View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

Definisi, Dasar Pemikiran dan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan


BAB IV

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

  1. Definisi, Dasar Pemikiran dan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
  2. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
  3. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
  4. Bahasa Hukum dalam Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
  5. Penyusunan Naskah Akademik dalam Perancangan Peraturan Perundang-Undangan



A.   Definisi, Dasar Pemikiran dan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan

Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dengan polotik, terutama pada masyarakat yang sedang membangun di mana pembangunan merupakan keputusan politik, sedangkan pembangunan jelas-jelas membutuhkan legalitas dari sektor hukum[1].

Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Penelitian yang dilakukan Mahfud MD menunjukkan bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk huku yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif[2].

Dalam kaitan kondisi politik dan hukum sangat menarik untuk dikemukakan pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick yang mencetuskan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat, yaitu :


1. Hukum Represif, yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan represif. Hukum represif banyak mengandalkan paksaan tanpa memikirkan kepentigan yang ada di pihak rakyat. Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan terpeliharanya dan diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas, dan penyelesaian pertikaian. Pada umumnya hukum represif menunjukkan cirri-ciri sebagai berikut : (1) institusi-institusi hukum lansung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum diidentikkan dengan raison d’etat; (2) perspektif resmi mendominasi segalanya. Didalam perspektif ini penguasa cenderung mengindentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat; (3) kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya, apabila keadilan semacam itu memang ada, adalah terbatas; (4) badan-badan khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas; (5) suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial; dan (6) hukum dan otoritas resmi digunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan[3].


2. Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai pranat yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri.

Karakter khas dari hukum otonam dapat diringkas sebagai berikut: (1) hukum terpisah dari politik. Secara khas sistem hukum ini menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan dan membuat garis tegas antara fungsi-fungsi legislatig dan yudikatif: (2) tertib hukum mendukung  “model peraturan” (Model of Rules). Fokus pada peraturan pembantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat. Pada saat yang sama, ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun resiko campur tangan lembaga-lembaga hukum dalam wilayah politik; (3) “prosedur adalah jantung hukum”. Keteraturan dan keeadial (fairness) dan bukannya keadilan substantive merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari tetib hukum; dan (4) “ketaatan pada hukum” dipahami sebagai kepatuahan yang sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum posotif. Kritik terhadap hukum yang berlaku harus disalurkan melalui proses politik kehakiman[4].


3. Hukum Responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Adapun karakteristik utama dari hukum responsif, yakni: (1) dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan; (2) tujuan membuat kewajiban hukum semakin problematik, sehingga mengendurkan klaim hukum terhadap kepatuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan semakin tidan kaku dan semakin bersifat perdata; (3) hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas, advokasi hukum memasuki suatu dimensi politik dan lalu meningkatkan kekuatan-kekuatan yang dapat membantu mengoreksi dan mengubah institusi hukum namun yang juga bisa mengancam memperlemah integritas institusional; (4) di dalam lingkungan yang penuh tekanan, otoritas yang berkelanjutan dari tujuan hukum dan integritas dari tatanan hukum terganting kepada model institusi hukum yang lebih kompeten.

Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum, dibuat dengan maksud untuk dipatuhi oleh masyarakat atau dengan kata lain untuk efektif atau hukum tersebut beperan sesuai fungsinya.

Apabila yang dibicarakan masalah berfungsi atau efektifnya hukum dalam masyarakat, biasanya perhatian diarahkan pada kenyataan bahwa apakah hukum benar-benar berlaku atau tidak.

Di dalam teori hukum biasanya dibedakan antara 3 macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah, yaitu sebagai berikut:

1. Hukum Berlaku Secara Yuridis, apabila ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau bial terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Sevenbergen), atau apabila menunjukkkan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann).


Keberlakuan yurudis atau normatif suatu peraturan atau kaidah jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang didalam kaidah-kaidah hukum saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. System kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan Hierarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi[5].

Keberlakuan yurudis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam syarat-syarat:
 pertama, keharusan adanya kewenangan peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Jika tidak, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum. Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, peraturan perundang-undangan formal harus dibuat bersama-sama antara presiden dengan DPR, jika tidak, maka UU tersebut batal demi hukum.

Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atu peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalu diperintah oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan perundang-undangan tersebut. Misalnya, kalau UUD 1945 atau UU terdahulu menyatakan bahwa sesuatu harus diatur UU, maka dalam bentuk UU -lah hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya keputusan Presiden, maka keputusan tersebut dapat dibatalkan.

Ketiga, keharusan mengikuti tatacara tertentu. Apabila tatcara tersebut tidak diikuti, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal, demi hukum atau tidak/belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Misalnya, peraturan daerah dibuat bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah, kalu ada peraturan daerah tanpa mencantumkan persetujuan DPRD, maka batal demi hukum.

Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu UU tidak boleh mengandung kaidah yang bertentang dengan UUD[6].

Dalam kaitan dengan dasar berlaku secara yuridis dari peraturan perundang-undangan, maka Soerjojno Suekanto dan purnadi Purbacaraka Mengemukakan beberapa pendapat :

1). Hans Kelsen, berpendapat bahwa setiap kaidah hukum berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya;
2). W. zevenbergen, menyatakan bahwa kaidah hukum harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya; dan
3). Logemann, kaidah hukum mengikat kalau menunjukkan hubungan keharusan (hubungan memaksa). Antara satu kondisi dengan akibatnya[7].

 2. Hukum Berlaku Secara Sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena diterima atau diakui  oleh masyarakat (teori pengakuan).

Dasar berlaku secara empiris/sosiologis maksudnya adalah jika para warga masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu diberlakukan. Keberlakuan empiris dapat dilihat melalui sarana penelitan empiris tentang perilaku warga masyarakat. Jiaka dari penelitan tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan empiris kaidah hukum. Dengan demikian, norma hukum mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. [8]

Dengan dasar sosiologis peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoretis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu:

1). Teori kekuasaan secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2). Teori pengakuan, kaidah hukum  berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat temapat hukum itu berlaku.[9]


Terkait dengan keberlakuan empiris kaidah hukum dalam masyarakat Lawrence M. Friedman[10] menyatakan bahwa The legal system is not a machine, it is run by human being. Interpendensi fungsional selalu akan tampak dalam proses pemberlakuan / penegakan hukum. 


Lebih lanjut, Friedman menyebutkan bahwa paling tidak ada 3 faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi proses penegakan hukum, yakni: pertama, faktor substansi hukum dimaksudkan adalah aturan, norma, pola prilaku  nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan  yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga juga mencakup living law  (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.

Kedua, faktor-faktor struktural dalam hal ini adalah bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia, misalnya kita berbicara tentang struktur sistim hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Juga termasuk unsur struktur jumlah dan jenis pangadilan, yurisdiksinya jenis kasus yang berwenang untuk diperiksa, serta bagaimana dan mangapa. Jelasnya struktur bagaikan foto diam yang menghentikan  gerak

Ketiga, faktor kultural dalam hal ini sikap manusia dan sistim hukum kepercayaan, nilai pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran yang menentukan bagaiman hukum digunakan, dihindari, atau disalah gunakan. Tanpa kultur hukum, hukum tak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang dan bukan seperti ikan hidup dilaut.[11]

Secara singkat cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut: (1) struktur di ibaratkan sebagai mesin; (2) substansi adalah apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin itu; dan (3) kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan

3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi (Soekanto, 1979: 46-47)

Setiap masyarakat selalu mempunyai “Rechtsidee”, yakni apa yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum menjamin adanya keadilan, kemenfaatan dan ketertiban, maupun kesejahteraan. Cita hukum  atau rechtsidee tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakat dan lain sebaginya. Termasuk tentang pandangan dunia ghaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistim nilai baik sebagai sarana yang melindung nilai-nilai maupun sebagi saran mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.[12]

Menurut Rudolf Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang merupakan keharuasan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Selanjutnya, Gustav Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti stammler dari aliran Neo-katian, menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulative dan kontruktif. Tanpa cita hukum-hukum akan kehilangan maknanya. [13]

Didalam pembentukan   peraturan perundang-undangan proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum ke dalam norma hukum tergantunh pada tingkat kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai tersebut akan terjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat.

Oleh karena itu, dalam Negara Indonesia, yang memiliki cita hukum pancasial sekaligus sebagai norma fundamental Negara, maka hendakya peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri  nilai-nilai yang terkandung di dalam cita hukum tersebut.

Pancasila pada era reformasi banyak mendapat kecaman dan hujatan dari berbagai kalangan, karena pancasila selama berkuasanya rezim “orde baru” telah dijadikan sebagai instrument legitimasi  bagi kepentingan kekuasaan.  Interpretasi terhadap pancasila yang dilakukan oleh kalangan “luar” kekuasaan “orde baru” dianggap sebagai interpretasi yang keliru dan harus ditolak. Dibalik hujatan dan kecaman terhadap pancasila, dari sisi nilai pancasila tetaplah seperangkat niali luhur yang harus dipertahankan, karena pancasila merupakan titik pertemuan (kalimatun sawa) dari berbagi perbedaan-perbedaan yang ada di negeri ini. Dalam kaitan ini menarik dikutip pendapat Nurcholish madjid [14] berikut ini :

Pancasila merupakan pendukung besar, karena dari semula ia mencerminkan tekad untuk bertemu dalam titik kesamaan antara golongan yang ada antara dinegara kita. Sikap mencari titik persaan ini mempunyai nial keislaman , seperti yang telah diuraikan. Namun, isi masing-masing sila  itu juga mempunyai nilai-nilai keislaman, maka kaum muslim Indonesia secara sejati terpanggil untuk ikut berusaha mengisi dan memberinya substansi serta melaksanakannya.

Lebih lanjut tentang dasar keberlakuan hukum tersebut di atas, purbacaraka dalam (Soekanto, 1988: 14-15); (Lubis, 1989: 7-8) berpendapat bahwa, agar suatu ketentuan hukum dapat berfungsi sebagiman yang dikehendaki, maka terhadap ketentuan hukum tersebut harus memenuhi ketiga dasar keberlakuan hukum sebelumnya, disebabkan karena sebagai berikut :

1). Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel).
2). Kalau hukum berlaku secara sosiologis (maka mungkin hukum berlaku dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa.
3). Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

Di dalam hubunagn ini perlu dikemukakan pandangan Burkhartdt Krems dalam attamimi yang menyatakan bahwa proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan meliputi dua hal pokok, yaitu kegiatan pembentukan isi peraturan di satu pihak dan kegiatan menyangkut pemenuhan bentuk peraturan, yaitu metode pembentukan peraturan dan proses serta prosedur pembentukan peraturan di lain pihak. Dua kegiatan tersebut idealnya dilaksanakan serentak, meskipu disetiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan sendiri-sendiri, apabila peraturan perundang-undangan  tetap berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis, maupun sosiologis.

Berdasarkan pada uraian diatas, maka penulis dapat menjelaskan, bahwa agar suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat berlaku efektif, maka idealnya dasar pemikiran yang mendasari proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan  adalah dasar pemikiran yurudis, sosiologis, dan filosofis.

Metode pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sangat menentukan apakah kelak peraturan perundang-undangan yang dibuat tersebut dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya (efektif). Karena itu, bantuan dari disiplin ilmu terkait semacam sosiologi hukum, ilmu pengetahuan tata hukum, dan ilmu tentang perencanaan sangat bermanfaat sebagai ilmu Bantu dalam proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.

Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagi suatu peraturan perundang-undangan yang baik, maka peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal yang ditetapkan dalam proses dan prosedur pembentukannya.

Secara teoretis, pembuatan produk hukum harus didasari oleh paling tidak empat dasar pemikiran.


A. DASAR FILOSOFIS

Dasar filosofis merupakan dasar falsarat atau pandangan hidup yang menjadi dasar cita-cita  sewaktu menuangkan suatu hasrat kedalam suatu rancangan / draft, peraturan perundang-undangan. Bagi bangsa Indonesia dasar filosofis itu adalah Pancasila, sehingga pada prinsipnya tidak dibuat dan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat jika bertentangan dengan Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara Indonesia.

Peraturan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan pembadanan dari norma hukum / kaidah hukum dan merupakan sarana yang paling lengkap untuk mengutarakan apa yang yang dikehendaki oleh norma hukum. Peraturan hukum menggunakan sarana untuk menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, dengan menggunakan konsep-konsep / pengertian-pengertian untuk menyampaikan kehendaknya (Rahardjo, 1991: 41-42).

Peraturan hukum itu diturunkan dari asas hukum dan bahwa asas hukum itu adalah jantungnya peraturan hukum. Disamping itu, asas hukum juga landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan pada asas-asas tersebut. Kecuali disebut dasar  / landasan, asas hukum ini juga lazim disebut sebagai dasar / alasan  bagi lahirnya suatu peraturan hukum atau merupakan ratio legis  dari peraturan hukum (Rahardjo, 1991: 45).

Asas hukum yang sangat umum dapat disebut sebagai dasar pemikiran yang mendasari suatu peraturan hukum. Oleh karena itu, dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, pembuatnya harus menerapkan dasar pemikiran yang mendasari suatu pembuatan peraturan perundang-undangan, disamping asas yang bersifat umum , juga bersifat khusus.

Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis, dank arena mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya (Rahadjo, 1991: 45).


1. Pendapat Para Ahli Tentang Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas-asas yang mengandung nilai hukum.

Van Der Vlies menyatakan bahwa di negeri Belanda asas hukum pembuatan peraturan  perundang-undangan berkembang melalui lima sumber, yaitu, saran-saran dari Raad Van Staat (semacam dewan pertimbangan agung di Indonesia dahulu ), bahan-bahan tertulis tentang pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dalam sidang-sidang parlemen terbuka, putusan-putusan haki, petunjuk teknik perundang-undangan dan hasil akhir komisi pengurang gan dan penyederhanaan peraturan perundang-undangan, dengan bahan hukum sekunder lainnya berupa kepustakaan di bidang tersebut adalah sanagat penting (Attamimi, 1990:322).

Para ahli memandang bahwa asas-asas tersebut dibagi menjadi asas-asas yang bersifat formal dan asas-asas yang bersifat materiil. Asas-asas formal yaitu asas yang berkenaan dengan tata cara pembuatan dan bentuknya, dan asas-asas materiil yaitu asas-asas yang berkenaan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan.

Adapun pendapat para ahli  antara lain seperti berikut ini.

1). Montesquieu

Montesquieu, mengemukakan bahwa hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, yakni sebagai berikut:

  1. Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorikal hanya merupakan tambahan yang membingungkan.
  2. Istilah yang diinginkan hendaknya bersifat mutlak dan tidak relative, dengan maksud menghilangkan kesempatan yang minim untuk perbedaan pendapat yang individual.
  3. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual, menghindarkan sesuatu yang metaforis dan hipoteetis.
  4. Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan latihan logika, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rat-rata.
  5. Hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasa, atau pengubahan; digunakan semua itu hanya apbila benar-benar dperlukan.
  6. Hukum hendaknya tidak bersifat argumentative/dapat diperdebatkan; lebih bahaya memerinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih menimbulkan pertentangan-pertentangan.
  7. Lebih dari itu semua, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak mensyaratkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan, dan hakikat permasalahan; sebab hukum yang lemah,  tidak perlu, dan tidak adil akan membawaseluruh sistem perundang-undangan kepada nama jelek dan menggoyahkan kewibawaan Negara ( Attamimi, 1990: 324).


2). Jeremy Bentham

Jeremy bentham, mengemukakan ketidaksempurnaan (unperfections) yang mempengaruhi undang-undang (statute law) dan dapat dijadikan asas-asas bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Ketidaksempurnaan tersebut dibagi dalam 2 derajat/tingkatan.

Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi :

a.       Anti ganda (ambiguity)
b.      Kekaburan (absure)
c.       Terlalu luas (over butkines).


Sedangkan ketidaksempurnaan derajat kedua disebabkan hal-hal yang meliputi:

a.       ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of expression).
b.      Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of import)
c.       Berlebihan (rediundancy).
d.      Terlalu panjang lebar (long in dedness)
e.       Membingungkan (entalement)
f.        Tanda-tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in respect of helps to intellection)
g.       Ketidak aturan (disordserliness).


3). Lon L. Fuller

Lon L. Fuller, memandang  dari sudut pembentuk peraturan perundang-undangan, melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Tujuan pembentuk peraturan perundang-undangan akan berhasil apabila ia sampai pada tingkat tertentu memperhatikan asas-asas yang diambilnya dari principles of legality, yaitu:

a.       Tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhoc.
b.       Peraturan yang sudah dibuat itu harus diumumkan.
c.       Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian untuk menjadi pedoman tingkah laku.
d.      Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
e.       Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
f.        Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
g.       Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
h.       Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan pelaksanaannya sehari-hari.

Kedelapan asas tersebut lebih dari sekedar persyaratan adanya suatu sistem hukum melainkan memberikan pengkualifkasian terhadap sistem hukum yang mengandung moralitas tertentu ( Rahardjo, 1991: 51-52).


4). I. C. Van der Vlies

I.C. Van der Vlies, membagi asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van behoolijke rejel giving) kedalam asas formal dan materiil (Soeprapto, 2002: 96-97).

Asas-asas formal, meliputi :

a.       Asas tujuan yang jelas (beginsel van duiden delinjk doelstelling0.
b.      Asas organ / lembaga yang tepat ( beginsel van het juiste organ).
c.       Asas perkunya peraturan ( het noodzakelinjkheids beginsel).
d.      Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaar heids beginsel).
e.       Asas consensus (het beginsel van consensus ).


Asas-asas materiil, meliputi :

a.       Asas terminologi dan sistematika yang benar.( het beginsel van duidejilijk terminologie an duiden deiijke sistematiek).
b.      Asas dapat dikenali ( het beginsel van kenbaarhekl).
c.       Asas perlakuan yang sama dalam hukum ( het recht gelijkeheids beginsel)
d.      Asas kepastian hukum (het rechzekerheids beginsel)
e.       Asas pelaksanaan hukum yang sesuai dengan keadaan individu (het beginsel van de individuele recht bedeling).


5). Hamid S. Attamimi

Hamid S.Attamimi didalam desertasinya setelah membahas berbagai bahan menyangkut asas hukum umum dan asas-asas pembentukan peraturan perundangan baik yang berasal dari cita hukum Negara Republik Indonesia, norma fundamental Negara Indonesia, asas Negara berdasarkan hukum dianut oleh negara Republik Indonesia dan asas pemerintahan berdasarkan sistim konstitusi ayng dianut oleh pemerintah negara Republik Indonesia, serta pendapat para ahli, maka berdasarkan asas-asas tersebut akhirnya merumuskan asas-asas yang khusus bagi perundang-undangan Indonesia yang disebutnya sebagai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang patut. Asas-asas tersebut, meliputi :

a. Asas-asas formal, dengan perincian:

1). Asas tujuan yang jelas;
2). Asas perlunya peraturan;
3). Asas organ / lembaga yang tepat;
4). Asas materi muatan yang tepat;
5). Asas dapatnya dilaksanakan; dan
6). Asas dapatnya dikenali.

b. Asas-asas materiil, dengan perincian :

1). Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara;
2). Asas sesuai dengan hukum dasar Negara;
3). Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasarkan atas hukum; dan
4). Asas sesuai denagn prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistim konstitusi (Attamimi, 1991: 345-346).


B. DASAR YURUDIS

Dasar yurudis merupakan ketentuan  hukum yang menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk pembuatan/ perencanaan suatu peraturan  perundang-undangan.

Meskipun secara normatif dan ideal konstitusional Indonesia adalah Negara hukum yag berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik, baik pada masa itu maupun masa depan tergantung pada budaya hukum dan politik yang berkembang di dalam masyarakat kita. Ada mitos konstitusionalisme yang berkembang dibanyak negara termasuk Indonesia,  bahwa dengan memiliki dokumen konstitusi yang menjamin tegaknya Negara hukum, maka segala segala persoalan akan selesai. Meskipun memang banyak dalam literature kita ketahui bahwa sebuah negara hukum menghendaki orientasi kepada ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya.

Orientasi kepada negara hukum tidak semata-mata pada lembaga-lembaga yang akan menompangnya, tetapi juga bergantung pada kayakinan yang diterima secara luas bahwa proses hukum itu merupakan penyelesaian yang terbaik. Dan bahwa prinsip-prinsipnya adalah abadi. Jadi,  jika ada keyakinan yang kuat bahwa hukum adalah diatas segala-galanya, maka masyarakat akan menggunakan hukum sampai pada batas yng mungkin dilaksanakan. Keyakinan seperti itu bukannya tidak rasional, melainkan cukup masuk akal, karena aturan-aturan yang dibuat dan disepakati bersama itu bertujuan mencapai kemaslahatan dalam kehidupan bersama. Jadi, hukum mengatasi kepentingan-kentingan individu dan golongan.

Kesadaran seperti diatas tampaknya belum menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Mahendra dalam Achmad Ruslan, 2005: 64).

Didalam hubungannya dengan UUD 1945, para ahli hukum tata Negara Indonesia pada umumnya sependapat bahwa kedudukan pembukaan UUD 1945 lebih tinggi dari pada batang tubuh UUD itu, sebab, di dalam pembukaan itulah tertuang rumusan dasar filsafat Negara yang juga berfungsi sebagai ideologi negara Republik Indonesia. Rumusan itu bersifat singkat, namun memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan menentukan keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan Negara serat kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang diambil dalam proses penyelenggaraan Negara.

Dilihat dari sudut pandang filsafat, maka rumusan dasar filsafat Negara terkandung didalam pembukaan UUD 1945 itu, kendatipun ia berada diluar sistem hukum, memainkan peranan normatif sebagai Leitstern atau sebagai bintang yang akan memadu perumusan norma-norma hukum yang ada dibawahnya.

Rumusan dasar filsafat Negara atau ideologi Negara yang dikandung oleh pembukaan UUD   1945 ialah Pancasila. Rumusan pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar dari cita hukum (rechtsidee) Negara Republik Indonesia. Sebagai cita Negara, ia di rumuskan berdasarkan cita yang hidup di dalam masyarakat (volks geemenschapsidee) yang telah ada sebelum Negara itu didirikan. Memang, sebelum  negara Republik Indonesia berdiri, masyarakatnya telah ada sejak berabad-abad silam.


Sebagai Negara berdasar atas hukum (retchsstaat) yang modern, negara Republik Indonesia secara sadar berkehendak, berusaha, dan berupaya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Untuk itu, perku dilakukan modifikasi-modifikasi dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat serta rakyatnya, pengubahan-pengubahan sosial itu dilakukan dengan penyelenggaraan pembangunan, rencana-rencana perinciannya, hukum yang melandasinya, peraturan-peraturan perundang-undangan yang mendukungnya, dan peraturan-peraturan kebijakan yang menunjang pelaksanaannya.

Hakikat pembangunan dinegara kita dewasa ini baik pembangunan jangka panjang maupun pembangunan jangka pendek, ialah kehendak untuk mencapai tujuan-tujuan Negara sebagaiman yang tercantum didalam UUD 1945 dan  rumusan GBHN yang pernah ada merinci strateginya serta pelita-pelita yang merinci tak tiknya. Sedangkan pembangunan itu sendiri pada hakikatnya adalah pengamalan pancasila.

Pembangunan yang sedang diselenggarakan, yang tidak lain adalah pengamalan pancasila ke dalam kenyataan, diperlukan pengenalan, pengetahuan, dan pemahaman yang tepat mengenai peraturan perundang-undangan. Untuk itu diperlukan ilmu dibidang peraturan perundang-undangan.

Di dalam pembukan UUD 1945, yaitu pada alinea ke empat, dirumuskan dengan jelas bunyi pancasila yang bukan dalam bentuk pokok-pokok pikiran, yaitu ketuhanan yang Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Panacasila yang terdapat didalam pembukaan UUD 1945 ialah pancasila yang berwujud dalam hukum dalam norma hukum, dalam hal pembukaan dari hukum dasar,  dari UUD.

Apakah hubungan antara pancasila yang berwujud dalam cita hukum dan pancasila yang berwujud dalam Negara hukum tertinggi? Sebagaimana kita ketahui, cita hukum selain mempunyai fung konstitutif yang menentukan dasar suatu tata hukum, yang tanpa itu suatu tat hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum, juga mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak adil. Demikian juga, dalam hal pancasila merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat didalam pancasila mempunyai fungsi konstutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang benar, dan disamping itu mempunyai fungsi regulative yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak (Oesman dan alfian, 1996: 69).

Terkait  dengan hal ini relevan dengan teori hierarchy of norms  (Hans Kelsen, 1949 : 123-124) , bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena ia diciptakan  / dibuat dengan cara yang telah ditentukan oleh norma lain. Jadi, hubungan hierarkis norma-norma hukum tersebut menggambarkan bahwa suatu norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma yang di bentuknya (norma yang lebih rendah). Hubungan antara Norma yang mengatur pembentukan norma yang lain dapat dipresentasikan sebagai suatu hubungan super – dan subordinasi. Sebuah norma yang menentukan pembentukan norma yang lain adalah norma yang superior. Sedangkan norma yang diciptakan menurut hubungan ini adalah norma yang inferior.

Lebih tegas, Hans Kelsen (Achmad Ruslan, 2005 :68) mengemukakan sebagai berikut:

Since a legal norm is valid because it is created in a way determined by another legal norm, the latter is the reason of validity of the forme. The relation between the norm Regulating the creation of another norm and this other norm maybe presented as a relationship of super  anda a sub-ordination . . .  
The norm determining the creation of another norm is the superior, the norm created according to this regulation, the inferior norm.

Pendapat Hans Kelsen, diatas dapat dimaknai bahwa setiap peraturan perundang-undangan  mensyaratkan dasar validitasnya dan norma lain yang membentuknya (norma yang lebih tinggi). Jadi, konsep hierarchy of Normans Hans kelsen dapat dijadikan acuan teoretis dalam hal mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, konsep tersebut kelihatannya membutuhkan anasir lain pada aspek materiil setiap peraturan perundang-undangan .

Pada konteks itulah, materi muatan setiap peraturan perundang-undangan  perran dan aspek filosofis sosiologis, dan politis sangat urgen dan strategis untuk melengkapi konsep Hans Kelsen tersebut.

Kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-undangan Peter Noll (Achmad Ruslan, 2005: 69) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan yang disebutnya gesetzgebungslehre itu meneliti isi dan bentuk norma hukum dengan tujuan mengembangkan criteria, arah, dan petunjuk bagi pembentukan norma yang rasional. Terhadap sebutan ilmu pengetahuan perundang-undangan oleh Peter Noll, penulis mengistilahkan dengan ilmu perundang-undangan. Masalah pokok yang ditelitinya adalah bagaimana hukum yang melalui perundang-undangan  dapat dibentuk secara optimal, sedangkan titik tolaknya ialah bagaimana memperoleh jawaban agar keadaan sosial dapat dipengaruhi melalui norma perundang-undangan  sesuai dengan arah yang  diarahkan. Pengembangan dan pemantapan metode perundang-undangan merupakan bagian dari ilmu hukum. Dan meskipun tidak secara tegas menyebutkan sebagai bagian dari ilmu hukum yang interdisipliner, ia menegaskan bahwa Gesetzgebungstheorie  merupakan suatu disiplin hukum (Junstische disziplin) dalam arti ilmu pengetahuan yang ditekuni dan kegiatan yang digeluti oleh para ahli hukum.

Selanjutnya, apa yang oleh   Noll disebut gesetzgebungslehr , oleh jurgen Rodig disebutnya  gesetzgebungstheorie  meskipun oleh beberapa perbedaan yang prisipiil, pendekatan rodig yang regelungstheoretish  mengharuskan gesetzgebungshtirie-Nya menjadi bagian yang tidak terlepas dan regelungsthoire  yang umum dan yuridis. oleh karena itu, bagi Rodig, UU formal (fomelle gesetz) hanyalah salah satu bentuk pengaturan yuridis, sedang apa yang kita kenal dengan teori perundang-undangan. Tidak terbatas pada gesetz saja. Dengan demikian, Rodig memandang gestzgebungstheorie   sebagai bentuk multidisipliner dan pengolahan ilmu hukum yang menggunakan perspektif dan metode teoritis dan disiplin-disiplin lain, dengan tujuan meneliti gejala perundang-undangan. Selanjutnya, menurut Rodig,  gestzgebungstheorie  mengandung dua segi, yaitu statis dan dinamik. Yang pertama menyangkut proses perumusan isi peraturan, dan yang terakhir menyangkut proses pemilihan isi peraturan dan alternatif-alternatif yang tersedia (Ettamimi, 1992: 13).

Pada konteks ini , Burkhard Krems berpendapat lain. Menurutnya, ilmu pengetahuan perundang-undangan yang ia sebut gesetzbungswissenshcaft mempunyai du arah penelitian, yaitu gesetzgebungstheorie dan gesetgebungslehre. Yang pertama beorientasi kepada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman-pemahaman, sedangkan yang terakhir berorientasi kepada melakukan perbuatan / tindakan, yaitu membentuk peraturan (Attamimi, 1992: 13). Terhadap istilah ilmu pengetahuan perundang-undangan yang dikemukakan oleh krems, yang sistematika berfikir, penulis mengistilahkan ilmu perundang-undangan dalam arti luas, yang terdiri atas teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan dalam arti sempit.

Lebih lanjut, Krems menyatakan bahwa dalam lingkup ilmu perundang-undangan yang sempit yang ia istilahkan dengan gesetzgebungslehre mempunyai  tiga sub bagian disiplin, yaitu proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan teknik perundang-undangan (Attamimi, 1992: 15).

Pada aspek proses perundang-undangan, maksudnya bahwa proses perundang-undangan meliputi berbagai tingkat penyelesaian, sepertitingkatan persiapa, penetapan, pelaksanaan, penilaian, dan pemeduan kembali produk yang sudah jadi. Namun demikian, pada aspek ini seorang ahli perancang perundang-undangan harus memproritaskan sisi tingkatan persiapan dan tingkatan penetapan. Pada sisi tingkatan persiapan, produk perundang-undangan masih dalam taraf ide dan taraf penyusunan yang lazim disebut naskah akademik. Pada sisi tingkatan penetapan, dibutuhkan engetahuan dan pemahaman yang benar menyangkut prosedur dan tata kerja yang ditentukan sistem pemerintahan yang berlaku (Attamimi, 1992a: 4).

Menyangkut sisi metode perundang-undangan pemaknaannya adalah merealisasi esensi peraturan perundang-undangan, yakni bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, mengarahkan, mempengaruhi, dan menertibkan perilaku warga Negara dan aparatur Negara melalui peraturan perundang-undangan ( Attamimi, 1992a: 4-5).

Selanjutnya yang dimaksud dengan teknik perundang-undangan atau gestgebungstechnik(lehre)  di dalam konteks ini adalah bagaimana eks materi muatan peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan pengertian yang kabur dan absurd (Attamimi, 1992a: 5-6). Terkait dengan hal ini, Robert C. Dick, Q.C. (1972: 2-3) menyatakan: “drafting is really an art and not a science”, seni yang dimaksud didalam konteks ini adalah dibutuhkannya kemampuan tertentu menuangkan norma-norma dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan pada aspek pembahasannya. Hal ini dapat diketahui sebagaiman Dick, lebih lanjut, mengataka: “Drafting is considered a mere literary exercise . . “.

Beranjak dari uraian diatas dapat diketahui bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pada satu sisi, terdapat aspek seni kebahasaan (literary) didalamnya yang menjadi sub bagian dari teknik perundang-undangan. Namun di sisi lai, pada bagian teknik perundang-undangan tetap dititik beratkan juga aspek penggunaan sistematika yang baku bagi penuangan ketentuan-ketentuan pada materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas, dapat diketahui bahwa landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum / dasar hukum untuk pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Seperti  landasan yuridis dibuatnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah pasal 18 UUD 1945, selanjutnya UU No. 32 Tahun 2004 menjadi landasan yuridis dibentuknya peraturan pemerintahan yang menjabarkan  undang-undang tersebut.

Landasan yuridis ini dapat dibagi dua, yaitu :

1. Landasan yuridis dan sudut formal, yaitu landasan yuridis yang memberikan kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu, misalnya pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 memberikan landasan yuridis dan sudut formal kepada pemerintahan Daerah dan DPRD untuk  membuat peraturan daerah.

2. Landasan yurudis dan sudut materil, yaitu landasan yang memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti pasal 136 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan kewenangan dibuatnya perda tentang pembentukan kelurahan. Hal pembentukan kelurahan tersebut diatas merupakan landasan yurudis dari sudut materiil.


C. LANDASAN SOSIOLOGIS

Landasan sosiologis  merupakan landasan yang terdiri atas fakta yang merupakan  tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (perda), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya di butuhkan oleh masyarakat sehingga perlu peraturan sebagai contoh di bidang perikan , salah satu instrument pegaturan adalah perizinan perikanan. Dalam hubungan dibuatlah perda untuk menghindari terjadinya penangkapan ikan yang melebihi penangkapan semestinya. Demikian pula penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai ,karena melebihi jumlah yang ditetapkan serta penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dapat merusak sumber daya perikanan,  sedangkan hal ini tidak dikehendaki oleh masyarakat karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan daerah tentang izin usaha perikanan. Perda tentang izin usaha perikanan tersebut mengatur berbagai hal agar sumber perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan bahkan melalui peraturan tersebut dapat lebih menguntungkan masyarakat dan Negara melalui usaha perikanan dalam ketentuannya juga mengatur mengenal pungutan Retribusi izin usaha perikanan .


D. DASAR HUKUM

Sebelum menguraikan tentang dasar hukum, terlebih dahulu perlu diuraikan mengenal sumber-sumber hukum, agar pembahasan dalam buku ini menjadi jelas posisinya, dan hal ini akan membawa implikasi pada fungsi peraturan perundang-undangan,  sebagai salah satu sumber hukum.

Sumber hukum dapat dibedakan kedalam sumber hukum materiil dan formal. Menurut Utrecht  (1983: 84-85), sumber-sumber hukum materiil adalah perasaan hukum (keyakinan hukum), individu dan pendapat hukum yamng menjadi penentu isi hukum. Sedangkan sumber-sumber hukum formal adalah yang menjadi penentu formal membentuk hukum, menentukan berlakunya hukum. Achmad Ali (2002:108) menyebutkan sumber hukum formal adalah : (1) undang-undang; (2) kebiasaan;(3) traktat atau perjanjian internasional; (4) yurifudensi; (5) doktrin; dan (6) hukum agama. Urutan tersebut dipengaruhi oleh sistim hukum eropa continental yang menempatkan UU sebagi sumber utama dari hukum. Sedangkan dalam sistem hukum Anglo-Saxon, yurispudensi ditempatkan lebih utama daripada UU.


Dasar peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945.

1). Sendi kerakyatan (Demokrasi)

Dasar kerakyatan tertuang dalam sila keempat dasar Negara “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, badan perwakilan sebagai musyawarah paham kerakyatan (Demokrasi) adalah badan yang menjalan fungsi legislative disamping fungsi pengawasan dan anggaran.

Rakyat yang menjadi sumber dan sekaligus sebagai pembuat peraturan untuk mengatur diri mereka sendiri dan pemerintahannya. Semua pengaturan pada dasarnya harus dibentuk secara demokratis (Manan, 1997: 182-185).

Untuk mewujudkan prinsip tersebut, diadakan sistim perwakilan diindonesia pada tingkatan pusat, yaitu : MPR, DPR, dan pada tingkat daerah adalah DPRD Provinsi, kabupaten, dan kota.

            MPR menentapka mensahkan UUD. DPR membentuk UU dengan persetujuan bersama presiden dan DPRD Provinsi, kabupaten, dan kota, membentuk peratuturan daerah (perda) dengan persetujuan bersama gubernur, bupati, dan walikota dengan DPRD.

Meskipun dalam kenyataan tidak semua peraturan perundang-undangan oleh lembaga perwakilan, tetapi sendi kerakyatan (Demokrasi) tetap dilaksanakan melalui cara Delegasi melalui UU atau kewenangan yang di atur dalam undang-undang.


2). Sendi Negara berdasar atas Hukum.

Seperti diketahui bahwa Indonesia adalah Negara hukum telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang telah Diamandemen. Negara  berdasar atas hukum ini salah satu asas yang penting adalah  asas Legalitas. Untuk mewujudkan asas legalitas tersebut perlu dibuat aturan hukum antara lain dengan bentuk peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan sendi kerakyatan tersebut. Peraturan dibentuk secara demokratis, oleh sebab itu secar materiil tidak dapat dipisahkan antara sendi kerakyatan dan sendi negara berdasar atas hukum.

Negara hukum semacam ini lazim disebut Negara hukum yang demokratis, (Democratishche reschtstaat), (Manan, 1997:104).


3). Sendi Negara atas dasar konstitusi (konstitusionalisme)

Badan Negara berdasar atas konstitusi tidak dapat dipisahkan dari Negara berdasar atas hukum oleh sebab itu ketiga sendi ini bertujuan untuk membatasi keharusan dengan dengan menolak tiap bentuk kekuasaan tanpa batas (Absolutisme). Pembatasan kekuasaan menurut sendi konstitualisme dilakukan dalam menciptakan UUD (konstitusi tertulis). Meskipun kata konstitualisme tidak ada dalam konstitusi, tetapi unsurnya terdapat dalam konstitusi (UUD 1945), yakni adanya pembatasan kekuasaan dan jaminan hak asasi manusia , hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kekuasaan tak terbatas (absolutisme) yang menjadi dasar sendi konstitusionalisme.

Untuk mencegah tindakan kesewenang-wenangan dilakukan melalui penciptaan berbagi perangkat hukum terutama pada bentuk peraturan perundang-undangan.




[1] Lihat Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis), PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.99.
[2] Untuk Pemahaman yang Mendalam Tentang Hubungan Kondisi Politik dengan Produk Hukum baca Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.
[3] Philippe Nonet dan Philip Silznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper and Raw Publisher, New York, 1978, hlm. 29-52.
[4] Bruggink, Op.Cit., hlm. 53-72.
[5] Keberlakuan Yuridis Sebuah Kaidah Hukum Tidak Dapat Dilepaskan Dari Teori Hukum murni (Reine Rechtlehre) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Lebih Lanjut perhatikan J.J.H. Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 150-152.
[6] Bagir Manan, Dasar-Dasar…Op, cit., hlm. 14-15.
[7] Soerjono S. purnadi P., Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 88-89.
[8] Bruggink, Op, cit, hlm, 149-150.
[9] Soerjono S. dan Purnadi p., Perihal. . . Op. cit., hlm. 91-92.
[10] Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System: Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation.
[11] Ibid.
[12] Bagir Manan, Dasar-dasar . .  . Op, cit. hlm. 17.
[13] Baca Esmi Warassih P. 2001. “Fungsi Cita Hukum Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yang Demokratis” Dalam Arena Hukum Majalah Hukum FH Unubraw No. 15 Tahun 4, November 2001, hlm, 354-361.
[14] Nurcholish  Madjid. 200. Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, hlm. xcviii

Tidak ada komentar: