View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

(Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (1703-1787))



TOKOH PEMBAHARU DALAM DUNIA ISLAM
(Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (1703-1787))

Disusun
Oleh:
Nama               : Muhammad Tsabirin
NIM                : 25131715-2
Konsentrasi     : Pendidikan Bahasa Arab
Kelas               : Reguler
Mata kuliah     : Metodologi Kajian Keislaman

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr.Al yasa’ AbuBakar, MA

A IAIN






PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2013


Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (1703-1787 M)

Muhammad bin Abdul Wahab hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga ‘Musyarraf’ (alu Musyarraf). Alu Musyarraf merupakan cabang dari kabilah Tamin. Sedangkan Musyarraf adalah kakeknya yang ke-9 menurut riwayat yang rajah. Dengan demikian nasabnya adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhamad bin Buraid bin Musyaraf.
Dia dilahirkan di daerah Uyainah pada tahun 1115 H, terletak di wilayah Yamamah yang masih bagian dari Nejd. Uyainah berada di arah barat laut dari kota Riyadh yang berjarak sekitar 70 KM. Ia wafat pada 29 Syawal 1206 H (1793) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri dalam da'wah dan jihad, termasuk memangku jabatan sebagai menteri penerangan kerajaan Arab Saudi.
Dia tumbuh di lingkungan keluarga yang cinta ilmu. Ayahnya adalah seorang ulama besar negara yang memegang jabatan peradilan di beberapa daerah. Kakeknya, Syaikh Sulaiman bin Ali adalah seorang ulama terkemuka dan juga imam dalam ilmu fiqh. Jabatan lain yang juga diemban Syaikh Sulaiman adalah sebagai mufti Negara. Di bawah bimbingannya, lahir sejumlah ulama dan para murid yang tersebut di seluruh semenanjung Arab. Maka, wajar jika kemudian lahir seorang keturunan yang faqih dan alim pula. Muhammad bin Abdul Wahab hafal al-Qur'an sebelum usianya mencapai sepuluh tahun, ia belajar fiqh dan hadits dengan ayahnya sendiri, dan belajar tafsir dari guru-guru dari berbagai negeri, terutama di Madinah al-Munawwarah serta memahami Tauhid dari al-Qur'an dan Sunnah.

Dasar-Dasar Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab
1.      Menanamkan Tauhid secara mendalam dan membasmi syirik serta berbagai macam bid'ah.
2.      Menegakkan kewajiban-kewajiban agama dan syi'ar-syi'arnya, seperti shalat, jihad dan amar ma'ruf  nahi mungkar.
3.      Mewujudkan keadilan di bidang hukum dan lainnya.
4.      Mendirikan masyarakat Islam yang berdasarkan tauhid, sunah, persatuan, kemuliaan, perdamaian dan keadilan.

Keistimewaan Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab 
  1.   Perilaku yang Jernih
2.    Sumber Yang Bersih
3.    Manhâj Yang Baik
4.     Berorientasi pada Manhâj Salaf al-Shâlih
5.    Penuh Semangat dan Berwawasan Luas
 6.    Kemampuan dan Kesuksesan

Gagasan dan Pemikiran Da’wah
1.    Mengembalikan Islam kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
2.    Berpegang teguh kepada manhâj ahl al-Sunnah dalam mengambil dalil dan membangun kerangka berfikir.
3.    Membersihkan faham tauhid untuk kembali kepada pemahaman yang benar.
4.    Berorientasi pada pemahaman tauhid ‘ubudiyah
5.    Menghidupkan kewajiban jihad
6.    Menghentikan perbuatan bid'ah dan khurafat yang disebabkan oleh kebodohan.

Metode Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab
1. Da'wah bî al-Lisân
2. Da'wah bî al-Kitâb
3. Da'wah bî al-Murâsalah
4. Da'wah dengan Tangan
5. Koalisi Dengan Penguasa

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
  1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
  2. Atas nama politik yang berselubung agama.

Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
  1. Golongan ulama khurafat,
2.    Golongan ulama taksub,
3.    Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan.

Detik-Detik Terakhirnya Beliau

Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Dan Allah telah memanjangkan umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau dapat menyaksikan sendiri kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya. Semuanya itu adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya yang gigih dan tidak kenal menyerah kalah itu. Kemudian, setelah puas melihat hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar'iyah dan sekitarnya, dengan hati yang tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin 'Abdul Wahab menghadap Tuhannya. Beliau kembali ke rahmatullah pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar'iyah (Najd).







Muhammad Ibnu Abdul Wahhab (1703-1787)
Muhammad bin Abdul Wahab hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga ‘Musyarraf’ (alu Musyarraf). Alu Musyarraf merupakan cabang dari kabilah Tamin. Sedangkan Musyarraf adalah kakeknya yang ke-9 menurut riwayat yang rajah. Dengan demikian nasabnya adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhamad bin Buraid bin Musyaraf.
Dia dilahirkan di daerah Uyainah pada tahun 1115 H, terletak di wilayah Yamamah yang masih bagian dari Nejd. Uyainah berada di arah barat laut dari kota Riyadh yang berjarak sekitar 70 KM. Ia wafat pada 29 Syawal 1206 H (1793) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri dalam da'wah dan jihad, termasuk memangku jabatan sebagai menteri penerangan kerajaan Arab Saudi.
Dia tumbuh di lingkungan keluarga yang cinta ilmu. Ayahnya adalah seorang ulama besar negara yang memegang jabatan peradilan di beberapa daerah. Kakeknya, Syaikh Sulaiman bin Ali adalah seorang ulama terkemuka dan juga imam dalam ilmu fiqh. Jabatan lain yang juga diemban Syaikh Sulaiman adalah sebagai mufti Negara. Di bawah bimbingannya, lahir sejumlah ulama dan para murid yang tersebut di seluruh semenanjung Arab. Maka, wajar jika kemudian lahir seorang keturunan yang faqih dan alim pula. Muhammad bin Abdul Wahab hafal al-Qur'an sebelum usianya mencapai sepuluh tahun, ia belajar fiqh dan hadits dengan ayahnya sendiri, dan belajar tafsir dari guru-guru dari berbagai negeri, terutama di Madinah al-Munawwarah serta memahami Tauhid dari al-Qur'an dan Sunnah.
Ibnu Khadamah, seorang ulama Timur Tengah mengatakan, "Muhammad bin Abdul Wahab telah menerapkan semangat menuntut ilmu sejak usia dini. Dia memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan dengan anak-anak sebayanya.

Dasar-Dasar Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab
Seruan da'wah Muhammad bin Abdul Wahab adalah berdasarkan pada manhâj Islam yang benar sesuai kaedah-kaedah serta prinsip-prinsip agama. Yang paling menonjol ialah upaya untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan kesetiaan untuk selalu mentaati Allah serta Rasulullah SAW. Ia sangat antusias dalam melakukan hal-hal sebagai berikut :
·Menanamkan Tauhid secara mendalam dan membasmi syirik serta berbagai macam bid'ah.
·Menegakkan kewajiban-kewajiban agama dan syi'ar-syi'arnya, seperti shalat, jihad dan amar ma'ruf  nahi mungkar.
· Mewujudkan keadilan di bidang hukum dan lainnya.
·Mendirikan masyarakat Islam yang berdasarkan tauhid, sunah, persatuan, kemuliaan, perdamaian dan keadilan.
Semua ini berhasil terwujud di negara-negara yang terjangkau atau yang telah terpengaruh oleh da'wah dan seruannya. Gambaran tersebut nampak jelas di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Arab Saudi sebagai pengibar bendera gerakan reformasi pada tiga abad periode. Setiap negara yang terjangkau oleh gerakan ini akan kental dengan warna tauhid, iman, sunnah Nabi, perdamaian dan kesejahteraan. Hal ini demi mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah di dalam firmanNya yang artinya,
"Sesungguhnya Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat lagi maha perkasa, yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan" (QS. Al-Hajj:40-41).

Keistimewaan Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab 
1.    Perilaku yang Jernih
Sesungguhnya perilaku Muhammad bin Abdul Wahab telah tercermin di dalam pribadi, ilmu, sikap agama, akhlak, dan pergaulannya terhadap orang-orang yang mendukung maupun yang menentangnya.
2.    Sumber Yang Bersih
Sumber ilmu, adab, dan akhlak yang diterima oleh Muhammad bin Abdul Wahab adalah sumber-sumber yang syar'i, fitrâh, kuat, dan murni. Hal ini merupakan cerminan dari al-Qur'an, sunnah Nabi, dan jejak peninggalan para salaf al-shâlih yang lepas dari falsafah dan tasawuf, kesenangan nafsu, dan kerancuan-kerancuan dalam lingkungan keluarga.
3.    Manhâj Yang Baik
Dalam menjabarkan ketetapan agama kepada para pengikut dan orang-orang menentangnya adalah manhaj Syar'i yang salaf, murni, bersih dari kotoran-kotoran, asli, kokoh, terang, realistis, yang berpedoman pada al-Qur'an dan sunnah, serta patut untuk mendirikan sebuah masyarakat Islami.
4.     Berorientasi pada Manhâj Salaf al-Shâlih
Da'wah Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam segala sesuatu menggunakan manhâj salaf al-shâlih. Itulah yang membuat manhâj-nya memiliki ciri khas tersendiri, yakni murni, realiatis, mantap dan meyakinkan. Hasilnya ia sanggup menegakkan syi'ar dan dasar-dasar agama sangat sempurna, yang meliputi masalah tauhid, shalat, jihad, amar ma'ruf nahi mungkar, penegak hukum, keadilan, keamanan, tampilnya keutamaan-keutamaan dan tersembunyinya kerendahan-kerendahan. Agama dan ilmu menjadi sangat marak di setiap negara yang terjangkau oleh seruan da'wahnya yang ada di Kerajaan Arab Saudi.
5.    Penuh Semangat dan Berwawasan Luas
Hal lain yang membuat manhâj Muhammad bin Abdul Wahab menjadi istimewa ialah semangat dan keyakinannya yang sangat tinggi dalam menegakkan kalimat Allah, membela agama, menyebarkan Sunnah Nabi dan mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh ummat berupa berbagai macam bid'ah, kemungkaran, kebodohan, perpecahan, kedzaliman dan keterbelakangan. Semangat yang tinggi dan wawasan luas dalam hal teori dan praktek yang dimilikinya nampak jelas dari banyak hal. Diantaranya adalah:
 6.    Kemampuan dan Kesuksesan
Berkat Muhammad bin Abdul Wahab, Allah berkenan menolong agama dan memuliakan sunnah Nabi. Ia baru meningal dunia setelah sempat menyaksikan buah da'wahnya yang ia rintis dengan susah payah, yakni dengan berkibarnya bendera sunnah dan berdirinya negeri tauhid pada zaman pemerintahan Imam Abdul Aziz bin Muhamad dan Putranya, Sa'ud. Bendera tersebut terus berkibar melambangkan kejayaan, kemenangan, kewibawaan, kekuasaan, dan kedamaian. Hal itu dilihat sebagai dominasi agama dan tenggelamnya berbagai macam bid'ah. Dan, kebanyakan gerakan-gerakan Islam sekarang ini merupakan kelanjutan yang alami dari gerakan Salafiyah di jazirah Arab.
Gagasan dan Pemikiran Da’wah
Diantara gagasan dan pemikiran da'wah Muhammad bin Abdul Wahab adalah :
1.       Mengembalikan Islam kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
2.       Berpegang teguh kepada manhâj ahl al-Sunnah dalam mengambil dalil dan membangun kerangka berfikir.
3.       Membersihkan faham tauhid untuk kembali kepada pemahaman yang benar.
4.       Berorientasi pada pemahaman tauhid ‘ubudiyah
5.       Menghidupkan kewajiban jihad
6.       Menghentikan perbuatan bid'ah dan khurafat yang disebabkan oleh kebodohan.
Metode Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab
1. Da'wah bî al-Lisân
2. Da'wah bî al-Kitâb
3. Da'wah bî al-Murâsalah
Da'wah bi al-Murâsalah atau yang lazim disebut dengan surat menyurat merupakan salah satu metode yang dipraktekkan oleh Muhamad bin Abdul Wahab dalam menebarkan da'wahnya. Ia menyisihkan waktunya untuk menulis surat-surat da'wah yang disampaikan kepada para penguasa dan ulama. Da'wah bi al-Murâsalah merupakan metode da'wah yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Beliau pernah mengirim surat kepada raja Najasyi, raja mesir, raja persi, Rum, Amman dan lainnya.
4. Da'wah dengan Tangan
5. Koalisi Dengan Penguasa
Pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahab berkoalisi dengan ‘amir 'Usamah bin Ma'mar di Uyainah. Ia berencana untuk membangun Islam dengan sistem ibadahnya yang betul dan kehidupan sosial yang sehat, jauh dari segala angkara murka dan maksiat. Dengan dukungan ‘amir 'Utsman bin Ma'mar, ia memerangi segala bentuk takhâyul, khurafat dan maksiat yang terdapat di sekitarnya.

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
  1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
  2. Atas nama politik yang berselubung agama.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
  1. Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq.
  2. Golongan ulama taksub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Tuan Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap asabiyah yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaksubannya. Lalu menganggap Tuan Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, iaitu; anti auliya' dan memusuhi orang-orang soleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Tuan Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
6.    Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Tuan Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Tuan Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Tuan Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Detik-Detik Terakhirnya Beliau
Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Dan Allah telah memanjangkan umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau dapat menyaksikan sendiri kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya. Semuanya itu adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya yang gigih dan tidak kenal menyerah kalah itu. Kemudian, setelah puas melihat hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar'iyah dan sekitarnya, dengan hati yang tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin 'Abdul Wahab menghadap Tuhannya. Beliau kembali ke rahmatullah pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar'iyah (Najd).



1) SYAIKH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI
 Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.

 Riwayat
 Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) Awal berada di Makkah, 

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.

Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau.

Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menyanggah pula teori `Martabat Tujuh' yang berasal daripada Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri.

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah.

Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Gagasan-gagasan
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab

Karya
Semasa hidupnya, ia menulis 49 buku tentang masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke wilayah Syiria, Turki dan Mesir.
Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru', Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama'atain bi Jawazi Ta'addud al-Jum'atain.



Jamaluddin al-Afghani (1838 M-1897 M): Ide Pembaharuan dan Pemikiran Politik
A. Pendahuluan
Memasuki abad kesembilan belas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memasuki dunia Islam, oleh karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat mengakibatan  terbawanya ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan dialektika pemikiran di tengah problematika baru, sehingga pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.
Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru. Dengan cara itu pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan ummat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[1]
Periode modern (1800 M-dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode inilah timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam[2]. Salah satu tokoh modern yang melahirkan ide-ide pembaharuan  dalam Islam ini adalah Jamaluddin Al-Afghani.
Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas[3]. Ia juga adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat[4]. Dia pula tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap barat di pihak lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan politik.[5]
Dalam makalah ini selanjutnya dipaparkan lebih jauh biografi, pemikiran dan perjuangan Jamaluddin al-Afghani serta pengaruh yang ditinggalkannya.
B. Biografi Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897.[6] Tetapi penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menyebabkan banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan Al-Afghani.[7] Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.[8]
Pendidikannya sejak kecil sudah diajarkan mengaji Al-Qur’an dari ayahnya sendiri, di samping bahsa Arab dan Sejarah. Ayahnya mendatangkan  seorang guru ilmu tafsir, hadits, dan fiqih yang dlengkapi dengan ilmu tasawuf dan ilmu ketuhanan, kemudian dikirim ke India untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Erofa).
Sampai usia 18 tahun, ia dibesarkan dan belajar di Kabul. Pada usia ini ia sangat tertarik kepada studi falsafat dan matematika. Menjelang usia 19 tahun, ia pergi ke India selama lebih dari satu tahun. Dari sana ia menuju Mekkah untuk beribadah haji. Dari Mekkah ia kembali ke tanah airnya. Ketika berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudia ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Ketika itu Inggris sudah ikut campur dalam urusan negeri Afghanistan, maka Jamaluddin termasuk salah satu orang yang menentangnya. Karena kalah melawan Inggris ia lebih baik meninggalkan negerinya dan pergi menuju India pada tahun 1869. Di negeri jiran inipun ia tidak tenang karena karena negeri itu dikuasai oleh Inggris, maka ia pindah ke Mesir pada tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan menjauhkan urusan politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya adalah Muhammad Abduh.[9]
Di Mesir Al-Afghani dapat mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran barat antara lain mengenai ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab yang berasal dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Ia berhasil membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu al-Watani) di sana dan mendengungkan Mesir  untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam bidang militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan  penguasa Mesir Khadewi Ismail dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin mengadakan pembaharuan di Mesir. Ttapi setelah Tauwfik berkuasa, ia tidak dapat melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh Al-Afghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun 1879.
Jamaluddin Al-Afghani meninggalkan Mesir menuju  Paris dan mendirikan perkumpulan Al-Urwatul Wustqa, sesuai dengan majalah yang diterbitkan oleh kelompok itu, yang pengaruhnya tersebar di dunia sampai ke Indonesia. Majalah ini terbit hanya 18 nomor saja selama 8 bulan dari tanggal 13 Maret 1884 – 17 Oktober 1884. Tujuan diterbitkannya majalah itu antara lain untuk mendorong bangsa-bangsa timur dalam memperbaiki keadaan, mencapai kemenangan dan menghilangkan rasa putus asa, mengajak berpegang pada ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, dan menolak anggapan yang dituduhkan kepada umat Islam bahwa mereka tidak akan maju bila masih berpegang pada agamanya, menyebarkan informasi tentang peristiwa politik dan untuk memperkokoh persahabatan di antara umat Islam. Akhirnya majalah tersebut dilarang beredar di dunia Islam yang berada di bawah pengaruh barat.
Pada tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan persengketaan politik antara Persia dengan Rusia yang timbul karena politik pro-Inggris yang dianut  pemerintah Persia ketika itu. Bersamaan dengan  itu Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya dia mengajurkan perombakan sistem politik-nya yang masih otokratis, sehingga timbul pertikaian  antara Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Pada tahun 1892, undangan yang sama  dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk kepentingan  politik Islam Istambul  dalam menghadapi kekuatan Erofa. Menurut Afghani, sebelum menangani politik luar negeri harus dibenahi dahulu sistem politik dalam negerinya. Rupanya, pandangan politik Afghani yang sangat demokratis tidak bertemu dengan kepentingan politik Sultan yang otokratis. Sejak itu sampai akhir hayatnya, 9 Maret 1897, Afghani dicabut izin keluar negerinya.Kelihatannya Jamaluddin Al-Afghani menjadi tamu terhormat kerajaan Turki Usmani tetapi hakikatnya ia menjadi tawanan Sultan Abdul Hamid II yang berdiam di “sangkar emas” istananya. [10]
Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar dan daerah yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam, tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.
C. Pemikiran Politik Jamaluddin Al-Afghani
Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus  kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Ia juga menganjurkan  umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.[11] Selanjutnya bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentangnegara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :
1. Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[12] Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi  oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun  pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis.
Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi  kepada salah satu sebab kemunduran  politis yaitu pemerintah absulot.[13]
2. Sistem Demokrasi
Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara  untuk bertindak  yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.[14]
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman[15] karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.[16]
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan yang absulot. Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.[17]
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.[18]
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan  menurut Al-Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
3. Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam.[19]
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan  kepada bangsa Persia dan Afghan  supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan  untuk mempersatukan umat Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas. Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh  seseorang atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui  adanya kepala negara  di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya  Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para pengusaha muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme barat serta mewujudkan keadilan.[20]
Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan teknik atau rasial. Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana datangnya, walau pada mulanya kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain seagama selagi ia masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya atau kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.[21]
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat Islam sedunia. Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya ini tidak berhasil.
D. Pengaruh Jamaluddin Al-Afghani
Seperti sudah disebutan, Al-Afghani menyuarakan gagasan seperti Pan-Islamisme. Sebenarnya gagasan seperti itu juga pernah disuarakan oleh Usmaniah Muda, tetapi sangat kurang pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa yang bahasanya bukan turki. Sedangkan Al-Afghani mempublikasikan tulisan dalam bahasa Arab dan Persia sehingga penulis-penulis terkemudian  banyak menyebutkan  bahwa Al-Afghani merupakan pembaharu internal.
Ide pembebasan dari kendali barat, merupakan tujuan perjuangan politik Al-Afghani yang paling populer. Ucapan-ucapan Al-Afghani banyak dikutip oleh kaum modernis Islam, nasionalis, maupun Islam kontemporer yang mendukung kebebasan seperti itu. Al-Afghani juga menarik bagi aktivis terkemudian karena  kehidupan politiknya yang luar biasa. Muslim maupun barat pernah memiliki kontak dengan Al-Afghani. Penulis Barat seperti E.G. Brown dan Wilfred Blunt membuat tulisan yang isinya membuat pengakuan dan memuji Al-Afghani semakin memperkuat posisi Al-Afghani di dunia muslim. Fakta bahwa Al-Afghani telah mempesona dan bahkan berdebat dengan orang-orang barat terkemuka membuat sosok Al-Afghani semakin penting di mata intelektual muslim. Akhirnya popularitas Al-Afghani yang berkelanjutan terjadi karena dia dipandang berbahaya oleh orang-orang barat. Namun ada penilaian bahwa pengaruh Al-Afghani lebih berdasarkan pada biografi yang pada umumnya mitos dan interpretasi atas gagasan-gagasannya.
Letak kebesaran Al-Afghani bukanlah dia sebagai pemikir, meskipun dalam pemikiran itu ia tetap sangat penting karena ia menunjukkan pandangan masa depan yang jauh dan daya baca zaman yang tajam. Kebesarannya terletak terutama dalam peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat Islam menghadapi barat, dan pemberi jalan bagaimana menghadapi arus modernisasi dunia ini.
Albert Hourani, misalnya memberikan komentar bahwa Al-Afghani adalah seseorang yang karangannya tidak banyak dikenal tetapi pengaruh kepribadiannya amat besar.[22] Bahkan ide-ide Al-Afghani masih memberikan warna pada gerakan kontemporer Islam, seperti Gerakan Kiri Islam yang dimotori oleh Hassan Hanafi. Pada tahun 1981, Hanafi menerbitkan Jurnalnya, Al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam), sebagai tanda awal gerakannya. Menurutnya jurnal tersebut adalah kelanjutan dari Al-Urwah al Wutsqa yang pernah diterbitkan oleh Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Tujuan jurnal tersebut menurut Hanafi , adalah berjuang melawan kolonialisme dan keterbelakangan, berjuang untuk mewujudkan kebebasan, keadilan sosial dan menyatukan dunia Islam.[23]
Dengan demikian jelas sekali bahwa ide-ide Al-Afghani masih menginspirasi pemikir-pemikir Islam kontemporer dalam menghadapi tantangan umat Islam meskipun dalam konteks dan situasi zaman yang telah berbeda.
Sebagai seorang aktivis politik, nampaknya Al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan (pidato) daripada dalam tulisan, sekalipun begitu, karya tulisnya yang tidak terlalu banyak tetap mempunyai nilai besar dalam sejarah umat di zaman modern. Beberapa tulisannya bernada pidato yang amat bersemangat, menggambarkan penilaiannya tentang betapa mundurnya umat islam dibanding dengan bangsa erofa yang telah ia saksikan. Tulisan-tulisannya yang tersebar dalam bahasa Arab dan persia telah mengilhami berbagai gerakan revolusioner  Islam melawan penjajahan dan penindasan barat. Karena pada dasarnya Al-Afghani adalah seorang revolusioner politik, ia mengemukakan ide-idenya hanya dalam garis besar, berupa kalimat-kalimat yang bersemangat dan ungkapan-ungkapan kunci, tanpa elaborasi intelektual yang lebih jauh.
Adalah Muhammad Abduh, muridnya yang paling utama yang menjabarkan pemikiran-pemikiran kunci Al-Afghani setelah Abduh berpisah dari gurunya itu karena hendak meninggalkan dunia politik  dan lebih mencurahkan  diri kepada bdang keilmuan dan pendidikan. Dari Muhammad Abduh-lah substansi pemikiran Al-Afghani menemukan formulasi intelektual yang lebih jauh. Melalui Abduh gagasan pembaharuan pemikiran keagamaan menyebar di dunia Islam. Abduh mengajukan argumentasi tentang keharusan membuka kembali pintu ijtihad untuk selamanya, dan dengan keras menentang sistem penganutan tanpa kritik (taqlid). Substansi ide-ide itu sebelumnya juga pernah dikemukakan oleh Al-Afghani dalam makalahnya.[24] Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan apa yang dikemukakan oleh Abduh, kemudian Rasyid Ridha dan para pemikir modernis lainnya memiliki benang merah pemikiran pembaharuan Al-Afghani.
E. Penutup
Pada bagian penutup ini, penulis memberikan beberapa catatan sebagai berikut :
Jamaluddin Al-Afghani adalah reformis pertama dalam pembaharuan pemikiran Islam yang berpengaruh, khususnya di Mesir. Dia lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan Islam, tetapi kegiatan yang dijalankannya didasarkan pada ide-ide tentang pembaharuan dalam Islam. Ia juga tokoh yang pertama kali merintis  penafsiran ulang Islam, yang menekankan kualitas yang diperlukan  dunia modern untuk membebaskan umat dari keterbelakangan, kebodohan dan kemunduran yang dialami umat Islam.
Dari sudut teori politik, Al-Afghani penentang utama terhadap despotik dan pembela sistem demokratis yang didukung rakyat. Menurutnya umat Islam perlu meniru barat dalam hal tertentu yang positif, tetapi tetap konsisten  terhadap nilai-nilai dasar ajaran Islam.
Dia tidak ragu mensosialisasikan gagasan negara berbentuk republik dan kepala negara dipilih oleh rakyat dengan cara demokratis. Karena dengan prinsip seperti itu musyawarah sebagai pilar penting dalam menjalankan pemerintahan lebih terbuka untuk dilaksanakan. Dengan prinsip musyawarah akan menghindarkan dari kesewenangan  penguasa.
Salah satu sisi kekurangan dalam mengungkapkan gagasan dan ide-ide pembaharuannya adalah terbatasnya literatur primer yang ditulisnya sendiri. Al-Afghani lebih banyak dikenal melalui tulisan-tulisan orang lain tentang dirinya atau yang menginterpretasikan pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, (Ed), Ensiklopedi Tematik Dunia Islam Jilid 2 dan 4, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
Dnohu, John J. dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan : Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), (Jakarta : Rajawali, 1984)
Hourani, Albert,  Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (diterjemahkan dari A History of The Arab Peoples), Bandung : Mizan, 2004
Husain, Mir Zohan, Global Islamic Politic, ( New York : Long Man, 2003)
Madjid, Nurcholish (Ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984)
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975)
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : Grafindo Persada, 1994)
Rahmena,  Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1995)
Tahqiq, Nanang, Politik Islam, (Jakarta : Kencana, 2004)

[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1, h. 10.
[2] Ibid, h. 13
[3] Ibid, h. 11
[4] Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1995), cet. ke-1, h. 17
[5] Ibid, h. 18
[6] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), cet ke-2, h. 155, lihat juga Harus Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 51.
[7] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 56. Lihat juga Ali Rahmena dalam bukunya Para Perintis Jalan Baru Islam h. 18-19, menyatakan tidak ada sumber primer yang mendukung bahwa tempat lahir atau besarnya Jamaluddin Al-Afghani, seperti yang biasa diakuinya. Kini banyak sumber yang memperlihatkan bahwa ia tidak mungkin  orang Afghani, tetapi lahir dan mendapat pendidikan Syi’ah di Iran, antara lain dari surat kemenakan Irannya, yang menulis satu-satunya awal yang berdasar pada masa lahir dan kanak-kanak yang sebenarnya. Berbagai buku dan risalah bertahun-tahun yang ditemukan di antara tulisan-tulisan Al-Afghani memperlihatkan akibat didikan di Iran, dan hampir pasti di kota-kota suci Syi’ah di Irak, dia piawai dalam filsafat Islam dan juga dalam Syi’ah mazhab Syaikhi, yang merupakan ragam Syi’ah yang sangat filosofis pada abad ke delapan belas dan sembilan belas. Ia menuntut ilmu pada seorang alim Syi’ah di Teheran bernama Aqashid Shadiq dan belajar ke  Al-Najaf di Irak (Pusat Perguruan Syi’ah) selama beberapa tahun menjadi murid seorang sarjana Syi’ah yang terkenal, Murthada al-Anshari.
[8] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : Grafindo Persada, 1994), h. 280
[9] Ali Mufrodi, op.cit, h. 156
[10] Ibid. h. 157
[11] Ali Mufrodi, op.cit, h. 157-158
[12] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 281
[13] Ibid, h. 282-283, lihat juga Harun Nasution h. 54
[14] Harun Nasution, op. cit., h. 56
[15] Ibid
[16] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 285
[17] Ibid, h. 287
[18] John J. Dnohu dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), (Jakarta : Rajawali, 1984) h. 25
[19] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 294
[20] Ibid.
[21] Ali Mufrodi, op.cit, h. 159
[22] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (diterjemahkan dari A History of The Arab Peoples), Bandung : Mizan, hal. 586
[23] Lihat : Nanang Tahqiq, Politik Islam, (Jakarta : Kencana, 2004) h. 212
[24] Lihat : Al-Afghani dalam “Masa Lalu Umat dan Masa Kininya, serta Pengobatan bagi Penyakit-Penyakitnya” dalam Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 332 dst.

Tidak ada komentar: