BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an didefinisikan sebagai “firman-firman Allah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad Saw
dan diterima umat Islam secara mutawatir.[1] mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan akidah/keimanan meliputi Tuhan, kenabian, wahyu/al-Qur’an, takdir,
eskatologi; ilmu pengetahuan, kisah-kisah/sejarah; filsafat,
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia,
baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial meliputi akhlak,
hukum, keadilan, mu’amalah dan lain sebagainya. Maka dapat terlihat bahwa
al-Qur’an itu juga merupakan Al-Qur’an sebagai sumber syari’at atau sumber
ajaran islam sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang
dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum
perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara
umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis
besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits Nabi muhammad SAW
, dan ada yang di arahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Begitu pula halnya tafsir al-Quran, ia berkembang mengikuti irama perkembangan
masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan
generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-Quran yang sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama.
Tafsir merupakan karya manusia dan hasil pemahamannya
terhadap Kalam Ilahi. Menafsirkan al-Qur’an berarti bahwa manusia berusaha
menangkap ide, gagasan, dan makna yang terkandung dalam ayat. Karena ia hasil
karya manusia, maka penafsiran al-Qur’an selalu diwarnai oleh pemikiran
mufassirnya, komentar dan ulasannya mengenai suatu ayat merupakan manivestasi
dari apa yang sedang ada dalam pikirannya. Bahkan lebih dari itu, bahwa
penafsiran terhadap suatu ayat diwarnai oleh mazhab yang dianutnya. Mufassir
yang konsen dalam bidang tasawuf, filsafat, sains, dan atau keadaan masyarakat
dimana mufassir itu berada, maka penafsirannya akan cendrung bercorak sufi,
falsafi, ilmi atau ijtima’i.
Dalam makalah ini secara khusus dibahas tentang secara
spesifik tentang tafsir al-adabi al-ijtima’i mulai dari pengertian, cirri-cirinya,
dan tafsir al-Manar serta pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha. Semoga dengan
penyajian makalah ini dapat memberi sumbanagan dalam khazanah keilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir
Al-Adabi A-Ijtima’i
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi
dan al-ijtima’i. Corak tafsir yang
memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir
kemasyarakatan.[2] Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima’i.[3]
Kata al-adaby
dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja
(madhi)
aduba,
yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata
tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam
bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh
karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra
budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak
bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara
etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir
yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut
dengan tafsir sosio-kultural.[4]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak
tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit
masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan
mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi
indah didengar.[5]
Corak Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan
tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an
(balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat
al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem
sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin
secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan
petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.[6]
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’
adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan,
suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada
segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat
kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
B.
Ciri-ciri Tafsir Al-Adabi A-Ijtima’i
Ada empat yang dianggap sebagai unsur atau ciri-ciri corak tafsir adabi
ijtima’i.
1.
Memperhatikan
ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an
2.
Menguraikan
makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah
3.
Aksentuasi yang
menonjol pada tujuan utama turunnya al-Quran
4.
Penafsiran ayat
dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat.[7]
Unsur pertama dan kedua
memperlihatkan corak adabi sedangkan unsur ketiga dan keempat menunjukkan corak ijtima’i.
Usman juga menjelaskan empat
prinsip tafsir adabi ijtima’i.
Pertama, setiap
surat dalam al-Quran dianggap sebagai suatu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
Artinya tidak mungkin ada satu ayat yang tidak mempunyai relevansi dengan
ayat-ayat lain. Al-Quran adalah mukjizat terbesar. Oleh karena itu setiap
susunan ayat atau surat adalah mukjizat. Munasabah menjadi sebuah
keniscayaan dalam memahami al-Qur’an.
Kedua,
ayat-ayat al-Qur’an bersifat umum. Corak tafsir adabi ijtima’i mencoba
mencari nilai-nilai universal yang terdapat dalam al-Qur’an, sehingga ketika
sebuah ayat ditafsirkan dan kandungan ayat tersebut hanya berlaku untuk
masyarakat atau waktu tertentu saja, jelas tidak bisa diterima.
Ketiga, al-Qur’an
sumber akidah dan hukum. Corak tafsir adabi ijtima’i bertentangan dengan
taklid yang dijadikan sebagai epistemologi dalam menafsirkan al-Qur’an. Konsep
tentang akidah dan hukum harus digali langsung dari al-Qur’an. Kita harus
“membaca” langsung al-Qur’an dan menggali nilai-nilainya. Sehingga al-Qur’an
benar-benar menjadi sumber penafsiran. Dalam konsep ini, para penafsir bercorak
adabi ijtima’i menolak otoritas dan validitas hadis yang disandarkan
kepada sahabat.
Keempat,
penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Akal benar-benar
difungsikan untuk memahamai ayat-ayat al-Qur’an. Ketika seorang penafsir
berhadapan dengan teks al-Qu’ran, maka akal harus digunakan dengan
sebaik-baiknya. Corak tafsir adabi ijtima’i ini memang bersifat
rasional.[8]
C.
Tafsir Al-Manar serta Pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
1.
Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar salah satu karya
tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatau corak
penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksionalnya kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur’an yakni
membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan agama.[9]
Tokoh utama corak penafsiaran
ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang menggunakan corak tafsir al-adabi dan ijtima’i. Hal
ini dapat diketahui, paling tidak, dari abstrak yang dicantumkan dalam stiap
halaman pertama dari dua belas jilid kitab tersebut. Dari beberapa jilid kita
tersebut dapat dikemukakan beberpa prinsip pokok yang di pengaruhi oleh Abduh
dalam tafsir tersebut.
a.
Setiap surat dalam al-Qur’an dianggap sebagai
suatu kesatuan ayat-ayat yang serasi. Sebagai salah satu contoh penerapan
prinsip ini dapat dilihat dalam penafsiran tentang ayat 1 dan 2 surat Al-Fajar والفجر وليال عشر (Demi fajar dan malam yang sepuluh),
menurut Muhammad Abduh para mufassir tidak menjelaskan relevansi kedua ayat
tersebut karena dianggap tidak sejalan. Mereka al-Qutubi misalnya, memberi arti
tertentu, yakni fajar awal tahun Hijrah bagi frasa
والفجر dan sepuluh zulhijjah bagi frasa وليال عشر pada hal menurut Abduh, Frasa والفجر tidak dibarengi dengan satu sifat tertentu, sehingga ia harus
dipahami secara umum, yaitu menunjuk kepada semua waktu tempat cahaya siang الفجر menjelma di tengah-tengah kegelapan malam,
cahaya yang kemudian mengusik kegelapan. Sedangkan ayat lainnya, ليال عشر di tafsirkan dengan malam-malama sampai
akhir datang malam-malam berikutnya dengan kegelapan yang mengusik. Dari dua
ayat tersebut terdapat kesamaan diantara keduanya, yakni fajar yang mengusik kegelapan
yang sudah ada. Fajar bertolak kegelapan, mengusik kegelapan sehingga kegelapan
menjadi merata.
b.
Ayat-ayat Al-Qur’am bersifat umum. Hal ini
berintikan pandangan bahwa petunjuk al-qur’an bersifat universal,
refresentatif, berkesinambungan sampai hari kiamat, yang ditunjuk untuk
individu-individu tertentu. Prinsip ini didasarkan atas kaidah pengambilan
makna harus didasarkan atas kaidah pengambilan makna harus didasarkan atas
generalitas makna lafazh tidak didasarkan atas kekhususan sebab nuzul.
Misalnya menafsirkan kata اتقى pada ayat وسيجنبهاالاتقى dari ayat 17 surat
Al-Layl( dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu)
yaitu setiap orang pernah berbuat dosa dan kemudian bertaubat dengan menyesali
dosa-dosanya. Sedangkan menurut ulama lain, اتقى adalah Abu bakar al-Shiddiq yang didasarkan atas sebab nuzul ayat tersebut. Dalam prinsip ini
Abduh ingin menonjolkan Al-qur’an sebagai kitab suci umat islam yang membawa
misi kemanusiaan yang berlaku universal dan rahmad bagi orang-orang yang
beriman.
c.
Al-qur’an sebagai sumber aqidah dan hukum,
prinsip ini dimaksudkan untuk menjadikan ayat al-qur’an dipolitisir oleh aliran
tertentu untuk mendukung paham aliranya. Abduh mengemcam pendapat-pendapat
sebagian mufassir yang menganggap ayat-ayat Al-Qur’an musykil dan sukar
dipahami hanya karena tidak sesuai dengan paham dan aliran mereka contoh
penerapan ini dapat diliahat dalam ayat dari surat an-Nisa menjelaskan
tayyamum.
وان كنتم مرضى او على سفر او جاء احد منكم من الغا ىْط اْو
لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا
Dan jika kamu sakit atau dalam
musafir atau kembali atau dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayyamumlah kamu denga
tanah yang baik (suci).
Dalam masalah ini terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulam aliran fiqih. Menurut Abduh, bagi seorng mussafir
tidak disyaratkan ketiadaan air untuk melaksanakna tayyamum. Prinsip ini
menjadi kekhasan tafsir Abduh dalam menggunakan akal yang bebas dalam memahami
ayat Al-Qur’an.
d.
Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat al-qur’an. Prinsip ini dapat dilihat ketiaka Abduh menafsirkan ayat
30 dari surat Albaqarah tentang pengangkatan adam sebagai Khalifah. Kisah tersebut
hanyalah simbolik, bukan sebenarnya. Namum. Mengandung arti bahwa Allah telah
mempersiapkan perangkat (hukum alam yang menjadi sumber ketergantungan manusia)
dimuka bumi yang memungkinkan makhluk yang bakal diciptakannya dapat
memberdayakan bumi. Ayat selanjutnya ( ayat 31-33) dijelaskan mengenai
pengajaran Allah kepada Adam tentang nama-nama benda menunjukkan kemampuan
manusia untuk memberdayakan alam ini. Ketidak mampuan malaikat untuk
memberdayakannya. Penghormatan malaikat kepada Adam menunjukkan adanya potensi manusia untuk memamfaatkan
hukum-hukum alam tersebut dalam rangka pengembangan alam ini. Sedangka
pembangkangan iblis atas perintah Allah menunjukkan simbol kelemahan dalam
menundukkan jiwa jahatnya yang menghantarkan mereka untuk merusak alam ini
dalam menumpahkan darah.[10]
e.
Dalam surat Al baqarah: 5 Allah berfirman اولىْك على هدى من ربهم والىْك هم المفلحون ( mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung), disini
ada dua isyarat, dan munsyar ilainya ada satu. Yaitu apa yang ada dalam
dua ayat didepannya(ayat 3)الدين يؤمنون الصلا ة . yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan
shalat. Dan ayat 4 والدين يؤمنون بما انزل اليك (dan
mereka yang beriman kepada kitab al-Qur’an yang telah diturunkan
kepadamu.) selain ahli kitab dan orang
mukmin dari kalangan mereka dalam hidayah dan mereka adalah orang yang akan
berbahagia.
f.
Menggukan pemikiran dan manhaj ‘ilmi (metode
ilmiah) di dalam penelitian dan istimbath (penggalian hukum) seperti ayat
al-qur’an yang berkaitan dengan kemaslehatan surat Al-‘araf 56, ولاتقسدوا فى الارض بعد اصلا جها (dan janganlah kamu membuat kerusakan
dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, klausa pertama berkaitan dengan
perintah Allah kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan setelah Allah
melaksanakan perbaikan di atas dunia. Rasyid Ridha menyatakan bahwa janganlah
melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan mudharat dan janganlah
membuat hukuman yang menyalahi akal manusia dan i’tikad mereka, baik bersifat
individu maupun sosial dalam kemasyarakatan, seperti dalam bidang pertanian dan
perindustrian.
Demikianlah beberapa prinsip dan contoh yang bisa ditarik dari penafsiran
yang dilakukan oleh Abduh dan Rasyid Ridha, selanjutnya bisa dilihat dalam
tafsir Al-manar. Jika kita bertanya hari
ini mengenai perbedaan perbedaan corak penafsiran kedua mereka, sebenarnya
Rasyid Ridha adalah melanjutkan tafsir Abduh, yaitu yang bercorak tafsir al-Adabi
dan Ijtima’i.
Akan tetapi ada juga terdapat perbedaan anatara keduanya. Hal ini bisa di
buktikan dalam pernyataan Rasyid Ridha sendiri dalam mukhadimah tafsir al-Manar
yaitu.”inilah yang aku lakukan setelah beliau wafat. Aku berkerja sendirian
dalam penulisan tafsir Al-qur’an. Dalam penulisan ini aku mencoba menambahkan
poin manhaj beliau. Poin-poin itu diantaranya mencantumkan hadis-hadis shahih
yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan atau hukumnya. Penambahan
juga pada tahqiq (penguatan) beberapa mufradat (kosakata) atau kalimat, dan
masalah-masalah khilafiayah yang terjadi antara para ulama. Aku juga
memperbanyak dalil-dalil ayat dalam menafsirkan surat yang bermacam-macam, di
samping itu, penambahan kekuatan dangan menuliskan beberapa penyimpangan yang
muncul di masyarakat agar mereka mendapat petunjuk agama pada zaman ini, atau
untuk memperkuat hujjah (argumentasi) mereka ketika terjadi perdebatan dengan
orang-orang kafir dan ahli bid’ah, atau untuk memberikan sosial pada beberapa
poblem yanga dapat menentramkan hati.[11]
Perbedaan demikian bisa dimaklumi, yang berarti bukan perberdaan dalam
segi pemikiran tetapi kemungkinan antara guru dan murid sedang berbeda masa,
situasi dan kodisi serta perbedaan tempat berguru dan juga berbeda tingkat
intelegensi dan lain sebagainya, namum keduanya bercorak sama yaitu menafsirkan
ayat ayat al-Qur’an dengan mengikuti redaksi dari keindahan bahasa al-Qur’an
itu sendiri kemudian mensesuaikan atau menerapkan dalam kehidupan pada waktu
itu.
2.
Pemikiran Muhammad Abduh
Ada
dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana diakuinya.
Kedua persoalan itu adalah:
1.
Membebaskan
akal fikiran dari belenggu-belenggu taqlîd yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al ummah (ulama sebelum abad
III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari
sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
2.
Memperbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau
korespondensi.[12]
Namun
para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Muhammad
Abduh menyatakan bahwa dibalik kedua hal yang disebutkannya itu terdapat sekian
banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujun-tujuan
tersebut antara lain :
a.
Menjelaskan
hakikat ajaran Islam yang murni
b.
Mengembangkan
ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan penafsirannya dengan kehidupan masa kini).[13]
Pengamat
lain menilai bahwa apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh tersebut pada
hakikatnya bertujuan untuk memperkokoh segi-segi mental spiritual kaum muslimin
dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiran mereka pada
saat-saat perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat pada abad ke XIX.
Namun
apapun tujuannya Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh apa yang datang
dari dunia Barat. Karena disamping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlîd
yang lama kepada taqlîd yang baru, juga karena hal tersebut tidak dapat
dipertemukan karena adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial
masyarakat masing-masing daerah Islam. Menurut
Abduh hanya mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban Barat
serta membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian
peradaban tersebut pada akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam
sesaat setelah dia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[14]
3. Pemikiran Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba
menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suria. Tetapi
usaha-usahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. Kemudian ia
pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M.[15]
a. Pembaharuan Dalam Bidang
Teologi
Masalah aqidah di zaman hidupnya
Rasyid Ridha masih belum tercemar unsur-unsur tradisi maupun pemikiran filosof.
Dalam masalah teologi, Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para
tokoh gerakan salafiyah.[16] Dalam hal ini, ada
beberapa konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu,
sifat Tuhan, perbuatan manusia (af’al al-Ibad) dan konsep iman.
1.
Akal
dan Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki
agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal
tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada
mereka yang masih ragu-ragu.[17]
2.
Sifat
Tuhan
Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam
terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan
Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan
sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti
yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.[18]
3.
Perbuatan
Manusia
Pembahasan teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari
pertanyaan apakah manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill)
atau perbuatan manusia hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination).[19] Perbuatan manusia menurut
Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan Tuhan yang
disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan.[20]
4.
Konsep
Iman
Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran
umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang
dari ajaran Islam.[21] Oleh karena itu, upaya
pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk
mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan
Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq)
bukan didasarkan atas pembenaran rasional.
b. Dalam Bidang Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam
bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah
Wal Irsyad” pada tahun 1912 di Kairo. Mula-mula beliau mendirikan madrasah
tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan
tetapi gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di
antaranya Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka. Untuk
mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam.[22]
Muhammad Rasyid Ridha juga merasa
perlu dilaksanakannya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia
melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut:
teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung,
ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga
(kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain
yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.[23]
Pandangan Terhadap Ijtihad Rasyid
Ridha dalam beristimbat terlebih dahulu melihat nash, bial tidak
ditemukan di dalam nash di dalam nash, ia mencari pendapat sahabat, bila
terdapat pertentangan ia memilih pendapat yang paling dekat dengan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah dan bila tidak ditemukan, ia berijtihad atas dasar
Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha melihat
perlu diadakah tafsir modern dari Al-Qur’an yaitu tafsiran yang sesuai dengan
ide-ide yang dicetuskan gurunya, Muhammad Abduh. Ia menganjurkan kepada
Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern. Kuliah-kuliah tafsir itu dimulai
pada tahun 1899 dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh
dalam kuliahnya inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.
c.
Dalam bidang Politik
Dalam bidang politik, Muhammad
Rasyid Rida juga tidak ketinggalan, sewaktu beliau masih berada di tanah
airnya, ia pernah berkecimpung dalam bidang ini, demikian pula setelah berada
di Mesir, akan tetapi gurunya Muhammad Abduh memberikan nasihat agar ia
menjauhi lapangan politik. Namun nasihat itu diturutinya hanya ketika Muhammad Abduh
masih hidup, dan setelah ia wafat, Muhammad Rasyid Rida aktif kembali,
terutama melalui majalah al-Manar.[24]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan
kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.
2. Corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak
penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak
penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an
3. Tokoh utama corak penafsiaran
ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang menggunakan corak tafsir al-adabi dan ijtima’i.
4. Kitab tafsir al
Manâr berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui
metode budaya-kemasyarakatan dengan menetapkan prinsip baru.
B. Saran
Akhirnya pemakalah menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan,maka dari itu pemakalah memohon kritikan dan saran
pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish
Shihab, Mukjizat
Al-Qur’an. Ditinjau
Dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1996.
Mohamad
Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern
(Terj.). Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997. Hlm.xi dan Abdul Mustaqim. Mazahibut.
Usman. Ilmu
Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2009.
Supiana-M.
Karman, Ulumul Qur’an. Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002.
Quraish
Syihab, Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Badri Khaeruma, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka
Setia,2007.
Quraish Syihab, studi Kritis Tafsir Al-Manar.
Bandung: Pustaka Hidayah 1994.
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid
Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Dinamika,
2000.
Harun
Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
[1] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an (Ditinjau Dari Aspek
Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 43
[2]
Mohamad Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.).
(Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997). Hlm.xi dan Abdul Mustaqim. Mazahibut.
Hlm. 25-26.
[3]
Usman. Ilmu
Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hlm. 298.
[4]
Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm.
316-317
[5] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108.
[8] Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta:
Teras. 2009). Hlm. 204.
[14] Muhammad Imarah, al Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh,
(Beirut: al Muassasah al Arabiyah li al Dirasat wa Nshr, 1972), h. 331
[15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm 70.
[16] Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran
Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka
Dinamika, 2000), hlm. 18.
[22] Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
(Surabaya : al-Ikhlas, 1994), h. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar