BAB IV
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
- Definisi, Dasar Pemikiran dan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
- Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
- Bahasa Hukum dalam Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
- Penyusunan Naskah Akademik dalam Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
A. Definisi, Dasar
Pemikiran dan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dengan polotik, terutama pada
masyarakat yang sedang membangun di mana pembangunan merupakan keputusan
politik, sedangkan pembangunan jelas-jelas membutuhkan legalitas dari sektor
hukum[1].
Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, politik
kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Dalam
hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh
oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih
besar daripada hukum. Penelitian yang dilakukan Mahfud MD menunjukkan bahwa
konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk huku yang responsif,
sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang
konservatif[2].
Dalam kaitan kondisi politik dan hukum sangat menarik untuk dikemukakan
pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick yang mencetuskan suatu teori
mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat, yaitu :
1. Hukum Represif, yaitu hukum yang merupakan
alat kekuasaan represif. Hukum represif banyak mengandalkan paksaan tanpa
memikirkan kepentigan yang ada di pihak rakyat. Perhatian paling utama hukum
represif adalah dengan terpeliharanya dan diterapkannya tata tertib, ketenangan
umum, pertahanan otoritas, dan penyelesaian pertikaian. Pada umumnya hukum represif
menunjukkan cirri-ciri sebagai berikut : (1) institusi-institusi hukum lansung
terbuka bagi kekuasaan politik, hukum diidentikkan dengan raison d’etat;
(2) perspektif resmi mendominasi segalanya. Didalam perspektif ini penguasa
cenderung mengindentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat;
(3) kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat
memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya, apabila keadilan
semacam itu memang ada, adalah terbatas; (4) badan-badan khusus seperti polisi
misalnya menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas; (5) suatu rezim hukum
rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan
pola-pola subordinasi sosial; dan (6) hukum dan otoritas resmi digunakan untuk
menegakkan konformitas kebudayaan[3].
2. Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai pranat yang mampu menjinakkan
represi dan melindungi integritasnya sendiri.
Karakter khas dari hukum otonam dapat diringkas sebagai berikut: (1)
hukum terpisah dari politik. Secara khas sistem hukum ini menyatakan
kemandirian kekuasaan peradilan dan membuat garis tegas antara fungsi-fungsi
legislatig dan yudikatif: (2) tertib hukum mendukung “model peraturan” (Model of Rules).
Fokus pada peraturan pembantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para
pejabat. Pada saat yang sama, ia membatasi kreativitas institusi-institusi
hukum maupun resiko campur tangan lembaga-lembaga hukum dalam wilayah politik;
(3) “prosedur adalah jantung hukum”. Keteraturan dan keeadial (fairness) dan
bukannya keadilan substantive merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari
tetib hukum; dan (4) “ketaatan pada hukum” dipahami sebagai kepatuahan yang
sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum posotif. Kritik terhadap hukum yang
berlaku harus disalurkan melalui proses politik kehakiman[4].
3. Hukum Responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Adapun karakteristik utama dari hukum responsif, yakni: (1) dinamika
perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan; (2) tujuan
membuat kewajiban hukum semakin problematik, sehingga mengendurkan klaim hukum
terhadap kepatuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan semakin
tidan kaku dan semakin bersifat perdata; (3) hukum memiliki keterbukaan dan
fleksibilitas, advokasi hukum memasuki suatu dimensi politik dan lalu
meningkatkan kekuatan-kekuatan yang dapat membantu mengoreksi dan mengubah
institusi hukum namun yang juga bisa mengancam memperlemah integritas
institusional; (4) di dalam lingkungan yang penuh tekanan, otoritas yang
berkelanjutan dari tujuan hukum dan integritas dari tatanan hukum terganting
kepada model institusi hukum yang lebih kompeten.
Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum, dibuat dengan maksud
untuk dipatuhi oleh masyarakat atau dengan kata lain untuk efektif atau hukum
tersebut beperan sesuai fungsinya.
Apabila yang dibicarakan masalah berfungsi atau efektifnya hukum dalam
masyarakat, biasanya perhatian diarahkan pada kenyataan bahwa apakah hukum
benar-benar berlaku atau tidak.
Di dalam teori hukum biasanya dibedakan antara 3 macam hal berlakunya
hukum sebagai kaidah, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum Berlaku Secara Yuridis, apabila
ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya (Hans
Kelsen), atau bial terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W.
Sevenbergen), atau apabila menunjukkkan keharusan antara suatu kondisi dan
akibatnya (J.H.A. Logemann).
Keberlakuan yurudis atau normatif suatu peraturan atau kaidah jika kaidah
itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang didalam
kaidah-kaidah hukum saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. System kaidah
hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan Hierarki kaidah hukum
khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus
yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi[5].
Keberlakuan yurudis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam
syarat-syarat:
pertama, keharusan adanya kewenangan
peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh badan atau pejabat yang berwenang. Jika tidak, maka peraturan
perundang-undangan tersebut batal demi hukum. Dianggap tidak pernah ada dan segala
akibatnya batal secara hukum. Misalnya, peraturan perundang-undangan formal
harus dibuat bersama-sama antara presiden dengan DPR, jika tidak, maka UU
tersebut batal demi hukum.
Kedua,
keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atu peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diatur, terutama kalu diperintah oleh peraturan
perundang-undangan lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini
dapat menjadi alasan untuk membatalkan perundang-undangan tersebut. Misalnya,
kalau UUD 1945 atau UU terdahulu menyatakan bahwa sesuatu harus diatur UU, maka
dalam bentuk UU -lah hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya
keputusan Presiden, maka keputusan tersebut dapat dibatalkan.
Ketiga,
keharusan mengikuti tatacara tertentu. Apabila tatcara tersebut tidak diikuti,
maka peraturan perundang-undangan tersebut batal, demi hukum atau tidak/belum
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Misalnya, peraturan daerah dibuat
bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah, kalu ada peraturan daerah tanpa mencantumkan
persetujuan DPRD, maka batal demi hukum.
Keempat,
keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Suatu UU tidak boleh mengandung kaidah yang bertentang
dengan UUD[6].
Dalam kaitan dengan dasar berlaku secara yuridis dari peraturan
perundang-undangan, maka Soerjojno Suekanto dan purnadi Purbacaraka
Mengemukakan beberapa pendapat :
1). Hans Kelsen, berpendapat bahwa setiap kaidah
hukum berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya;
2). W. zevenbergen, menyatakan bahwa kaidah hukum
harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya; dan
3). Logemann, kaidah hukum mengikat kalau menunjukkan
hubungan keharusan (hubungan memaksa). Antara satu kondisi dengan akibatnya[7].
2. Hukum
Berlaku Secara Sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah
tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh
masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena diterima atau
diakui oleh masyarakat (teori
pengakuan).
Dasar berlaku secara empiris/sosiologis maksudnya adalah jika para warga
masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu diberlakukan. Keberlakuan empiris
dapat dilihat melalui sarana penelitan empiris tentang perilaku warga
masyarakat. Jiaka dari penelitan tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku
dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan
empiris kaidah hukum. Dengan demikian, norma hukum mencerminkan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat. [8]
Dengan dasar sosiologis peraturan perundang-undangan yang dibuat dan
diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Soerjono Soekanto dan
Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoretis sebagai dasar sosiologis
berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu:
1). Teori kekuasaan secara sosiologis kaidah hukum
berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2). Teori pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari
masyarakat temapat hukum itu berlaku.[9]
Terkait dengan keberlakuan empiris kaidah hukum dalam masyarakat Lawrence
M. Friedman[10]
menyatakan bahwa The legal system is not a machine, it is run by human
being. Interpendensi fungsional selalu akan tampak dalam proses
pemberlakuan / penegakan hukum.
Lebih lanjut, Friedman menyebutkan bahwa paling tidak ada 3 faktor yang
cukup dominan yang mempengaruhi proses penegakan hukum, yakni: pertama,
faktor substansi hukum dimaksudkan adalah aturan, norma, pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem hukum itu, mencakup keputusan
yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga
juga mencakup living law (hukum
yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.
Kedua,
faktor-faktor struktural dalam hal ini adalah bagian yang tetap bertahan,
bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di
Indonesia, misalnya kita berbicara tentang struktur sistim hukum Indonesia,
maka termasuk didalamnya struktur institusi penegak hukum, seperti kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Juga termasuk unsur struktur jumlah dan jenis
pangadilan, yurisdiksinya jenis kasus yang berwenang untuk diperiksa, serta
bagaimana dan mangapa. Jelasnya struktur bagaikan foto diam yang
menghentikan gerak
Ketiga,
faktor kultural dalam hal ini sikap manusia dan sistim hukum kepercayaan, nilai
pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana
pikiran yang menentukan bagaiman hukum digunakan, dihindari, atau disalah
gunakan. Tanpa kultur hukum, hukum tak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar
dikeranjang dan bukan seperti ikan hidup dilaut.[11]
Secara singkat
cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai
berikut: (1) struktur di ibaratkan sebagai mesin; (2) substansi adalah apa yang
dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin itu; dan (3) kultur hukum adalah apa
saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin
itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan
3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis,
artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi
(Soekanto, 1979: 46-47)
Setiap masyarakat selalu mempunyai “Rechtsidee”, yakni apa yang
masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum menjamin adanya keadilan,
kemenfaatan dan ketertiban, maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee tumbuh dalam sistem nilai
masyarakat tentang baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan
individual dan kemasyarakat dan lain sebaginya. Termasuk tentang pandangan dunia
ghaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti
atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistim nilai baik sebagai
sarana yang melindung nilai-nilai maupun sebagi saran mewujudkannya dalam
tingkah laku masyarakat.[12]
Menurut Rudolf Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang
merupakan keharuasan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Selanjutnya, Gustav Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti
stammler dari aliran Neo-katian, menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai
tolok ukur yang bersifat regulative dan kontruktif. Tanpa cita hukum-hukum akan
kehilangan maknanya. [13]
Didalam pembentukan peraturan
perundang-undangan proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita
hukum ke dalam norma hukum tergantunh pada tingkat kesadaran dan penghayatan
akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan.
Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai tersebut akan terjadi kesenjangan antara
cita hukum dan norma hukum yang dibuat.
Oleh karena itu, dalam Negara Indonesia, yang memiliki cita hukum
pancasial sekaligus sebagai norma fundamental Negara, maka hendakya peraturan
yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang terkandung di dalam cita
hukum tersebut.
Pancasila pada era reformasi banyak mendapat kecaman dan hujatan dari
berbagai kalangan, karena pancasila selama berkuasanya rezim “orde baru” telah
dijadikan sebagai instrument legitimasi
bagi kepentingan kekuasaan.
Interpretasi terhadap pancasila yang dilakukan oleh kalangan “luar”
kekuasaan “orde baru” dianggap sebagai interpretasi yang keliru dan harus
ditolak. Dibalik hujatan dan kecaman terhadap pancasila, dari sisi nilai pancasila
tetaplah seperangkat niali luhur yang harus dipertahankan, karena pancasila
merupakan titik pertemuan (kalimatun sawa) dari berbagi perbedaan-perbedaan
yang ada di negeri ini. Dalam kaitan ini menarik dikutip pendapat Nurcholish
madjid [14] berikut
ini :
Pancasila merupakan
pendukung besar, karena dari semula ia mencerminkan tekad untuk bertemu dalam
titik kesamaan antara golongan yang ada antara dinegara kita. Sikap mencari
titik persaan ini mempunyai nial keislaman , seperti yang telah diuraikan.
Namun, isi masing-masing sila itu juga
mempunyai nilai-nilai keislaman, maka kaum muslim Indonesia secara sejati
terpanggil untuk ikut berusaha mengisi dan memberinya substansi serta
melaksanakannya.
Lebih lanjut tentang dasar keberlakuan hukum tersebut di atas,
purbacaraka dalam (Soekanto, 1988: 14-15); (Lubis, 1989: 7-8) berpendapat
bahwa, agar suatu ketentuan hukum dapat berfungsi sebagiman yang dikehendaki,
maka terhadap ketentuan hukum tersebut harus memenuhi ketiga dasar keberlakuan
hukum sebelumnya, disebabkan karena sebagai berikut :
1). Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka
kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel).
2). Kalau hukum berlaku secara sosiologis (maka
mungkin hukum berlaku dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi
aturan pemaksa.
3). Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka
mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum).
Di dalam hubunagn ini perlu dikemukakan pandangan Burkhartdt Krems dalam
attamimi yang menyatakan bahwa proses pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan meliputi dua hal pokok, yaitu kegiatan pembentukan isi
peraturan di satu pihak dan kegiatan menyangkut pemenuhan bentuk peraturan,
yaitu metode pembentukan peraturan dan proses serta prosedur pembentukan
peraturan di lain pihak. Dua kegiatan tersebut idealnya dilaksanakan serentak,
meskipu disetiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sendiri-sendiri, apabila peraturan perundang-undangan tetap berlaku sebagaimana mestinya, baik
secara yuridis, politis, maupun sosiologis.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka penulis dapat menjelaskan, bahwa
agar suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat berlaku efektif, maka
idealnya dasar pemikiran yang mendasari proses pembuatan suatu peraturan
perundang-undangan adalah dasar
pemikiran yurudis, sosiologis, dan filosofis.
Metode pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sangat menentukan
apakah kelak peraturan perundang-undangan yang dibuat tersebut dapat mencapai
sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya (efektif). Karena itu, bantuan dari
disiplin ilmu terkait semacam sosiologi hukum, ilmu pengetahuan tata hukum, dan
ilmu tentang perencanaan sangat bermanfaat sebagai ilmu Bantu dalam proses
pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagi suatu
peraturan perundang-undangan yang baik, maka peraturan perundang-undangan
tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal yang ditetapkan dalam
proses dan prosedur pembentukannya.
Secara teoretis, pembuatan produk hukum harus didasari oleh paling tidak
empat dasar pemikiran.
A. DASAR FILOSOFIS
Dasar filosofis merupakan dasar falsarat atau pandangan hidup yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan
suatu hasrat kedalam suatu rancangan / draft, peraturan perundang-undangan.
Bagi bangsa Indonesia dasar filosofis itu adalah Pancasila, sehingga pada
prinsipnya tidak dibuat dan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan yang
dibuat jika bertentangan dengan Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara
Indonesia.
Peraturan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan pembadanan dari
norma hukum / kaidah hukum dan merupakan sarana yang paling lengkap untuk
mengutarakan apa yang yang dikehendaki oleh norma hukum. Peraturan hukum
menggunakan sarana untuk menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh
masyarakat, dengan menggunakan konsep-konsep / pengertian-pengertian untuk
menyampaikan kehendaknya (Rahardjo, 1991: 41-42).
Peraturan hukum itu diturunkan dari asas hukum dan bahwa asas hukum itu
adalah jantungnya peraturan hukum. Disamping itu, asas hukum juga landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan
hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan pada asas-asas tersebut. Kecuali
disebut dasar / landasan, asas hukum ini
juga lazim disebut sebagai dasar / alasan bagi lahirnya suatu peraturan hukum atau
merupakan ratio legis dari
peraturan hukum (Rahardjo, 1991: 45).
Asas hukum yang sangat umum dapat disebut sebagai dasar pemikiran yang
mendasari suatu peraturan hukum. Oleh karena itu, dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan, pembuatnya harus menerapkan dasar pemikiran yang mendasari
suatu pembuatan peraturan perundang-undangan, disamping asas yang bersifat umum
, juga bersifat khusus.
Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis, dank arena mengandung
tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan
hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya (Rahadjo, 1991:
45).
1. Pendapat Para Ahli Tentang Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu
asas-asas yang mengandung nilai hukum.
Van Der Vlies menyatakan bahwa di negeri Belanda asas hukum pembuatan
peraturan perundang-undangan berkembang
melalui lima sumber, yaitu, saran-saran dari Raad Van Staat (semacam dewan
pertimbangan agung di Indonesia dahulu ), bahan-bahan tertulis tentang
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dalam sidang-sidang parlemen
terbuka, putusan-putusan haki, petunjuk teknik perundang-undangan dan hasil
akhir komisi pengurang gan dan penyederhanaan peraturan perundang-undangan,
dengan bahan hukum sekunder lainnya berupa kepustakaan di bidang tersebut
adalah sanagat penting (Attamimi, 1990:322).
Para ahli memandang bahwa asas-asas tersebut dibagi menjadi asas-asas
yang bersifat formal dan asas-asas yang bersifat materiil. Asas-asas formal
yaitu asas yang berkenaan dengan tata cara pembuatan dan bentuknya, dan
asas-asas materiil yaitu asas-asas yang berkenaan dengan materi muatan
peraturan perundang-undangan.
Adapun pendapat para ahli antara
lain seperti berikut ini.
1). Montesquieu
Montesquieu, mengemukakan bahwa hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas,
yakni sebagai berikut:
- Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorikal hanya merupakan tambahan yang membingungkan.
- Istilah yang diinginkan hendaknya bersifat mutlak dan tidak relative, dengan maksud menghilangkan kesempatan yang minim untuk perbedaan pendapat yang individual.
- Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual, menghindarkan sesuatu yang metaforis dan hipoteetis.
- Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan latihan logika, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rat-rata.
- Hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasa, atau pengubahan; digunakan semua itu hanya apbila benar-benar dperlukan.
- Hukum hendaknya tidak bersifat argumentative/dapat diperdebatkan; lebih bahaya memerinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih menimbulkan pertentangan-pertentangan.
- Lebih dari itu semua, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak mensyaratkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan, dan hakikat permasalahan; sebab hukum yang lemah, tidak perlu, dan tidak adil akan membawaseluruh sistem perundang-undangan kepada nama jelek dan menggoyahkan kewibawaan Negara ( Attamimi, 1990: 324).
2). Jeremy Bentham
Jeremy bentham, mengemukakan ketidaksempurnaan (unperfections)
yang mempengaruhi undang-undang (statute law) dan dapat dijadikan
asas-asas bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Ketidaksempurnaan
tersebut dibagi dalam 2 derajat/tingkatan.
Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi :
a.
Anti ganda (ambiguity)
b.
Kekaburan (absure)
c.
Terlalu luas (over butkines).
Sedangkan ketidaksempurnaan derajat kedua disebabkan hal-hal yang
meliputi:
a.
ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness
in respect of expression).
b.
Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu
(unsteadiness in respect of import)
c.
Berlebihan (rediundancy).
d.
Terlalu panjang lebar (long in dedness)
e.
Membingungkan (entalement)
f.
Tanda-tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness
in respect of helps to intellection)
g.
Ketidak aturan (disordserliness).
3). Lon L. Fuller
Lon L. Fuller, memandang dari
sudut pembentuk peraturan perundang-undangan, melihat hukum sebagai alat untuk
mengatur masyarakat. Tujuan pembentuk peraturan perundang-undangan akan
berhasil apabila ia sampai pada tingkat tertentu memperhatikan asas-asas yang
diambilnya dari principles of legality, yaitu:
a.
Tidak boleh mengandung sekedar
keputusan-keputusan yang bersifat adhoc.
b.
Peraturan yang sudah dibuat itu harus
diumumkan.
c.
Tidak boleh ada peraturan yang berlaku
surut, oleh karena apabila yang demikian untuk menjadi pedoman tingkah laku.
d.
Peraturan-peraturan harus disusun dalam
rumusan yang bisa dimengerti.
e.
Suatu sistem tidak boleh mengandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
f.
Peraturan-peraturan tidak boleh
mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
g.
Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering
mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
h.
Harus ada kecocokan antara peraturan yang
diundangkan pelaksanaannya sehari-hari.
Kedelapan asas tersebut lebih dari sekedar persyaratan adanya suatu
sistem hukum melainkan memberikan pengkualifkasian terhadap sistem hukum yang
mengandung moralitas tertentu ( Rahardjo, 1991: 51-52).
4). I. C. Van der Vlies
I.C. Van der Vlies, membagi asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut (beginselen van behoolijke rejel giving) kedalam
asas formal dan materiil (Soeprapto, 2002: 96-97).
Asas-asas formal, meliputi :
a.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van
duiden delinjk doelstelling0.
b.
Asas organ / lembaga yang tepat (
beginsel van het juiste organ).
c.
Asas perkunya peraturan ( het
noodzakelinjkheids beginsel).
d.
Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoerbaar heids beginsel).
e.
Asas consensus (het beginsel van
consensus ).
Asas-asas
materiil, meliputi :
a.
Asas terminologi dan sistematika yang
benar.( het beginsel van duidejilijk terminologie an duiden deiijke
sistematiek).
b.
Asas dapat dikenali ( het beginsel van
kenbaarhekl).
c.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (
het recht gelijkeheids beginsel)
d.
Asas kepastian hukum (het rechzekerheids
beginsel)
e.
Asas pelaksanaan hukum yang sesuai dengan
keadaan individu (het beginsel van de individuele recht bedeling).
5). Hamid S. Attamimi
Hamid S.Attamimi didalam desertasinya setelah membahas berbagai bahan
menyangkut asas hukum umum dan asas-asas pembentukan peraturan perundangan baik
yang berasal dari cita hukum Negara Republik Indonesia, norma fundamental
Negara Indonesia, asas Negara berdasarkan hukum dianut oleh negara Republik
Indonesia dan asas pemerintahan berdasarkan sistim konstitusi ayng dianut oleh
pemerintah negara Republik Indonesia, serta pendapat para ahli, maka
berdasarkan asas-asas tersebut akhirnya merumuskan asas-asas yang khusus bagi
perundang-undangan Indonesia yang disebutnya sebagai asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang patut. Asas-asas tersebut,
meliputi :
a. Asas-asas
formal, dengan perincian:
1). Asas tujuan yang jelas;
2). Asas perlunya peraturan;
3). Asas organ / lembaga yang tepat;
4). Asas materi muatan yang tepat;
5). Asas dapatnya dilaksanakan; dan
6). Asas dapatnya dikenali.
b. Asas-asas
materiil, dengan perincian :
1). Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma
fundamental negara;
2). Asas sesuai dengan hukum dasar Negara;
3). Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara
berdasarkan atas hukum; dan
4). Asas sesuai denagn prinsip-prinsip pemerintahan
berdasar sistim konstitusi (Attamimi, 1991: 345-346).
B. DASAR YURUDIS
Dasar yurudis merupakan ketentuan
hukum yang menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk pembuatan/ perencanaan
suatu peraturan perundang-undangan.
Meskipun secara normatif dan ideal konstitusional Indonesia adalah Negara
hukum yag berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik, baik
pada masa itu maupun masa depan tergantung pada budaya hukum dan politik yang
berkembang di dalam masyarakat kita. Ada mitos konstitusionalisme yang
berkembang dibanyak negara termasuk Indonesia,
bahwa dengan memiliki dokumen konstitusi yang menjamin tegaknya Negara
hukum, maka segala segala persoalan akan selesai. Meskipun memang banyak dalam
literature kita ketahui bahwa sebuah negara hukum menghendaki orientasi kepada
ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya.
Orientasi kepada negara hukum tidak semata-mata pada lembaga-lembaga yang
akan menompangnya, tetapi juga bergantung pada kayakinan yang diterima secara
luas bahwa proses hukum itu merupakan penyelesaian yang terbaik. Dan bahwa prinsip-prinsipnya
adalah abadi. Jadi, jika ada keyakinan
yang kuat bahwa hukum adalah diatas segala-galanya, maka masyarakat akan
menggunakan hukum sampai pada batas yng mungkin dilaksanakan. Keyakinan seperti
itu bukannya tidak rasional, melainkan cukup masuk akal, karena aturan-aturan
yang dibuat dan disepakati bersama itu bertujuan mencapai kemaslahatan dalam
kehidupan bersama. Jadi, hukum mengatasi kepentingan-kentingan individu dan
golongan.
Kesadaran seperti diatas tampaknya belum menjadi kenyataan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Mahendra dalam Achmad Ruslan, 2005:
64).
Didalam hubungannya dengan UUD 1945, para ahli hukum tata Negara
Indonesia pada umumnya sependapat bahwa kedudukan pembukaan UUD 1945 lebih tinggi
dari pada batang tubuh UUD itu, sebab, di dalam pembukaan itulah tertuang
rumusan dasar filsafat Negara yang juga berfungsi sebagai ideologi negara
Republik Indonesia. Rumusan itu bersifat singkat, namun memuat norma-norma yang
paling mendasar untuk mengukur dan menentukan keabsahan bentuk-bentuk
penyelenggaraan Negara serat kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang diambil
dalam proses penyelenggaraan Negara.
Dilihat dari sudut pandang filsafat, maka rumusan dasar filsafat Negara
terkandung didalam pembukaan UUD 1945 itu, kendatipun ia berada diluar sistem
hukum, memainkan peranan normatif sebagai Leitstern atau sebagai bintang yang
akan memadu perumusan norma-norma hukum yang ada dibawahnya.
Rumusan dasar filsafat Negara atau ideologi Negara yang dikandung oleh
pembukaan UUD 1945 ialah Pancasila.
Rumusan pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar dari cita hukum
(rechtsidee) Negara Republik Indonesia. Sebagai cita Negara, ia di rumuskan
berdasarkan cita yang hidup di dalam masyarakat (volks geemenschapsidee) yang
telah ada sebelum Negara itu didirikan. Memang, sebelum negara Republik Indonesia berdiri,
masyarakatnya telah ada sejak berabad-abad silam.
Sebagai Negara berdasar atas hukum (retchsstaat) yang modern, negara
Republik Indonesia secara sadar berkehendak, berusaha, dan berupaya untuk
mencapai tujuan-tujuannya. Untuk itu, perku dilakukan modifikasi-modifikasi
dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat serta rakyatnya, pengubahan-pengubahan
sosial itu dilakukan dengan penyelenggaraan pembangunan, rencana-rencana
perinciannya, hukum yang melandasinya, peraturan-peraturan perundang-undangan
yang mendukungnya, dan peraturan-peraturan kebijakan yang menunjang
pelaksanaannya.
Hakikat pembangunan dinegara kita dewasa ini baik pembangunan jangka
panjang maupun pembangunan jangka pendek, ialah kehendak untuk mencapai
tujuan-tujuan Negara sebagaiman yang tercantum didalam UUD 1945 dan rumusan GBHN yang pernah ada merinci
strateginya serta pelita-pelita yang merinci tak tiknya. Sedangkan pembangunan
itu sendiri pada hakikatnya adalah pengamalan pancasila.
Pembangunan yang sedang diselenggarakan, yang tidak lain adalah
pengamalan pancasila ke dalam kenyataan, diperlukan pengenalan, pengetahuan,
dan pemahaman yang tepat mengenai peraturan perundang-undangan. Untuk itu
diperlukan ilmu dibidang peraturan perundang-undangan.
Di dalam pembukan UUD 1945, yaitu pada alinea ke empat, dirumuskan dengan
jelas bunyi pancasila yang bukan dalam bentuk pokok-pokok pikiran, yaitu
ketuhanan yang Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Panacasila yang terdapat
didalam pembukaan UUD 1945 ialah pancasila yang berwujud dalam hukum dalam
norma hukum, dalam hal pembukaan dari hukum dasar, dari UUD.
Apakah hubungan antara pancasila yang berwujud dalam cita hukum dan
pancasila yang berwujud dalam Negara hukum tertinggi? Sebagaimana kita ketahui,
cita hukum selain mempunyai fung konstitutif yang menentukan dasar suatu tata
hukum, yang tanpa itu suatu tat hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai
hukum, juga mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah suatu hukum
positif itu adil atau tidak adil. Demikian juga, dalam hal pancasila merupakan
cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat didalam pancasila mempunyai fungsi
konstutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang
benar, dan disamping itu mempunyai fungsi regulative yang menentukan apakah
hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak (Oesman
dan alfian, 1996: 69).
Terkait dengan hal ini relevan
dengan teori hierarchy of norms (Hans
Kelsen, 1949 : 123-124) , bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena ia
diciptakan / dibuat dengan cara yang
telah ditentukan oleh norma lain. Jadi, hubungan hierarkis norma-norma hukum
tersebut menggambarkan bahwa suatu norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar
keabsahan norma yang di bentuknya (norma yang lebih rendah). Hubungan antara
Norma yang mengatur pembentukan norma yang lain dapat dipresentasikan sebagai
suatu hubungan super – dan subordinasi. Sebuah norma yang menentukan
pembentukan norma yang lain adalah norma yang superior. Sedangkan norma yang
diciptakan menurut hubungan ini adalah norma yang inferior.
Lebih tegas, Hans Kelsen (Achmad Ruslan, 2005 :68) mengemukakan sebagai
berikut:
Since a legal norm is valid because it is created in a way determined
by another legal norm, the latter is the reason of validity of the forme. The
relation between the norm Regulating the creation of another norm and this
other norm maybe presented as a relationship of super anda a sub-ordination . . .
The norm determining the creation of another norm is the superior, the
norm created according to this regulation, the inferior norm.
Pendapat Hans Kelsen, diatas dapat dimaknai bahwa setiap peraturan
perundang-undangan mensyaratkan dasar
validitasnya dan norma lain yang membentuknya (norma yang lebih tinggi). Jadi,
konsep hierarchy of Normans Hans kelsen dapat dijadikan acuan teoretis dalam
hal mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, konsep
tersebut kelihatannya membutuhkan anasir lain pada aspek materiil setiap
peraturan perundang-undangan .
Pada konteks itulah, materi muatan setiap peraturan perundang-undangan perran dan aspek filosofis sosiologis, dan
politis sangat urgen dan strategis untuk melengkapi konsep Hans Kelsen
tersebut.
Kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-undangan Peter Noll
(Achmad Ruslan, 2005: 69) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan
yang disebutnya gesetzgebungslehre itu meneliti isi dan bentuk norma
hukum dengan tujuan mengembangkan criteria, arah, dan petunjuk bagi pembentukan
norma yang rasional. Terhadap sebutan ilmu pengetahuan perundang-undangan oleh
Peter Noll, penulis mengistilahkan dengan ilmu perundang-undangan. Masalah pokok
yang ditelitinya adalah bagaimana hukum yang melalui perundang-undangan dapat dibentuk secara optimal, sedangkan
titik tolaknya ialah bagaimana memperoleh jawaban agar keadaan sosial dapat
dipengaruhi melalui norma perundang-undangan
sesuai dengan arah yang
diarahkan. Pengembangan dan pemantapan metode perundang-undangan
merupakan bagian dari ilmu hukum. Dan meskipun tidak secara tegas menyebutkan
sebagai bagian dari ilmu hukum yang interdisipliner, ia menegaskan bahwa Gesetzgebungstheorie
merupakan suatu disiplin hukum
(Junstische disziplin) dalam arti ilmu pengetahuan yang ditekuni dan kegiatan
yang digeluti oleh para ahli hukum.
Selanjutnya, apa yang oleh Noll
disebut gesetzgebungslehr , oleh jurgen Rodig disebutnya gesetzgebungstheorie meskipun oleh beberapa perbedaan yang
prisipiil, pendekatan rodig yang regelungstheoretish mengharuskan gesetzgebungshtirie-Nya
menjadi bagian yang tidak terlepas dan regelungsthoire yang umum dan yuridis. oleh karena itu,
bagi Rodig, UU formal (fomelle gesetz) hanyalah salah satu bentuk
pengaturan yuridis, sedang apa yang kita kenal dengan teori perundang-undangan.
Tidak terbatas pada gesetz saja. Dengan demikian, Rodig memandang gestzgebungstheorie
sebagai bentuk multidisipliner dan pengolahan
ilmu hukum yang menggunakan perspektif dan metode teoritis dan
disiplin-disiplin lain, dengan tujuan meneliti gejala perundang-undangan.
Selanjutnya, menurut Rodig, gestzgebungstheorie
mengandung dua segi, yaitu statis
dan dinamik. Yang pertama menyangkut proses perumusan isi peraturan, dan yang
terakhir menyangkut proses pemilihan isi peraturan dan alternatif-alternatif
yang tersedia (Ettamimi, 1992: 13).
Pada konteks ini , Burkhard Krems berpendapat lain. Menurutnya, ilmu
pengetahuan perundang-undangan yang ia sebut gesetzbungswissenshcaft
mempunyai du arah penelitian, yaitu gesetzgebungstheorie dan gesetgebungslehre.
Yang pertama beorientasi kepada menjelaskan dan menjernihkan
pemahaman-pemahaman, sedangkan yang terakhir berorientasi kepada melakukan
perbuatan / tindakan, yaitu membentuk peraturan (Attamimi, 1992: 13). Terhadap
istilah ilmu pengetahuan perundang-undangan yang dikemukakan oleh krems, yang
sistematika berfikir, penulis mengistilahkan ilmu perundang-undangan dalam arti
luas, yang terdiri atas teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan
dalam arti sempit.
Lebih lanjut, Krems menyatakan bahwa dalam lingkup ilmu
perundang-undangan yang sempit yang ia istilahkan dengan gesetzgebungslehre mempunyai tiga sub bagian disiplin, yaitu proses
perundang-undangan, metode perundang-undangan dan teknik perundang-undangan
(Attamimi, 1992: 15).
Pada aspek proses perundang-undangan, maksudnya bahwa proses
perundang-undangan meliputi berbagai tingkat penyelesaian, sepertitingkatan
persiapa, penetapan, pelaksanaan, penilaian, dan pemeduan kembali produk yang
sudah jadi. Namun demikian, pada aspek ini seorang ahli perancang
perundang-undangan harus memproritaskan sisi tingkatan persiapan dan tingkatan
penetapan. Pada sisi tingkatan persiapan, produk perundang-undangan masih dalam
taraf ide dan taraf penyusunan yang lazim disebut naskah akademik. Pada sisi
tingkatan penetapan, dibutuhkan engetahuan dan pemahaman yang benar menyangkut
prosedur dan tata kerja yang ditentukan sistem pemerintahan yang berlaku
(Attamimi, 1992a: 4).
Menyangkut sisi metode perundang-undangan pemaknaannya adalah merealisasi
esensi peraturan perundang-undangan, yakni bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan
tertentu, mengarahkan, mempengaruhi, dan menertibkan perilaku warga Negara dan
aparatur Negara melalui peraturan perundang-undangan ( Attamimi, 1992a: 4-5).
Selanjutnya yang dimaksud dengan teknik perundang-undangan atau gestgebungstechnik(lehre)
di dalam konteks ini adalah
bagaimana eks materi muatan peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan
pengertian yang kabur dan absurd (Attamimi, 1992a: 5-6). Terkait dengan hal
ini, Robert C. Dick, Q.C. (1972: 2-3) menyatakan: “drafting is really an art
and not a science”, seni yang dimaksud didalam konteks ini adalah
dibutuhkannya kemampuan tertentu menuangkan norma-norma dalam proses penyusunan
peraturan perundang-undangan pada aspek pembahasannya. Hal ini dapat diketahui
sebagaiman Dick, lebih lanjut, mengataka: “Drafting is considered a mere
literary exercise . . “.
Beranjak dari uraian diatas dapat diketahui bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, pada satu sisi, terdapat aspek seni kebahasaan
(literary) didalamnya yang menjadi sub bagian dari teknik perundang-undangan.
Namun di sisi lai, pada bagian teknik perundang-undangan tetap dititik beratkan
juga aspek penggunaan sistematika yang baku bagi penuangan ketentuan-ketentuan
pada materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas, dapat diketahui bahwa
landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum / dasar
hukum untuk pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Seperti landasan yuridis dibuatnya UU No. 32 Tahun
2004 tentang pemerintah daerah adalah pasal 18 UUD 1945, selanjutnya UU No. 32
Tahun 2004 menjadi landasan yuridis dibentuknya peraturan pemerintahan yang
menjabarkan undang-undang tersebut.
Landasan yuridis ini dapat dibagi dua, yaitu :
1. Landasan yuridis dan sudut formal, yaitu
landasan yuridis yang memberikan kewenangan bagi instansi tertentu untuk
membuat peraturan tertentu, misalnya pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 memberikan
landasan yuridis dan sudut formal kepada pemerintahan Daerah dan DPRD
untuk membuat peraturan daerah.
2. Landasan yurudis dan sudut materil, yaitu
landasan yang memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti
pasal 136 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan kewenangan dibuatnya
perda tentang pembentukan kelurahan. Hal pembentukan kelurahan tersebut diatas
merupakan landasan yurudis dari sudut materiil.
C. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis merupakan
landasan yang terdiri atas fakta yang merupakan
tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan
perundang-undangan (perda), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya di
butuhkan oleh masyarakat sehingga perlu peraturan sebagai contoh di bidang
perikan , salah satu instrument pegaturan adalah perizinan perikanan. Dalam
hubungan dibuatlah perda untuk menghindari terjadinya penangkapan ikan yang
melebihi penangkapan semestinya. Demikian pula penggunaan alat penangkap ikan
yang tidak sesuai ,karena melebihi jumlah yang ditetapkan serta penggunaan alat
tangkap yang tidak sesuai dapat merusak sumber daya perikanan, sedangkan hal ini tidak dikehendaki oleh masyarakat
karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan daerah tentang izin usaha
perikanan. Perda tentang izin usaha perikanan tersebut mengatur berbagai hal
agar sumber perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan
bahkan melalui peraturan tersebut dapat lebih menguntungkan masyarakat dan
Negara melalui usaha perikanan dalam ketentuannya juga mengatur mengenal
pungutan Retribusi izin usaha perikanan .
D. DASAR HUKUM
Sebelum menguraikan tentang dasar hukum, terlebih dahulu perlu diuraikan
mengenal sumber-sumber hukum, agar pembahasan dalam buku ini menjadi jelas
posisinya, dan hal ini akan membawa implikasi pada fungsi peraturan
perundang-undangan, sebagai salah satu
sumber hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan kedalam sumber hukum materiil dan formal.
Menurut Utrecht (1983: 84-85),
sumber-sumber hukum materiil adalah perasaan hukum (keyakinan hukum), individu
dan pendapat hukum yamng menjadi penentu isi hukum. Sedangkan sumber-sumber
hukum formal adalah yang menjadi penentu formal membentuk hukum, menentukan
berlakunya hukum. Achmad Ali (2002:108) menyebutkan sumber hukum formal adalah
: (1) undang-undang; (2) kebiasaan;(3) traktat atau perjanjian internasional;
(4) yurifudensi; (5) doktrin; dan (6) hukum agama. Urutan tersebut dipengaruhi
oleh sistim hukum eropa continental yang menempatkan UU sebagi sumber utama
dari hukum. Sedangkan dalam sistem hukum Anglo-Saxon, yurispudensi ditempatkan
lebih utama daripada UU.
Dasar peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945.
1). Sendi kerakyatan
(Demokrasi)
Dasar kerakyatan tertuang dalam sila keempat dasar Negara “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”,
badan perwakilan sebagai musyawarah paham kerakyatan (Demokrasi) adalah badan
yang menjalan fungsi legislative disamping fungsi pengawasan dan anggaran.
Rakyat yang menjadi sumber dan sekaligus sebagai pembuat peraturan untuk
mengatur diri mereka sendiri dan pemerintahannya. Semua pengaturan pada
dasarnya harus dibentuk secara demokratis (Manan, 1997: 182-185).
Untuk mewujudkan prinsip tersebut, diadakan sistim perwakilan diindonesia
pada tingkatan pusat, yaitu : MPR, DPR, dan pada tingkat daerah adalah DPRD
Provinsi, kabupaten, dan kota.
MPR
menentapka mensahkan UUD. DPR membentuk UU dengan persetujuan bersama presiden
dan DPRD Provinsi, kabupaten, dan kota, membentuk peratuturan daerah (perda)
dengan persetujuan bersama gubernur, bupati, dan walikota dengan DPRD.
Meskipun dalam kenyataan tidak semua peraturan perundang-undangan oleh
lembaga perwakilan, tetapi sendi kerakyatan (Demokrasi) tetap dilaksanakan
melalui cara Delegasi melalui UU atau kewenangan yang di atur dalam
undang-undang.
2). Sendi
Negara berdasar atas Hukum.
Seperti diketahui bahwa Indonesia adalah Negara hukum telah ditegaskan
dalam UUD 1945 yang telah Diamandemen. Negara
berdasar atas hukum ini salah satu asas yang penting adalah asas Legalitas. Untuk mewujudkan asas
legalitas tersebut perlu dibuat aturan hukum antara lain dengan bentuk
peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan sendi kerakyatan tersebut. Peraturan dibentuk secara
demokratis, oleh sebab itu secar materiil tidak dapat dipisahkan antara sendi
kerakyatan dan sendi negara berdasar atas hukum.
Negara hukum semacam ini lazim disebut Negara hukum yang demokratis, (Democratishche
reschtstaat), (Manan, 1997:104).
3). Sendi
Negara atas dasar konstitusi (konstitusionalisme)
Badan Negara berdasar atas konstitusi tidak dapat dipisahkan dari Negara
berdasar atas hukum oleh sebab itu ketiga sendi ini bertujuan untuk membatasi
keharusan dengan dengan menolak tiap bentuk kekuasaan tanpa batas (Absolutisme).
Pembatasan kekuasaan menurut sendi konstitualisme dilakukan dalam menciptakan
UUD (konstitusi tertulis). Meskipun kata konstitualisme tidak ada dalam
konstitusi, tetapi unsurnya terdapat dalam konstitusi (UUD 1945), yakni adanya
pembatasan kekuasaan dan jaminan hak asasi manusia , hal ini dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya kekuasaan tak terbatas (absolutisme) yang menjadi dasar
sendi konstitusionalisme.
Untuk mencegah tindakan kesewenang-wenangan dilakukan melalui penciptaan
berbagi perangkat hukum terutama pada bentuk peraturan perundang-undangan.
[1] Lihat
Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis), PT
Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.99.
[2] Untuk
Pemahaman yang Mendalam Tentang Hubungan Kondisi Politik dengan Produk Hukum
baca Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.
[3] Philippe
Nonet dan Philip Silznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive
Law, Harper and Raw Publisher, New York, 1978, hlm. 29-52.
[4] Bruggink,
Op.Cit., hlm. 53-72.
[5]
Keberlakuan Yuridis Sebuah Kaidah Hukum Tidak Dapat Dilepaskan Dari Teori Hukum
murni (Reine Rechtlehre) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Lebih Lanjut
perhatikan J.J.H. Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum, Bandung :
Citra Aditya Bakti, hlm. 150-152.
[6] Bagir
Manan, Dasar-Dasar…Op, cit., hlm. 14-15.
[7] Soerjono
S. purnadi P., Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm. 88-89.
[8]
Bruggink, Op, cit, hlm, 149-150.
[9] Soerjono
S. dan Purnadi p., Perihal. . . Op. cit., hlm. 91-92.
[10]
Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System: Social Science Perspective,
New York: Russel Sage Foundation.
[11] Ibid.
[12] Bagir
Manan, Dasar-dasar . . . Op, cit.
hlm. 17.
[13] Baca Esmi
Warassih P. 2001. “Fungsi Cita Hukum Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
yang Demokratis” Dalam Arena Hukum Majalah Hukum FH Unubraw No. 15 Tahun
4, November 2001, hlm, 354-361.
[14] Nurcholish Madjid. 200. Islam, Doktrin dan Peradaban,
Jakarta: Paramadina, hlm. xcviii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar