View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

MEKANISME DAN PROSES PARANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


F. MEKANISME DAN PROSES PARANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A. KONSEP PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN

Menurut Achmad Ruslan (2005: 105), bahwa dalam kaitan dengan konsep perancangan suatu peraturan perundang-undangan, maka dapat dikemukakan dua pendapat ahli, yaitu :

1. Reed Dickreson

Reed Dickreson mengemukakan (Hariningsih, 2000:4-7) mengenal langkah-langkah dalam perancangan peraturan perundang-undangan meliputi sebagai berikut :

a. Langkah-Langkah Kebijakan Substansi, yakni :
 1). Mengetahui apa yang diinginkan klien
Tahap ini seseorang perancang harus dapat mengembangkan esensi kebijakan yang kadang-kadang sangat kabur, untu diterjemahkan kedalam ketentuan yang disusun secara terpadu. Dalam praktek tahap ini biasanya diawali dengan kegiatan melakukan penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian dokumen atau bahan-bahan kepustakaan.

2). Menyelidiki kerangka hukum.
Di dalam tahap ini seseorang perancang harus menganalisis semua instrument hukum yang berkaiatan untuk mengetahui apakah ada yang harus diubah, dicabut, atau ditambah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih atau ketidak konsistenan pengaturan suatu UU (peraturan) terhadap UU (peraturan) lain (oleh penulis, kata UU tersebut diatas dapat dianalogikan dengan suatu perda atau peraturan perundang-undangan lainnya).

3). Mengembangkan rencana organisasi.
Di dalam tahap ini, perancang harus memilih konsep yang tepat dan kemudian mencocokkan antara konsep yang satu dengan yang lain. Tahap ini adalah tahap yang paling sulit bagi seorang perancang, karena harus menutup celah-celah, tumpang tindih, atau pertentangan satu sama lainnya, serta aspek yang mutlak diperhatikan aspek yuridis, filosofis, sosiologis, dan politis.

b. Langkah-Langkah dalam Komposisi

1). Membuat draft pertama.
Didalam tahap ini perancangan baru membuat sketsa atau outline untuk menuangkan pokok-pokok pikiran tersebut, selanjutnya dimintakan pendapat dari pihak lain yang terkait.

2). Revisi.
Di dalam tahap ini, perancang penyusun ulang outline  dengan memasukkan pendapat pihak lain, untuk disusun lebih rinci, dalam rumusan pasal-pasal yang lebih konkret.

3). Dikonsultasikan pada pihak yang ahli di bidangnya.
Di dalam taahap ini, perancang harus melakukan konsultasi dengan para ahli sesuai bidangnya. Dalam praktek tahap ini dilakukan , berupa :

-         Seminar
-         Lokakarya; atau
-         Panel Diskusi

4). Mengadakan penghalusan
Pada tahap ini, perancang melakukan draft final (penghalusan konsep), yakni dengan merangkum pendapat dan hasil seminar dan sebagainya.


2. Robert B. Seidman

Konsep yang diajukan oleh Seidman, yaitu bahwa dalam rangka merancang peraturan perundang-undangan yang dapat mengatasi masalah sosial, maka intinya ada dua tahap yang ditempuh dalam merancang peraturan perundang-undangan, yaitu : pertama, tahap penelitian yang ditindak lanjuti dengan laporan penelitian; dan kedua tahap penyusunan Draft peraturan perundang-undangan.

a.  Tahap Penelitian
Suatu hasil laporan penelitian dari seorang pembuat rancangan harus menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa rancangan UU yang diusulkan bertumpu pada dasar pemikiran berdasarkan pengalaman.

Untuk maksud-maksud mengembangkan perundang-undangan supaya dapat mengatasi masalah-masalah  sosial, maka pemecahan masalah terdiri dari empat langkah yang masing-masing berdasarkan fakta-fakta yang terkait dan dihubungkan dengan  logika.  Pada tahap ini ada empat langkah, sebagai berikut :

1).  Mengenali masalahnya.
Langkah ini dimulai dengan persepsi dari pembuat keputusan tentang suatu masalah, yang mengilhami proses pembuat rancangan. Laporan hasil penelitian dari pembuat UU harus melalui dengan menggunakan  fakta-fakta untuk membuktikan hipotesis deskriptif/gambar manifestasi, dari masalah tersebut membuat rancangan UU yang efektif harus menyebutkan perilaku siapa dan yang bagaimana yang digambarkan masalah tersebut, dengan demikian harus mengenali peran pelaku-pelaku sosial terkait yang perilakunya merupakan masalah sosial yang akan dicoba untuk diperbaiki melalui UU.

2). Mengusulkan dan menjamin penjelasannya.
Laporan hasil penelitian harus sistematis mengusulkan dan menguji pilihan-pilihan hipotesis penjelasan sebab-sebab perilaku bermasalah dan pelaku peran. Untuk membenarkan hipotesis tersebut, laporan harus menyatakan/mengemukakan bukti-bukti yang menunjukkan faktor-faktor khusus yang menyebabkan perilaku bermasalah tersebut.

3). Pengusulan solusi.
Setelah langkah kedua diketahui, maka usulan mengenai sebab-sebab perilaku yang ada dengan memperkirakan perilaku selanjutnya sepanjang sebab-sebab yang sama dan hanya sebab-sebab tersebutlah yang berlaku, maka perilaku tersebut  kemungkinan akan berlanjut terus sehingga harus dikaji rangkaian tindakan-tindakan  perundang-undangan termasuk rincian pelaksanaannya, yang secara logis mungkin dapat mengubah/menghilangkan sebab-sebab perilaku yang bermasalah dan mendorong perilaku ke arah yang lebih diinginkan. Di dalam laporan tersebut dicantumkan (solusinya), mengenai ketentuan-ketentuan yang mana saja yang harus dimaksudkan dalam suatu rancangan. Untuk itu solusi yang diajukan harus mempertimbangkan akibat sosial dan ekonomi serta dampak sosialnya terhadap kelompok dan kepentigan yang tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan.

4). Memantau dan menilai pelaksanaan.
Tidak ada satupun UU yang seefektif mungkin sebagaiman yang direncanakan  karena keadaan akan berubah secara terus menerus (dinamis). Terutama dalam masa transisi.  Setelah diundangkan dan dilaksanakannya suatu UU, maka para pembuat UU harus memantau dan menilai pelaksanaannya, oleh karena itu pembuat UU memerlukakan masukan untuk menentukan apakah pemegang peran termasuk lembaga pelaksana yang ditunjuk berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan menghasilkan akibat yang diharapkan.

Langkah kedua dan keempat merupakan kesinambungan yang penting yang mendukung logika pemecahan masalah. Di dalam langkah kedua pembuat rancangan merumuskan dan menguji penjelasan yang dimaksudkan untuk menjelaskan perilaku yang bermasalah (Seidman, 2001 : 111-116).

Untuk mengidentifikasi kategori yang memungkinkan membantu menjelaskan perilaku-perilaku yang bermasalah yang dibutuhkan  untuk merancang peraturan perundang-undangan yang efektif  suatu teori  perundang-undangan memilahnya kedalam kategori yang lebih sempit, yaitu : peraturan ( Rule), kesempatan (opportunity), kemampuan (capacity), komunikasi (communication), kepentingan (interest), proses (process), ideology (ideology).

Bersama dengan kategori ini di singkat  “ROCCIPI”. (Dalam teks asli ROCCIPI berasal dari kata Rule, opportunity, capacity, comunicatiaon, interest, process, and ideology). (Seidman, 2001: 117).

Untuk menulis suatu bagian penjelasan dan laporan penelitian,  seorang penyusun  ranvangan UU harus memeriksa semua kategori ROCCIPI untuk mendapatkan masukan tentang proposisi penjelasan yang dapat diuji dan saling berkaitan. Selanjutnya hipotesis-hipotesis tersebut membantu menyusun rancangan dalam melakukan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan guna mendapapatkan bukti tentang penyebab dan perilaku tersebut.

Kategori-kategori ROCCIPI  dapat dipilih menjadi dua kelompok, faktor panyebab, yaitu faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif yaitu : (a) kepentingan (atau interest) kategori ini mengacu pada pandangan pelaku peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk bukan hanya inisiatif materiil akan tetapi inisiatif non materiil, seperti penghargaan dan acuan kelompok berkuasa. Focus pada penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya menghasilkan tindakan  perundang-undangan yang menerapkan tindakan motivasi kearah kesesuaian bersifat langsung – Hukum dan Penghargaan – yang dirancang untuk mengubah kepentingan-kepentingan tersebut. Akan tetapi, perilaku-perilaku sosial jarang memperhitungkan hukuman tertulis dari suatu UU. Tanggapan mereka tergantung  pada apa yang mereka harapkan akan dilakukan oleh badan pelaksana.

Sebuah kata peringatan: muadah sekali bagi orang untuk mengembangkan kategori “kepentingan”, sehingga mencakup semua penjelasan yang mungkin untuk perilaku tersebut. Dengan melakukan hal tersebut, sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya, mereka melepaskannya dari penjelasannya. Bila  “kepentingan” berpadu pada kategori penjelasan lainnya maka hal tersebut tidak lebih baik dari kategori yang terlalu luas dan hambatan dari sumber daya Dan keadaan pelaku peran. Kategori-kategori ROCCIPI bertujuan untuk membantu para penyusun rancangan UU untuk menentukan kemungkinan penyebab yang saling berkaitan dari pelaku yang bermasalah; (b). ideology (nilai dan sikap). Ideology merupakan kategori subjektif kedua yang mencakup motivasi-motivasi subjektif dari palaku yang tidak tercakup dalam kepentingan. Motivasi tersebut termasuk mulai dari nilai, sikap, dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia kepercayaan keagamaan, dan ideology politik, sossial dan ekonomi yang mendorong bagi pelaku peran sehingga melakukan (berperilaku bermasalah).

Faktor objektif terdiri dari : (a). peraturan; (b) kesempatan; (c) kemampuan; (d). komunikasi; dan (e). proses.


3). Regulatory Impact Assessments (RIA)

Perkembangan terakhir (tahun 2003) mengenai upaya dari berbagai Negara untuk menciptakan suatu peraturan yang efektif/mencapai tujuannya, telah diterbitkan suatu konsep yang berfungsi sebagai kontrol kualitas produk perundang-undangan  yang diberi nama Regulatory Impact Assessments (RIA) yang merupakan hasil rumusan dari Best practices (Praktik-Praktik terbaik) yang diterapkan oleh berbagai Negara. Berbagai Negara, baik Negara barat maupun bekas blok Uni soviet saan ini tengah melakukan reformasi regulasi seperti AS, Kanada, Inggris. RIA menggunakan tahapan sebagai berikut :

1). Perumusan masalah atau Issue yang menimbulkan kebutuhan untuk menerbitkan suatu kebijakan (melakukan tindakan);
2). Identifikasi tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan tersebut; tahapan ini disebut penilaian Risiko (Risk Assessments);
3). Identifikasi berbagai alternatif tindakan (opsi) untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut;
4). Assessments atas manfaat dan biaya (keuntungan dan kerugian) untuk setiap opsi, dilihat dari sudut pandang pemerintah masyarakat, pelaku usaha, konsumen, dan ekonomi secara keseluruhan;
5). Konsultasi dan komunikasi dengan Stakeholder, dalam semua tahapan tersebut;
6). Penentuan opsi terbaik (yang dipilih) : dan
7). Perumusan strategi untuk menerapkan dan merevisi kebijakan. (Takuji Kameyama, Dkk, 2003: 25-27).

Sesuai dengan teori dan metode perundang-undangan yang mendasarinya, maka pendekatan maslah bentuk dalam perundang-undangan ini berpijak pada dua preposisi : pertama,  bahwa isi memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk; dan kedua,  bahwa kriteria utama untuk menilai bentuk-bentuk alternative untuk suatu  rancangan UU dan beberapa komponennya terdiri dari kegunaannya bagi para pengguna rancangan undang-undang.

Bentuk suatu undang-undang ini, berpijak pada akibat wajar bahwa sebuah undang-undang mempengaruhi perilaku secara paling efektif ketika para pihak yang dituju memehaminya. Proposisi tersebut mendasari praktik penyusunan rancangan  undang-undang yang modern yang bertujuan untuk mencapai kejelasan  dan mempermudah pemahaman kelompok-kelompok yang diharapkan menggunakan undang-undang tersebut. Hal  tersebut tidak berarti bahwa rancangan undang-undang harus mudah dibaca seperti halnya novel biasa., akan tetapi banyak rancangan  undang-undang tidak terhindar dari masalah-masalah rumit. Oleh karena itu, para perancang harus merumuskannya dengan cara merangkai kata-kata dalam suatu bentuk yang mudah bagi pengguna  rancangan undang-undang itu atau paling tidak semudah mungkin.

Teori perundang-undangan mengajarkan bahwa untuk menangani suatu masalah sosial dengan cara yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih diperlukan enam jenis ketentuan normative. Yang pertama, memberitahukan kepada para pelaku peran utama apa yang mereka lakukan, apa yang dapat mereka lakukan atau apa yang tidak boleh mereka lakukan. Kedua, jenis ketentuan berikut memberikan tiga macam perintah yang sama kepada para pejabat badan pelaksana. Pertama, menginformasikan kepada para pejabat tentang jenis tindakan yang mendorong, penyesuaian untuk mereka laksanakan dan yang kedua, menentukan kriteria dan prosedur yang harus digunakan oleh para pejabat dalam memutuskan apakah akan dan bagaimana cara untuk melaksanakan tindakan-tindakan tersebut. Ketentuan selanjutnya memberikan serangkaian perintaah yang serupa kepada para pejabat yang terlibat dalam sistem penyelesaian sengketa.

Di dalam suatu undang-undang terdiri atas pengelompokan-pengelompokan yang keseluruhannya berisi enam jenis norma yang merupakan acuan untuk pengelompokan dan pengurutan, yaiut sebagai berikut: (a) ditujukan kepada pihak utama/pemeran utam (role occupant); (b) ditujukan kepada badan pelaksana/penegak hukum (implementing agency); (c) menentukan tindakan-tindakan  yang mendorong kearah penyesuaian (sanksi); (d) tentang sistem penyelesaian sengketa; (e) menetapkan ketentuan-ketentuan pembiayaan; dan (f) menyangkut masalah-masalah teknis.

Daftar tersebut  memberikan pemeriksaan awal untuk menginformasiakan kepada para penyusun untuk secara bergantian memusatkan perhatian mereka kepada masing-masing ketentuan  tersebut guna menentukan apa saja  yang akan dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang (Seidman, 2001 :266).

Sistem baku untuk menentukan susunan rancangan undang-undang yaitu, sebagai berikut:

  1. Bagian UMUM.
  2. Suatu bagian UNDANG-UNDANG yang menetapkan perilaku yang menggambarkan perilaku pelaku peran.
  3. Suatu bagian PELAKSANAAN yang menggambarkan perilaku lembaga pelaksana.
  4. suatu bagian SANKSI yang menentukan hukuman atau tindakan-tindakan pendorong kepatuhan yang berkaitan dengan perilaku yang ditetapkan.
  5. Suatu bagian PENYELESAIAN PERSELISIHAN yang memberikan ketentuan penyelesaian perselisihan berdasarkan undang-undang tersebut.
  6. Suatu bagian PENYALURAN yang menentukan sumber-sumber daya (dana yang diperlukan) untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan rancangan undang-undang.
  7. Suatu bagian LAIN-LAIN (Seidman, 2001:276).

Didalam proses perancangan suatu Undang-Undang, unsur peran serta masyarakat baik pada tahap penelitian maupun pada tahap penyusunan Draft sebagaimana telah dikemukakan  pada waktu menguraikan partai politik (yang termasuk dalam suasana politik rakyat), yaitu bahwa lembaga swadaya masyarakat dapat memberikan kritikan maupun masukan dalam proses perancangan  suatu peraturan perundang-undangan.

Di dalam kaitan ini, Reed Dickerson mengemukakan langkah dalam proses perancangan antara lain bahwa rancangan tersebut harus dikonsultasikan pada pihak yang ahli di bdangnya. Dalam tahap ini perancang harus melakukan konsultasi dengan para ahli sesuai bidangnya. Di dalam praktik tahap ini dilakukan kegiatan berupa: seminar, lokakarya , dan panel diskusi ( Sri Hariningsih, 2000:4), pada tahap ini peran perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat mempunyai peluang untuk berperan  (memberi masukan  atau kritiakan  terhadap suatu rancangan peraturan Perundang-Undangan).

Kedua konsep yang telah dikemukakan oleh dua ahli tersebut amat relevan dengan konteks ini, sehingga penulis sangat setuju. Namun demikian, menurut penulis bahwa sesuai dengan dasar pemikiran yang melandasi pembentikan peraturan Perundang-Undangan  yang harus diterapkan untuk mewujudkan peraturan  Perundang-Undangan yang baik, secara filosofi perancangan yang dapat dianut, akan mempunyai implikasi pada langkah-langkah yang di tempuh di dalam proses perancangan, maka dapat ditambahkan menurut Achmad Ruslan (2005:116).

1. Pada langkah penelitian/pengkajian ditekakan pula mengenai:

(a) Kerangka Hukum. Menyangkuta asas-asas hukum yang amat mendasar (dasar pemikiran yang melandasi perbuatan peraturan Perundang-Undangan), asas-asas umum dan khusus serta ketentuan-ketentuan hukum baik yang lebih tinggi tingkatannya maupun yang sederajat.

(b) Partisipasi Masyarakat. Harus dibuka secara luas yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan pendapatnya/ saran/ kehendak-kehendaknya. Hal ini ditekankan oleh karena partisipasi masyarakat inilah yang membedakan dengan adanya landasan sosiologis yang selama ini dipandang bahwa perancanglah yang harus merekam apa yang dikendaki oleh masyarakat (perancang dipandan lebih tau kepentingan masyarakatnya daripada masyarakat itu sendiri).

(c) Politik Hukum (Perundang-Undangan) yang sedang dijalankan. Perlu dikali sehingga dapat diketahui oleh parancang apakah politik hukum dan peraturan Perundang-Undangan yang sedang dirancang itu adalah sesuai atau sebaliknya.


2. Pembuatan Draft Perancangan. Hasil kegiatan dari ketiga hal tersebut digunakan untuk menyempurnakan langkah-langkah yang diperoleh dari setiap langkah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh dua ahli dalam metode perancangan diatas.


B. LANDASAN HUKUM PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Proses pembentukan peraturan Perundang-Undangan, pada dasarnya bukkanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena itu diperlukan orang-orang yang memiliki kapasitas tertentu (bidang ilmu dan teknis perancangan). Salah satu hal yang harus dipahami oleh setiap perancang peraturan Perundang-Undangan (legal drafting) adalah merumuskan secara naik dan benar landasan peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk sehingga mampu mencerminkan peraturan Perundang-Undangan yang baik.

Beberapa landasan yang perlu diperhatikan secara seksama dalam membentuk / membuat peraturan Perundang-Undangan, antara lain :

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis adalah   uraian yang memuat tentang pemikiran terdalam yang harus terkandung didalam suatu peraturan Perundang-Undangan, dan pandangan hidup yang mengarahkan perbuatan peraturan Perundang-Undangan. Pemikiran terdalam dan pandangan hidup yang harus tercermin didalam peraturan Perundang-Undangan adlah nilai-nial Proklamasi dan Pancasila.

2. Landasan Yuridis

Landasan yuridis adalah uraian tentang ketentuan-ketentuan hukum yang harus diacu (menjadi acuan) di dalam proses pembentukan peraturan Perundang-Undangan.

Landasan Yuridis dapat dibedakan manjadi :
a. Landasan Yuridis Formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menunjukkan atau memberi kewenangan kepada lembag/organ atau lingkungan jabatan untuk membuat suatu peraturan Perundang-Undangan.

Contoh:

Pasal 5
Ayat (1) UUD 1945, masing-masing mengatur kewenangan presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, yang kewenangan presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan undang-undang.

Pasal 20
Ayat (1) UUD 1945, mengatur kewenangan DPR membentuk undang-undang. Pasal 18 Ayat  (6) UUD 1945, mengatur kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah.

b. Landasan Yuridis Material, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan isi daripada peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk.

Contoh :
           
Pasal 23
Ayat (2) UUD 1945, mengatur tentang pajak.

Pasal 28
UUD 1945, mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat, baik lisan amupun tertulis.



3. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis adalah bahwa UU atau perda harus mencerminkan kenyataan hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, UU atau Perda yang dibentuk akan dapat diterima masyarakat, mempunyai daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusi/penegak hukum di dalama melaksanakannya (Bagir Manan, 1992: 15-16).

4.  Landasan Ekonomis

Landasan ekonomis adalah bahwa UU atau perda harus pula memuat pertmbangan-pertimbangan ekonomi, baik mikro maupun makro. Denagn landasan ekonomis, maka UU atau perda yang dibentuk tidak terlalu memberatkan kepada mereka yang terkena pada saat pelaksanaan.

5. Landasan Ekologis

Landasan ekologis ialah bahwa di dalam pembentukan undang-undang atau perda harus pula memuat pertimbangan-pertimbangan ekologis yang berkaitan dengan keselamatan dan kelestarian lingkungan hidup serat ekosistemnya. Misalnay, perda tentang perizinan di bidang  pertambangan, perikaknan, kehutanan, dan lain-lain (Jazim Hamidi, 2005:7-8).

6. Landasan Kultural

Indonesia adalah Negara dengan tingkat keberagaman atau kemajemukan yang cukup tinggi dan karenanya melahirkan adanya perbedaan-perbadaan: suku, kebudayaan, adapt istiadat, dan sebagainya. Perbedaan yang sama juga ada di daerah-daerah. Karena itu, pembentukan UU atan perda harus pula mempertimbangkan sebagai Culture yang ada di daerah sehingga tidak menimbulkan konflik dengan nilai-nilai kultur yang hidup dalam masyarakat.

7. Landasan Religi

Sebagai bangsa dan Negara yang berketuhanan, nilai-nilai religi (keagamaan) memegang peranan penting di dalam hamper semua aspek kehidupan manusia. Karena itu nilai-nilai religi juga penting untuk dipertimbangkan di dalam pembentukan UU atau perda, khususnya UU atau perda tertentu yang bersentuhan dengan nilai-nilai religi tersebut.


C. PENYELENGGARAAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN DALAM HUBUNGANNYA  DENGAN KEKUSAAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Montesquieu mencetuskan doktrin pemisahan kekuasaan dalam peyelenggaraan pemerintahan Negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan ini mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functi) maupun mengenai alat perlengkapannya (organ) yang melakukannya ( Suny, 1986:15).

Suny (1986: 16) dengan berdasarkan teori Jennings menyatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materiil yaitu behwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan pemisahan ke-3 bagian tidak dianut oleh UUD 1945. UUD 1945 hanya mengenal pemisahan  kekuasaan dalam arti formal. Oleh karena pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipiil, dalam arti bahwa UUD 1945 menganut pembagian kekuasaan  (Division Of Power) bukan pemisahan kekuasaan (Separation of Power).

1. Kekuasaan Membentuk Peraturan Perundang-Undangan (Legislative power)

Presiden RI menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan menurut UUD ini dirumuskan dalam pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, dan presiden berhak mengajukan rancangan  UU kepada DPR, diatur pada pasal 5 ayat (1) UUD 1945. sedangkan pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 pemerintahan menetapkan peraturan pemerintahan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.

Tentang DPR antara lain diatur didalam pasal 20 Ayat (1)-(5) UUD 1945, untuk jelasnya dikutip sebagai berikut :

Pasal 20
(1)    DPR memegang kekuasaan untuk membentuk UU.
(2)    Setiap rancangan UU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)    Jika rancangan UU tidak mendapat persetujuan bersama Raperda itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(4)    Presiden mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.
(5)    Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam jangka waktu 30 hari semenjak Raperda tersebut disetujui Raperda tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Selanjutnya, tentang fungsi DPR, hak anggota DPR, tata cara pembentukan UU serta pajak dan pungutan lainnya, diatur dalam UUD 1945, untuk jelasnya dikutip sebagai berikut :

Pasal 20A
(1) DPR memiliki fungsi legislative, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.


Pasal 21
Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan  UU

Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU.

Pasal 23
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan UU.


Tentang pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18  Ayat (1), (2), (3), (4), (6), dan (7) UUD 1945 sebagai berikut :

Pasal 18

(1)   Negara kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabuupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi  dan tugas pembantuan.
(3)   Pemerintahan daerrah provinsi, daerah kabupaten , dan kota memiliki  DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4)   Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5)   Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
(6)   Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain yang melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7)   Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

DPRD mampunyai hak, antara lain :

Pasal 19
(1)   DPR mempunyai hak mengajukan rancangan peraturan daerah.
(2)   Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1); diatur dengan tata tertib DPRD.

Adapun kewajiban  DPRD  antara lain, yaitu :

Pasal 22
Butir e:          Memerhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan; dan pengakuan masyarakat , serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaian.

            Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka telah dapat diketahui bahwa kewenangan DPRD dalam hubungannya dengan peraturan daerah provinsi, kabupaten dan kota, yaitu:

(1)    Kewenangan DPRD provinsi , kabupaten dan kota  menetapkan peraturan daerah bersama dengan gubernur, bupati, dan walikota.
(2)    Mempunyai  hak untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah.
(3)    Kewajibabn memerhatikan dan menyakurkan aspirasi masyarakat.
(4)    Hak anggota DPRD untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah.
(5)    Pelaksanaan kewenangan, kewajiban, dan hak-hak tersebut diatur dalam tatatertib DPRD.


Ini berarti bahwa lembaga DPRD dan kepala daerah serta perangkatnya merupakan lembaga pemerintahan daerah. Dan dalam kaitan dengan pembuatan peraturan Perundang-Undangan daerah merupakan institusi yang utama.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya dapat dirangkum yaitu kewajiban kepala daerah  di bidang pembuatan perundang-undangan, antara lain :

-         kewajiban mengajukan rancangan peraturan daerah.
-         Kewenangan menetapkan Ranperda setelah membahas dan menyetukui bersama menjadi peraturan daerah.
-         Arahan untuk pembuatan peraturan daerah, yaitu perda tidak boleh  bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.

Tata cara pembuatannya diatur dalam ketentuan-ketentuan yang berlaku (Keppres 44 Tahun 1999 dan keputusan menteri dalam negeri yang merupakan penjabaran lebih lanjut dan keppres tersebut. Yang selanjutnya menjadi pedoman dalam pembuatan rancangan peraturan daerah oleh pihak pemerintah daerah).

Pelaksanaan kewenangan DPRD maupun kepada daerah dalam hal pembuatan peraturan daerah, mempunyai aturan-aturan tersendiri, yaitu :

(1)   Bagi DPRD, ketentuan tentang tata cara untuk pembuatan peraturan daerah. Dalam arti mulai dan inisiatif dan persetujuan diatur dalam tata tertib DPRD tersebut.
(2)   Bagi kepala daerah, ketentuan tentang tata cara untuk membuat peraturan daerah mulai dari inisiatif sampai pada pengesahannya , setelah dibahas dengan disetujui bersama dengan DPRD, diatur dalam peraturan Perundang-Undangan.

Peraturan daerah sebagaui instrument penyelenggara pemerintahan dan sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat di  daerah, maka peratturan daerah mengatur materi muatan yang merupakan kewenangan daerah kewenangan daerah otonom dan tugas pembantuan. Namun demikian, dalam proposal ini hanya akan menekankan pada kewenangan daerah otonom, yaitu kewenangan yang oleh  UU, menentukan pengaturannya melalui bentuk peraturan daerah, yakni peraturan daearah pajak daerah dan retribusi daerah.

Adapun isi Tap MPR No. III 2000 dalam hal tata  urutan Perundang-Undangan sebagai berikut :
-         UUD1945
-         Tap MPR
-          Undang-undang
-         Peraturan pemerintahan pengganti undang-undang
-         Peraturan pemerintahan
-         Keputusan presiden
-         Peraturan daerah

Hierarki Perundang-Undangan menurut Tap MPR tersebut diatas sudah tidak berlaku lagi setelah keluarnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan, berdasarkan ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan  MPRS dan MPR RI tahun 1960-2002, yaitu ketetapan MPR yang termasuk dalam kategori ketetapan  MPR RI  yang tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya UU.

Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa :

(1) Jenis dan hierarki peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945.
b. UU/peraturan pemerintah pengganti UU;
c. Peraturan pemerintahan;
d. Peraturan presiden; dan
e. Peraturan daerah.

(2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakialn rakyat daerah provinsi bersama dengan Gubernur;
b. Peraturan daerah provinsi di buat oleh DPRD kabupaten/kota bersama bupati / wali kota; dan
c. Peraturan desa/peraturan yang setingkat , dibuat oleh badan perwakilan desa atau lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.


D. TAHAP PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Untuk memperoleh sebuah produk hukum dalam arti peraturan Perundang-Undangan, khususnya UU dan peraturan daerah (perda) yang berkualitas, maka didalam proses pembentukannya harus dilakukan dengan melalui proses penahapan. Proses penahapan pembentukan suatu UU atau Perda dapat diurut, sebagai berikut :

1. Tahap Perencanaan

Tahap pertama pembentuukan UU atau perda, pada dasarnya adalah sama, yakni diawali dengan tahap perencanaan yang dituangkan di dalam bentuk program legislasi. Untuk program pembentukan UU disebut program legislasi nasional (Prolegnas), sedangkan untuk program pembentukan program  pembentukan Perda disebut program legislasi daerah (Prolegda) provinsi, kabupaten/kota.

Program legislasi nasional (prolegnas) adalah instrument perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Sedangkan program legislasi daerah (prolegda) adalah instrument perencanaan pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.

2. Tahap Perancangan

a. Perumusan :

1. Perumusan Raperda dilakukan  dengan mengacu pada naskah akademik;
2. Hasil naskah akademik akan menjadi bahan pembahasan di dalam rapat konsultasi; dan
3. Pembahasan di daklam rapat konsultasi adalah untuk memantapkan konsepsi terhadap Raperda  yang direncanakan pembentukannya secara menyeluruh (holistis).

b. Pembentukan tim asistensi
Tim asistensi dibentuk guna membahas/menyusun materi Raperda dan melaporkannya kepada kepala daerah dengan segala permasalahan yang dihadapi.

c. Konsultasi Raperda   dengan pihak-pihak terkait.
d. Persetujuan Raperda oleh kepala daerah.

3. Tahap Pembahasan

Pada tahap pembahasan, Raperda dibahas oleh DPRD dengan gubernur. Bupati/wali kota  untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sebagaimana diketahui Raperda dapat berasal  dari DPRD dan dapat pula berasal dari inisiatif kapala daerah. Pembahasan sebuah Raperda di DPRD dilakukan di dalam Rapat Paripurna I, II, III dan  IV, masing-masing dengan agenda tersendiri, sebagai berikut :

a. Rapat Paripurna I

Apabila Raperda berasal dari DPRD, maka pada rapat paripurna  I agendanya adalah penyampaian keterangan/penjelasan DPRD atas Raperda.

Apabila Raperda berasal dari usul inisiatif kepala daerah/pemerintahan daerah, maka pada rapat Paripurna I agendanya adalah penyampaian keterangan oleh kepala daerah atas Raperda yang diusulkan.

b. Rapat Paripurna II

Pada rapat paripurna II agendanya adalah tanggapan kepala daerah atas Raperda yang berasal dari DPRD dan Jawaban DPRD atas tanggapan kepala daerah .

Atau pemandangan umum masing-masing fraksi di DPRD atas Rapeda usul inisiatif kepala daerah dan jawaban kepala daerah atas pemandangan umum fraksi-fraksi di DPRD.

c. Rapat Paripurna III

Agenda pada rapat paripurna III mencakup :
-         Pembahasan Raperda dalam  komisi, atau gabungan komisi atau oleh panitia khusus bersama dengan kepala daerah.
-          Pembahasan Raperda secara intern di dalam komisi, atau gabungan komisi, atau panitia khusus (tanpa mengurangi pembahasan bersama kepala daerah).

d. Rapat Paripurna IV

Agenda rapat Paripurna IV mencakup :
-         Laporan hasil pembahasan Raperda pada rapat paripurna III.
-         Pendapat akhir Fraksi-fraksi di DPRD.
-         Pengambilan keputusan oleh DPRD.
-         Sambutan gubernur, bupati/wali kota sebagai kepala daerah.

4. Tahap Pengundangan

Undang-undang atau perda yang telah ditentukan, selanjutnya diundangankan dengan menempatkan  di dalam lembaran daerah oleh sekretaris daerah, sedangkan penjelasan perda di catat di dalam tambahan lembaran daerah oleh sekretaris daerah atau oleh kepala biro hukum/ kepala bagian hukum. Pengundangan perda didalam lembaran daerah dimaksudkan sebagai syarat hukum agar setiap orang mengetahuinya (pasal 45, passal 49 UU No. 10 Tahun 2004).

5. Tahap Sosialisasi

Meskipun perda telah diundangkan di dalam lembaran daerah, namun belum cukup menjadi alasan untuk menanggapi bahwa masyarakat tela\h mengetahui  eksistensi perda tersebut. Oleh karena itu, perda yang telah disahkan dan diundangkan tersebut harus  pula disosialisasikan. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraaturan daerah yang telah diundangkan di  dalam lembaran daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan di dalam berita daerah ( pasal 52 UU No. 10 Tahun 2004). Metode sosialisasi dapat dilakukan dengan cara :

a.       Pengumuman melalui berita daerah (RRI, TV daerah ) oleh kepala biro hukum provinsi atau  oleh kepala bagian hukum kabupaten/kota.
b.      Sossialisasi secara langsung oleh kepala biro hukum/kepala bagian hukum atau dapat dilakukan oleh unit kerja pemrakarsa perguruan tinggi, lembag swadaya  masyarakat yang berkompeten.
c.       Sosialisasi melalui seminar dan lokakarya (semiloka).
d.      Sosialisasi melalui sarana internet (E-parliemant). Untuk ini pemda dan DPRD hendaknya memilki fasilitas web  site agar  masyarakat mudah mengakses segala perkembangan kegiatan kedua lembaga.

6. Tahap Evaluasi

Untuk dapat msejauh mana pengaruh sebuah perda setelah diberlakukan, maka perlu dilakukan evaluasi. Melalui  evaluasi akan dapat diketahui kelemahan dan kelebihan perda yang sedang diberlakukan, yang selanjutnya guna menentukan kebijakan-kebijakan, misalnya apakah perda tetap dipertahankan atau perlu direvisi.

Tahapan pembentukan perda tersebut idealnya diberlakukan baik di dalam pembentukan perda provinsi maupun pembentukan perda kabupaten/kota. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila ada keinginan kuat (good will)  baik dari lembaga legislatif maupun eksekutif di daerah. Jika hanya satu pihak saja tentu akan menemui kendala di dalam pelaksanaannya.  

Tidak ada komentar: