View My Stats

Selasa, 21 Februari 2012

BAHASA HUKUM DALAM PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


D. BAHASA HUKUM DALAM PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A. HUBUNGAN BAHASA DENGAN HUKUM

Di dalam kajian ilmu hukum, ada pernyataan yang sangat terkenal yang dikatakan oleh marcus Tullius cicaro, yaitu Ubi Societas Ibi Lus’ yang diterjemahkan  sebagai ungkapan, dimana ada masyarakat di situ ada hukum’. Slogan tersebut sudah menjadi kesepahaman bersama dan menjadi simpul mati bahwa setiap masyarakat memerlukan adanya hukum untuk mengatur kepentingannya dari gangguan orang lain dan membatasi dirinya untuk menghargai orang lain.

Di dalam kenyataannya, setiap manusia memiliki hasrat untuk berkelompok dan mengelompokkan diri dalam sebuah lingkungan kehidupan bersama baik yang berwujud Negara, provinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan juga bermacam-macam kelompok lain, seperti lingkungan kelompok keluarga, sejenis, seprofesi, masyarakat, pendidik, ulama, dan hukum lainnya.

Sudah pasti setiap kelompok sosial tersebut memerlukan hukum, UU, dan memerlukan serrangkaian peraturan agar kehidupan dalam kelompok tersebut tercapai ketertiban, teratur, dan terwujud ketentraman hidup. Dan sudah pasti, peraturan hukum tersebut dinyatakan dan dijabarkan dengan bahasa. Sebagaimana tercakup dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka penerapan dan pengelolan hukum dalam suatu masyarakat tidak akan mungkin terlaksana dengan baik tanpa bantuan bahasa.

Menurut Mahadi, jika sekiranya hukum telah ada akan tetapi tidak dalam keadaan tegak, yakni tidak diterapkan menurut mestinya, maka menjadi kewajiban setiap anggota masyarakat yang berada dalam lingkup jangkauan hukum tersebut untuk mematuhi dan menghormati hukum secara sadar dan tulus ikhlas. Dalam hubungan ini “Bahasa” memperlihatkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Untuk membangkitkan dan memupuk kesadaran manusia dalam menciptakan dan menggerakkan hukum, diperlukan suatu alat yang praktis, yaitu, “Bahasa”.

Hanya dengan bantuan bahasalah manusia dapat dan mampu serta menegakkan dan mempertahankan hukum dalam lingkungan suatu masyarakat. Dalam setiap kegiatan hukum, baik yang berwujud tertulis seperti perundang-undangan dan dokumen-dokumen hukum tertulis lainnya, maupun berwujud tidak tertulis dalam bentuk ketrampilan penggunaan bahasa, seperti presiden, manteri, anggota Dewan, gubernur, walikota, bupati, sampai kepada perangkat desa seperti kepala desa dan anggota BPD, dan lain-lain, memerlukan bahasa yang bagus, sesuai  bidang hukum. Bahkan secara tegas, Arief Sidarta menyatkan bahwa studi mengenai bahasa dan hukum sangatlah penting, sebab hukum itu hanya mungkin ada dalam bahasa. Tanpa bahasa tidak mungkin hukum itu ada, jadi keberadaan hukum itu hanya bisa dibayangkan dalam bahasa. [1]

Bahasa memastikan pengertian masyarakat dan lembaga pemerintah sesuai dengan arah kebijakan.  Melalui bahasa pula, masyarakat dapat memahami maksud, tujuan, dan ketentuan dalam suatu peraturan hukum, serta kemudian mematuhinya. Terlebih lembaga pelaksana dan lembaga peradilan, akan menafsirkan dan melaksanakan peraturan hukum tersebut. Yang jelas , hukum itu dibangan atas bahasa, tanpa bahasa hukum tiada. Bahasa merupakan salah satu sarana utama dalam penegak hukum dan kepastian hukum. Hukum itu ada dalam bahasa. Tanpa bahasa tiada mungkin hukum itu ada. Jadi keberadaan hukum itu hanya bisa dibayangkan dalam bahasa.
           
Sultan Takdir Ali Syah Bana memprtegaskan bahwa “ .  . .  Baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia dalam masyarakat yang merupakan pula sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu . . . bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa maupun oleh hukum . . . “[2].

Hukum yang erat antara bahasa dan hukum sebagaimana yang dilukiskan oleh Ali Syahbana diatas, memeng sangatlah tidak mungkin untuk diabaikan. Dalam masyarakat manapun, hukum, sebagai salah satu sarana untuk menciptakan peraturan dan ketertiban, dirumuskan utamanya,     melalui bahasa, walau ada simbol-simbol lain yang juga cukup penting untuk menetapkan hukum. Hukum hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirimuskan dengan tegas dan mencerminkan nilai-nilai itu dalam suatu masyarakat, dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada subjek-subjek hukum yang dituju. Apabiala anggota masyarakat tidak memahami makna ketentuan hukum yang dirimuskan, dapat diduga bahwa akibatnya akan menyebabkan aturan hukum tersebut tidak berjalan. Dari sisi lain, apabila hukum tidak dirumuskan dengan jelas dan para pelaksana dan penerapnya dilapangan pun tidak memahaminya, hal ini jelas akan berdampak pada mutu penegak hukum tersebut.

Hal ini tidak hanya berlaku untuk bahasa Indonesia tentunya, pada masa dan sebagian juga masih berlaku, sampai kini hukum adat diberbagai wilayah Indonesia, yang umumnya tidak dalam bentuk tertulis, pun diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Melalui bahasa. Tidak perlu dibayangkan betapa tersendatnya kehidupan mesyarakat hukum ada tanpa adanya bahasa.

Cukup megherankan karenanya apabila bahasa Indonesia dalam bidang hukum ini sangat sedikit memperoleh perhatian dari pakar hukum sendiri. Sebagai contoh, mata kuliah bahasa Indonesia tidak merupakan mata kuliah wajib difakultas hukum di Indonesia.


  1. HUBUNGAN BAHASA DENGAN KETERTIBAN MASYARAKAT

Sekali lagi bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari nurani manusiayang dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan yang berwujud gambar, simbol, atan tanda-tanda (lambing) lainnya.  Dalam hal melakukan hubungan antara satu dengan yang lain. Namun sebagaimana sebenarnya  hubungan bahasa dengan masyarakat, khususnya dalam menciptakan ketertiban masyarakat secara mendalam?.

Masyarakat adalah suatau lingkungan hidup manusia yang terikat oelh suatu sisti adat istiadat tertentu yang merupakan suatu golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama.  Berhubungan tetap disini maksudnya adalah bahwa mereka selalu mengadakan komunikasi secara timbal balik demi menciptakan kerja sama yang efektif antar sesama mereka. Hubungan tetap itulah yang hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan alat penghubung yang disebut bahasa.

Tuhan menciptakan manusia memang terdiri dari berbagi pribadi-pribadi, akan tetapi esensi penciptaannya tidaklah sebagai pribadi melainkan untuk sesama. Oleh karena, manusia selalu berhasrat untuk selalu hidup bersama (bermasyarakat), karena suatu kebutuhan yang paling mendasar dalam melanjutkan kehidupannya. Suatu hal yang tidak dapat dibantah bahwa manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan tuhan sebagi pribadi atau individu yang terpisah dari individu yang lain, melainkan sebagai makhluk yang selalu berhasrat untuk hidup bersama manusia lainnya.

Tentu kita masih ingat apa yang dikatakan oleh Aristoteles, filsuf terkenal, yang berpendapat bahwa manusia sebagai Zoon politicon’ yang diartikan bahwa manusia adalah binatang yang berpolotik. Secara sosiologis, pendapat itu dapat ditafsirkan denagn manusia itu adalah makhluk sosial.

Dalam hal itu, manusia harus diartikan bahwa manusia itu selalu hidup bermasyarakat, yaitu hidup bergaul dengan sesamanya. Oleh karena itu, maka mereka pasti mempunyai hasrat mengelompokkan diri dalam suatu wadah yang disebut organisasi. Orang tidak mungkin hidup sendiri-sendiri, sekalipun orang yang masih primitive pun ingin hidup berkelompok  untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya alam sekitar dan bahaya dari sesame manusia. Untuk  menciptakan kelompok yang serasi itulah, manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi  guna mempersatukan kelompok tersebut. Tanpa bahasa, manusia tak akan dapat menciptakan suatu kelompok atau suatu masyarakat walau sekecil apapun kelompok masyarakat itu, karena untuk melangsungkan hubungan yang tetap secara timbal balik, manusia membutuhkan alat yang praktis dan efektif yang disebut bahasa.[3]

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa kita bisa hidup dengan banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan  serat relasi sosial, karena ada transfer  pengetahuan dan pengalaman yang tentunya tidak akan bisa tanpa bahasa. Dalam konteks hidup bermasyarakat pun kita buisa saling membantu dan menghargai, juga karena ada bahasa yang menjadikan kita saling mengerti dan memahami.

Bahkan untuk menciptakan kerukunan dan ketentraman dalam masyarakat (khususnya di daerah-daerah yang jauh dari kekuasaan Negara), maka anggota masyarakat itu menciptakan berbagai peraturan dan tata tertib, baik berupa perintah-perintah maupun larangan-larangan yang harus dipatuhi dengan penuh kesadaran oleh setiap anggota masyarakat. Peraturan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban masyarakat dalam segala hal.  Ketertiban juga memiliki arti sebagai perlindungan hak , penjaminan pemenuhan hak, prevensi terhadap perilaku tata tertib, dan sebaginya. Wujud peraturan tersebut berupa peraturan-peraturan daerah, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Agar setiap peraturan itu dapat dipahami dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakatnya, diperlukan alat yang praktis (tanpa bermaksud menyampingkan unsur praktis lainnya) yang berupa bahasa hukum, tanpa bantuan bahasa yang sudah disepakati bersama dan dipahami maksudnya, maka aturan-aturan tersebut tidak akan dapat tersampaikan  dan disadari untuk  dipatuhi oleh anggota  masyarakat, hal itu akan menimbulakn kekacauan dan pelanggaan hukum yang tidak terkendali.
           
Untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari setiap  peraturan perundang-undangan itu pun harus dengan bahasa  yang telah memenuhi syarat-syarat normatif, yang dalam tulisan ini disebut sebagai “Bahasa  Hukum”.

Untuk bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat, maka bahasa hukum tersebut harus memiliki cirri-ciri :

  1. Jelas atau lugas, untuk menghindari adanya kesamaran dan ketidakabsahan;
  2. Bersifat Objektif dan meniadakan prasangka pribadi;
  3. Memberikan definisi yang cermat terhadap nama, sifat, dan kategori yang diaturnyan untuk menghindari kesimpang siuran dalam penafsirannya.
  4. Tidak Emosional dan menjauhkan dari tafsiran yang bersensasi;
  5. Cenderung Membakukan Makna dari kata-kata, ungkapan , dan gaya bahasanya didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan masyarakat.
  6. Tidak Fanatik pada satu hal tertentu;
  7. Singkat dan Hemat, hanya kata yang diperlukan saja yang dipakai, dan
  8. Memiliki kemanunggalan arti untuk menghindari penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dari peraturan tersebut.



 C. KEGUNAAN MEMPELAJARI BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENEGAKAN HUKUM


Betapa eratnya hubungan antara bahasa dengan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum itu  hanya mungkin ada di dalam bahasa, tanpa bahasa hukum tiada. Bahasa merupakan salah satu sarana penegakan hukum dan kepastian hukum. Belajar hukum serasa kurang lengkap tanpa mempelajari bagaimana bahasa dan bahasa hukum. Karena bahasa hukum memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan bahasa cabang ilmu lain. Ketidakmengertian terhadap bahasa hukum adalah suatu kelemahan tersendiri bagi para sarjana hukum.

Mempelajari bahasa Indonesia hukum bagi masyarakat, brtujuan untuk mengatasi kekurangsempurnaan dalam penggunaan bahasa hukum baik dalam berbicara atau mengemukakan pendapat tentang hukum, dalam membuat peraturan-peraturanhukum didaerah, surat pengaduan, kesaksian, keputusan kepala daerah atau membuat surat-surat perjanjian antar masyarakat, maupun akta-akta dibawah tangan, dan sebaginya.

Singkat kata, mempelajari bahasa hukum sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan berbahsa hukum dalam melakukan segala kegiatan-kegiatan dibidang hukum baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bentuk dokumen-dokumen hukum. Selain itu, karena bahasa hukum memiliki sifat dan ciri khusus yang sulit dipahami oleh orang awam.

Disamping itu, sangat banyak istilah-istilah hukum yang pengertian (diartikan) berbeda dengan arti secara umum dalam bahasa Indonesia biasa. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan lapangan hukum yang memakainya, tentu sangat beda dan perlu pemahaman yang lebih mendalam. Misalkan saja penggunaan istilah tertuduh, terduga, tersangka, terdakwa dan terpidana; istilah yang mana yang pantas untuk menyebut seseorang yang sedang dimintai keterangan oleh polisi karena atas laporan masyarakat dianggap telah melakukan tindak pidana. Tentu istilah yang pantas adalah “terduga” atau “tertuduh”, karena istilah tersangka digunakan untuk pelaku tindak pidana yang dianggap cukup bukti untuk segera dilakukan penyelidikan. Sedangkan istilah “terdakwa” digunakan untuk menyebut pelaku tindak pidana yang sudah ditangani (didakwa) oleh jaksa penuntut umum.

Contoh lain, misalnya pelaku perbuatan zina yang tertangkap tangan atau tertangkap basah, istilah tersebut bukan berarti mereka (pelaku) tertangkap tangannya yangsedang saling meraba-raba atau bukan pula mereka tertangkap pada saat mereka berbasah ria, melainkan berarti perbuatan mereka tepergok yang berarti perbanyatan seseirang tertangkap secara kasat mata pada saat melakukannya.

Jelaslah bahwa bahasa hukum memiliki corak tersendiri yang tidak mungkin semua orang dengan mudah memahaminya. Karena perlu dipelajari sehingga setiap orang  (dalam hal ini : mereka yang harus taat terhadap suatu peraturan di daerah dan mereka yang berwenang untuk membuat peraturan daerah, serta mereka yang menjadi aparat penegak hukum) mempunyai pemahaman yang sama kan istilah hukum, sehingga penegakan hukum bisa terwujud.

Pada prinsipnya, bahasa hukum itu harus berasio, jelas dan mengikat, maka dalam setiap produk hukum (misalnya : peraturan daerah) dan segala dokumen-dokumen hukum, demikian pula dengan pejabat daerah yang menuntut ketrampilan berbahasa hukum yang baik, seperti: bupati/wali kota, anggota DPRD, para perangkat daerah lainnya, dan masyarakat (dalam bentuk individu maupun yang bergabung dalam lembaga swadaya masyarakat /NGO) haruslah menggunakan tatanan bahasa Indonesia yang baku yang memenuhi unsur :

  1. Gramatikal, yaitu suatu kaidah bahasa berdasarkan struktur kalimat yang baik dan benar.
  2. Berasio, yaitu antara kata-kata yang digunakan secara maknawi harus memiliki arti/pengertian yang selaras dan tidan bertentangan dengan logika (Rasional); dan
  3. Beretika, artinya pemakai dari bahasa tersebut harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat dan kata-kata yang digunakan.

Tentunya  diharapkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar.


D. BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Prinsip utama yang dianut oleh semua sistem hukum adalah hukum itu dapat dikomunikasikan terhadap masyarakat . Apabila suatu aturan hukum dalam bentuk peraturan daerah tersebut tidaj dapat dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat, berarti peraturan daerah tersebut tidak dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Begitu pula halnya dengan ketentuan yang berisi larangan atu pembatasan terhadap kebebasan masyarakat, apabila tidak dapat dikomunikasikan, maka peraturan daerah tersebut tidak akan mengkin berlaku secara efektif.

Berdasarkan hal tersebut, penegakan hukum dapat berjalan dengan baik jika seluruh anggota masyarakat dapat memahami sebelumnya apa yang diharapkan dari mereka, agar mereka dapat menyesuaikan tindakannya dengan ketentuan  hukum. Berfungsinya hukum dengan baik, menuntut adanya aturan hukum yang ,mudah diketahui secara jelas. Jika aturan hukum dalam peraturan daerah tersebut kabur atau tidak jelas, maka akan menimbulakan “ketidakpastian “dan  “ketidakkonsekuenan” dalam penerapannya. Penyebarluasan melalui komunikasi hukum dengan bahasa hukum yang lugas dan mudah diterima terhadap peraturan-peraturan daerah, sangat membantu mewujudkan pemahaman hukum masyarakat.

            Salah satu upaya mewujudkan pemahaman masyarakat terhadap hukum-hukum didaerah-daerah, maka dapat dilakukan dengan penyusunan peraturan-peraturan daerah dengn menggunakan  bahasa hukum yang baik dan benar. Hal ini sangat penting karena peraturan hukum itu sendiri berisi hal-hal yang bersifat normative yang mengikat masyarakat.

Oleh karena itu, maka para pembuat peraturan didaerah harus mempunyai keahlian dalam menggunakan bahasa hukum dengan baik. Bagiman suatu peraturan daerah dapat dibuat dengan bahasa Indonesia hukum yang baik ?  disini dikemukakan tentang teknis membuat peraturan daerah dengan menggunakan bahasa Indonesia hukum yang baik dan benar, agar mudah dipahami oleh anggota masyarakat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

  1. Sebelum Membuat peraturan daerah (Perda), pembuat peraturan harus mengetahui kondisi masyarakat daerah secara menyeluruh (baik tingkat pendidikannya, daya  serap terhadap pengetahuan, tingakta ekonominya, dan gaya bahasa sehari/hari bahasa pergaulannya).
  2. Pembuat Peraturan harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mewujudkan ketertiban hukum dalam masyarakat, sehingga peraturan yang dibuatnya benar-benar bertujuan luhur untuk mengayomi masyarakat.
  3. Bahasa Hukum yang digunakan  harus jelas dan nudah dipahami. Jangan menggunakan bahasa hukum yang sulit dipahami oleh masyarakat. Kalu dipandang perlu, dapat menggunakan bahasa daerah (misalnya, Jwa).
  4. Bahasa Hukum yang digunakan harus memilkikemanunggalan arti. Jangan menggunakan bahasa yang bisa menimbulkan penafsiran, sehingga orang bisa mengatikan peraturan itu sekehendak hatinya sendiri.
  5. Bahasa yang digunakan  harus bisa diterima secara akal, jangan menggunakan bahsa atau kalimat yang tidak masuk akal, sehingga masyarakat cenderung menolaknya.
  6. Libatkan Tokoh masyarakat yang dianggap paham (akademisi, LSM, dan pemuka Agama). Hal ini untu menyusun peraturan daerah sebagai kehendak bersama, sehingga masyarakat secara bersama menaati peraturan tersebut karena merasa ikut membuatnya.
  7. Apabila dipandang perlu (dan memang begitu sebaiknya), bisa melibatkan ahli hukum dari perguruan tinggi..


Jangan lupa, bahwa tidak semua orang bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna. Oleh karena itu, apabila peratuaran daerah sudah dibuat, namun ternyata masih banyak kelemahan dari segi bahasanya, maka berkomunikasilah peraturan tersebut kepada seluruh masyarakat dengan menerjemahkan isi peraturan yang berlaku dengan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti.

Selanjtnya, bersandar pada landasan normatif dalam UU No. 10 Tahun 2004  tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. (UUPPP), maka dari segi ragam bahasa dalam penyusunan peraturan daerah dapat disederhanakan bahwa : terhadap bahasa dalam peraturan daerah, penggunaan kata dan istilah, tehnik pengacuan dalam muatan pasal-pasal, haruslah menggunakan ragam bahasa perundang-undangan (bahasa indonesi yang tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia) baik menyangkut kata, kalimat maupun pengejaannya dengan menggunakan kalimat yang lugas/tegas, jelas, dan mudah ditangkap pengertiannya, tidak terbelit-belit dan objektif, serta tidak menimbulkan pengertian yang berbeda –beda dari setiap pembaca.

Mengenai yang terakhir ini , maka ketentuan tentang ragam bahasa dalam penyusunan peraturan di daerah dapat di lihat pada bahasan subbab berikut yang menyajikan secara umum tentang ragam bahasa peraturan perundang-undangan.




[1]Arief Sidharta, 2002, “Bahasa Hukum Indonesia: di Antara Pakem dan Frase”. Dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 01, Agustus, 2002, hlm. 84.
[2] Harkristuti Narkrisnowo, 2003, Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Dalam Pengembangan Hukum Nasional, Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia , 14-17 Oktober 2003, hlm.1.
[3] Zulkarnain, 2003, bahasa Indonesia Hukum, Fakultas Hukum Universitas Widyagama, Malang, hlm. 25.

Tidak ada komentar: