BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kalaupun Islam muncul sebagai sistem peradaban
yang mandiri, maka hal itu merupakan realitas sejarah yang tentu saja bukan
untuk arah utama Islam sebagai agama yang hadir. Dalam arti, Allah mengutus
Muhammad membawa Islam tentulah “tidak direncanakan” untuk muncul sebagai
sebuah peradaban. Islam muncul sebagai sebuah agama dengan membawa aneka sistem
keagamaan. Oleh karenanya, harus dipahami perbedaan Islam sebagai agama dengan
Islam sebagai peradaban.
Peradaban
Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam.
Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran
yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat
Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam
adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi
dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional
umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke
dalam Islam.
Filsafat Islam yang dipelopori oleh para filosof
muslim timur telah mengembangkan sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat.
Dimulai dari al-Kindi sebagai filosof Islam pertama kali, kemudian disusul oleh
para filosof yang lainnya. Karena merupakan filosof yang pertama kali, maka
al-Kindi dijuluki sebagai bapak filsafat Islam. Setelah masa al-Kindi, kemudian
dilanjutkan oleh berbagai filosof yang masing-masing mengembangkan karakternya
masing-masing. Setelah itu, filsafat dilanjutkan oleh al-Razi yang menolak
perpaduan antara agama dengan filsafat. Karena menurutnya kebenaran yang sejati
ini adalah kebenaran yang diperoleh dari filsafat. Sedangkan agama saling
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, untuk
memperbaiki masyarakat, maka harus mengamalkan filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
(Para Tokoh
Filosof Kajiannya adalah Tentang
Alam
Ciptaan Tuhan, Etika, Akhlak, Politik dan Sejarah)
A.
Alam Ciptaan
Tuhan
1.
Menurut
Al-kindi
penciptaan
alam semesta sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturannya (sunnatullah)
tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada menjadi ada atau menurut istilah
yang digunakannya izh-har al-syai’an laisa. Pengertian qadim, menurut
Al-Kindi, adalah tidak berpemulaan.[1]
Lebih lanjut
lagi Al-Kindi berpendapat bahwa alam ini terdiri dari dua bagian, yakni alam
yang terletak dibawah falak bulan dan alam yang merentang tinggi dari falak
bulan sampai keujung alam. Jenis alam yang pertama terjadi empat unsur, yaitu
air, api, udara, dan tanah. Keempat unsur tersebut bekualitas dingin, panas,
kering, dan basah yang merupakan perlambang dari perubahan, pertumbuhan dan
kemusnahan. Sedangkan pada jenis alam yang kedua tidak dijumpai keempat unsur
dimaksud, karena itu tidak mengalami perubahan dan kemusnahan, dengan kata lain
alam kedua tersebut abadi sifatnya.[2]
Adapun bumi
ini yang terletak di bawah falak bulan, merupakan pusat alam. Sedangkan
falak-falak ataupun benda-benda langit menurut al-Kindi adalah makhluk hidup,
memiliki indera penglihatan yang di perlukan untuk dapat berpikir dan
membedakan. Falak-falak tersebut merupakan sebab terdekat bagi planet bumi.
Disebabkan gerak lingkaran yang kontinu ke sisi-sisi tertentu, maka timbulah berbagi
kegiatan, kihidupan, dan makhluk di permukaan bumi ini, seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[3]
2.
Menurut Al-Razi
Allah adalah
maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam di ciptakan Allah bukan dari
tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada الايلجادمن
الشىء) (, semestinya alam ini tidak kekal meskipun materi pertama kekal,
sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[4]
3.
Menurut ibn
Thufail
Alam ini
qadim dan juga bahru. Alam qadim karena Allah menciptakannya sejak azali. Tanpa
didahului oleh zaman( taqaddum zamany). Dilihat dari esensinya, alam itu bahru
karena terwujutnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah. Ibn thufai
memberikan contoh.
Sebagaimana ketika
anda menggenggam suatu benda, kemudian anda gerakkan tangan anda, maka benda
mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak
terlambat disegi zaman dan
hanya keterlambatan dari segi zat. Demikianlah alam ini seluruhnya merupakan
akibat dan diciptakan ole Allah tanpa zaman. Firman Allah: sesungguhnya
keadaan-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatua hanyalah berfirman kepada-Nya:
jadilah, maka jadilah ia. (Q.S. Yasin[36]:50).[5]
4.
Menurut Ibn
Rusyd
Alam semesta justru merupakan
ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian, karena sebelum Allah SWT
menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan al-Quran, Allah telah menciptakan alam
jagat raya ini. Karena alam adalah ayat, maka sebagaimana sepotong firman
adalah ayat, maka sejengkal alam juga ayat. Sebagai ayat, alam ini selalu
bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, penelitian terhadap alam
diduga kuat dapat
mengantar manusia menemukan dan meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya.
Sebagian
pengkaji filsafat menilai bahwa Ibnu Rusyd memiliki dua pendapat tentang
asal-usul alam. Kepada masyarakat awam, Ibnu Rusyd tidak berpendapat tentang
Qadimnya alam, hanya sekedar mengemukakan teorinya tentang peciptaan alam,
sedangkan dalam beberapa kitabnya untuk kajian filosofis, ia dengan tegas
menguraikan argumentasi tentang keqidaman alam.
Walaupun
demikian, pada hakikatnya Ibnu Rusyd melakukannya sekedar untuk menjaga
keutuhan teorinya pada setiap karya-karyanya. Yang dimaksud dengan Qadimnya
alam yaitu qadim hanya dari segi zaman, bukan dalam pengertian tidak memiliki
‘illah atau tidak diciptakan oleh Tuhan, dalam artian ia menolak pendapat bahwa
materi adalah ‘illah bagi dirinya sendiri,
sehingga tidak ada bedanya dengan dzat Tuhan.
Dalam
penciptaan alam, sosok yang banyak dipengaruhi oleh madzhab Aristoteles ini
menganut teori “Kausalitas” (hukum sebab akibat), dalam memahami alam harus
dengan
dalil-dalil tertentu agar dapat sampai pada hakikat dan eksistensi alam.
Para teolog dan Imam Ghazali dalam karya monumentalnya (Tahfut al-Falasifah), menyatakan
bahwa alam hadits dan mempercayai bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia
mengadakan sesuatu dari “tiada” (al-‘adam). Jika alam tidak bermula, maka alam
tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibnu Rusyd
dan para Filosof Islam mengatakan bahwa
alam adalah qodim, namun dengan kata lain diciptakan dari yg ada dahulu, yang
mungkin terjadi adalah “ada” (maujud) yang awal kemudian berubah menjadi “ada”
(maujud) dalam bentuk lain. Hal ini ia perkuat dengan mengusung dalil dalam al-Quran:
1. Surat Hud : ayat 7 ; dikatakan secara garis besar, bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air, yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah air, tahta, dan masa.
2. Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.
3. Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
1. Surat Hud : ayat 7 ; dikatakan secara garis besar, bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air, yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah air, tahta, dan masa.
2. Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.
3. Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Dari
keterangan diatas, maka tampak bahwa kejadian alam terjadi dengan adanya “sebab
akibat” (hukum kausalitas), namun al-Ghazali mengingkari hal ini.
Untuk menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya
antara Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam “wujud” (yang berkaitan dengan hal ini):
1. Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
2. Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
3. Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan.
1. Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
2. Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
3. Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan.
Para filosof islam saling
berbeda pendirian menghadapi teori-teori tersebut. Sebagian mereka mengikuti
teori islam yang menetapkan bahwa alam adalah ciptaan tuhan, tidak qadim dan
tidak azali. Sebagian yang lainnya lagi berpendapat, bahwa alam adalah qadim, tetapi mereka
berusaha menafsirkannya yang tidak mengingkari kekuasaan Tuhan yang dapat
menciptakan segala sesuatu. Sebagian yang lainnya lagi berpendapat, alam ini
merupakan rangkaian kejadian yang berasal dari zat Tuhan melalui “pelimpahan”(faidh).
B. Etika
Etika adalah suatu cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai
baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tidakan seseorang, yang
dilakukan dengan penuh kesadaran bedasarkan pertimbangan pemikirannya.[6]
Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima
umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral
menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara
etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di
pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara
bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga
mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika. Sebagaimana Menurut
Para Filosof Muslim berikut ini:
1.
Al-Farabi
Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting
dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan
politik. Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah persoalan
kebahagiaan. Didalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil
al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan
akhir bagi manusia, al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang
harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi
bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :
§ Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip
pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga
yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar.
§ Keutamaan pemikiran, adalah yang
memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk
dalam hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan
pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah).
§ Keutamaan akhlak, bertujuan mencari
kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan
pemikiran, kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa
juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.
§ Keutamaan amalia, diperoleh dengan dua
cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.
2.
Ikhwan al-Safa`
Adapun tentang moral etika, ikhwan al-Safa’ bersifat rasionalistis. Untuk
itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat
moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada
materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa
usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan,
kelembutan, kasih sayang dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan,
gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik
pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman dan
kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yang
membara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam dan binatang liar
sekalipun.[7]
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya
spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak
terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang
tersembunyi dalam kitab suci dan kessuainya dengan data pengetahuan rasional
dalm filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan
oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenanganya, ia tidak dapat mengetahui
makna kitab suci dan ia tidak akan dapat beranjak kepada bola-bola langit dan
secara langsung merenungkan apa yang ada disana.
3.
Al-Ghozali
Filsafat etika al-Ghozali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika
al-Ghazali adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali
kita temukan pada semboyan tasawuf yang
terkenal : al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala taqothil Basyathiyyah, atau pada
semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala Taqhathil Basyathiyah.
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan,sabar jujur, takwa, zuhud, ihlas beragama dan
sebagainya. Dalam Ihya’ Ulmuddin itu, al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia
ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnyadalam mengupas soal
at-thaharah ia tidak hanya mengupas soal kebersihan badan lahir saja, tetapi
juga kebersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan
rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam,
al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan
menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui
bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagaimana cara
bertaqarrub kepada Allah itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang
langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah muraqabah,
yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa
mengoreksi diri sendiri.
Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan
kebahagiaan. Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu.
Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan
kebahagiaan. Akhirnya, kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui
kebenaran dari sumber segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan
ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan
penyaksian hati yang sangat yakin.
C. AKHLAK
1.
Menurut Ibnu miskawaih
Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang
moralis berpendapat bahwa akhlak adalah suatu sikap mental yang mendorongnya untuk
berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan.[8]
Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali
pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan
beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya
cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni;
unsur watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan
bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta
sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara kehormatan diri ).[9]
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain;
hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka
sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus,
penakut, dan zalim.
2.
Menurut Ibn Bajjah
Ibn
Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi.
Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu,
perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasrkan atas pertimbangan rasio dan
kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa
dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi.
Secara ringkas ibn bajjah membagi tujuan pembuatan manusia
menajdi tiga tingkat sebagai berikut:
1.
Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada
tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
2.
Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah.
Tujuna ini akan melahirkan keutamaan akhlakiyah dan aqliyah.
3.
Tujuan rohaniah umum (rasio) dilakukan atas dasar kepuasan
pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah . inilah tingkat manusia yang
sempurna dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri ibn bajjah.[10]
D.
Politik
Ada banyak sekali tokoh-tokoh yang memliki pemikiran
yang menggugah dunia di Timur. Mereka muncul dari beberapa Negara yang
mempunyai kebudayaan dan agama yang berbeda seperti Islam, Cina dan India. Tapi
budaya dan agama itu juga yang menjadi persamaan ciri dari tokoh-tokoh ini.
Karena dasar-dasar pemikiran politik mereka masih sangat dipengaruhi ajaran
agama, dan warisan budaya mereka masing. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat
dan bandingkan perbedaan dan persamaan tersebut dalam penjelasan singkat
berikut:
1.
Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd sebagai seorang failosuf
bukanlah sesuatu yang asing, baik oleh umat. Islam atau non Islam terutama di
dunia Barat, karena ia terkenal dengan pemikiran filsafatnya, sehingga muncul
suatu ungkapan “Aristoteles dikembalikan tanpa basa basi ke Barat
yang merupakan dunianya bersama Averroes muridnya yang besar” Lain halnya membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang politik tidak
sepopuler dia sebagai seorang failosuf. Sejarah tidak bersikap adil terhadap
orang besar seperti Ibnu Rusyd mengenai jasanya dibidang politik. Kebesaran di
lapangan falsafat dibesar-besarkan di zaman pertengahan, baik hasil karyanya
yang mengagungkan, dan kebesarannya di bidang kedokteran, Astronomi dan
lapangan ilmu lainnya.
Tetapi di lapangan “politik” tidak
pernah disinggung kebesaran Ibnu Rusyd. Bukan tidak ada buku-buku hasil
karyanya di dalam politik, bukan tidak pernah dia bekerja dilapangan
pemerintahan. Dan tidak kurang pendapat yang dilahirkannya mempunyai nilai yang
tinggi. Anehnya sejarah tidak memasukkan Ibnu Rusyd sebagai seorang “politikus”
yang ulung, yang
sejajar kedudukannya dengan politik Islam lainnya.
Kendatipun demikian, ada beberapa alasan untuk menelusuri pemikiran
“politik” Ibnu Rusyd. pertama, pemerintahan Islam di tempat kelahirannya
(Andalusia) yang berjalan lebih kurang 8 abad yang mengakui kejayaannya, tidak
mungkin kosong sama sekali dari seorang politikus. Kedua, aktivitas Ibnu Rusyd
sendiri yang memberi komentar-komentar terhadap buku-buku dari
failosuf-failosuf Yunani (Aristoteles dan Plato), tidak masuk akal, sarjana
seperti Ibnu Rusyd tidak mempunyai apa-apa dalam Ilmu Politik. Ketiga, Ibnu
Rusyd termasuk salah seorang Failosuf muslim tidak mungkin meninggalkan satu
bagian dari falsafat yaitu “Ilmu Politik”.
Bukti beliau pernah berpolitik :Ibnu
Rusyd menjabat pekerjaan hakim dalam pemerintahan sampai tingkat yang tinggi
yaitu sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi all Jama’ah), jabatan
hakim dipangkunya selama 16 tahun (565 sampai 521H).
Ibnu Rusyd yang
dikenal sebagai bapak sekuler di dataran Barat ini membantah terhadap
pemerintahan yang diktator pada masanya: sebuah hukum yang dikatakan Ibn Rusyd
dengan istilah yang diciptakannya sendiri dengan istilah Wahdaniyyah Al-Tasalluth
(kekuasaan yang egois). Sebagaimana telah ia tegaskan bahwa pemimpin yang zalim
“alladzi yaqumu bi al-hukmi fi sabili nafsihi, la fi sabil ummah”
2. Menurut AL- FARABI
2. Menurut AL- FARABI
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[11]
Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal
sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan,
Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi
berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari
pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang
melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu,
kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan
pemberontakan.
3.
Ibnu khaldun
Ibnu khaldun mengemukan bahwa system politik itu
sangat diperlukan untuk terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut
amat relevan dengan kondisi manusia sebagai makhluk social-politik. Pemimpin
tidak harus memiliki jarak jauh dengan rakyat. Konsep kepemimpinan primusinterpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu khaldun.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Pemikiran politik merupakan bagian dari ilmu politik yang mengkhususkan diri
dalam penyelidikan tentang pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam bidang politik,
sejak dari dahulu kala di masa Yunani Kuno sampai ke masa sekarang. Dalam
pengertian lain juga disebutkan bahwa, pemikiran politik adalah suatu bagian
ilmu pengetahuan politik dimana nilai, moral, norma, dan etika selalu menjadi
pokok pembahasan yang tidak pernah absen. Kareana itu, mengesampingkan
pemikiran politik berarti mengesampingkan suatu unsur yang sangat agung dalam
studi politik.
E.
Sejarah
1.
Menurut Ibn
Maskawaih
Adapun menurut Ibn Maskawaih tentang
sejarah bersifat filosofis, ilmiah, dan kritis. Menurutnya, sejarah
bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan diri raja-raja dan
menghiburnya, tetapi lebih jauh merupakan pencerminan struktur politik, ekonomi
masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan
rekaman bangsa-bangsa atau Negara-negara tentang pasang surut kebudayaannya.
Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi
kesatuan organic, tetapi jugamenentukan bnetuk suatu yang akan datang.[12]
Ibu
miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis.
Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus
mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga
harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya,
sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi .
sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam
pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui
data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan
dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.
2.
Menurut Ibn
khaldun
muhsin Mahdi, dalam karyanya Ibnu
Kaldun’sphilosophy of history, berpendapat kata ‘ibrah yang
digunakan oleh ibn khaldun dalam bukunya, kadang-kadang berarti hikmah, pepatah
atau suri tauladan. Kata itu juga berarti pelajaran. Ibn khaldun menggunakan
kata itu karena memang sejarah mengandung pelajaran penting. Di dalam al Qur’an
dan hadis kata itu di pergunakan dalam pengertian teladan sejarah yakni
pelajaran yang dapat diambil dari sejarah.
Para sejarahwan muslim melihat sejarah dari sudut pandang tertentu karena
tekanan dari ayat al Qur’an dan hadis tersebut. Karena sejarahwan muslim selalu
mencari pelajaran yang terkandung dalam sejarah seakan-akan mereka hanya
melihat sejarah sebagai sesuatu yang harus memberikan pelajaran kepada mereka.
Filsafat sejarah dalam pengertian yang paling sederhana adalah tinjauan
terhadap peristiwa-peristiwa historis tersebut untuk kemudian menetapkan hukum-hukum
umum yang tetap yang mengarahkan perkembangan bangsa dan Negara dari generasi
kegenerasi.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Sesimpulan
Dalam memahami pemikiran filosof muslim kadang-kadang
kita mengalami kebingungan karena banyak sekali ungkapan filosof muslim yang
berbeda dengan kepercayaan kita, hal ini kurang lebihnya karena kita dalam
beragama langsung menerima apa yang didoktrinkan kepada kita sejak lahir,
berbeda dengan para filosof, mereka berusaha merasionalkan doktrin agama dengan
mengkritisi doktrin tersebut sebagai objek, sehingga di temukan hakikatnya. Pemikiran
para filosof adalah sebuah pemikiran yang bersifat ilmiah karena menggunakan
prinsip berfikir dengan metode yang telah ada dan disepakati keberadaannya dan
tersusun secara sistematis
B.
Saran
Dari para pemikiran filosof, kiranya
dapat dijadikan renungan buat kita bagaimana menyikapi dari kehidupan dunia
hinga proses menuju akhirat kelak. Semoga bermanfaat dan menjadi i’tibar bagi
kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Sirajudi Zar, M.A..filsafat islam filosof & filsafatnya,Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada 2010.
Hasyimsyah
Nasution, M.A. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Musa
Asy’ari, Filsafat islam sunnah Nabi
dalam berpikir, Yogyakarta: LESFI 2002.
Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Ahmad
Al Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka firdaus 2008.
[1]
Sirajudi Zar, M.A..filsafat islam filosof & filsafatnya,(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada 2010) hal 52.
[2]
Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999) hal 21.
[4]
Ibit,,,.hal 26
[6]
Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat islam sunnah Nabi dalam berpikir,
(Yogyakarta: LESFI 2002) hal 89.
[13] Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006)
hal 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar