E. PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. PENGERTIAN
NASKAH AKADEMIK
Sebagaimana telah menjadi
pengetahuan umum bahwa hak legislasi pembuatan undang-undang menurut
undang-undang dasar 1945 mengalami pergeseran kewenangan dari eksekutif beralih
menjadi kewenangan legislatif. Hal ini
diatur di dalam pasal 20 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “dewan perwakilan
rakyat memegang kekuasaan membuat undang-undang”. Sedangkan posisi
eksekutif seperti diatur dalam pasal 5 UUD 1945 melalui presiden “berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pergeseran ini ditinjau dari lahirnya kemurnian kekuasaan melalui teori “trias
politika” menandakan telah kembalinya kekuasaan asli kepangkuan pihak
legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang. Sebagai pemangku
kekuasaan membuat undang-undang, maka pihak legislatif dalam menjalankan tugas
dipegangi sebuah hak yang kemudian lazim disebut dengan hak inisiatif.
Dalam
proses pembuatan undang-undang baik yang melibatkan pihak legislatif maupun
pihak eksekutif ada juga hak yang dimiliki pihak akademisi untuk membuat sebuah
naskah akademik. Menurut Harry Alexander, yang dimaksud dengan naskah akademik
adalah naskah awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dari materi muatan
perundang-undangan bidang tertentu. Bentuk dan isi naskah akademik memuat
gagasan pengaturan suatu materi hukum bidang tertentu yang telah ditinjau
secara holistis-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi
dengan referensi yang memuat; urgensi, konsepsi,landasan, alas hukum, prinsip-prinsip
yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan ke
dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan beberapa alternatif, yang disajikan
dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu
hukum dab sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan.[1]
Sementara
didalam pasal 1 ayat (7) pereturan presiden nomor 68 tahun 2005 tentang cara mempersipakan
rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan
peraturan presiden menyatakan bahwa naskah akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.[2]
Dari
pendapat dan ketentuan tersebut, kalau dikupas lebih jauh menunjukkan bahwa
pembuatan nakah akademis tidak lebih dari sebuah upaya pendekatan menyeluruh (holistis)
dari sebuah rencana pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan. Pendekatan
ini dijalankan melalui sebuah metode riset sebagai langkah awal untuk
mengetahui realitas kepentingan berbagai pihak baik phak masyarakat maupun
pemegang hak legislasi (pemerintah dan perlemen). Namun, karena luasnya ruang
lingkup pendekatan, maka ada baiknya kalau digunakan konsep dasar “tritunggal”[3]
dalam menelaah lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan, yang meliputi
aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis. Aspek yuridis maksudnya agar
produk hukum yang diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa
menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat; aspek sosiologis, yang
dimaksudkan agar produk hukum yang diterbitkan jangan sampai bertentangan
dengan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat; misinya adat
istiadat, dan Aspek Filosofis maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan
jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai yang hakiki di tengah-tengah
masyarakat, misalnya agama.[4]
Dengan batas yang jelas ini maka akan memudahkan
untuk mengiventarisasi seluruh bahan dan permasalahan yang muncul di lapangan.
Dari ketiga aspek tersebut juga dijadikan rambu-rambu penting di dalam
merumuskan batasan akademis dari nakah akademis yang akan dibuat tersebut. Hal
ini penting untuk ditekankan agar naskah akademis yang dibuat tidak saja
bertumpu kepada keilmuan tetap juga harus ditunjang dengan kenyataan sosial.
Tumpuan keilmuaan dibuat didasarkan kepada kaidah-kaidah teori dan pendapat
para pakar (doktrin) sedangkan tumpuan kenyataan didasarkan kepada kebutuhan
nyata yang di inginkan masyarakat agar kehidupannya terlindungi dan dijamin
oleh kepastian, kemamfaatan, dan keadilan hukum baik di masa kini (das sein) maupun masa yang akan
datang (das sollen futuristik).
Dengan
demikian, naskah akademis akan terjaga netralitasnya sebagai sebuah kajian yang
murni karena “tuntunan ilmu”
bukan karena tuntunan dan tuntutan kepentingan pemerintah dan elit politik
melalui politik hukum yang dia kehendaki. Karena itulah naskah akademik dibuat
untuk “badul penyeimbang” rancangan undang-undang yang dibuat oleh pihak
parlemen bersama pemerintah atau sebaliknya, agar lebih objektif dan tidak
menabrak kaidah-kaidah keilmuan hukum yang ada. Harapannya naskah akademis
benar-benar dijadikan pertimbangan utama bagi proses perdampingan rancangan
peraturan perundang-undangan sehingga pengidaman sebuah undang-undang yang
sempurna dan jauh dari cacat hukum benar-benar akan terwujud. Yang paling dari
proses itu semua diharapkan sudah tidak ada lagi wajah undang-undang yang
bersifat repsesif, tetapi diganti dengan wajak undang-undang yang berwatak
otonom dan berwatak responsif.
Skema
Letak
Naskah Akademik Sebagai Bandul Penyeimbang Di Antara
Produk
Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dikeluarkan
Oleh
pihak legislatif maupun eksekutif.
Selanjutnya, unsur-unsur yang
perlu ada dalam suatu naskah akademik adalah urgensi di susunnya pengaturan
baru suatu materi hukum yang menggambarkan bahwa :
1.
Hasil
inventarisasi hukum positif,
2.
Hasil
inventarisasi permasalahan hukum yang di hadapi;
3.
Gagasan-gagasan
tentang materi hukum yang akan tiuangkan kedalam rancangan undang-undang;
4.
Konsepsi
landasan, alasan hukum, dan prinsip yang akan digunakan;
5.
Pemikiran
tentang norma-normanya yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal;
6.
Rancangan
awal naskah rancangan undang-undang; dan/atau
7.
Rancangan
produk hukum yang disusun secara sistematik : bab demi bab, serta pasal demi
pasal untuk memudahkan dan mempercepat penggarapan undang-undang atau rancangan
produk hukum lainnya selanjutnya oleh intensi yang berwenang menyusun
undang-undang atau rancangan produk hukum lainnya tersebut.
Kedudukan naskah akademik
merupakan :
1.
Bahan
awal yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup, dan
materi muatan suatu undang-undang;
2.
Bahan
pertimbangan yang digunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan
undang-undang; dan
3.
Bahan
dasar bagi penyusunan undang-undang/rancangan produk hukum lainnya.
B.
DASAR
HUKUM EKSISTENSI NASKAH AKADEMIK
Naskah
akademik merupakan bentuk kongkret dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan daerah yang berbasis riset),
hal ini telah memiliki legitimasi dan dasar hukum yang jelas dan konkret.
Out-out konkret dari keterlibatan masyarakat (khususnya kalangan akademik)
adalah terbentuknya sebuah naskah akademik.
Dasar
hukum pembentukan naskah akademik yang pertama kali muncul adalah sebuah
SKKBHPN (surat keputusan kepala dan pembinaan hukum nasional) SKKBHPN No. 159.
PR. 09. 10 Tahun 1994 tentang petunjuk teknis penyusunan naskah akademik
peraturan perundang-undangan. Di dalam surat keputusan tersebut dijelaskan
mengenai nama atau istilah, bentuk dan isi, kedudukan serta format dari naskah
akademik.
Dasar
hukum bagi partisipasi masyarakat lewat pembentukan naskah akademik mengalami
perbaikan dengan munculnya aturan-aturan baru. Aturan baru yang mengatur
tentang pembentukan naskah akademik adalah pasal 53 UU No.10 Tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan pasal 139 ayat (1) UU No.32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, serta pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) peraturan
pemerintah nomor 68 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersipakan Racangan
Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pengertian
naskah akademik di dalam pasal 1 ayat (7) peraturan pemerintah Nomor 68 Tahun
2005 diatur bahwa naskah akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek , atau arah pengaturan rancangan undang-undang.
Dilanjutkan
di dalam pasal 5 ayat (1) diatur bahwa pemrakarsa dalam menyusun rancangan
undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi
yang akan diatur di dalam rancangan undang-undang. Dilanjutkan di dalam pasal 5
ayat (2) diatur bahwa penyususnan naskah akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas
dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan, dan pelaksanaanya
dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang
mempunyai keahlian untuk itu.
Secara
teoritis dan sosiologis, naskah akadimek diartikan sebagai konsepsi pengaturan
suatu masalah (objek peraturan perundang-undangan), mengkaji dasar filosofis,
yuridis, dan politis suatu masalah yang akan diatur sehingga mempunyai landasan
pengaturan yang kuat. Dilanjutkan dengan pasal UU No.7 Tahun 2004 diatur
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, salah satunya
terdapat peraturan daerah (perda)
sebagai jenis peraturan perundang-undangan, dijelaskan lebih lanjut,
berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah , produk-produk
hukum daerah meliputi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Jadi,
kebolehan pembentukan suatu naskah akademik juga berlaku bagi produk hukum
daerah.
Definisi
lain dari naskah akademik ialah naskah awal yang memuat gagasan-gagasan
pengaturan dan materi muatan perundang-undangan tertentu. Naskah akademik
mengandung uraian yang berisi penjelasan tentang (Jazim Hamidi, 2006, tanpa halaman) :
1.
Perlunya
sebuah peraturan dibuat;
2.
Tujuan
dan kegunaan dan peraturan yang akan dibuat;
3.
Materi-materi
yang harus diatur peraturan tersebut;
4.
Aspek-aspek
tehnik penyusunan.
Jadi,
naskah akademik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penyusunan
sebuah rancangan produk hukum (termasuk rancangan produk hukum daerah).
Di
dalam kaitan dengan produk hukum daerah, naskah akademik dimuat gagasan-gagasan
pengaturan serta materi muatan peraturan daerah bidang terentu yang telah
ditinjau secara sistemik, holistik, dan futuristik, dari berbagai aspek ilmu.
Naskah akademik uga merupakan bahan pertimbangan yang digunakan dalam
permohonan izin pemrakarsa penyusunan rancangan peraturan daerah kepada kepala
daerah.
C.
PENTINGNYA NASKAH AKADEMIK DALAM PROSES PERANCANGAN
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Walaupun
naskah akademik bukan merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan
daerah, tetapi perlu sekali lagi ditekankan urgensi, (penting/sangat
dibutuhkan) keberadaan naskah akademik dalam proses pembentukan peraturan
daerah. Naskah akademik merupakan media konkret bagi peran serta masyarakat
secara aktif dalam pembentukan peraturan daerah. Dengan terlibatnya masyarakat
secara aktif dalam proses pembentukan peraturan daerah, maka aspirasi-aspirasi
masyarakat akan lebih terakomodasi.
Argumen yang
menunjukkan bahwa naskah akademik merupakan media konkret bagi peran serta
masyarakat secara aktif dalam proses
pembentukan peraturan daerah adalah
(Mahendra P.K. dkk.,2007 : 57):
a.
Naskah
akademik memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang tentang
hal-hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga sangat
penting dan mendesak diatur dalam peraturan daerah. Aspek yang dikaji dalam
latar belakang ini adalah aspek idiologis, politis, budaya, sosial, ekonomi,
ekologi, pertahanan, dan keamanan. Mamfaat dan informasi yang ada di dalam
latar belakang bagi pembentuk peraturan daerah adalah mereka bisa mengetahui
dengan pasti tentang perlunya dibuat sebuah peraturan daerah demi kepentingan
daerah secara umum.
b.
Naskah
akademik menjelaskan tinjauan terhadap sebuah peraturan daerah dari aspek
filosofis (cita-cita hukum, recht idea), aspek sosiologis (nilai-nilai yang
hidup di dalam masyarakat), aspek yuridis (secara vertikal dan horizontal tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya), dan aspek
politis (kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi
kebijakan-kebijakan dan tata laksana pemerintahan). Peraturan daerah dimungkinkan menjadi efektif
apabila tidak melupakan sejauh mana tingkat kebutuhan, keinginan, dan interaksi
masyarakat terhadap peraturan tersebut.
c.
Naskah
akademik memberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup dan
peraturan daerah yang akan dibuat. Dalam hal ini dijelaskan mengenai konsepsi,
pendekatan, dan asas-asas dan materi hukum yang perlu di atur, serta
pemikiran-pemikiran normanya. Naskah akademik menggambarkan bahwa materi hukum
tidak hanya terikat pada asas-asas yang telah ditentukan dalam pasal 6 UU No.
10 Tahun 2004 jo. Pasal 138 UU No. 32 tahun 2004, tetapi juga perlu mencermati
nilai-nilai hukum adat didaerah bersangkutan.
d.
Naskah
akademik memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak
eksekutif dan legislatif mengenai pembentukan peraturan daerah tentang
permasalahan yang di bahas. Sebuah naskah akademik juga memberikan saran-saran
apakah semua materi yang dibahas dalam naskah akademi sebaiknya diatur dalam
satu bentuk peraturan daerah atau ada sebagian yang sebaliknya dituangkan dalam
peraturan pelaksana atau peraturan lainnya.
Kehadiran
naskah akademik juga menepis pandangan sebagian masyrakat yang melihat
peraturan daerah sebagai suatu produk yang (hanya) berpihak pada kepentingan
pemerintah semata, sehingga dalam implementasinya masyarakat sering kali tida
merasa memiliki dan menjiwai peraturan daerah tersebut. Oleh karena itu, naskah
akademik digunakan sebagai instrumen penyaring, menjembatani dan meminimalisir
unsur-unsur kepentingan politik dan pembentuk peraturan daerah. Melalui naskah
akademik, partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
daerah akan muncul.
Partisipasi
masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan peraturan daerah sesuai dengan
isi pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004. Pasal ini menyebutkan bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Hal
ini perlu diatur secara jelas, sebab peraturan daerah merupakan media bagi
pemerintah daerah untuk menuangkan usulan-usulan, kebijakan-kebijakan dan/atau
aspirasi-aspirasi masyarakat, dengan tujuan pembangunan daerah yang
bersangkutan. Sebaliknya, adanya naskah akademik merupakan usaha menghindari
kondisi suatu peraturan daerah tidak menjadi instrumen bagi pembangunan daerah
demi kepentingan masyarakat daerah tersebut.
D.
KEDUDUKAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK DALAM PROSES
PERANCANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Secara
umum kedudukan naskah akademik dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bahan
awal yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup, dan
materi muatan suatu peraturan daerah.
2.
Bahan
pertimbangan yang digunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan Raperda
atau rancangan produk hukum daerah lainnya kepada kepala daerah.
3.
Bahan
dasar bagi penyusunan Raperda atau rancangan produk hukum daerah lainnya kepada
kepala daerah (Mahendra, dkk, 2007 : 31).
Sedangkan kegunaan
naskah akademik dapat dirumuskan, sebagai berikut :
1.
Menginformasikan
bahwa perancang telah mempertimbangkan berbagai fakta dan faktor yang
melingkupi suatu proses penyusunan rancangan peraturan daerah.
2.
Memastikan
bahwa di dalam proses perancangan suatu peraturan daerah perancang telah
menyusun fakta-fakta dengan mempertimbangkan berbagi faktor yang melingkupinya
secara logis, rasional, dan objektif.
3.
Menjamin
bahwa suatu rancangan peraturan daerah tersebut muncul dari proses pengmbilan keputusan
yang logis, rasional, dan objektif (Mahendra, dkk, 2007 : 31).
E.
PROSES PEMBENTUKAN
NASKAH AKADEMIK SUATU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pembentukan naskah akademik di suatu daerah, di dasari
oleh kebutuhan akan hadirnya produk hokum daerah yang partisipatif dan reponsif
terhadap kebutuhan masyarakat dan kepentingan umum di daerah yang bersangkutan.
Dasar
kebutuhan terhadap pembentukan naskah akademik yang memunculkan kondisi parsitipatif
dan responsif tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut :
|
||||
|
|
||||
|
||||||
|
|
Gambar diatas menunjukkan suatu proses
kepekaan dan penyusun naskah akademik terhadap permasalahan yang timbul di
masyarakat, kepekaan ini diwujudkan dalam sebuah riset (penelitian) terhadap
permasalahan yang timbul, mengidantifikasi, menganalisis, dan mencarikan
alternatif solusi (jalan keluar) bagi permasalahan tersebut (Mahendra P. K.
Dkk, 2007 :63).
Wujud dari riset tersebut salah satunya
adalah pembentukan naskah akademik, kemudian pemerintah daerah merespon hasil
penelitian tersebut dengan menggunakan nasakah akademik sebagai salah satu
dasar dan alat pertimbangan pembentukan produk hukum daerah yang pertisipatif.
Ketika kesadaran bahwa naskah akademik
merupakan wujud konkret partisipasi masyarakat telah terbangun , maka langkah
konkret berikutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan konsultasi publik,
konsultasi publik dalam hal ini dilakukan dalam hal perencanaan pembentukan
produk hukum daerah tahap naskah akademik (Mahendra P. K. Dkk, 2007 : 66). Hal
ini digambarkan sebagai berikut :
Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik Produk Hukum
Daerah
Tahap Naskah Akademik (Academic Draft)
|
|
|
|
Proses
evaluasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan naskah akademik
(Mahendra P. K. dkk, 2007 :69). Adapun proses penyusunan naskah akademik yang
pertisipatif bias dijelaskan dengan gambar sebagai berikut :
Gambar
Proses
penyusunan naskah akademik yang partisipatif
F. Naskah akademik
Pada dasarnya tidak ada format baku dari
sebuah naskah akademik, biasanya naskah akademik disusun secara sistematis
dalam bab-bab. Berdasarkan lampiran surat keputusan kepala badan pembinaan
hokum nasional No. G-159. PR. 09. 10 Tahun 1994 tentang petunjuk teknis
penggunaan naskah akademik peraturan perundang-undangan, naskah akademik
terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Bagian pertama : adalah
laporan hasil pengkajian dan penelitian tentang rancangan undang-undang yang
akan dirancangkan. Secara terperinci, format bagian utama ini adalah sebagai
berikut :
I.
Pendahuluan
1. Latar belakang
2. Tujuan dan kegunaan yang
dicapai
3. Metode pendekatan.
4. Pengorganisasian
II. Ruang lingkup naskah
akademik
1. Ketentuan umum
2. Materi
III. Kesimpulan dan saran
IV. Lampiran
b. Bagian kedua : adalah
rancangan awal konsep undang-undang yang terdiri dari pasal-pasal yang
diusulkan dan sudah memuat saran-saran yang konkret. Formatnya sebagai berikut
:
1. Konsiderans
2. Alas atau dasar hukum;
3. Ketentuan umum;
4. Materi;
5. Ketentuan pidana;
6. Ketentuan peralihan; dan
7. Penutup
Selain format yang diberikan oleh BHPN diatas, terdapat
alternatif format naskah akademik yang lazimnya terdiri dari empat bab yang
tersistematika.
Format Naskah Akademik Alternatif
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang penyusunan berisi tentang hal-hal yang
mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga sangat penting dan
mendesak diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Aspek yang perlu diperhatikan dalm latar belakang ini
adalah aspek idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan (ipoleksosbudhankam).
B. Tujuan
Tujuan penyusunan merupakan hasil yang diharapkan, dengan
diaturnya suatu masalah atau urusan dalam peraturan
perundang-undangan.
C. Metode
Bagaimana cara
menyusun naskah akademik yang bersangkutan (riset normatif atau riset
sosiologis). Dijelaskan bahwa dalam menyusun naskah akademik sengat diperlukan
data yang akurat yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan,
sehingga vakiditasnya tidak diragukan lagi. Metode penggalian data tersebut
dapat dilakukan dengan cara misalnya :
1.
Penelitian;
2.
Polling (jarak
pendapat);
3.
Seminar dan lokakarya;
4.
FGD (focus group disscusion)
diantara stakeholder, dan;
5.
Publik hearing.
BAB II : TELAAH AKADEMIK
A.
Kajian Filosofis
Diuraikan landasan
filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu
masalah kedalam peraturan
perundang-undangan.
B.
Kajian Yuridis
Diurakan landasan
hukum yang berasal dari peraturan
perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan bagi suatu instansi
membuat aturan tertentu dan dasar hukum umtuk mengatur permasalahan (objek)
yang akan diatur.
C.
Kajian Politis
Diuraikan
kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan
dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan.
D.
Kajian sosiologis
Diuraikan realitas
masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, kondisi masyarakat, dan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat).
E.
Konsep-konsep
Menjelaskan ruang
lingkup pengertian istilah-istilah yang dipakai dalam naskah akademik.
BAB III : MATERI DAN RUANG LINGKUP
Pembahasan gambaran umum materi dan ruang lingkup peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat. Umumnya materi dan ruang lingkup peraturan
perundang-undangan terdiri dari :
A.
Pengaturan asas dan tujuan
Asas dan tujuan peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat beberapa nilai-nilai dasar yang
akan mengilhami norma peraturan selanjutnya. Dengan demikian, ruang lingkup peraturan perundang-undanganyang akan
disusun tidak terlepas dari asas dan tujuan dan peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Misalnya didalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup, maka dipakai
asas sustaiability (keberlanjutan), responsibility
(pertanggungjawaban), utility (mamfaat).
B.
Pengaturan hak dan kewajiban
C.
Pengaturan kewenangan dan kelembagaan;
D.
Pengaturan mekanisme.
E.
Pengaturan larangan-larangan.
F.
Pengaturan sangsi dan larangan (jika
perlu).
BAB IV : PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[1] Harry Alexander, 2004, panduan
perancangan undang-undang di Indonesia, jakarta XSYS Solusindo, hlm. 120.
[2] Peraturan presiden nomor 68 tahun 2005
tentang tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang , rancangan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan
rancangan peraturan presiden
[3] Disebut dengan konsep “tritunggal” karena
tiga landasan tersebut baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis tidak
bisa dipisahkan satu sama lain, sehingga keberadaannya disebut dengan 3 (tiga)
yang satu dan 1 (satu) yang tiga.
[4] Keputusan mendagri dan otonomi daerah
nomor 21 tahun 2001 tentang teknik penyusunan dan materi muatan
produk-produk hukum-hukum daerah, hlm. D9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar