D.
BAHASA HUKUM DALAM PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. HUBUNGAN
BAHASA DENGAN HUKUM
Di dalam kajian ilmu hukum, ada pernyataan yang sangat terkenal yang
dikatakan oleh marcus Tullius cicaro, yaitu Ubi Societas Ibi Lus’ yang diterjemahkan sebagai ungkapan, dimana ada masyarakat di
situ ada hukum’. Slogan tersebut sudah menjadi kesepahaman bersama dan menjadi
simpul mati bahwa setiap masyarakat memerlukan adanya hukum untuk mengatur
kepentingannya dari gangguan orang lain dan membatasi dirinya untuk menghargai
orang lain.
Di dalam kenyataannya, setiap manusia memiliki hasrat untuk berkelompok
dan mengelompokkan diri dalam sebuah lingkungan kehidupan bersama baik yang
berwujud Negara, provinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan juga bermacam-macam
kelompok lain, seperti lingkungan kelompok keluarga, sejenis, seprofesi,
masyarakat, pendidik, ulama, dan hukum lainnya.
Sudah pasti setiap kelompok sosial tersebut memerlukan hukum, UU, dan
memerlukan serrangkaian peraturan agar kehidupan dalam kelompok tersebut
tercapai ketertiban, teratur, dan terwujud ketentraman hidup. Dan sudah pasti,
peraturan hukum tersebut dinyatakan dan dijabarkan dengan bahasa. Sebagaimana
tercakup dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka penerapan dan pengelolan
hukum dalam suatu masyarakat tidak akan mungkin terlaksana dengan baik tanpa
bantuan bahasa.
Menurut Mahadi, jika sekiranya hukum telah ada akan tetapi tidak dalam
keadaan tegak, yakni tidak diterapkan menurut mestinya, maka menjadi kewajiban
setiap anggota masyarakat yang berada dalam lingkup jangkauan hukum tersebut
untuk mematuhi dan menghormati hukum secara sadar dan tulus ikhlas. Dalam
hubungan ini “Bahasa” memperlihatkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Untuk
membangkitkan dan memupuk kesadaran manusia dalam menciptakan dan menggerakkan
hukum, diperlukan suatu alat yang praktis, yaitu, “Bahasa”.
Hanya dengan bantuan bahasalah manusia dapat dan mampu serta menegakkan
dan mempertahankan hukum dalam lingkungan suatu masyarakat. Dalam setiap
kegiatan hukum, baik yang berwujud tertulis seperti perundang-undangan dan
dokumen-dokumen hukum tertulis lainnya, maupun berwujud tidak tertulis dalam
bentuk ketrampilan penggunaan bahasa, seperti presiden, manteri, anggota Dewan,
gubernur, walikota, bupati, sampai kepada perangkat desa seperti kepala desa
dan anggota BPD, dan lain-lain, memerlukan bahasa yang bagus, sesuai bidang hukum. Bahkan secara tegas, Arief
Sidarta menyatkan bahwa studi mengenai bahasa dan hukum sangatlah penting,
sebab hukum itu hanya mungkin ada dalam bahasa. Tanpa bahasa tidak mungkin
hukum itu ada, jadi keberadaan hukum itu hanya bisa dibayangkan dalam bahasa. [1]
Bahasa memastikan pengertian masyarakat dan lembaga pemerintah sesuai
dengan arah kebijakan. Melalui bahasa
pula, masyarakat dapat memahami maksud, tujuan, dan ketentuan dalam suatu
peraturan hukum, serta kemudian mematuhinya. Terlebih lembaga pelaksana dan
lembaga peradilan, akan menafsirkan dan melaksanakan peraturan hukum tersebut. Yang
jelas , hukum itu dibangan atas bahasa, tanpa bahasa hukum tiada. Bahasa
merupakan salah satu sarana utama dalam penegak hukum dan kepastian hukum.
Hukum itu ada dalam bahasa. Tanpa bahasa tiada mungkin hukum itu ada. Jadi
keberadaan hukum itu hanya bisa dibayangkan dalam bahasa.
Sultan Takdir Ali Syah Bana memprtegaskan bahwa “ . . .
Baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia dalam
masyarakat yang merupakan pula sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada
suatu tempat dan waktu . . . bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling
pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang
sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa maupun oleh hukum . . . “[2].
Hukum yang erat antara bahasa dan hukum sebagaimana yang dilukiskan oleh
Ali Syahbana diatas, memeng sangatlah tidak mungkin untuk diabaikan. Dalam
masyarakat manapun, hukum, sebagai salah satu sarana untuk menciptakan
peraturan dan ketertiban, dirumuskan utamanya, melalui bahasa, walau ada simbol-simbol
lain yang juga cukup penting untuk menetapkan hukum. Hukum hanya dapat berjalan
efektif manakala ia dirimuskan dengan tegas dan mencerminkan nilai-nilai itu
dalam suatu masyarakat, dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada
subjek-subjek hukum yang dituju. Apabiala anggota masyarakat tidak memahami
makna ketentuan hukum yang dirimuskan, dapat diduga bahwa akibatnya akan
menyebabkan aturan hukum tersebut tidak berjalan. Dari sisi lain, apabila hukum
tidak dirumuskan dengan jelas dan para pelaksana dan penerapnya dilapangan pun
tidak memahaminya, hal ini jelas akan berdampak pada mutu penegak hukum
tersebut.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk bahasa Indonesia tentunya, pada masa
dan sebagian juga masih berlaku, sampai kini hukum adat diberbagai wilayah
Indonesia, yang umumnya tidak dalam bentuk tertulis, pun diturunkan dari satu
generasi ke generasi lain. Melalui bahasa. Tidak perlu dibayangkan betapa
tersendatnya kehidupan mesyarakat hukum ada tanpa adanya bahasa.
Cukup megherankan karenanya apabila bahasa Indonesia dalam bidang hukum
ini sangat sedikit memperoleh perhatian dari pakar hukum sendiri. Sebagai
contoh, mata kuliah bahasa Indonesia tidak merupakan mata kuliah wajib
difakultas hukum di Indonesia.
- HUBUNGAN BAHASA DENGAN KETERTIBAN MASYARAKAT
Sekali lagi bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari nurani manusiayang
dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan yang berwujud gambar, simbol, atan
tanda-tanda (lambing) lainnya. Dalam hal
melakukan hubungan antara satu dengan yang lain. Namun sebagaimana
sebenarnya hubungan bahasa dengan
masyarakat, khususnya dalam menciptakan ketertiban masyarakat secara mendalam?.
Masyarakat adalah suatau lingkungan hidup manusia yang terikat oelh suatu
sisti adat istiadat tertentu yang merupakan suatu golongan yang berhubungan
tetap dan mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama. Berhubungan tetap disini maksudnya adalah
bahwa mereka selalu mengadakan komunikasi secara timbal balik demi menciptakan
kerja sama yang efektif antar sesama mereka. Hubungan tetap itulah yang hanya
dapat dilaksanakan dengan menggunakan alat penghubung yang disebut bahasa.
Tuhan menciptakan manusia memang terdiri dari berbagi pribadi-pribadi,
akan tetapi esensi penciptaannya tidaklah sebagai pribadi melainkan untuk
sesama. Oleh karena, manusia selalu berhasrat untuk selalu hidup bersama
(bermasyarakat), karena suatu kebutuhan yang paling mendasar dalam melanjutkan
kehidupannya. Suatu hal yang tidak dapat dibantah bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang diciptakan tuhan sebagi pribadi atau individu yang terpisah dari
individu yang lain, melainkan sebagai makhluk yang selalu berhasrat untuk hidup
bersama manusia lainnya.
Tentu kita masih ingat apa yang dikatakan oleh Aristoteles, filsuf
terkenal, yang berpendapat bahwa manusia sebagai Zoon politicon’ yang
diartikan bahwa manusia adalah binatang yang berpolotik. Secara sosiologis,
pendapat itu dapat ditafsirkan denagn manusia itu adalah makhluk sosial.
Dalam hal itu, manusia harus diartikan bahwa manusia itu selalu hidup
bermasyarakat, yaitu hidup bergaul dengan sesamanya. Oleh karena itu, maka
mereka pasti mempunyai hasrat mengelompokkan diri dalam suatu wadah yang
disebut organisasi. Orang tidak mungkin hidup sendiri-sendiri, sekalipun orang
yang masih primitive pun ingin hidup berkelompok untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya alam
sekitar dan bahaya dari sesame manusia. Untuk
menciptakan kelompok yang serasi itulah, manusia memerlukan bahasa
sebagai alat komunikasi guna
mempersatukan kelompok tersebut. Tanpa bahasa, manusia tak akan dapat
menciptakan suatu kelompok atau suatu masyarakat walau sekecil apapun kelompok
masyarakat itu, karena untuk melangsungkan hubungan yang tetap secara timbal
balik, manusia membutuhkan alat yang praktis dan efektif yang disebut bahasa.[3]
Memang tidak dapat dimungkiri bahwa kita bisa hidup dengan banyak
pengalaman dan ilmu pengetahuan serat
relasi sosial, karena ada transfer
pengetahuan dan pengalaman yang tentunya tidak akan bisa tanpa bahasa.
Dalam konteks hidup bermasyarakat pun kita buisa saling membantu dan
menghargai, juga karena ada bahasa yang menjadikan kita saling mengerti dan
memahami.
Bahkan untuk menciptakan kerukunan dan ketentraman dalam masyarakat
(khususnya di daerah-daerah yang jauh dari kekuasaan Negara), maka anggota
masyarakat itu menciptakan berbagai peraturan dan tata tertib, baik berupa
perintah-perintah maupun larangan-larangan yang harus dipatuhi dengan penuh
kesadaran oleh setiap anggota masyarakat. Peraturan tersebut bertujuan untuk
menciptakan ketertiban masyarakat dalam segala hal. Ketertiban juga memiliki arti sebagai perlindungan
hak , penjaminan pemenuhan hak, prevensi terhadap perilaku tata tertib, dan
sebaginya. Wujud peraturan tersebut berupa peraturan-peraturan daerah, yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Agar setiap peraturan itu dapat dipahami dan dipatuhi oleh setiap anggota
masyarakatnya, diperlukan alat yang praktis (tanpa bermaksud menyampingkan
unsur praktis lainnya) yang berupa bahasa hukum, tanpa bantuan bahasa yang
sudah disepakati bersama dan dipahami maksudnya, maka aturan-aturan tersebut
tidak akan dapat tersampaikan dan
disadari untuk dipatuhi oleh
anggota masyarakat, hal itu akan menimbulakn
kekacauan dan pelanggaan hukum yang tidak terkendali.
Untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari setiap peraturan perundang-undangan itu pun harus
dengan bahasa yang telah memenuhi
syarat-syarat normatif, yang dalam tulisan ini disebut sebagai “Bahasa Hukum”.
Untuk bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat, maka bahasa hukum
tersebut harus memiliki cirri-ciri :
- Jelas atau lugas, untuk menghindari adanya kesamaran dan ketidakabsahan;
- Bersifat Objektif dan meniadakan prasangka pribadi;
- Memberikan definisi yang cermat terhadap nama, sifat, dan kategori yang diaturnyan untuk menghindari kesimpang siuran dalam penafsirannya.
- Tidak Emosional dan menjauhkan dari tafsiran yang bersensasi;
- Cenderung Membakukan Makna dari kata-kata, ungkapan , dan gaya bahasanya didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan masyarakat.
- Tidak Fanatik pada satu hal tertentu;
- Singkat dan Hemat, hanya kata yang diperlukan saja yang dipakai, dan
- Memiliki kemanunggalan arti untuk menghindari penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dari peraturan tersebut.
C. KEGUNAAN
MEMPELAJARI BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
PENEGAKAN HUKUM
Betapa eratnya hubungan antara bahasa dengan hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum itu hanya mungkin
ada di dalam bahasa, tanpa bahasa hukum tiada. Bahasa merupakan salah satu
sarana penegakan hukum dan kepastian hukum. Belajar hukum serasa kurang lengkap
tanpa mempelajari bagaimana bahasa dan bahasa hukum. Karena bahasa hukum
memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan bahasa cabang ilmu lain.
Ketidakmengertian terhadap bahasa hukum adalah suatu kelemahan tersendiri bagi
para sarjana hukum.
Mempelajari bahasa Indonesia hukum bagi masyarakat, brtujuan untuk
mengatasi kekurangsempurnaan dalam penggunaan bahasa hukum baik dalam berbicara
atau mengemukakan pendapat tentang hukum, dalam membuat
peraturan-peraturanhukum didaerah, surat pengaduan, kesaksian, keputusan kepala
daerah atau membuat surat-surat perjanjian antar masyarakat, maupun akta-akta
dibawah tangan, dan sebaginya.
Singkat kata, mempelajari bahasa hukum sangat berguna untuk meningkatkan
kemampuan berbahsa hukum dalam melakukan segala kegiatan-kegiatan dibidang
hukum baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bentuk dokumen-dokumen
hukum. Selain itu, karena bahasa hukum memiliki sifat dan ciri khusus yang
sulit dipahami oleh orang awam.
Disamping itu, sangat banyak istilah-istilah hukum yang pengertian
(diartikan) berbeda dengan arti secara umum dalam bahasa Indonesia biasa.
Terlebih lagi bila dikaitkan dengan lapangan hukum yang memakainya, tentu
sangat beda dan perlu pemahaman yang lebih mendalam. Misalkan saja penggunaan
istilah tertuduh, terduga, tersangka, terdakwa dan terpidana; istilah yang mana
yang pantas untuk menyebut seseorang yang sedang dimintai keterangan oleh
polisi karena atas laporan masyarakat dianggap telah melakukan tindak pidana.
Tentu istilah yang pantas adalah “terduga” atau “tertuduh”, karena istilah
tersangka digunakan untuk pelaku tindak pidana yang dianggap cukup bukti untuk
segera dilakukan penyelidikan. Sedangkan istilah “terdakwa” digunakan untuk
menyebut pelaku tindak pidana yang sudah ditangani (didakwa) oleh jaksa penuntut
umum.
Contoh lain, misalnya pelaku perbuatan zina yang tertangkap tangan atau
tertangkap basah, istilah tersebut bukan berarti mereka (pelaku) tertangkap
tangannya yangsedang saling meraba-raba atau bukan pula mereka tertangkap pada
saat mereka berbasah ria, melainkan berarti perbuatan mereka tepergok yang
berarti perbanyatan seseirang tertangkap secara kasat mata pada saat
melakukannya.
Jelaslah bahwa bahasa hukum memiliki corak tersendiri yang tidak mungkin
semua orang dengan mudah memahaminya. Karena perlu dipelajari sehingga setiap
orang (dalam hal ini : mereka yang harus
taat terhadap suatu peraturan di daerah dan mereka yang berwenang untuk membuat
peraturan daerah, serta mereka yang menjadi aparat penegak hukum) mempunyai
pemahaman yang sama kan istilah hukum, sehingga penegakan hukum bisa terwujud.
Pada prinsipnya, bahasa hukum itu harus berasio, jelas dan mengikat, maka
dalam setiap produk hukum (misalnya : peraturan daerah) dan segala
dokumen-dokumen hukum, demikian pula dengan pejabat daerah yang menuntut
ketrampilan berbahasa hukum yang baik, seperti: bupati/wali kota, anggota DPRD,
para perangkat daerah lainnya, dan masyarakat (dalam bentuk individu maupun
yang bergabung dalam lembaga swadaya masyarakat /NGO) haruslah menggunakan
tatanan bahasa Indonesia yang baku yang memenuhi unsur :
- Gramatikal, yaitu suatu kaidah bahasa berdasarkan struktur kalimat yang baik dan benar.
- Berasio, yaitu antara kata-kata yang digunakan secara maknawi harus memiliki arti/pengertian yang selaras dan tidan bertentangan dengan logika (Rasional); dan
- Beretika, artinya pemakai dari bahasa tersebut harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat dan kata-kata yang digunakan.
Tentunya diharapkan bahasa yang
digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
D. BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Prinsip utama yang dianut oleh semua sistem hukum adalah hukum itu dapat
dikomunikasikan terhadap masyarakat . Apabila suatu aturan hukum dalam bentuk
peraturan daerah tersebut tidaj dapat dikomunikasikan dengan baik kepada
masyarakat, berarti peraturan daerah tersebut tidak dapat mempengaruhi tingkah
laku masyarakat. Begitu pula halnya dengan ketentuan yang berisi larangan atu
pembatasan terhadap kebebasan masyarakat, apabila tidak dapat dikomunikasikan,
maka peraturan daerah tersebut tidak akan mengkin berlaku secara efektif.
Berdasarkan hal tersebut, penegakan hukum dapat berjalan dengan baik jika
seluruh anggota masyarakat dapat memahami sebelumnya apa yang diharapkan dari
mereka, agar mereka dapat menyesuaikan tindakannya dengan ketentuan hukum. Berfungsinya hukum dengan baik,
menuntut adanya aturan hukum yang ,mudah diketahui secara jelas. Jika aturan
hukum dalam peraturan daerah tersebut kabur atau tidak jelas, maka akan
menimbulakan “ketidakpastian “dan
“ketidakkonsekuenan” dalam penerapannya. Penyebarluasan melalui
komunikasi hukum dengan bahasa hukum yang lugas dan mudah diterima terhadap
peraturan-peraturan daerah, sangat membantu mewujudkan pemahaman hukum
masyarakat.
Salah
satu upaya mewujudkan pemahaman masyarakat terhadap hukum-hukum
didaerah-daerah, maka dapat dilakukan dengan penyusunan peraturan-peraturan
daerah dengn menggunakan bahasa hukum
yang baik dan benar. Hal ini sangat penting karena peraturan hukum itu sendiri
berisi hal-hal yang bersifat normative yang mengikat masyarakat.
Oleh karena itu, maka para pembuat peraturan didaerah harus mempunyai
keahlian dalam menggunakan bahasa hukum dengan baik. Bagiman suatu peraturan
daerah dapat dibuat dengan bahasa Indonesia hukum yang baik ? disini dikemukakan tentang teknis membuat
peraturan daerah dengan menggunakan bahasa Indonesia hukum yang baik dan benar,
agar mudah dipahami oleh anggota masyarakat. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah :
- Sebelum Membuat peraturan daerah (Perda), pembuat peraturan harus mengetahui kondisi masyarakat daerah secara menyeluruh (baik tingkat pendidikannya, daya serap terhadap pengetahuan, tingakta ekonominya, dan gaya bahasa sehari/hari bahasa pergaulannya).
- Pembuat Peraturan harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mewujudkan ketertiban hukum dalam masyarakat, sehingga peraturan yang dibuatnya benar-benar bertujuan luhur untuk mengayomi masyarakat.
- Bahasa Hukum yang digunakan harus jelas dan nudah dipahami. Jangan menggunakan bahasa hukum yang sulit dipahami oleh masyarakat. Kalu dipandang perlu, dapat menggunakan bahasa daerah (misalnya, Jwa).
- Bahasa Hukum yang digunakan harus memilkikemanunggalan arti. Jangan menggunakan bahasa yang bisa menimbulkan penafsiran, sehingga orang bisa mengatikan peraturan itu sekehendak hatinya sendiri.
- Bahasa yang digunakan harus bisa diterima secara akal, jangan menggunakan bahsa atau kalimat yang tidak masuk akal, sehingga masyarakat cenderung menolaknya.
- Libatkan Tokoh masyarakat yang dianggap paham (akademisi, LSM, dan pemuka Agama). Hal ini untu menyusun peraturan daerah sebagai kehendak bersama, sehingga masyarakat secara bersama menaati peraturan tersebut karena merasa ikut membuatnya.
- Apabila dipandang perlu (dan memang begitu sebaiknya), bisa melibatkan ahli hukum dari perguruan tinggi..
Jangan lupa, bahwa tidak semua orang bisa melakukan segala sesuatu dengan
sempurna. Oleh karena itu, apabila peratuaran daerah sudah dibuat, namun
ternyata masih banyak kelemahan dari segi bahasanya, maka berkomunikasilah
peraturan tersebut kepada seluruh masyarakat dengan menerjemahkan isi peraturan
yang berlaku dengan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti.
Selanjtnya, bersandar pada landasan normatif dalam UU No. 10 Tahun
2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. (UUPPP), maka dari segi ragam bahasa dalam penyusunan
peraturan daerah dapat disederhanakan bahwa : terhadap bahasa dalam peraturan
daerah, penggunaan kata dan istilah, tehnik pengacuan dalam muatan pasal-pasal,
haruslah menggunakan ragam bahasa perundang-undangan (bahasa indonesi yang
tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia) baik menyangkut kata, kalimat maupun
pengejaannya dengan menggunakan kalimat yang lugas/tegas, jelas, dan mudah
ditangkap pengertiannya, tidak terbelit-belit dan objektif, serta tidak
menimbulkan pengertian yang berbeda –beda dari setiap pembaca.
Mengenai yang terakhir ini , maka ketentuan tentang ragam bahasa dalam
penyusunan peraturan di daerah dapat di lihat pada bahasan subbab berikut yang menyajikan
secara umum tentang ragam bahasa peraturan perundang-undangan.
[1]Arief
Sidharta, 2002, “Bahasa Hukum Indonesia: di Antara Pakem dan Frase”.
Dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 01, Agustus, 2002, hlm. 84.
[2]
Harkristuti Narkrisnowo, 2003, Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Dalam
Pengembangan Hukum Nasional, Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia , 14-17
Oktober 2003, hlm.1.
[3]
Zulkarnain, 2003, bahasa Indonesia Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Widyagama, Malang, hlm. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar