View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an didefinisikan sebagai “firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad Saw dan diterima umat Islam secara mutawatir.[1] mengandung hal-hal yang berhubungan dengan akidah/keimanan meliputi Tuhan, kenabian, wahyu/al-Qur’an, takdir, eskatologi; ilmu pengetahuan, kisah-kisah/sejarah; filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial meliputi akhlak, hukum, keadilan, mu’amalah dan lain sebagainya. Maka dapat terlihat bahwa al-Qur’an itu juga merupakan Al-Qur’an sebagai sumber syari’at atau sumber ajaran islam sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits Nabi muhammad SAW , dan ada yang di arahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad. Begitu pula halnya tafsir al-Quran, ia berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-Quran yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama.
Tafsir merupakan karya manusia dan hasil pemahamannya terhadap Kalam Ilahi. Menafsirkan al-Qur’an berarti bahwa manusia berusaha menangkap ide, gagasan, dan makna yang terkandung dalam ayat. Karena ia hasil karya manusia, maka penafsiran al-Qur’an selalu diwarnai oleh pemikiran mufassirnya, komentar dan ulasannya mengenai suatu ayat merupakan manivestasi dari apa yang sedang ada dalam pikirannya. Bahkan lebih dari itu, bahwa penafsiran terhadap suatu ayat diwarnai oleh mazhab yang dianutnya. Mufassir yang konsen dalam bidang tasawuf, filsafat, sains, dan atau keadaan masyarakat dimana mufassir itu berada, maka penafsirannya akan cendrung bercorak sufi, falsafi, ilmi atau ijtima’i.
Dalam makalah ini secara khusus dibahas tentang secara spesifik tentang tafsir al-adabi al-ijtima’i mulai dari pengertian, cirri-cirinya, dan tafsir al-Manar serta pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha. Semoga dengan penyajian makalah ini dapat memberi sumbanagan dalam khazanah keilmuan.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir  Al-Adabi A-Ijtima’i
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan.[2] Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima’i.[3] Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[4]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[5] Corak Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.[6]
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
B.     Ciri-ciri Tafsir Al-Adabi A-Ijtima’i
Ada empat yang dianggap sebagai unsur atau ciri-ciri corak tafsir adabi ijtima’i.
1.      Memperhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an
2.      Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah
3.      Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Quran
4.      Penafsiran ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat.[7]
Unsur  pertama dan kedua memperlihatkan corak adabi sedangkan unsur ketiga dan keempat menunjukkan corak ijtima’i.
Usman juga menjelaskan empat prinsip tafsir adabi ijtima’i.
Pertama, setiap surat dalam al-Quran dianggap sebagai suatu kesatuan ayat-ayat yang serasi. Artinya tidak mungkin ada satu ayat yang tidak mempunyai relevansi dengan ayat-ayat lain. Al-Quran adalah mukjizat terbesar. Oleh karena itu setiap susunan ayat atau surat adalah mukjizat. Munasabah menjadi sebuah keniscayaan dalam memahami al-Qur’an.
Kedua, ayat-ayat al-Qur’an bersifat umum. Corak tafsir adabi ijtima’i mencoba mencari nilai-nilai universal yang terdapat dalam al-Qur’an, sehingga ketika sebuah ayat ditafsirkan dan kandungan ayat tersebut hanya berlaku untuk masyarakat atau waktu tertentu saja, jelas tidak bisa diterima.
Ketiga, al-Qur’an sumber akidah dan hukum. Corak tafsir adabi ijtima’i bertentangan dengan taklid yang dijadikan sebagai epistemologi dalam menafsirkan al-Qur’an. Konsep tentang akidah dan hukum harus digali langsung dari al-Qur’an. Kita harus “membaca” langsung al-Qur’an dan menggali nilai-nilainya. Sehingga al-Qur’an benar-benar menjadi sumber penafsiran. Dalam konsep ini, para penafsir bercorak adabi ijtima’i menolak otoritas dan validitas hadis yang disandarkan kepada sahabat.
Keempat, penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Akal benar-benar difungsikan untuk memahamai ayat-ayat al-Qur’an. Ketika seorang penafsir berhadapan dengan teks al-Qu’ran, maka akal harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Corak tafsir adabi ijtima’i ini memang bersifat rasional.[8]
C.    Tafsir Al-Manar serta Pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
1.      Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar salah satu karya tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatau corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan agama.[9]  
Tokoh utama corak penafsiaran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menggunakan corak tafsir al-adabi dan ijtima’i. Hal ini dapat diketahui, paling tidak, dari abstrak yang dicantumkan dalam stiap halaman pertama dari dua belas jilid kitab tersebut. Dari beberapa jilid kita tersebut dapat dikemukakan beberpa prinsip pokok yang di pengaruhi oleh Abduh dalam tafsir tersebut.
a.              Setiap surat dalam al-Qur’an dianggap sebagai suatu kesatuan ayat-ayat yang serasi. Sebagai salah satu contoh penerapan prinsip ini dapat dilihat dalam penafsiran tentang ayat 1 dan 2 surat Al-Fajar والفجر وليال عشر (Demi fajar dan malam yang sepuluh), menurut Muhammad Abduh para mufassir tidak menjelaskan relevansi kedua ayat tersebut karena dianggap tidak sejalan. Mereka al-Qutubi misalnya, memberi arti tertentu, yakni fajar awal tahun Hijrah bagi frasa والفجر dan sepuluh zulhijjah bagi frasa وليال عشر pada hal menurut Abduh, Frasa والفجر tidak dibarengi dengan satu sifat tertentu, sehingga ia harus dipahami secara umum, yaitu menunjuk kepada semua waktu tempat cahaya siang الفجر menjelma di tengah-tengah kegelapan malam, cahaya yang kemudian mengusik kegelapan. Sedangkan ayat lainnya, ليال عشر di tafsirkan dengan malam-malama sampai akhir datang malam-malam berikutnya dengan kegelapan yang mengusik. Dari dua ayat tersebut terdapat kesamaan diantara keduanya, yakni fajar yang mengusik kegelapan yang sudah ada. Fajar bertolak kegelapan, mengusik kegelapan sehingga kegelapan menjadi merata.
b.         Ayat-ayat Al-Qur’am bersifat umum. Hal ini berintikan pandangan bahwa petunjuk al-qur’an bersifat universal, refresentatif, berkesinambungan sampai hari kiamat, yang ditunjuk untuk individu-individu tertentu. Prinsip ini didasarkan atas kaidah pengambilan makna harus didasarkan atas kaidah pengambilan makna harus didasarkan atas generalitas makna lafazh tidak didasarkan atas kekhususan sebab nuzul.
Misalnya menafsirkan kata اتقى pada ayat وسيجنبهاالاتقى  dari ayat 17 surat Al-Layl( dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu) yaitu setiap orang pernah berbuat dosa dan kemudian bertaubat dengan menyesali dosa-dosanya. Sedangkan menurut ulama lain, اتقى adalah Abu bakar al-Shiddiq yang didasarkan atas  sebab nuzul ayat tersebut. Dalam prinsip ini Abduh ingin menonjolkan Al-qur’an sebagai kitab suci umat islam yang membawa misi kemanusiaan yang berlaku universal dan rahmad bagi orang-orang yang beriman.
c.    Al-qur’an sebagai sumber aqidah dan hukum, prinsip ini dimaksudkan untuk menjadikan ayat al-qur’an dipolitisir oleh aliran tertentu untuk mendukung paham aliranya. Abduh mengemcam pendapat-pendapat sebagian mufassir yang menganggap ayat-ayat Al-Qur’an musykil dan sukar dipahami hanya karena tidak sesuai dengan paham dan aliran mereka contoh penerapan ini dapat diliahat dalam ayat dari surat an-Nisa menjelaskan tayyamum.
وان كنتم مرضى او على سفر او جاء احد منكم من الغا ىْط اْو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا
Dan jika kamu sakit atau dalam musafir atau kembali atau dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayyamumlah kamu denga tanah yang baik (suci).
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulam aliran fiqih. Menurut Abduh, bagi seorng mussafir tidak disyaratkan ketiadaan air untuk melaksanakna tayyamum. Prinsip ini menjadi kekhasan tafsir Abduh dalam menggunakan akal yang bebas dalam memahami ayat Al-Qur’an.
d.   Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-qur’an. Prinsip ini dapat dilihat ketiaka Abduh menafsirkan ayat 30 dari surat Albaqarah tentang pengangkatan adam sebagai Khalifah. Kisah tersebut hanyalah simbolik, bukan sebenarnya. Namum. Mengandung arti bahwa Allah telah mempersiapkan perangkat (hukum alam yang menjadi sumber ketergantungan manusia) dimuka bumi yang memungkinkan makhluk yang bakal diciptakannya dapat memberdayakan bumi. Ayat selanjutnya ( ayat 31-33) dijelaskan mengenai pengajaran Allah kepada Adam tentang nama-nama benda menunjukkan kemampuan manusia untuk memberdayakan alam ini. Ketidak mampuan malaikat untuk memberdayakannya. Penghormatan malaikat kepada Adam menunjukkan  adanya potensi manusia untuk memamfaatkan hukum-hukum alam tersebut dalam rangka pengembangan alam ini. Sedangka pembangkangan iblis atas perintah Allah menunjukkan simbol kelemahan dalam menundukkan jiwa jahatnya yang menghantarkan mereka untuk merusak alam ini dalam menumpahkan darah.[10]
e.    Dalam surat Al baqarah: 5 Allah berfirman اولىْك على هدى من ربهم والىْك هم المفلحون ( mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung), disini ada dua isyarat, dan munsyar ilainya ada satu. Yaitu apa yang ada dalam dua ayat didepannya(ayat 3)الدين يؤمنون الصلا ة . yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat. Dan ayat 4 والدين يؤمنون بما انزل اليك  (dan mereka yang beriman kepada kitab al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu.)  selain ahli kitab dan orang mukmin dari kalangan mereka dalam hidayah dan mereka adalah orang yang akan berbahagia.
f.     Menggukan pemikiran dan manhaj ‘ilmi (metode ilmiah) di dalam penelitian dan istimbath (penggalian hukum) seperti ayat al-qur’an yang berkaitan dengan kemaslehatan surat Al-‘araf 56,  ولاتقسدوا فى الارض بعد اصلا جها (dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, klausa pertama berkaitan dengan perintah Allah kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan setelah Allah melaksanakan perbaikan di atas dunia. Rasyid Ridha menyatakan bahwa janganlah melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan mudharat dan janganlah membuat hukuman yang menyalahi akal manusia dan i’tikad mereka, baik bersifat individu maupun sosial dalam kemasyarakatan, seperti dalam bidang pertanian dan perindustrian.
Demikianlah beberapa prinsip dan contoh yang bisa ditarik dari penafsiran yang dilakukan oleh Abduh dan Rasyid Ridha, selanjutnya bisa dilihat dalam tafsir Al-manar. Jika kita bertanya   hari ini mengenai perbedaan perbedaan corak penafsiran kedua mereka, sebenarnya Rasyid Ridha adalah melanjutkan tafsir Abduh, yaitu yang bercorak tafsir al-Adabi dan Ijtima’i.
Akan tetapi ada juga terdapat perbedaan anatara keduanya. Hal ini bisa di buktikan dalam pernyataan Rasyid Ridha sendiri dalam mukhadimah tafsir al-Manar yaitu.”inilah yang aku lakukan setelah beliau wafat. Aku berkerja sendirian dalam penulisan tafsir Al-qur’an. Dalam penulisan ini aku mencoba menambahkan poin manhaj beliau. Poin-poin itu diantaranya mencantumkan hadis-hadis shahih yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan atau hukumnya. Penambahan juga pada tahqiq (penguatan) beberapa mufradat (kosakata) atau kalimat, dan masalah-masalah khilafiayah yang terjadi antara para ulama. Aku juga memperbanyak dalil-dalil ayat dalam menafsirkan surat yang bermacam-macam, di samping itu, penambahan kekuatan dangan menuliskan beberapa penyimpangan yang muncul di masyarakat agar mereka mendapat petunjuk agama pada zaman ini, atau untuk memperkuat hujjah (argumentasi) mereka ketika terjadi perdebatan dengan orang-orang kafir dan ahli bid’ah, atau untuk memberikan sosial pada beberapa poblem yanga dapat menentramkan hati.[11]
Perbedaan demikian bisa dimaklumi, yang berarti bukan perberdaan dalam segi pemikiran tetapi kemungkinan antara guru dan murid sedang berbeda masa, situasi dan kodisi serta perbedaan tempat berguru dan juga berbeda tingkat intelegensi dan lain sebagainya, namum keduanya bercorak sama yaitu menafsirkan ayat ayat al-Qur’an dengan mengikuti redaksi dari keindahan bahasa al-Qur’an itu sendiri kemudian mensesuaikan atau menerapkan dalam kehidupan pada waktu itu.
2.      Pemikiran Muhammad Abduh
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana diakuinya. Kedua persoalan itu adalah:
1.                     Membebaskan akal fikiran dari belenggu-belenggu taqlîd yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al ummah (ulama sebelum abad III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
2.                     Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.[12]
Namun para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Muhammad Abduh menyatakan bahwa dibalik kedua hal yang disebutkannya itu terdapat sekian banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujun-tujuan tersebut antara lain :
a.       Menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni
b.      Mengembangkan ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan penafsirannya dengan kehidupan masa kini).[13]
Pengamat lain menilai bahwa apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memperkokoh segi-segi mental spiritual kaum muslimin dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiran mereka pada saat-saat perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat pada abad ke XIX.
Namun apapun tujuannya Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk  mengambil alih secara utuh apa yang datang dari dunia Barat. Karena disamping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlîd yang lama kepada taqlîd yang baru, juga karena hal tersebut tidak dapat dipertemukan karena adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah Islam. Menurut  Abduh hanya mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban Barat serta membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian peradaban tersebut pada akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam sesaat setelah dia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[14]

3.      Pemikiran Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suria. Tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. Kemudian ia pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M.[15]
a.      Pembaharuan Dalam Bidang Teologi
Masalah aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum tercemar unsur-unsur tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah teologi, Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh gerakan salafiyah.[16] Dalam hal ini, ada beberapa konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu, sifat Tuhan, perbuatan manusia (af’al al-Ibad) dan konsep iman.
1.      Akal dan Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu.[17]


2.      Sifat Tuhan
Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.[18]
3.      Perbuatan Manusia
Pembahasan teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan apakah manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill) atau perbuatan manusia hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination).[19] Perbuatan manusia menurut Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan Tuhan yang disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan.[20]
4.      Konsep Iman
Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam.[21] Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.


b.      Dalam Bidang Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 di Kairo. Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di antaranya Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka. Untuk mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam.[22]
Muhammad Rasyid Ridha juga merasa perlu dilaksanakannya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.[23]
Pandangan Terhadap Ijtihad Rasyid Ridha dalam beristimbat terlebih dahulu melihat nash, bial tidak ditemukan di dalam nash di dalam nash, ia mencari pendapat sahabat, bila terdapat pertentangan ia memilih pendapat yang paling dekat dengan dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan bila tidak ditemukan, ia berijtihad atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha melihat perlu diadakah tafsir modern dari Al-Qur’an yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya, Muhammad Abduh. Ia menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern. Kuliah-kuliah tafsir itu dimulai pada tahun 1899 dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliahnya inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.
c.       Dalam bidang Politik
Dalam bidang politik, Muhammad Rasyid Rida juga tidak ketinggalan, sewaktu beliau masih berada di tanah airnya, ia pernah berkecimpung dalam bidang ini, demikian pula setelah berada di Mesir, akan tetapi gurunya Muhammad Abduh memberikan nasihat agar ia menjauhi lapangan politik. Namun nasihat itu diturutinya hanya ketika Muhammad Abduh masih hidup,  dan setelah ia wafat, Muhammad Rasyid Rida aktif kembali, terutama melalui majalah al-Manar.[24]




           








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.
2.      Corak  penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an
3.      Tokoh utama corak penafsiaran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menggunakan corak tafsir al-adabi dan ijtima’i.
4.      Kitab tafsir al Manâr berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui metode budaya-kemasyarakatan dengan menetapkan prinsip baru.
B.     Saran
Akhirnya pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,maka dari itu pemakalah memohon kritikan dan saran pembaca guna memperbaiki dan  menyempurnakan makalah kami selanjutnya.






DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an. Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1996.
Mohamad Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.). Yogyakarta:  Tiara wacana Yogya.1997. Hlm.xi dan Abdul Mustaqim. Mazahibut.
Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2009.
Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an. Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002.
Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Badri Khaeruma, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia,2007.
Quraish Syihab, studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah 1994.
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.


[1] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an (Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 43
[2] Mohamad Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.). (Yogyakarta:  Tiara wacana Yogya.1997). Hlm.xi dan Abdul Mustaqim. Mazahibut. Hlm. 25-26.
[3] Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hlm. 298.
[4] Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm. 316-317

[5] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108.
[6] Ibid..hlm 109
[7] Badri Khaeruma, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia,2007) hlm. 178
[8] Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hlm. 204.
[9] Quraish Syihab, studi Kritis Tafsir Al-Manar.(Bandung: Pustaka Hidayah 1994) hlm, 11.
[10] Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an , hlm. 318-321
[11] http:// hasanalbanna.com/ mukadimah tafsir al-manar/diakses tanggal 14 Desember 2013.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Manar, hlm. 19
[13] Ibid,,,hlm 19
[14] Muhammad Imarah, al Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh, (Beirut: al Muassasah al Arabiyah li al Dirasat wa Nshr, 1972), h. 331
[15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm 70.

[16] Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hlm. 18.
[17] Ibid., hlm. 23.
[18] Ibid., hlm. 37
[19] Ibid., hlm. 38
[20] Ibid., hlm. 40
[21] Ibid., hlm. 43
[22] Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), h. 85.
[23] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hlm. 71
[24] Muhammad Yuseran Asmuni, hlm. 86.

Tidak ada komentar: