UU disebut program legislasi nasional
(Prolegnas), sedangkan untuk program pembentukan program pembentukan Perda disebut program legislasi
daerah (Prolegda) provinsi, kabupaten/kota.
Program legislasi nasional (prolegnas) adalah instrument perencanaan
program pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Sedangkan program legislasi daerah (prolegda) adalah instrument perencanaan
pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan
sistematis.
2. Tahap
Perancangan
a. Perumusan :
1. Perumusan Raperda dilakukan dengan mengacu pada naskah akademik;
2. Hasil naskah akademik akan menjadi bahan
pembahasan di dalam rapat konsultasi; dan
3. Pembahasan di daklam rapat konsultasi adalah untuk
memantapkan konsepsi terhadap Raperda
yang direncanakan pembentukannya secara menyeluruh (holistis).
b. Pembentukan
tim asistensi
Tim asistensi dibentuk guna membahas/menyusun materi Raperda dan
melaporkannya kepada kepala daerah dengan segala permasalahan yang dihadapi.
c. Konsultasi
Raperda dengan pihak-pihak terkait.
d. Persetujuan
Raperda oleh kepala daerah.
3. Tahap
Pembahasan
Pada tahap pembahasan, Raperda dibahas oleh DPRD dengan gubernur.
Bupati/wali kota untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Sebagaimana diketahui Raperda dapat berasal dari DPRD dan dapat pula berasal dari
inisiatif kapala daerah. Pembahasan sebuah Raperda di DPRD dilakukan di dalam
Rapat Paripurna I, II, III dan IV,
masing-masing dengan agenda tersendiri, sebagai berikut :
a. Rapat
Paripurna I
Apabila Raperda berasal dari DPRD, maka pada rapat paripurna I agendanya adalah penyampaian
keterangan/penjelasan DPRD atas Raperda.
Apabila Raperda berasal dari usul inisiatif kepala daerah/pemerintahan
daerah, maka pada rapat Paripurna I agendanya adalah penyampaian keterangan
oleh kepala daerah atas Raperda yang diusulkan.
b. Rapat
Paripurna II
Pada rapat paripurna II agendanya adalah tanggapan kepala daerah atas
Raperda yang berasal dari DPRD dan Jawaban DPRD atas tanggapan kepala daerah .
Atau pemandangan umum masing-masing fraksi di DPRD atas Rapeda usul
inisiatif kepala daerah dan jawaban kepala daerah atas pemandangan umum
fraksi-fraksi di DPRD.
c. Rapat
Paripurna III
Agenda pada rapat paripurna III mencakup :
-
Pembahasan Raperda dalam komisi, atau gabungan komisi atau oleh
panitia khusus bersama dengan kepala daerah.
-
Pembahasan Raperda secara intern di dalam
komisi, atau gabungan komisi, atau panitia khusus (tanpa mengurangi pembahasan
bersama kepala daerah).
d. Rapat
Paripurna IV
Agenda rapat Paripurna IV mencakup :
-
Laporan hasil pembahasan Raperda pada rapat
paripurna III.
-
Pendapat akhir Fraksi-fraksi di DPRD.
-
Pengambilan keputusan oleh DPRD.
-
Sambutan gubernur, bupati/wali kota
sebagai kepala daerah.
4. Tahap
Pengundangan
Undang-undang atau perda yang telah ditentukan, selanjutnya diundangankan
dengan menempatkan di dalam lembaran
daerah oleh sekretaris daerah, sedangkan penjelasan perda di catat di dalam
tambahan lembaran daerah oleh sekretaris daerah atau oleh kepala biro hukum/
kepala bagian hukum. Pengundangan perda didalam lembaran daerah dimaksudkan
sebagai syarat hukum agar setiap orang mengetahuinya (pasal 45, passal 49 UU
No. 10 Tahun 2004).
5. Tahap
Sosialisasi
Meskipun perda telah diundangkan di dalam lembaran daerah, namun belum
cukup menjadi alasan untuk menanggapi bahwa masyarakat tela\h mengetahui eksistensi perda tersebut. Oleh karena itu,
perda yang telah disahkan dan diundangkan tersebut harus pula disosialisasikan. Pemerintah daerah
wajib menyebarluaskan peraaturan daerah yang telah diundangkan di dalam lembaran daerah dan peraturan di
bawahnya yang telah diundangkan di dalam berita daerah ( pasal 52 UU No. 10
Tahun 2004). Metode sosialisasi dapat dilakukan dengan cara :
a.
Pengumuman melalui berita daerah (RRI, TV
daerah ) oleh kepala biro hukum provinsi atau oleh kepala bagian hukum kabupaten/kota.
b.
Sossialisasi secara langsung oleh kepala
biro hukum/kepala bagian hukum atau dapat dilakukan oleh unit kerja pemrakarsa
perguruan tinggi, lembag swadaya
masyarakat yang berkompeten.
c.
Sosialisasi melalui seminar dan lokakarya
(semiloka).
d.
Sosialisasi melalui sarana internet (E-parliemant).
Untuk ini pemda dan DPRD hendaknya memilki fasilitas web site agar
masyarakat mudah mengakses segala perkembangan kegiatan kedua lembaga.
6. Tahap
Evaluasi
Untuk dapat msejauh mana pengaruh sebuah perda setelah diberlakukan, maka
perlu dilakukan evaluasi. Melalui
evaluasi akan dapat diketahui kelemahan dan kelebihan perda yang sedang
diberlakukan, yang selanjutnya guna menentukan kebijakan-kebijakan, misalnya
apakah perda tetap dipertahankan atau perlu direvisi.
Tahapan pembentukan perda tersebut idealnya diberlakukan baik di dalam
pembentukan perda provinsi maupun pembentukan perda kabupaten/kota. Hal ini
hanya dapat dilakukan apabila ada keinginan kuat (good will) baik dari lembaga legislatif maupun eksekutif
di daerah. Jika hanya satu pihak saja tentu akan menemui kendala di dalam
pelaksanaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar