FUNGSI PERATURAN DAN MATERI
MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. FUNGSI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan
peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan yang tertulis oleh pejabat
yang berwenang dalam kekuasaan legislative berdasarkan wewenang atribusi atau
delegasi maupun wewenang kekuasaan eksekutif semata-mata berdasarkan wewenang
delegasi yang materi muatannya berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengika
secara umum.
Aturan
tingkah laku yang mengikat secara umum itu dapat berisi ketentuan-ketentuan
mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau tatanan. Ciri mengikat secara
umum tersebut merupakan ciri pembeda dengan
keputusan yang bersifat mengikat secara individual dan konkret, sebagai ciri
Yang melekat pada keputusan yang berupa ketetapan/penetapan atau keputusan ata
usaha negara (beschikking).
Sebagai pengertian yang bersifat akademis tentang peraturan
perundang-undangan dan bescking (ketetapan)
bedasarkan ciri yang melekat pada masing-masing keputusan tertulis tersebut,
tetapi dalam praktik ada kemungkinan bahwa sesuatu keputusan tertulis yang
berbentuk peraturan perundang-undangan menurut ciri yang bersifat umum dan sekaligus juga
berisi ciri yang bersifat individual dan konkret. Dengan kata lain, suatu peraturan
perundang-undangan yang berisi
ketetapan. Dalam keadaan seperti yang dijelaskan sebelumnya tidaklah mudah
menentukan apakah suatu aturan benar-benar merupakan peraturan
perundang-undangan atau ketetapan.
Sebagai contoh, yaitu undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang
daerah pembentukan kabupaten, atau APBD dan peraturan daerah tentang perubahan
APBD.
Apabila dilihat dari segi sifat materi muatannya itu
bersifat konkret dalam arti tidak mengikat secara umum, tetapi mengikat
pemerintah saja dan telah jelas kabupaten yang dibentuk (untuk tingkat pusat),
demikian pula tidak mengikat rakyat secara umum dikabupaten tersebut khususnya
mengenai peraturan daerah tentang APBD, tetapi hanya mengikat pemerintah dalam
mengeluarkan anggaran untuk satu tahun bagi tingkat daerah kabupaten yang
bersangkutan.
Apabila dilihat dari segi pembentukan saja, maka
undang-undang dan peraturan tersebut diatas merupakan peraturan
perundang-undangan tetapi jika dilihat
materi muatannya lebih mendekati ciri suatu ketetapan (beschikking).
Dari ilustrasi tersebut diatas, dalam kepustakaan
dipandang sebagai peraturan perundang-undangan formal (undang-undang formal) yaitu dilihat dari segi
pembentukannya, sehingga tetap merupakan suatu bentuk peraturan
perundang-undangan.
Menurut P.J.P Tak (Manan, 1997 :125) bahwa peraturan
perundang-undangan memuat unsur, sebagai
berikut :
1.
peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, maka peraturan
perundang-undangan sebagai kaidah hukum
lazim disebut hukum tertulis.
2.
peraturan perundang-undangan terbentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan,
organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku umum dan mengikat
secara umum.
3.
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum tidak dimaksudkan harus berlaku
mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak berlaku
terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Karena tidak dimaksudkan
sebagai ketentuan yang hendak berlaku pada peristiwa konkret tertentu atau
individu tertentu, maka lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang mengikat
secara (bersifat) umum dari pada mengikat umum.
Berdasarkan adanya peraturan perundang-undangan yang materinya berlaku terhadap hal yang
konkret atau individu serta adanya keputusan yang berlaku terhadap hal yang bersifat
umum yang dikeluarka oleh administrasi negara atau peraturan
perundang-undangan semu (pseudowetgeving),
maka GM. De Shipper dan J.P.A.F Turiens dalam Manan (1997 :127)
mengelompokkan keputusan yang bersifat peraturan, sebagai berikut :
a.
Keputusan
yang merupakan peraturan perundang-undangan.
b.
Keputusan
yang mengandung sekaligus unsur-unsur peraturan
perundang-undangandan ketetapan.
Termasuk dalam kategori ini adalah perencanaan (het plan) dan peraturan
perundang-undangan (pseudowetgeving).
c.
Keputusan
yang bersangkutan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perencanaan dan peraturan perundang-undangan semu diatas.
Sebagai
bandingan, (Manan, 1997 :126-137) bahwa dalam berbagai kepustakaan dan
peraturan perundang-undangan di Belanda telah berkembang berbagai bentuk
keputusan lain, bentuk-bentuk tersebut secara materiil terdapat pula di
indonesia.
Aneka
ragam bentuk keputusan tersebut ialah :
a.
Algemene verbindendevoorchriften (peraturan perundang-undangan).
b.
Beschikking (ketetapan atau penetapan)
Ketetapan
merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Jadi, ada dilapangan
administrasi negara.
c.
Beleidsre gel (peraturan kebijakan)
Didalam
keputusan Belanda ada berbagai nama lain dari peraturan kebijakan, yakni pseudowetgeving
(vander hauven). Wewenang badan atau pejabat tata usaha negara membuat
peraturan kebiajakan berdasarkan pada asas bertindak ataupun lazim disebut Freles
ermessen.
d.
Het plan (perencanaan)
Beberapa
karakter het plan :
1) Perencanaan merupakan ketetapan
2) Perencanaan sebahagian merupakan
peraturan
3) Perencanaan merupakan suatu bentuk
hukum tersendiri (een rechtfiguur sui generies); dan
4) Perencanaan adalah suatu bentuk
peraturan (regeling).
(Manan, 1997 :126-137).
Didalam
sistem ketatanegaraan negara indonesia, perencanaan(het paln) tidak
selalu merupakan keputusan tata usaha negara, misalnya GBHN yang ditetapkan
oleh MPR bukan keputusan tata usaha negara. Repelita ditetapkan dengan
keputusan presiden adalah keputusan tata usaha negara.
Demikian
pula peraturan tata ruang yang ditetapkan oleh undang-undang atau dengan
peraturan daerah bukan atau tidak termasuk keputusan tata usaha negara.
Dari
studi perbandingan di atas, tampak berbagai penamaan peraturan tertulis di
Belanda terdapat juga di Indonesia dengan nama peraturan perundang-undangan, ketetapan atau penetapan, peraturan kebijakan, dan
sebagainya. Sama halnya di Belanda penamaan-penamaan tersebut bersifat
akademik. Artinya, dalam bentuk resmi tidak akan dijumpai nama tersebut.
Di
dalam bentuk resmi dijumpai adalah peraturan perundang-undangan, keputusan, instruksi, pedoman, petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis, dan sebagainya (Manan, 1997 : 138).
Adapun
fungsi peraturan
perundang-undangan menurut Manan (1997 :
139-143), ada dua kelompok utama fungsi peraturan perundang-undangan yaitu fungsi internal dan eksternal, sebagai berikut :
1.
Fungsi
Internal
Fungsi
Internal merupakan fungsi sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan)
terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal peraturan
perundang-undangan menjalankan beberapa
fungsi yaitu :
a. Fungsi penciptaan hukum (recths
chepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan
atau terjadi melalui beberapa cara, yaitu melalui keputusan hakim (yurisprudensi),
kebiasaan yang timbul didalam praktik dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan
peraturan perundang-undangan. Secara tidak langsung hukum dapat pula terbentuk
melalui ajaran (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan
hukum. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum, merupakan sendi
utama sistem hukum nasional.
Pemakaian perundang-undang sebagai sendi utama
sistem hukum nasional karena :
(i)
Sistem
hukum Indonesia sebagai akibat sistem hukum Belanda lebih menempatkan
kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum tertulis (gescreverecht/written
low).
(ii)
Politik
pembangunan hukum nasional mengutamakan penggunaan peraturan
perundang-undangan sebagai instrumen
utamanya dibandingkan dengan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
Hal ini antara lain karena bangunan hukum nasional yang menggunakan
perundang-undangan sebagai instrumen dapat disusun secara berencara (dapat
direncanakan).
b. Fungsi pembaharuan hukum. peraturan
perundang-undangan dapat direncanakan,
sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncanakan. peraturan
perundang-undangan tidak hanya melakukan
fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada, tetapi
dapat pula digunakan sebagai sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi, hukum
kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan
perundang-undangan dan masa hukum
Belanda. Tidak kalah pentingnya memperbaharui peraturan
perundang-undangan nasional (dibuat
setelah merdeka) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru.
Di bidang hukum adat dan kebiasaan peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan dan hukum adat yan
tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemamfaatan
perundang-undangan sebagai instrumen
pembaharuan hukum kebiasaan dan hukum
adat sangat bermamfaat, karena hal-hal yang tertentu kedepan hukum yang disebut
belakangan tersebut sangat rigid
terhadap perubahan.
c. Fungsi Integrasi
Pluralisme sistem hukum pada saat ini, di indonesia masih
berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu sistem hukum
kontinental (barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya islam),
dan sistem hukum nasional. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini
merupakan salah satu warisan kolonial
yang harus ditata kembali.
Pembaharuan sistem hukum nasional adalah dalam rangka
mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam suatu
tatnan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme sistem huum yang
sepenuhnya digantungkan pada kebutuhan hukum masyarakat, kaidah hukum dapat
berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada kebutuhan dan
keadaan masyarakat yang bersangkutan.
d. Fungsi kepastian hukum
Kepastian hukum asas penting di dalam tindakan hukum dan
penegakan hukum. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan
perundang-undangan dapat memberikan
kepastian hukum yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasaan dan hukum adat atau
hukum yurisprudensi.
Namun perlu diketahui kepastian hukum peraturan
perundang-undangan tidak semata-mata
diletakkan pada bentuknya yang tertulis. Untuk benar-benar menjamin kepastian
hukum harus memnuhi syarat-syarat lain
yaitu:
(i)
Jelas
dalm perumusannya (unambiguous)
(ii)
Konsisten
dalam perumusannya baik secara intern maupun ektern. Konsisten intern
mengandung makna bahwa di dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara
kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan, dan bahasa. Konsisten secara ektern adalah
adanya hubungan “harmonisasi” antara berbagai peraturan
perundang-undangan.
(iii)
Penyusunan
bahasa yang dapat mudah dimengerti yaitu menggunakan bahasa/istilah yang umu
digunakan masyarakat. Tetapi tidak berarti bahasa hukum tidak penting, bahasa
hukum baik dalam arti struktur, peristilahan atau cara penulisan tertentu harus
digunakan secara ajek karena merupakan bagian dari upaya menjamin terwujudnya
kepastian hukum.
2.
Fungsi
eksternal
Fungsi
eksternal sebagai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan tempatnya berlaku. Fungsi ini dapat
disebut fungsi sosial hukum, dengan demikian berlaku juga terhadap hukum
kebiasaan dan hukum adat serta hukum yurisprudensi. Fungsi sosial ini akan
lebih baik digunakan oleh peraturan perundang-undangan karena berbagai pertimbangan, yaitu :
a. Fungsi perubahan
Fungsi perubahan ini, yaitu hukum sebagai sarana rekayasa
sosial (law us a tool of social engineering) adalah peraturan
perundang-undangan diciptakan atau
dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun
budaya. Misalnya masyarakat patrilineal atau matrilineal dapat didorong menuju
masyarakat parental melalui peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan.
b. Fungsi stabilisasi
peraturan
perundang-undangan dibidang pidana,
ketertiban, dan keamanan merupakan kaidah-kaidah yang terutama bertujuan
menjamin stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan
ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata kerja perdagangan dan
sebagainya. Demikian pula dilapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat
pula berfungsi menstabilkan sistem sosial-budaya yang telah ada (Manan, 1997 :
144).
c. Fungsi kemudahan
Fungsi kemudahan dapat berfungsi sebagai sarana mengatur
berbagai kemudahan (fasilitas) peraturan yang berisi insentif, seperti
keringanan pajak, penundaan persewaan atau penagihan pajak, penyederhanaan tata
cara perizinan, struktur permohonan dalam penanaman modal merupakan kaidah
kenudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya peraturan kemudahan akan
serta-merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal
misalnya, selain kemudahan yang di sebutka di atas diperlukan juga persyaratan
lain, seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi,
ketenagakerjaan, dan sebagaimana. (Manan, 1997 : 144).
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa
fungsi hukum tidak dapat dipersamakan dengan fungsi perundang-undangan. Fungsi
hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari setiap sumber hukum (sebagaiamana telah
di uraikan sebelumnya), sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan adalah fungsi dari salah satu sumber hukum, yaitu peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
B. MATERI
MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Istilah
materi muatan pertama kali digunakan
oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai terjemah dari suatu padanan istilah”het onderwerp” (Attamimi,
1990 :194). Menurut Attamimi materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan
Negara dapat ditentukan atau tidak, bergantung pada sistem pembentukan
peraturan perundang-undangan negara
tersebut serta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan negara
yang menenukannya.di Negara-negara yang tumbuh dengan sejarah kekuasaan negara
yang mula-mula berada di satu tangan (raja atau kepala negara) dengan kekuasaan
mutlak, kemudian terjadi dualisme karena terjadi pergeseran kekuasaan yang terbagi
antara rakyat dan raja/kepala negara, dan akhirnya terjadi perpindahan titik
berat kekuasaan dan raja/kepala negara kepada rakyat, maka batas ruang lingkup
materi muatan peraturan negara tidak dapat ditentukan dengan pasti. Benar apa
yang dikatakan Krabbe, di negeri Belanda soal-soal politiklah yang menentukan
lingkup materi muatan dan karena ini tidak dapat ditentukan batas-batasnya
(Attamimi, 1990 : 206). Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan misalnya
undang-undang dalm hubungan ini, Attamimi menyatakan bahwa karateristik
undang-undang di republik Indonesia berbeda dengan wet di negeri
Belanda. Undang-undang Indonesia merupakan perwujudan dari penyelenggaraan
pemerintahan negara yang berada di dalam kekuasaan presiden. Sebagaimana diatur
di dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang; hanya saja pembentukannya perlu dilakukan dengan persetujuan
DPR. Karena undang-undang merupakan wujud yang khusus dari kekuasaan pengaturan
oleh presiden, dan berbeda dengan kekuasaan-kekuasaan pengaturan presiden
lainnya. Pembentukna undang-undang tidak dilakukan sendiri melainkan dengan
persetujuan DPR, maka “wujud yang khusus” itu tentunya selalu merupakan bagian
tertentu dan karena itu dapat ditetapkan batas-batasnya (Attamimi, 1990 : 207).
Sebagai perbandingan wet di negeri Belanda berbeda
dengan undang-undang di Indonesia. Pasal 81 grondwet Belanda
menggariskan, bahwa penetapan/pembentukan wet dilakukan oleh pemerintah
(regering) dan staten-general bersama-sama. Kemudian di dalam
pasal 139 dicamtumkan, bahwa perubahan grondwet yang telah diterima oleh
staten-general dan disahkan oleh raja, langsung berlaku setelah
diumumkan. Dengan demikian, pembentukan wet dan pembentukan/perubahan grondwet
dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sama, hanya dengan cara yang khusus,
misalnya kamar-kamar pada staten-general dibubarkan terlebih dahulu
(pasal 137 ayat (3) grond wet ). Sedangkan undag-undang Indonesia
dibentuk oleh lembaga tinggi negara, yaitu presiden dengan persetujuan lembaga
tinggi nergara yaitu DPR. Selain itu,
UUD dibentuk/diubah oleh lembaga yang berlainan sama sekali, yaitu MPR
sebagai lembaga tertinggi negara. Maka dapatlah dimengerti, apabila wet
tidak akan ditetapkan materi muatannya atau tidak dapat ditentukan batas-batas
lingkupnya karena wet dan grondwet dibentuk oleh lembaga-lembaga
yang sama, yang juga menyelenggarakan kedaulatan rakyat.undang-undang Indonesia
berbeda dengan wet, selain karena lingkup bidangnya khusus, juga
dibentuk oleh suatu lembaga tinggi negara dengan persetujuan lembaga tinggi
negara lain yang kedua-duanya tidak menyelenggarakan kedaulatan rakyat
(Attamimi, 1990 : 208).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar