ASAS-ASAS
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Asas hukum adalah landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas
tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum layak disebut sebagai alas an
bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratipo legis dari
peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan
suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan
peraturan-peraturan selanjutnya.[1]
Oleh karena itu, paton
menyebutkan sebagai suatu sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang
dan ia menunjukkan, bahwa hukum itu bukan sekadar dari kumpulan
peraturan-peraturan belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum,
hukum itu bukan merupakan sekadar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu
disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan
etis. Apabila kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan
pertimbangan etis disitu. Tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis
yang demikian itu, atau setidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu.[2]
Dari definisi yang diberikan
oleh scholten tersebut, bruggink menyatakan bahwa peranan dari asas hukum
sebagai metakaidah berkenaan dalam kaidah hukum dalam berbentuk kaidah prilaku.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum itu harus dipandang
sebagai bentuk yang kuat atau yang lemah dari metakaidah.[3]
Didalam hal pertama (bentuk
yang kuat), asas hukum itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah berkenaan
dengan kaidah prilaku, dan dengan demikian secara prinsipiil dapat dibedakan
dari jenis kaidah ini. Mereka yang menganut pandangan ini, misalnya menunujuk
asas hukum sebagai kaidah argumentasi berkenaan dengan penerapan kaidah
prilaku. Asas-asas hukum hanya akan memberikan argumen-argumen bagi pedoman
prolaku yang harus diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan
argument-argumen bagi pedoman prilaku yang harus diterapkan dalam asas-asas itu
sendiri tidak memberikan pedoman (bagi perilaku).
Didalam hal kedua (bentuk yang
lemah), asas hukum itu tampaknya dapat dianggap termasuk dalam tipe kaidah yang
berkenaan dengan kaidah perilaku, namun memiliki juga fungsi sejenis seperti
kaidah perilaku. Jadi, hanya terdapat suatu perbedaan gradual saja antara asas
hukum dan kaidah prilaku. Didalam pandangan ini maka asas hukum adalah kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah
perilaku, karena asas hukum ini memainkan peranan pada interpretasi terhadap
aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerapan kaidah hukum.
Berdasarkan itu, maka asas dapat dinyatakan termasuk tipe metakaidah. Asas
hukum itu juga sekaligus merupakan perpanjangan dari kaidah perilaku, karena
asas hukum juga memberikan arah pada perilaku yang dikehendaki.[4]
Para ahli juga memberikan
uraian tentang beberapa perbedaan antara asas hukum dengan kaidah
perilaku(aturan hukum). Pendapat yang banyak dianut oleh banyak teoretisi
adalah bahwa hukum bersifat umum sedangankan kaidah perilaku (aturan hukum)
bersifat khusus. Dengan “umum” dimaksudkan bahwa asas hukum memiliki wilayah
penerapan yang lebih luas ketimbang kaidah perilaku. Makin besar wilayahnya,
makin umum kaidah hukumnya, makin lebih abstrak aturan hukum yang
dirumuskannya.
Didalam suatu system hukum,
maka asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental adalah kaidah hukum yang
paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah “umum” berarti bahwa ia dalam
penerapannya harus dikhususkan dengan mengarahkannya pada situasi factual. Ini
seseungguhnya berarti bahwa kaidah hukum itu tidak cukup jelas mengharuskan,
bagaimana serharusnya orang berperilaku pada situasi factual itu. Dalam hal
kaidah perilaku yang terjadi justru yang sebaliknya. Kaidah hukum yang khusus
ini, yang timbul dari aturan hukum yang dirumuskan lebih konkret, memberikan
pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Asas hukum sebagai kaidah hukum yang
umum hanya memberikan suatu ukuran nilai. Ukuran nilai itu baru didalam kaidah
perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus memperoleh bentuk yang sedemikian
rupa, sehingga memunculkan pedoman yang jelas bagi perbuatan, misalnya dengan
jalan memberikan suatu hak atau meletakkan (membebankan) suatu kewajiban.[5]
Perbedaan kedua antara asas
hukum dan kaidah perilaku (aturan hukum) antara lain diajukan oleh Paul
Scholten dan berada dalm garis pikiran dari perbedaan pertama. Scholten
berpendapat bahwa aturan hukum memiliki isi jauh lebih konkret, yang
menyebabkan aturan itu dalam penemuan hukum dapat diterapkan secara langsung.
Berlawanan dengan itu asas hukum dalam penemuan hukum memilki daya kerja secara
tidak langsung, yakni menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap aturan
hukum. Aturan hukum terbentuk karena pembentuk undang-undang dalam pembentukan
aturannya atau hakim dalam pemutusan hukumnya menimbang-nimbang berbagai asas
hukum yang satu terhadap yang lain.[6]
P.W Brouwer menyatakan bahwa
perbedaan antara asas hukum dan aturan hukum terdapat dalam kekuatan
inferensial. Selanjutnya ia menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak dapat
dijabarkan dari perumusan dari ukuran, melainkan dari cara bagaimana orang
menggunakan aturan tersebut. Sebagai contoh ia mengajukan aturan “tiada hukum
tanpa kesalahan” kita menggunakan ukuran ini sebagai aturan, jika kita menerima
bahwa ketidakberadaan kesalahan secara logis niscaya dengan sendirinya membawa
kepada kesimpulan bahwa tiada hukuman boleh dijatuhkan. Kita menggunakan aturan
ini sebagai asas, jika kita mengganggap ketidakberadaan kesalahan sebagai
alasan untuk eventual (dalam hal tertentu) tidak menjalankan hukuman, tetapi
alasan ini tidak harus selalu di ikuti.
Didalam perspektif pembentukan
peraturan, Montesquieu didalam karyanya L’esperit des lois mengemukakan
sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi didalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, yakni :
1. Gaya
peraturannya hendak padat dan sederhana. Ini mengandung arti bahwa pengutaraan
dengan menggunakan ungkapan kebesaran dan retotik hanya merupakan tambahan yang
menyesatkan dan mubazir.
2. Istilah
yang harus dipilih hendaknya bersifat mutlak dan relatif, sehingga dengan
demikian memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan pendapat yang individual.
3. Hukum
hendaknya membatasi diri pada hal-hal riil dan actual dengan menghindari
hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesisi.
4. Hukum
hendaknya tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi, oleh karena itu ditujukan
kepada rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, bahasa hukum tidak
untuk latihan penggunaan logika
melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa dipahami oleh orang rata-rata.
5. Hukum
setidaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan atau
perubahan, guanakan semua itu jika benar-benar diperlukan.
6. Hukum
setidaknya tidak bersifat debatable (argumentatif) adalah bahaya merincikan alaan-alasan karena hal itu
akan menimbulkan konflik.
7. Lebih dari itu semua, pembentukan hukum
setidaknya mempertimbangkan masak-masak dam mempunyai mamfaat praktis dan
hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi petimbangan dasar keadilan dan hakikat
permasalahan, sebab hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akan membawa
seluruh sistem perundang-undangan mendapat citra buruk dan menggoyahkan
legitimasi negara.[7]
Lebih
lanjut terhadap 7 (tujuh) asas atau principle of legality yang
disebutkan oleh Lon L. Fuller dalam bukunya Morality of Law, yaitu:
1. Suatu
sistem hukum harus
mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah bahwa ia tidak
boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan bersifat ad hoc.
2. peraturan-peraturan yang telah dibuat
itu harus di umumkan.
3. Tidak boleh ada hukum yang berlaku
surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu
tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan
berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku
bagi waktu yang akan datang.
4. peraturan-peraturan harus disusun dalam
rumusan yang bisa dimengerti. Suatu sistem tidak boleh mengandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
5. peraturan-peraturan tidak boleh
mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan.
6. Tidak boleh ada kebiaaan untuk sering
megubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan
orientasi.
7. Arus ada kecocokan antara peraturan
yang diundangkan dengan pelaksanaan yang sehari-hari.[8]
Sementara
itu Van der Vlies membagi asas didalam pembentukan peraturan yang patut ke
dalam asas yang formal dan materiil. Adapun asas yang formal, meliputi :
1.
Asas
tujuan yang jelas, yang
mencakup tiga hal, yakni mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan
dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan yang akan
dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk tersebut.
2.
Asas
organ/lembaga yang tepat, hal
ini untuk menegaskan kejelasan organ yang menetapkan peraturan perundang-undangan
tersebut.
3.
Asas
perlunya pengaturan, merupakan
prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif maupun relevansi dibentuknya
peraturan untuk menyelesaikan problema pemerintahan.
4.
Asas
dapatnya dilaksanakan, yaitu
peraturan yang dibuat seharusnya dapat ditegakkan secara efektif.
5.
Asas
konsensus, yaitu kesepakatan
rakyat untu melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu peraturan secara
konsekuen.
Sedang asas-asas materiil, meliputi :
1.
Asas
tentang terminologi dan sistematika yang benar, artinya setiap perubahan hendaknya dapat dipahami oleh
rakyat.
2.
Asas
perlakuan yang sama dalam hukum, hal demikian untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam
memperoleh pelayanan hukum.
3.
Asas
kepastian hukum (asas
legalitas), artinya peraturab yang dibuat mengandung aspek konsistensi walaupun
di implementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda.
4.
Asas
pelaksaan hukum sesuai dengan keadaan individual, asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus
bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menyangkut kepentingan
individual.[9]
Berkenaan
dengan asas-asas pembentukan hukum peraturan perundang-undangan di indonesia,
Attamimi mengemukakan 3 (tiga) macam asas yang secara berurutan di susun,
sebagai berikut :
1.
Asas
cita hukum indonesia, pancasila
disamping sebagai rechtsidee juga merupakan norma fundamental negara.
2.
Asas
bernegara berdasarkan asas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi. Berdasarkan prinsip
diundang-undang sebagai alat pengaturan yang khas ditempatkan dalam keutamaan
hukum dan juga sebagai dasar dan batas penyelenggaraan pemerintahan.
Berbagai
pendapat yang pernah dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dijelaskan
sebelumnya sebagian besar sudah diakomodasi menjadi hukum positif. Di dalam
pasal 5 undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan (UUP3) disebutkan
asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain :
1.
Asas
kejelasan tujuan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2.
Asas
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum
bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang.
3.
Asas
kesesuaian antara jenis dengan materi muatan
Di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
4. Asas
dapat dilaksanakan
Setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosialogi.
5. Asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan
Setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermamfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6. Asas
kejelasan rumusan
peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7.
Asas
keterbukaan
Di dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Di
dalam pasal 6 Uup3 dinyatakan bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan mengandung asas :
1.
Penganyoman
Setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
2.
Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional.
3.
Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa indonesia yang
pluralistrik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
republik indonesia (NKRI).
4.
Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
didalam setiap pengambilan keputusan.
5.
Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh wilayah
indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan pancasila.
6.
Bhinneka
Tunggal Ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memerhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7.
Keadilan
setiap materi peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan serta proposional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
8.
Kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintah
Materi peraturan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial.
9.
Ketertiban
dan kepastian hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10. Keseimbangan, keserasian, keselarasan
Materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.
[1] Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu hokum, bandung
: hlm.85.
[2] Ibid
[3] J.J.H. Bruggink, Op, cit, hlm.120.
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm.124.
[6] Ibid, hlm.125.
[7] Pendapat ini dikutip oleh sumali dari
disertasi Hamid, S. Attamimi. Lihat Sumali, reduksi kekuasaan eksekutif di
bidang peraturan pengganti UU (perpu), UMM press, malang 2002, hlm.124-125.
[8] Pendapat Fuller dikutip oleh Satjipto,
raharjo dalam bukunya, ilmu hukum, Alumni, Bandung 1986
hlm.91-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar