View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Asas hukum adalah landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum layak disebut sebagai alas an bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratipo legis dari peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.[1]

Oleh karena itu, paton menyebutkan sebagai suatu sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia menunjukkan, bahwa hukum itu bukan sekadar dari kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan merupakan sekadar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Apabila kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan pertimbangan etis disitu. Tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu.[2]

Dari definisi yang diberikan oleh scholten tersebut, bruggink menyatakan bahwa peranan dari asas hukum sebagai metakaidah berkenaan dalam kaidah hukum dalam berbentuk kaidah prilaku. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum itu harus dipandang sebagai bentuk yang kuat atau yang lemah dari metakaidah.[3]

Didalam hal pertama (bentuk yang kuat), asas hukum itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah berkenaan dengan kaidah prilaku, dan dengan demikian secara prinsipiil dapat dibedakan dari jenis kaidah ini. Mereka yang menganut pandangan ini, misalnya menunujuk asas hukum sebagai kaidah argumentasi berkenaan dengan penerapan kaidah prilaku. Asas-asas hukum hanya akan memberikan argumen-argumen bagi pedoman prolaku yang harus diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan argument-argumen bagi pedoman prilaku yang harus diterapkan dalam asas-asas itu sendiri tidak memberikan pedoman (bagi perilaku).

Didalam hal kedua (bentuk yang lemah), asas hukum itu tampaknya dapat dianggap termasuk dalam tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku, namun memiliki juga fungsi sejenis seperti kaidah perilaku. Jadi, hanya terdapat suatu perbedaan gradual saja antara asas hukum dan kaidah prilaku. Didalam pandangan ini maka asas hukum adalah  kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena asas hukum ini memainkan peranan pada interpretasi terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerapan kaidah hukum. Berdasarkan itu, maka asas dapat dinyatakan termasuk tipe metakaidah. Asas hukum itu juga sekaligus merupakan perpanjangan dari kaidah perilaku, karena asas hukum juga memberikan arah pada perilaku yang dikehendaki.[4]

Para ahli juga memberikan uraian tentang beberapa perbedaan antara asas hukum dengan kaidah perilaku(aturan hukum). Pendapat yang banyak dianut oleh banyak teoretisi adalah bahwa hukum bersifat umum sedangankan kaidah perilaku (aturan hukum) bersifat khusus. Dengan “umum” dimaksudkan bahwa asas hukum memiliki wilayah penerapan yang lebih luas ketimbang kaidah perilaku. Makin besar wilayahnya, makin umum kaidah hukumnya, makin lebih abstrak aturan hukum yang dirumuskannya.

Didalam suatu system hukum, maka asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental adalah kaidah hukum yang paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah “umum” berarti bahwa ia dalam penerapannya harus dikhususkan dengan mengarahkannya pada situasi factual. Ini seseungguhnya berarti bahwa kaidah hukum itu tidak cukup jelas mengharuskan, bagaimana serharusnya orang berperilaku pada situasi factual itu. Dalam hal kaidah perilaku yang terjadi justru yang sebaliknya. Kaidah hukum yang khusus ini, yang timbul dari aturan hukum yang dirumuskan lebih konkret, memberikan pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Asas hukum sebagai kaidah hukum yang umum hanya memberikan suatu ukuran nilai. Ukuran nilai itu baru didalam kaidah perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus memperoleh bentuk yang sedemikian rupa, sehingga memunculkan pedoman yang jelas bagi perbuatan, misalnya dengan jalan memberikan suatu hak atau meletakkan (membebankan) suatu kewajiban.[5]

Perbedaan kedua antara asas hukum dan kaidah perilaku (aturan hukum) antara lain diajukan oleh Paul Scholten dan berada dalm garis pikiran dari perbedaan pertama. Scholten berpendapat bahwa aturan hukum memiliki isi jauh lebih konkret, yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan hukum dapat diterapkan secara langsung. Berlawanan dengan itu asas hukum dalam penemuan hukum memilki daya kerja secara tidak langsung, yakni menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap aturan hukum. Aturan hukum terbentuk karena pembentuk undang-undang dalam pembentukan aturannya atau hakim dalam pemutusan hukumnya menimbang-nimbang berbagai asas hukum yang satu terhadap yang lain.[6]

P.W Brouwer menyatakan bahwa perbedaan antara asas hukum dan aturan hukum terdapat dalam kekuatan inferensial. Selanjutnya ia menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak dapat dijabarkan dari perumusan dari ukuran, melainkan dari cara bagaimana orang menggunakan aturan tersebut. Sebagai contoh ia mengajukan aturan “tiada hukum tanpa kesalahan” kita menggunakan ukuran ini sebagai aturan, jika kita menerima bahwa ketidakberadaan kesalahan secara logis niscaya dengan sendirinya membawa kepada kesimpulan bahwa tiada hukuman boleh dijatuhkan. Kita menggunakan aturan ini sebagai asas, jika kita mengganggap ketidakberadaan kesalahan sebagai alasan untuk eventual (dalam hal tertentu) tidak menjalankan hukuman, tetapi alasan ini tidak harus selalu di ikuti.

Didalam perspektif pembentukan peraturan, Montesquieu didalam karyanya L’esperit des lois mengemukakan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi didalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni :

1.      Gaya peraturannya hendak padat dan sederhana. Ini mengandung arti bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan kebesaran dan retotik hanya merupakan tambahan yang menyesatkan dan mubazir.
2.      Istilah yang harus dipilih hendaknya bersifat mutlak dan relatif, sehingga dengan demikian memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan pendapat yang individual.
3.      Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal riil dan actual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesisi.
4.      Hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi, oleh karena itu ditujukan kepada rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, bahasa hukum tidak untuk latihan  penggunaan logika melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa dipahami oleh orang rata-rata.
5.      Hukum setidaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan atau perubahan, guanakan semua itu jika benar-benar diperlukan.
6.      Hukum setidaknya tidak bersifat debatable (argumentatif) adalah bahaya merincikan alaan-alasan karena hal itu akan menimbulkan konflik.
7.      Lebih dari itu semua, pembentukan hukum setidaknya mempertimbangkan masak-masak dam mempunyai mamfaat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi petimbangan dasar keadilan dan hakikat permasalahan, sebab hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akan membawa seluruh sistem perundang-undangan mendapat citra buruk dan menggoyahkan legitimasi negara.[7]


Lebih lanjut terhadap 7 (tujuh) asas atau ­principle of legality yang disebutkan oleh Lon L. Fuller dalam bukunya Morality of Law,  yaitu:

1.      Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan bersifat ad hoc.
2.      peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus di umumkan.
3.      Tidak boleh ada hukum yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4.      peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
5.      peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan.
6.      Tidak boleh ada kebiaaan untuk sering megubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
7.      Arus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan yang sehari-hari.[8]

Sementara itu Van der Vlies membagi asas didalam pembentukan peraturan yang patut ke dalam asas yang formal dan materiil. Adapun asas yang formal, meliputi :

1.      Asas tujuan yang jelas, yang mencakup tiga hal, yakni mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan yang akan dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk tersebut.
2.      Asas organ/lembaga yang tepat, hal ini untuk menegaskan kejelasan organ yang menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut.
3.      Asas perlunya pengaturan, merupakan prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif maupun relevansi dibentuknya peraturan untuk menyelesaikan problema pemerintahan.
4.      Asas dapatnya dilaksanakan, yaitu peraturan yang dibuat seharusnya dapat ditegakkan secara efektif.
5.      Asas konsensus, yaitu kesepakatan rakyat untu melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu peraturan secara konsekuen.

Sedang asas-asas materiil, meliputi :

1.      Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar, artinya setiap perubahan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat.
2.      Asas perlakuan yang sama dalam hukum, hal demikian untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan hukum.
3.      Asas kepastian hukum (asas legalitas), artinya peraturab yang dibuat mengandung aspek konsistensi walaupun di implementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda.
4.      Asas pelaksaan hukum sesuai dengan keadaan individual, asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menyangkut kepentingan individual.[9]

Berkenaan dengan asas-asas pembentukan hukum peraturan perundang-undangan di indonesia, Attamimi mengemukakan 3 (tiga) macam asas yang secara berurutan di susun, sebagai berikut :

1.      Asas cita hukum indonesia, pancasila disamping sebagai rechtsidee juga merupakan norma fundamental negara.
2.      Asas bernegara berdasarkan asas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi. Berdasarkan prinsip diundang-undang sebagai alat pengaturan yang khas ditempatkan dalam keutamaan hukum dan juga sebagai dasar dan batas penyelenggaraan pemerintahan.
3.      Asas lainnya meliputi asas formal dan asas materiil.[10]


Berbagai pendapat yang pernah dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dijelaskan sebelumnya sebagian besar sudah diakomodasi menjadi hukum positif. Di dalam pasal 5 undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan  (UUP3) disebutkan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain :

1.      Asas kejelasan tujuan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

2.      Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang.

3.      Asas kesesuaian antara jenis dengan materi muatan
Di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

4.      Asas dapat dilaksanakan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosialogi.

5.      Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermamfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

6.      Asas kejelasan rumusan
peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7.      Asas keterbukaan
Di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Di dalam pasal 6 Uup3 dinyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas :

1.      Penganyoman
Setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

2.      Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan  hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional.

3.      Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa indonesia yang pluralistrik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan republik indonesia (NKRI).

4.      Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat didalam setiap pengambilan keputusan.

5.      Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh wilayah indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila.

6.      Bhinneka Tunggal Ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memerhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif  dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7.      Keadilan
setiap materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan serta proposional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.

8.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah
Materi peraturan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

9.      Ketertiban dan kepastian hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

10.  Keseimbangan, keserasian, keselarasan
Materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.


[1] Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu hokum, bandung : hlm.85.
[2] Ibid
[3] J.J.H. Bruggink, Op, cit, hlm.120.
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm.124.
[6] Ibid, hlm.125.
[7] Pendapat ini dikutip oleh sumali dari disertasi Hamid, S. Attamimi. Lihat Sumali, reduksi kekuasaan eksekutif di bidang peraturan pengganti UU (perpu),  UMM press, malang 2002, hlm.124-125.
[8] Pendapat Fuller dikutip oleh Satjipto, raharjo dalam bukunya, ilmu hukum, Alumni, Bandung 1986 hlm.91-92
[9] Sumali, Op, cit, hlm. 126-127.
[10] Ibid, hlm.127.

Tidak ada komentar: