View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

SITUASI DAN KONDISI MEKKAH PRA ISLAM (Aspek Agama, Sosial Budaya, Politik Dan Ekonomi)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menelusuri catatan sejarah khususnya peradaban Islam adalah satu hal yang dapat membuat pola fikir seseorang berubah, beralih dari satu sisi pandang ke sisi lain, dari ketidak tahuan menuju kefahaman, dan lebih utama lagi kepada kebijaksanaan dalam memahami untaian liku-liku sejarah itu sendiri, sehingga sejarah dapat difahami sebagai sebuah ilmu serta menjadi seni berapresiasi dalam kehidupan.[1]
Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. Pada saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk seperti meminum minuman keras, berjudi, dan menyembah berhala.  
Bangsa Arab pada umumnya berwatak berani, keras, dan bebas. Mereka telah lama mengenal agama. Nenek moyang mereka pada mulanya memeluk agama Nabi Ibrahim. Akan tetapi, akhirnya ajaran itu pudar. Untuk menampilkan keberadaan Tuhan mereka membuat patung berhala dari batu, yang menurut perasaan mereka patung itu dapat dijadikan sarana untuk berhubungan dengan Tuhan. Kebudayaan mereka yang paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab. Perekonomian penduduk negeri Mekah umumnya baik karena mereka menguasai jalur darat di seluruh Jazirah Arab.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.

Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.

Baiklah, dalam makalah ini penulis ingin mengutarakan sebagian kecil tentang pembahasan “ Situasi Dan Kondisi Mekkah Pra Islam di lihat dari Aspek Agama, Sosial Budaya, Politik Dan Ekonomi.















BAB II
PEMBAHASAN

SITUASI DAN KONDISI MEKKAH PRA ISLAM
(Aspek Agama, Sosial Budaya, Politik Dan Ekonomi)

Bangsa Arab menyebut tanah air mereka dengan Jazirah Arab, sedangkan batas-batas semenanjung atau jazirah Arab adalah sebagai berikut:
  • sebelah selatan: lautan Hindia
  • sebelah timur   : teluk Arab (dahulu teluk Persia)
  • sebelah utara   : gurun Iraq dan gurun Syam (sekarang Syiria)
  • sebelah barat   : Laut Merah
            Panjangnya 1000 km dan lebarnya ±1000 km. Jazirah Arab hampir 5/6 daerahnya terdiri dari padang pasir, maka sungai sangat jarang terdapat di jazirah arab dan hanya ada perigi atau oase di tengah-tengah padang pasir.
Jazirah Arab terbagi atas 2 bagian yakni, bagian tepi dan bagian tengah. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang curah hujannya sangat sedikit, penduduknya pun secara otomatis sedikit, yaitu kaum pengembara. Bagian tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
  • Bagian utara, disebut “Najed”
  • Bagian Selatan disebut “Al Ahqaf”
            Sedangkan di bagian tepi, serupa dengan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah Arab, hanya di pertemuan antara laut merah dengan lautan Hindia pita itu agak lebar. Pada jazirah Arab ini boleh dikatakan hujan turun cukup teratur, oleh karena itu penduduknya tiada yag mengembara melainkan menetap di tempatnya.
Jazirah arab terbagi kepada lima daerah, yaitu:
  1. Hijaz, kotanya adalah Makkah, Madinah dan Thaif
  2. Yaman, terletak di bagian selatan; diantaranya adalah San’a yang merupakan ibukota Yaman zaman dahulu
  3. Najed, terletak di bagian tengah jazirah Arab
  4. Tihamah, terletak antara Hijaz dan Yaman
  5. Yamamah, terletak antara Yaman dan Najed

A.      Aspek Agama
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan peraturan-peraturan tentang hidup. Dengan demikian, bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah atau peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian, kedua paham dan kepercayaan itu saling berbenturan dan bertarung dalam waktu yang lama.
Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-penyelidik ilmiah yang menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan rnakmur. Karena faktor alam itu pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul pada bangsa Arab semenjak lama. Semangat keagamaan yang amat kuat pada bangsa Arab itulah yang menjadi dorongan mereka untuk melawan dan memerangi agama Islam di saat Islam datang. Mereka memerangi agama Islam karena mereka amat kuat berpegang dengan agama mereka yang lama yaitu kepercayaan yang telah mendarah daging pada jiwa mereka. Andaikata mereka acuh tak acuh dengan agama, tentu mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi kenyataannya tidak demikian. Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai mereka kalah.
Sampai saat ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak, terhadap agamanya mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta dibela dengan sekuat tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat kulitnya saja. Adapun ibadah dan praktik-praktik keagamaan jeering ditinggalkan oleh Arab Badui. [2]
Watak mereka yang amat mencintai hidup bebas dari keterikatan menjadi sebab mereka Kingin bebas dari aturan agama. Mereka sudah lama merasa bosan dan kesal terhadap agamanya karena dianggap sebagai pengikat kemerdekaannya sehingga selalu menyelewengkan agama mereka sendiri. Ada di antara mereka yang menyembah pohon-pohon kayu. Ada yang menyembah bintang-bintang, batu-batuan, binatang-binatang, bahkan menyembah raja-raja. Cara ini mereka lakukan karena mereka merasa sukar mempercayai Tuhan yang abstrak, sehingga akhirnya mereka menjadikan sesuatu benda yang dianggapnya sebagai Tuhan bayangan.
Mengenai kepercayaan keagamaan, bangsa Arab merupakan salah satu dari bangsa-bangsa yang telah mendapat petunjuk. Mereka dahulu telah mengikuti agama Nabi Ibrahim. Karena terputus dengan nabi sebagai juru penerang, meraka lantas kembali lagi menyembah berhala. Berhala-berhala mereka terbuat dari batu dan ditegakkan di Kakbah. Dengan demikian agama Nabi Ibrahim bercampur aduk dengan kepercayaan keberhalaan. Kemudian keyakinan terhadap Nabi Ibrahim itu telah benar-benar kalah dengan kepercayaan keberhalaan.
Ibnu qalbi menyatakan bahwa yang menyebabkan bangsa Arab menyembah batu atau berhala adalah karena siapa saja yang meninggalkan kota Mekah selalu membawa sebuah batu. Diambilnya dari batu-batu yang ada di tanah haram Kakbah. Jika telah berbuat demikian, mereka telah merasa dirinya terhormat dan cinta terhadap kota Mekah. Selanjutnya, di mana-mana mereka berhenti atau menetap, diletakkannya batu itu, dan mereka tawaf (mengelilingi) batu itu, seolah-olah mereka telah mengelilingi Kakbah. Sesungguhnya mereka masih tetap memuliakan Kakbah dan kota Mekah, serta masih mengerjakan haji dan umrah, tetapi mereka tetap saja menyembah apa yang mereka sukai. Berhala-berhala yang ada di negeri mereka dahulunya adalah batu yang dibawa dari Kakbah ; (Mekah), yang kemudian mereka muliakan. Mereka juga mendirikan rumah-rumah untuk smenempatkan batu berhalanya, sementara itu Kakbah masih tetap mempunyai kedudukan lyang tinggi dan mulia.[3]
Nama-nama berhala yang mereka sembah antara lain Hubal yakni berhala yang terbuat dari batu akik berwarna merah dan berbentuk manusia. Hubal, dewa mereka yang terbesar I diletakkan di Kakbah, kemudian Al Lata, berhala yang paling tua, berhala Al Uzza, serta Manah. Mereka mengakui berhala tersebut sebagai Tuhan mereka dan memujanya karena dianggapnya hebat. Mereka menyembah berhala-berhala itu sebagai perantara kepada Tuhan. Jadi pad hakikatnya, bukanlah berhala-berhala itu yang mereka sembah, tetapi sesuatu yang hebat di balik berhala-berhala itu. Untuk mendekatkan diri kepada dewa atau Tuhan-Tuhan itu, merek rela berkorban dengan menyajikan binatang ternak. Bahkan pernah pada suatu ketika mereka mempersembahkan manusia sebagai korban kepada dewa-dewa dan Tuhan mereka.        
Kepada berhala-berhala itu, mereka mengadukan nasibnya, persoalan, atau problem hidupnya serta meminta pendapat atau memohon restunya jika akan mengerjakan sesuatu yang penting.

B.       Aspek Sosial Budaya
Penduduk Arab (sahara) sangat sedikit dan juga yang terdiri dari suku-suku badui. Yang memiliki gaya hidup nomaden, berpindah-pindah. Akibat perpindahan itu pada akhirnya membaur, organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan. Mereka juga suka berperang, karena terlalu seringnya sehingga mendarah daging dalam diri orang Arab[4], sehingga perang justru menjadi pengisi waktu luang yang mengasyikkan: apalagi yang menang akan mendapat harta rampasan kaum Quraisy mengutamakan anak laki-laki yang gagah, kuat dan berani, karena merekalah yang akan membawa nama baik suku, dikalangan mereka ada yang sampai hati menguburkan bayi perempuan, diantaranya Umar bin Khattab sebeluma ia masuk Islam.
Minuman arak dan judi menjadi kebiasaan mereka. Dalam dokumen syair-syair mereka tergambar, bahwa minum-minuman keras dan judi merupakan kebanggan mereka[5]. Di mata kaum Quraisy kedudukan wanita amat rendah selain sebagai kebutuhan ekonomi, juga sebagai alat pemuas seks. Begitulah tradisi jahiliah, Arab sebelum Islam.
Budaya mereka tidak berkembang, berbeda dengan penduduk yang mendiami pesisir Jazirah Arab, mereka selalui mengalami perubahan yang sesuai dengan situasi dan konsisi yang mengikuti mereka. Seperti pada masyarakat badui, negeri ini juga mahir dalam bersyair, yang sering dibacakan di pasar-pasar yang mungkin seperti pergelaran, bahkan mereka juga kaya dengan bahasa ungkapan, tatabahasa[6], dalam menyampaikan kebencian/cinta menggunakan untaian sajak, yang lebih dikenal dengan nama kahim [7].
Dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah bangsa lain, karena sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin, adalah hijaz[8]. Kota terpenting di daerah ini adalah Makkah, Ka’bah, yang disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Makkah, namun juga oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Dalam penjagaan kota itu, pertama berada dua suku yang pertama Jarhum, kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya jatuh ke suku Quraisy dibawah pimpinan Qushai, suku inilah yang kemudian mengatur urusan politik, sejak itu kaum Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Makkah menjadi mashur dan disegani, juga suku Quraisy, keadaan ini menjadikan Makkah pusat peradaban. Bangsa Arab bagaikan memulai babakan baru dalam hal kebudayaan dan peradaban. Perkembangan itu merupakan pengaruh dari budaya bangsa-bangsa sekitarnya. [9]
C.       Aspek Politik
Secara global-teritorial, Arab merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi tiga lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia di sebelah Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial bangsa Arab. Negeri Yaman misalnya, diperintah oleh bermacam-macam suku dan pemerintahan yang terbesar adalah masa pemerintahan Tababi’ah dari kabilah Himyar.
Di bagian Timur Jazirah Arab, dari kawasan Hirah hingga Iraq, yang ada hanya daerah-daerah kecil yang tunduk kepada kekuasaan Persia hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama sekali tidak berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di bawah kekuasaan raja-raja Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama dengan bagian Timur, karena di daerah itu juga tidak ada pemerintahan bangsa Arab yang murni dan merdeka. Semua raja di sini tunduk di bawah kekuasaan Romawi. Raja-raja Ghasasanah semuanya serupa dengan raja-raja Munadzirah.
Sementara itu, di Tengah Jazirah Arab, di mana terdapat tanah suci Mekkah dan sekitarnya, kaum Adnaniyyin menjadi penguasa yang independen, tidak dikuasai oleh Romawi, Persia, maupun Habasyah. Allah telah menjaga kehormatan tanah dan penduduk disana. Bahkan sejak masa imperialisme Barat yang menjajah dunia Islam, tak ada yang bisa menguasai negeri suci ini karena Allah telah menjaga kesuciannya. [10]
D.      Aspek Ekonomi
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia.
Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. [11] Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1.      Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2.      Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3.      Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4.      Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5.      Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6.      Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7.      Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
8.      Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah.
9.      Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M. [12]
            Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
            Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. [13] Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[14] Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
            Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis. [15]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam kajian ini penulis menyimpulkan bahwa “ Situasi Dan Kondisi Mekkah Pra Islam dapat dilihat dari beberapa Aspek, yaitu:
1. Aspek Agama
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan peraturan-peraturan tentang hidup.
2.      Aspek Sosial Budaya
Penduduk Arab (sahara) sangat sedikit dan juga yang terdiri dari suku-suku badui. Yang memiliki gaya hidup nomaden, berpindah-pindah. Akibat perpindahan itu pada akhirnya membaur, organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan.
3.  Aspek Politik
Secara global-teritorial, Arab merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi tiga lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia di sebelah Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial bangsa Arab.
4. Aspek Ekonomi
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab.
B.     Saran
Saya selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA



‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.


Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 2007.


Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2, Maret, 2003.


Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, Jakarta: Ilmu Jaya, 1994.


Burhan al-Din Dallu, Jazirat al-‘Arab Qabl al-Islam, Beirut: t.p, 1989.


Dedi Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2008.


Louis Gouschalk, Undestanding History: A Primer of Historical Method, Terj.


Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Oxford: Oxford University Press, 1956.


Nugroho Notosutanto, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975.


Prof. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.


Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.






[1] Louis Gouschalk, Undestanding History: A Primer of Historical Method, Terj. Nugroho Notosutanto, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), hlm. 4.
[2] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), 10.
[3] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), 12.
[4] Sejarah Peradaban Islam
[5] Ibid, hal 6
[6] Prof. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal 37-39
[7] Ibid, hal 42
[8] Dedi Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2008) hal 52
[9] Dedi Supriyadi. Op.Cit, hal 53
[10] Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 2007. 24-27
[11] Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 15.
[12] Burhan al-Din Dallu, Jazirat al-‘Arab Qabl al-Islam (Beirut: t.p, 1989), 129-130.
[13] Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1956), 2-3.
[14] Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 12-13.
[15] ‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 41.

Tidak ada komentar: