View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

(Para Tokoh Filosof Kajiannya adalah Tentang Alam Ciptaan Tuhan, Etika, Akhlak, Politik dan Sejarah)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
          Kalaupun Islam muncul sebagai sistem peradaban yang mandiri, maka hal itu merupakan realitas sejarah yang tentu saja bukan untuk arah utama Islam sebagai agama yang hadir. Dalam arti, Allah mengutus Muhammad membawa Islam tentulah “tidak direncanakan” untuk muncul sebagai sebuah peradaban. Islam muncul sebagai sebuah agama dengan membawa aneka sistem keagamaan. Oleh karenanya, harus dipahami perbedaan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai peradaban.
            Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
            Filsafat Islam yang dipelopori oleh para filosof muslim timur telah mengembangkan sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat. Dimulai dari al-Kindi sebagai filosof Islam pertama kali, kemudian disusul oleh para filosof yang lainnya. Karena merupakan filosof yang pertama kali, maka al-Kindi dijuluki sebagai bapak filsafat Islam. Setelah masa al-Kindi, kemudian dilanjutkan oleh berbagai filosof yang masing-masing mengembangkan karakternya masing-masing. Setelah itu, filsafat dilanjutkan oleh al-Razi yang menolak perpaduan antara agama dengan filsafat. Karena menurutnya kebenaran yang sejati ini adalah kebenaran yang diperoleh dari filsafat. Sedangkan agama saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, untuk memperbaiki masyarakat, maka harus mengamalkan filsafat.
















BAB II
PEMBAHASAN
(Para Tokoh Filosof Kajiannya adalah Tentang
Alam Ciptaan Tuhan, Etika, Akhlak, Politik dan Sejarah)

A.             Alam Ciptaan Tuhan
1.        Menurut Al-kindi
penciptaan alam semesta sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturannya (sunnatullah) tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada menjadi ada atau menurut istilah yang digunakannya izh-har al-syai’an laisa. Pengertian qadim, menurut Al-Kindi, adalah tidak berpemulaan.[1]
Lebih lanjut lagi Al-Kindi berpendapat bahwa alam ini terdiri dari dua bagian, yakni alam yang terletak dibawah falak bulan dan alam yang merentang tinggi dari falak bulan sampai keujung alam. Jenis alam yang pertama terjadi empat unsur, yaitu air, api, udara, dan tanah. Keempat unsur tersebut bekualitas dingin, panas, kering, dan basah yang merupakan perlambang dari perubahan, pertumbuhan dan kemusnahan. Sedangkan pada jenis alam yang kedua tidak dijumpai keempat unsur dimaksud, karena itu tidak mengalami perubahan dan kemusnahan, dengan kata lain alam kedua tersebut abadi sifatnya.[2]
Adapun bumi ini yang terletak di bawah falak bulan, merupakan pusat alam. Sedangkan falak-falak ataupun benda-benda langit menurut al-Kindi adalah makhluk hidup, memiliki indera penglihatan yang di perlukan untuk dapat berpikir dan membedakan. Falak-falak tersebut merupakan sebab terdekat bagi planet bumi. Disebabkan gerak lingkaran yang kontinu ke sisi-sisi tertentu, maka timbulah berbagi kegiatan, kihidupan, dan makhluk di permukaan bumi ini, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[3]
2.                  Menurut Al-Razi
Allah adalah maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam di ciptakan Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada الايلجادمن الشىء) (, semestinya alam ini tidak kekal meskipun materi pertama kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[4]
3.                  Menurut ibn Thufail
Alam ini qadim dan juga bahru. Alam qadim karena Allah menciptakannya sejak azali. Tanpa didahului oleh zaman( taqaddum zamany). Dilihat dari esensinya, alam itu bahru karena terwujutnya alam (ma’lul) bergantung pada zat Allah. Ibn thufai memberikan contoh.
Sebagaimana ketika anda menggenggam suatu benda, kemudian anda gerakkan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak terlambat disegi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat. Demikianlah alam ini seluruhnya merupakan akibat dan diciptakan ole Allah tanpa zaman. Firman Allah: sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatua hanyalah berfirman kepada-Nya: jadilah, maka jadilah ia. (Q.S. Yasin[36]:50).[5]
4.                  Menurut Ibn Rusyd
Alam semesta justru merupakan ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian, karena sebelum Allah SWT menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan al-Quran, Allah telah menciptakan alam jagat raya ini. Karena alam adalah ayat, maka sebagaimana sepotong firman adalah ayat, maka sejengkal alam juga ayat. Sebagai ayat, alam ini selalu bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, penelitian terhadap alam diduga kuat dapat mengantar manusia menemukan dan meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya.
Sebagian pengkaji filsafat menilai bahwa Ibnu Rusyd memiliki dua pendapat tentang asal-usul alam. Kepada masyarakat awam, Ibnu Rusyd tidak berpendapat tentang Qadimnya alam, hanya sekedar mengemukakan teorinya tentang peciptaan alam, sedangkan dalam beberapa kitabnya untuk kajian filosofis, ia dengan tegas menguraikan argumentasi tentang keqidaman alam.
Walaupun demikian, pada hakikatnya Ibnu Rusyd melakukannya sekedar untuk menjaga keutuhan teorinya pada setiap karya-karyanya. Yang dimaksud dengan Qadimnya alam yaitu qadim hanya dari segi zaman, bukan dalam pengertian tidak memiliki ‘illah atau tidak diciptakan oleh Tuhan, dalam artian ia menolak pendapat bahwa materi adalah ‘illah bagi dirinya sendiri, sehingga tidak ada bedanya dengan dzat Tuhan.
Dalam penciptaan alam, sosok yang banyak dipengaruhi oleh madzhab Aristoteles ini menganut teori “Kausalitas” (hukum sebab akibat), dalam memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai pada hakikat dan eksistensi alam. Para teolog dan Imam Ghazali dalam karya monumentalnya (Tahfut al-Falasifah), menyatakan bahwa alam hadits dan mempercayai bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan sesuatu dari “tiada” (al-‘adam). Jika alam tidak bermula, maka alam tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibnu Rusyd dan para Filosof  Islam mengatakan bahwa alam adalah qodim, namun dengan kata lain diciptakan dari yg ada dahulu, yang mungkin terjadi adalah “ada” (maujud) yang awal kemudian berubah menjadi “ada” (maujud) dalam bentuk lain. Hal ini ia perkuat dengan mengusung dalil dalam al-Quran:
1. Surat Hud : ayat 7 ; dikatakan secara garis besar, bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air, yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan
 lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah air, tahta, dan masa.
2. Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.
3. Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Dari keterangan diatas, maka tampak bahwa kejadian alam terjadi dengan adanya “sebab akibat” (hukum kausalitas), namun al-Ghazali mengingkari hal ini. Untuk menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam “wujud” (yang berkaitan dengan hal ini):
1. Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
2. Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
3. Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan.
Para filosof  islam saling berbeda pendirian menghadapi teori-teori tersebut. Sebagian mereka mengikuti teori islam yang menetapkan bahwa alam adalah ciptaan tuhan, tidak qadim dan tidak azali. Sebagian yang lainnya lagi berpendapat,  bahwa alam adalah qadim, tetapi mereka berusaha menafsirkannya yang tidak mengingkari kekuasaan Tuhan yang dapat menciptakan segala sesuatu. Sebagian yang lainnya lagi berpendapat, alam ini merupakan rangkaian kejadian yang berasal dari zat Tuhan melalui “pelimpahan”(faidh).
B.      Etika
Etika adalah suatu cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tidakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bedasarkan pertimbangan pemikirannya.[6]
Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika. Sebagaimana Menurut Para Filosof Muslim berikut ini:
1.             Al-Farabi  
Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik. Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah persoalan kebahagiaan. Didalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia, al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :
§  Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar.
§  Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalam hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah).
§  Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.
§  Keutamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.
2.             Ikhwan al-Safa`
Adapun tentang moral etika, ikhwan al-Safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan, kasih sayang dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yang membara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam dan binatang liar sekalipun.[7]
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan kessuainya dengan data pengetahuan rasional dalm filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenanganya, ia tidak dapat mengetahui makna kitab suci dan ia tidak akan dapat beranjak kepada bola-bola langit dan secara langsung merenungkan apa yang ada disana.
3.             Al-Ghozali
Filsafat etika al-Ghozali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita temukan pada semboyan tasawuf  yang terkenal : al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala taqothil Basyathiyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala Taqhathil Basyathiyah.
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan sifat-sifat yang disukai Tuhan,sabar jujur, takwa, zuhud, ihlas beragama dan sebagainya. Dalam Ihya’ Ulmuddin itu, al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnyadalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas soal kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif  berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan. Akhirnya, kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran dari sumber segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin.
C.      AKHLAK
1.             Menurut Ibnu miskawaih
 Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak  adalah suatu sikap mental yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan.[8] Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.

Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara kehormatan diri ).[9]

Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
2.             Menurut Ibn Bajjah
Ibn Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan  dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasrkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi.
Secara ringkas ibn bajjah membagi tujuan pembuatan manusia menajdi tiga tingkat sebagai berikut:
1.        Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
2.        Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuna ini akan melahirkan keutamaan akhlakiyah dan aqliyah.
3.         Tujuan rohaniah umum (rasio) dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah . inilah tingkat manusia yang sempurna dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri ibn bajjah.[10]
D.             Politik
Ada banyak sekali tokoh-tokoh yang memliki pemikiran yang menggugah dunia di Timur. Mereka muncul dari beberapa Negara yang mempunyai kebudayaan dan agama yang berbeda seperti Islam, Cina dan India. Tapi budaya dan agama itu juga yang menjadi persamaan ciri dari tokoh-tokoh ini. Karena dasar-dasar pemikiran politik mereka masih sangat dipengaruhi ajaran agama, dan warisan budaya mereka masing. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat dan bandingkan perbedaan dan persamaan tersebut dalam penjelasan singkat berikut:
1.             Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd sebagai seorang failosuf bukanlah sesuatu yang asing, baik oleh umat. Islam atau non Islam terutama di dunia Barat, karena ia terkenal dengan pemikiran filsafatnya, sehingga muncul suatu ungkapan “Aristoteles dikembalikan tanpa basa basi ke Barat yang merupakan dunianya bersama Averroes muridnya yang besar” Lain halnya membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang politik tidak sepopuler dia sebagai seorang failosuf. Sejarah tidak bersikap adil terhadap orang besar seperti Ibnu Rusyd mengenai jasanya dibidang politik. Kebesaran di lapangan falsafat dibesar-besarkan di zaman pertengahan, baik hasil karyanya yang mengagungkan, dan kebesarannya di bidang kedokteran, Astronomi dan lapangan ilmu lainnya.
Tetapi di lapangan “politik” tidak pernah disinggung kebesaran Ibnu Rusyd. Bukan tidak ada buku-buku hasil karyanya di dalam politik, bukan tidak pernah dia bekerja dilapangan pemerintahan. Dan tidak kurang pendapat yang dilahirkannya mempunyai nilai yang tinggi. Anehnya sejarah tidak memasukkan Ibnu Rusyd sebagai seorang “politikus” yang ulung, yang sejajar kedudukannya dengan politik Islam lainnya.
Kendatipun demikian, ada beberapa alasan untuk menelusuri pemikiran “politik” Ibnu Rusyd. pertama, pemerintahan Islam di tempat kelahirannya (Andalusia) yang berjalan lebih kurang 8 abad yang mengakui kejayaannya, tidak mungkin kosong sama sekali dari seorang politikus. Kedua, aktivitas Ibnu Rusyd sendiri yang memberi komentar-komentar terhadap buku-buku dari failosuf-failosuf Yunani (Aristoteles dan Plato), tidak masuk akal, sarjana seperti Ibnu Rusyd tidak mempunyai apa-apa dalam Ilmu Politik. Ketiga, Ibnu Rusyd termasuk salah seorang Failosuf muslim tidak mungkin meninggalkan satu bagian dari falsafat yaitu “Ilmu Politik”.
Bukti beliau pernah berpolitik :Ibnu Rusyd menjabat pekerjaan hakim dalam pemerintahan sampai tingkat yang tinggi yaitu sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi all Jama’ah), jabatan hakim dipangkunya selama 16 tahun (565 sampai 521H).
Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai bapak sekuler di dataran Barat ini membantah terhadap pemerintahan yang diktator pada masanya: sebuah hukum yang dikatakan Ibn Rusyd dengan istilah yang diciptakannya sendiri dengan istilah Wahdaniyyah Al-Tasalluth (kekuasaan yang egois). Sebagaimana telah ia tegaskan bahwa pemimpin yang zalim “alladzi yaqumu bi al-hukmi fi sabili nafsihi, la fi sabil ummah”
2.         Menurut AL- FARABI         

Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[11]

Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.

Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.

Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.

3.             Ibnu khaldun
Ibnu khaldun mengemukan bahwa system politik itu sangat diperlukan untuk terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut amat relevan dengan kondisi manusia sebagai makhluk social-politik. Pemimpin tidak harus memiliki jarak jauh dengan rakyat. Konsep kepemimpinan primusinterpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu khaldun.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pemikiran politik merupakan bagian dari ilmu politik yang mengkhususkan diri dalam penyelidikan tentang pemikiran-pemikiran  yang terdapat dalam bidang politik, sejak dari dahulu kala di masa Yunani Kuno sampai ke masa sekarang. Dalam pengertian lain juga disebutkan bahwa, pemikiran politik adalah suatu bagian ilmu pengetahuan politik dimana nilai, moral, norma, dan etika selalu menjadi pokok pembahasan yang tidak pernah absen. Kareana itu, mengesampingkan pemikiran politik berarti mengesampingkan suatu unsur yang sangat agung dalam studi politik.
E.             Sejarah
1.             Menurut Ibn Maskawaih
Adapun menurut Ibn Maskawaih tentang sejarah bersifat filosofis, ilmiah, dan kritis. Menurutnya, sejarah bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan diri raja-raja dan menghiburnya, tetapi lebih jauh merupakan pencerminan struktur politik, ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau Negara-negara tentang pasang surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi kesatuan organic, tetapi jugamenentukan bnetuk suatu yang akan datang.[12]
Ibu miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya, sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi . sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.


2.             Menurut Ibn khaldun
muhsin Mahdi, dalam karyanya Ibnu Kaldun’sphilosophy of history, berpendapat kata ‘ibrah yang digunakan oleh ibn khaldun dalam bukunya, kadang-kadang berarti hikmah, pepatah atau suri tauladan. Kata itu juga berarti pelajaran. Ibn khaldun menggunakan kata itu karena memang sejarah mengandung pelajaran penting. Di dalam al Qur’an dan hadis kata itu di pergunakan dalam pengertian teladan sejarah yakni pelajaran yang dapat diambil dari sejarah.
Para sejarahwan muslim melihat sejarah dari sudut pandang tertentu karena tekanan dari ayat al Qur’an dan hadis tersebut. Karena sejarahwan muslim selalu mencari pelajaran yang terkandung dalam sejarah seakan-akan mereka hanya melihat sejarah sebagai sesuatu yang harus memberikan pelajaran kepada mereka. Filsafat sejarah dalam pengertian yang paling sederhana adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis tersebut untuk kemudian menetapkan hukum-hukum umum yang tetap yang mengarahkan perkembangan bangsa dan Negara dari generasi kegenerasi.[13]  







BAB III
PENUTUP
A.           Sesimpulan
Dalam memahami pemikiran filosof muslim kadang-kadang kita mengalami kebingungan karena banyak sekali ungkapan filosof muslim yang berbeda dengan kepercayaan kita, hal ini kurang lebihnya karena kita dalam beragama langsung menerima apa yang didoktrinkan kepada kita sejak lahir, berbeda dengan para filosof, mereka berusaha merasionalkan doktrin agama dengan mengkritisi doktrin tersebut sebagai objek, sehingga di temukan hakikatnya. Pemikiran para filosof adalah sebuah pemikiran yang bersifat ilmiah karena menggunakan prinsip berfikir dengan metode yang telah ada dan disepakati keberadaannya dan tersusun secara sistematis
B.            Saran
Dari para pemikiran filosof, kiranya dapat dijadikan renungan buat kita bagaimana menyikapi dari kehidupan dunia hinga proses menuju akhirat kelak. Semoga bermanfaat dan menjadi i’tibar bagi kita semua.






                                                      


DAFTAR PUSTAKA

Sirajudi Zar, M.A..filsafat islam filosof & filsafatnya,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010.
Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Musa Asy’ari,  Filsafat islam sunnah Nabi dalam berpikir, Yogyakarta: LESFI 2002.
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Ahmad Al Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka firdaus 2008.


[1] Sirajudi Zar, M.A..filsafat islam filosof & filsafatnya,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010) hal 52.
[2] Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) hal 21.
[3] Hasyimsyah Nasution,filsafat islam, hal 21.
[4] Ibit,,,.hal 26
[5] Sirajudi Zar, M.A..filsafat islam filosof,,,.hal 216.
[6] Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat islam sunnah Nabi dalam berpikir, (Yogyakarta: LESFI 2002) hal 89.
[7]Hasyimsyah Nasution,filsafat islam, hal 52
[8] Hasyimsyah Nasution,M.A. filsafat islam…, hal 61.
[9] Sirajudi Zar, M.A..filsafat islam filosof…,hal 136.
[10] Sirajudi Zar, M.A. filsafat islam filosof….,197
[11] Hasyimsyah Nasution,M.A. filsafat islam…, hal 40.
[12] Hasyimsyah Nasution,M.A. filsafat islam..., Hal 66.
[13] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) hal 143.

Tidak ada komentar: