View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

FUNGSI PERATURAN DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


FUNGSI PERATURAN DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A.     FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan yang tertulis oleh pejabat yang berwenang dalam kekuasaan legislative berdasarkan wewenang atribusi atau delegasi maupun wewenang kekuasaan eksekutif semata-mata berdasarkan wewenang delegasi yang materi muatannya berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengika secara umum.

Aturan tingkah laku yang mengikat secara umum itu dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau tatanan. Ciri mengikat secara umum tersebut merupakan ciri pembeda dengan keputusan yang bersifat mengikat secara individual dan konkret, sebagai ciri Yang melekat pada keputusan yang berupa ketetapan/penetapan atau keputusan ata usaha negara (beschikking).

Sebagai pengertian yang bersifat akademis tentang peraturan perundang-undangan dan bescking (ketetapan) bedasarkan ciri yang melekat pada masing-masing keputusan tertulis tersebut, tetapi dalam praktik ada kemungkinan bahwa sesuatu keputusan tertulis yang berbentuk peraturan perundang-undangan menurut ciri yang bersifat umum dan sekaligus juga berisi ciri yang bersifat individual dan konkret. Dengan kata lain, suatu peraturan perundang-undangan yang berisi ketetapan. Dalam keadaan seperti yang dijelaskan sebelumnya tidaklah mudah menentukan apakah suatu aturan benar-benar merupakan peraturan perundang-undangan atau ketetapan. Sebagai contoh, yaitu undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang daerah pembentukan kabupaten, atau APBD dan peraturan daerah tentang perubahan APBD.

Apabila dilihat dari segi sifat materi muatannya itu bersifat konkret dalam arti tidak mengikat secara umum, tetapi mengikat pemerintah saja dan telah jelas kabupaten yang dibentuk (untuk tingkat pusat), demikian pula tidak mengikat rakyat secara umum dikabupaten tersebut khususnya mengenai peraturan daerah tentang APBD, tetapi hanya mengikat pemerintah dalam mengeluarkan anggaran untuk satu tahun bagi tingkat daerah kabupaten yang bersangkutan.

Apabila dilihat dari segi pembentukan saja, maka undang-undang dan peraturan tersebut diatas merupakan peraturan perundang-undangan tetapi jika dilihat materi muatannya lebih mendekati ciri suatu ketetapan (beschikking).

Dari ilustrasi tersebut diatas, dalam kepustakaan dipandang sebagai peraturan perundang-undangan formal (undang-undang formal) yaitu dilihat dari segi pembentukannya, sehingga tetap merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan.

Menurut P.J.P Tak (Manan, 1997 :125) bahwa peraturan perundang-undangan memuat unsur, sebagai berikut :

1.      peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis.
2.      peraturan perundang-undangan terbentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku umum dan mengikat secara umum.
3.      peraturan perundang-undangan yang bersifat umum tidak dimaksudkan harus berlaku mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Karena tidak dimaksudkan sebagai ketentuan yang hendak berlaku pada peristiwa konkret tertentu atau individu tertentu, maka lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari pada mengikat umum.

Berdasarkan adanya peraturan perundang-undangan yang materinya berlaku terhadap hal yang konkret atau individu serta adanya keputusan yang berlaku terhadap hal yang bersifat umum yang dikeluarka oleh administrasi negara atau peraturan perundang-undangan semu (pseudowetgeving), maka GM. De Shipper dan J.P.A.F Turiens dalam Manan (1997 :127) mengelompokkan keputusan yang bersifat peraturan, sebagai berikut :

a.       Keputusan yang merupakan peraturan perundang-undangan.
b.      Keputusan yang mengandung sekaligus unsur-unsur peraturan perundang-undangandan ketetapan. Termasuk dalam kategori ini adalah perencanaan (het plan) dan peraturan perundang-undangan (pseudowetgeving).
c.       Keputusan yang bersangkutan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perencanaan dan peraturan perundang-undangan semu diatas.

Sebagai bandingan, (Manan, 1997 :126-137) bahwa dalam berbagai kepustakaan dan peraturan perundang-undangan di Belanda telah berkembang berbagai bentuk keputusan lain, bentuk-bentuk tersebut secara materiil terdapat pula di indonesia.

Aneka ragam bentuk keputusan tersebut ialah :

a.      Algemene verbindendevoorchriften (peraturan perundang-undangan).
b.      Beschikking (ketetapan atau penetapan)
Ketetapan merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Jadi, ada dilapangan administrasi negara.

c.       Beleidsre gel (peraturan kebijakan)
Didalam keputusan Belanda ada berbagai nama lain dari peraturan kebijakan, yakni pseudowetgeving (vander hauven). Wewenang badan atau pejabat tata usaha negara membuat peraturan kebiajakan berdasarkan pada asas bertindak ataupun lazim disebut Freles ermessen.

d.      Het plan (perencanaan)
Beberapa karakter het plan :
1)      Perencanaan merupakan ketetapan
2)      Perencanaan sebahagian merupakan peraturan
3)      Perencanaan merupakan suatu bentuk hukum tersendiri (een rechtfiguur sui generies); dan
4)      Perencanaan adalah suatu bentuk peraturan (regeling).
(Manan, 1997 :126-137).

Didalam sistem ketatanegaraan negara indonesia, perencanaan(het paln) tidak selalu merupakan keputusan tata usaha negara, misalnya GBHN yang ditetapkan oleh MPR bukan keputusan tata usaha negara. Repelita ditetapkan dengan keputusan presiden adalah keputusan tata usaha negara.

Demikian pula peraturan tata ruang yang ditetapkan oleh undang-undang atau dengan peraturan daerah bukan atau tidak termasuk keputusan tata usaha negara.

Dari studi perbandingan di atas, tampak berbagai penamaan peraturan tertulis di Belanda terdapat juga di Indonesia dengan nama peraturan perundang-undangan, ketetapan atau penetapan, peraturan kebijakan, dan sebagainya. Sama halnya di Belanda penamaan-penamaan tersebut bersifat akademik. Artinya, dalam bentuk resmi tidak akan dijumpai nama tersebut.

Di dalam bentuk resmi dijumpai adalah peraturan perundang-undangan, keputusan, instruksi, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, dan sebagainya (Manan, 1997 : 138).

Adapun fungsi peraturan perundang-undangan menurut Manan (1997 : 139-143), ada dua kelompok utama fungsi peraturan perundang-undangan yaitu fungsi internal dan eksternal, sebagai berikut :

1.      Fungsi Internal
Fungsi Internal merupakan fungsi sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi yaitu :

a.       Fungsi penciptaan hukum (recths chepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara, yaitu melalui keputusan hakim (yurisprudensi), kebiasaan yang timbul didalam praktik dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan. Secara tidak langsung hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum, merupakan sendi utama sistem hukum nasional.

Pemakaian perundang-undang sebagai sendi utama sistem  hukum nasional karena :

(i)                  Sistem hukum Indonesia sebagai akibat sistem hukum Belanda lebih menempatkan kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum tertulis (gescreverecht/written low).
(ii)                Politik pembangunan hukum nasional mengutamakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen utamanya dibandingkan dengan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena bangunan hukum nasional yang menggunakan perundang-undangan sebagai instrumen dapat disusun secara berencara (dapat direncanakan).

b.      Fungsi pembaharuan hukum. peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncanakan. peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada, tetapi dapat pula digunakan sebagai sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dan masa hukum Belanda. Tidak kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah merdeka) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum adat dan kebiasaan peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan dan hukum adat yan tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemamfaatan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan  dan hukum adat sangat bermamfaat, karena hal-hal yang tertentu kedepan hukum yang disebut belakangan tersebut  sangat rigid terhadap perubahan.

c.       Fungsi Integrasi
Pluralisme sistem hukum pada saat ini, di indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu sistem hukum kontinental (barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya islam), dan sistem hukum nasional. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan  salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali.

Pembaharuan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam suatu tatnan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme sistem huum yang sepenuhnya digantungkan pada kebutuhan hukum masyarakat, kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada kebutuhan dan keadaan masyarakat yang bersangkutan.

d.      Fungsi kepastian hukum
Kepastian hukum asas penting di dalam tindakan hukum dan penegakan hukum. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasaan dan hukum adat atau hukum yurisprudensi.

Namun perlu diketahui kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis. Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum harus memnuhi syarat-syarat lain  yaitu:

(i)                  Jelas dalm perumusannya (unambiguous)
(ii)                Konsisten dalam perumusannya baik secara intern maupun ektern. Konsisten intern mengandung makna bahwa di dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan, dan bahasa. Konsisten secara ektern adalah adanya hubungan “harmonisasi” antara berbagai peraturan perundang-undangan.
(iii)               Penyusunan bahasa yang dapat mudah dimengerti yaitu menggunakan bahasa/istilah yang umu digunakan masyarakat. Tetapi tidak berarti bahasa hukum tidak penting, bahasa hukum baik dalam arti struktur, peristilahan atau cara penulisan tertentu harus digunakan secara ajek karena merupakan bagian dari upaya menjamin terwujudnya kepastian hukum.

2.      Fungsi eksternal
Fungsi eksternal sebagai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan tempatnya berlaku. Fungsi ini dapat disebut fungsi sosial hukum, dengan demikian berlaku juga terhadap hukum kebiasaan dan hukum adat serta hukum yurisprudensi. Fungsi sosial ini akan lebih baik digunakan oleh peraturan perundang-undangan karena berbagai pertimbangan, yaitu :

a.       Fungsi perubahan
Fungsi perubahan ini, yaitu hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law us a tool of social engineering) adalah peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Misalnya masyarakat patrilineal atau matrilineal dapat didorong menuju masyarakat parental melalui peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan.

b.      Fungsi stabilisasi
peraturan perundang-undangan dibidang pidana, ketertiban, dan keamanan merupakan kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata kerja perdagangan dan sebagainya. Demikian pula dilapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem sosial-budaya yang telah ada (Manan, 1997 : 144).

c.       Fungsi kemudahan
Fungsi kemudahan dapat berfungsi sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas) peraturan yang berisi insentif, seperti keringanan pajak, penundaan persewaan atau penagihan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permohonan dalam penanaman modal merupakan kaidah kenudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya peraturan kemudahan akan serta-merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan yang di sebutka di atas diperlukan juga persyaratan lain, seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan sebagaimana. (Manan, 1997 : 144).


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa fungsi hukum tidak dapat dipersamakan dengan fungsi perundang-undangan. Fungsi hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari setiap sumber hukum (sebagaiamana telah di uraikan sebelumnya), sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan adalah fungsi dari salah satu sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan itu sendiri.


B.     MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Istilah materi muatan pertama kali  digunakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai terjemah dari suatu padanan istilah”het onderwerp” (Attamimi, 1990 :194). Menurut Attamimi materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan Negara dapat ditentukan atau tidak, bergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan negara tersebut serta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan negara yang menenukannya.di Negara-negara yang tumbuh dengan sejarah kekuasaan negara yang mula-mula berada di satu tangan (raja atau kepala negara) dengan kekuasaan mutlak, kemudian terjadi dualisme karena terjadi pergeseran kekuasaan yang terbagi antara rakyat dan raja/kepala negara, dan akhirnya terjadi perpindahan titik berat kekuasaan dan raja/kepala negara kepada rakyat, maka batas ruang lingkup materi muatan peraturan negara tidak dapat ditentukan dengan pasti. Benar apa yang dikatakan Krabbe, di negeri Belanda soal-soal politiklah yang menentukan lingkup materi muatan dan karena ini tidak dapat ditentukan batas-batasnya (Attamimi, 1990 : 206). Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan misalnya undang-undang dalm hubungan ini, Attamimi menyatakan bahwa karateristik undang-undang di republik Indonesia berbeda dengan wet di negeri Belanda. Undang-undang Indonesia merupakan perwujudan dari penyelenggaraan pemerintahan negara yang berada di dalam kekuasaan presiden. Sebagaimana diatur di dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang; hanya saja pembentukannya perlu dilakukan dengan persetujuan DPR. Karena undang-undang merupakan wujud yang khusus dari kekuasaan pengaturan oleh presiden, dan berbeda dengan kekuasaan-kekuasaan pengaturan presiden lainnya. Pembentukna undang-undang tidak dilakukan sendiri melainkan dengan persetujuan DPR, maka “wujud yang khusus” itu tentunya selalu merupakan bagian tertentu dan karena itu dapat ditetapkan batas-batasnya (Attamimi, 1990 : 207).

Sebagai perbandingan wet di negeri Belanda berbeda dengan undang-undang di Indonesia. Pasal 81 grondwet Belanda menggariskan, bahwa penetapan/pembentukan wet dilakukan oleh pemerintah (regering) dan staten-general bersama-sama. Kemudian di dalam pasal 139 dicamtumkan, bahwa perubahan grondwet yang telah diterima oleh staten-general dan disahkan oleh raja, langsung berlaku setelah diumumkan. Dengan demikian, pembentukan  wet dan pembentukan/perubahan grondwet dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sama, hanya dengan cara yang khusus, misalnya kamar-kamar pada staten-general dibubarkan terlebih dahulu (pasal 137 ayat (3) grond wet ). Sedangkan undag-undang Indonesia dibentuk oleh lembaga tinggi negara, yaitu presiden dengan persetujuan lembaga tinggi nergara yaitu DPR. Selain itu,  UUD dibentuk/diubah oleh lembaga yang berlainan sama sekali, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Maka dapatlah dimengerti, apabila wet tidak akan ditetapkan materi muatannya atau tidak dapat ditentukan batas-batas lingkupnya karena wet dan grondwet dibentuk oleh lembaga-lembaga yang sama, yang juga menyelenggarakan kedaulatan rakyat.undang-undang Indonesia berbeda dengan wet, selain karena lingkup bidangnya khusus, juga dibentuk oleh suatu lembaga tinggi negara dengan persetujuan lembaga tinggi negara lain yang kedua-duanya tidak menyelenggarakan kedaulatan rakyat (Attamimi, 1990 : 208).

Tidak ada komentar: