BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan
hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi,
akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran
Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi
sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu
dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri
yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi.
Akan
tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan
al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi
oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu
antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan
hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan
tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis
Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab
kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya
mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutama pada zaman Nabi.
Pengkodifikasian
al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan
secara ahad, secara individual.Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam
ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada
masanya diijinkan Nabi untuk mencatat hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan
ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi
oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH HADIS PADA MASA
AWAL ISLAM
A. Metode Rasul dalam
Menyampaikan Hadis kepada Sahabat
Bahwa hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah
sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup
Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.)
memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau,
terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab
yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan
dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin
lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang
yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Dalam menyampaikan pengajaran, Nabi Saw. Memiliki metode
ataupun cara-cara tertentu mendidik sahabat-sahabatnya ke jalan sunnah.
Cara-cara itu merupakan bagian dari keberhasilan menejmen dakwah Nabi saw.
Merubah para sahabat menjadi generasi yang memiliki tingkat kepengikutan kepada
sunnah. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Husn
at-tarbiyah wa ta’lim. Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan dengan cara
yang baik sehingga sahabat merasa puas dengan kerangan dan prilaku Nabi. Beliau
adalah guru yang penuh keikhlasan, perhatian, kasih sayang, dan sopan dalam
penyampaikannya. Ketika berceramah Rasulullah saw memberikan keterangan yang
jelas dengan suara yang lantag dan tegas. Diriwayatkan bahwa ekpresi Nabi Saw.
Berpidato seakan-akan sebagai seorang komandan perang yang siap brtempur. Ia
penuh semangat dan antusias. Bahkan, ia tidak enggan untuk mengulang
penjelasannya ketiaka sahabat yang belum memahami uraiannya. Jika ada
pertanyaan, beliau memberikan jawab lebih dari yang ditanya oleh sipenanya.
2. Tadarruj.
Nabi memberikan pengajaran dengan cara bertahap sebagaimana Al-qur’an
diturunkan dengan metode yang sama. Kedudukan sunnah sebagai penjelas Al-qur’an
tentunya mengikuti pola gradualitas wahyu tersebut. Ini berarti Al-qur’an dan
sunnah sangat mempertimbangkan factor cultural, sosial, dan psikologi
masyarakat dalam menerima dan mengamalkan ajaran islam. Tahapan itu merupakan
hikmah terbesar di dalam persyariatan hukum Allah bagi manusia agar merusak ke
dalam setiap jiwa masyarakat.
3. Tanwi
wa taghyir. Dalam pada itu, Rasulullah saw. Memberikan pengajaran dengan car
memilah dan membagi masalah yang diajarkan agar sahabat mudah memahami dan
tidak merasa jemu. Demikian juga beliau merubah pola-pola penyampaian dan
pengajaran dengan variatif. Ini merupakan bagian dari manajemen pengajaran Nabi
yang dilakukannya agar sahabat sedikit demi sedikit tapi mampu memahami dan
mengamalkan sunnah. Sehingga, pendidikan islam tetap melekat di dalam setiap
relung hati sahabat.
4. Tatbiq
al-‘amali. Rasul tidak hanya memberikan penjelasan kepada sahabatnya tetapi
juga dalam berbagai kesempatan ia melakukan praktek langsung terhadap apa yang
disampaikannya. Misalnya, Rasul mengajarkan sejumalah ayat Al-qur’an kepada
sahabat, lalu menyuruh sahabat membacanya kembali, dan menerapkan dalam
kehidupan mereka. Usman bin affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya, setelah
mempelajari sepuluh ayat dari Nabi saw, biasanya mereka tidak menambahnya
sihingga mereka mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Mereka berkata, “kami
mempelajari Al-qur’an, ilmu, dan pengalamannya sekaligus.
5. Mura’ah
al-muustawayat al-muukhtalifah. Dalam melakukan pengajaran Rsul saw. Selalu
mempertimbangkan kondisi objektif, spikologis, dan kecerdasan orang yang
bertanya kepadanya. Rasul saw tidak menyama ratakan seluruh sahabat. Oleh sebab
itu, ditemukan pola pengajaran dan jawaban yang berbeda yang diberikan Rasul
saw. Kepada para sahabat. Rasul saw, pernah ditanya seorang sahabat tentang
amalan yang utama, Nabi menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda di antara
sipenanya. Misalnya, ketiaka Nabi ditanya tentang hal ini ia menjawab. “beriman
kepada Allah dan Rasulnya,”beliau ditanya lagi, “kemudian apa lagi? Beliau
menjawab,”jihad di jalan Allah.”beliau ditanya lagi,”kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab,” Haji mabrul”ketika Nabi ditanya oleh sahabat yang lain tentang pertamnyaan
yang sama beliau menjawabnya dengan muatan dan urutan yang berbeda. Beliau
mengatakan,”shalat pada waktunya,” berbakti kepada orang tua,”jihat dijalan
Allah, perbedaan materi jawaban itu dilatarbelakangi dari kondisi psikologis orang yang bertanya.
Jawaban itu disesuaikan Nabi berdasrkan
kebutuhan spikologi penanya. Jawaban itu merupakan penekanan Nabi untuk
perbaikan moralitas ke arah yang lebih baik orang yang bertanya tersebut.
6. Taisir
wa’adam at-tasydid. Ajaran Nabi saw. Bertitik tolak pada pengabdian diri kepada
Allah dan kemudahan umat manusia. Oleh sebab itu, hakikat islam adalah
pengabdian sekaligus kemaslehatan hidup manusia di dunia dan di akhirat,
melalui Anas Nabi saw. Pernah bersabda ,”permudahlah dan jangan mempersukar.”[1]
Berdasarkan keterangan di atas, di temukan bahwa dalam
mengajarkan sunnah kepada para sahabat, Nabi saw. Menggunakan cara-cara (metode)
pengajaran. Efektivitas metode pengajaran itu telah terbukti di dalam sejarah
umat islam. Sahabat-sahabat Nabi adalah generasi terbaik dalam mengamalkan
sunnah. Meraka mendapat langsung dari Nabi saw. Dengan metode yang selaras
dengan kultur, psikologis, kecerdasan dan kebutuhan sahabat. Sehingga mereka
tercerahkan dari kejahilan. Oleh sebab itu, sahabat Nabi saw. Mampu memahami
ajaran islam, mengamalkannya, dan sekaligus menyatukannya dalam jiwa mereka.
Ini sebuah fakta reformasi pendidikan moral, cultural, dan spiritual yang
paling sukses dalam sejarah dunia.
B.
Cara-cara Sahabat Memperoleh Hadits Nabi.
Hadis-hadis nabi yang terhimpun
didalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para
sahabat dalam menerima dan memelihara hadis di masa Rasulullah saw dahulu. Apa
yang diterima oleh para sahabat dari Nabi disamapaikan pula oleh mereka kepada
sahabat yang lain yang tidak hadir pada saat itu dan selanjutnya mereka
menyampaikan kepada generasi berikutnya, dan demikian seterusnya hingga sampai
kepada para perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadis.
Cara penerimaan hadis pada masa Rasulullah
Saw tidaklah sama dengan cara penerimaan generasi selanjutnya. Penerimaan hadis
pada masa Rasulullah Saw dilakukan oleh para sahabat dekat beliau, seperti
Khulafaur Rasyidindan kalangan sahabat utama lainnya. Para sahabat pada masa
nabi minat yang besar untuk memperoleh hadis pada masa Rasulullah saw, oleh
karena itu mereka berusaha keras mengikuti Nabi Saw. Agar ucapan, perbuatan dan
taqrir beliau dapat mereka terima atau mereka lihat sacara langsung. Apabila diantara
mereka yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti
atau hadir bersama Nabi ketika itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh dari
beliau.
Ada empat cara yang ditempuh oleh
para sahabat untuk memperoleh hadis Nabi Saw.
1. Mendatangi majlis-majlis taklim yang diadakan
Rasulullah Saw. Rasulullah selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk
mengajarkan ajaran-ajaran islam kepada para sahabat. Para sahabat selalu
berusaha untuk menghadiri majlis tersebut meskipun mereka sibuk dengan pekerjan
masing-masing, seperti mengembala ternak atau berdagang. Apabila mereka
berhalangan, maka mereka bergantian menghadiri majlis terebut sebagaimana yang
dilakukan Umar dan tetangganya. Yang hadir memberi tahu informasi yang mereka
dapatkan kepada yang tidak hadir.
2. Kadang-kadang Rasul sendiri menghadapi
peristiwa tertentu, kemudian beliau menjelskan hukumnya kepada para sahabat.
Apalagi para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut jumlahnya banyak,
maka berita tentang peristiwa tersebut jumlahnya banyak, maka berita tentang
peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun, apabila yang hadir hanya
sedikit, maka Rasulullah memerintahkan mereka yang hadir untuk
memberitahukannya kepada sahabat yang lain yang kebetulan tidak hadir.
3. Kandang-kadang terjadi sejumlah peristiwa
pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah
dan Rasulullah memberi fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut.
Kasus yang terjadi adakalanya mengenai diri sipenanya sendiri, namun tidak
jarang pula terjadi pada diri sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau
didengarnya.
4.
Kadang-kadang
para sahabat menyaksikan Rasulullah Saw melakukan perbuatan, dan sering kali
yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat,
haji dan lainnya. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut, kemudian
menyaksikannya kepada yang lainnya atau
generasi sesudahnya.[2]
C.
Kehati-hatian Sahabat dalam Menerima Periwayatan Hadits.
Para sahabat mengetahui kedudukan
hadis maka mereka berpegang teguh padanya dan mengikuti atsar-atsar Rasulullah
Saw. Mereka tidak menyalahi hadis jika mereka menyakini kebenarannya,
sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari hadis warisan beliau.
Mereka sangat hati-hati dalam menerima hadis dari Raulullah saw. Karena khawatir
berbuat kesalahan dan takut hadis yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau
pengubahan.
Kehati-hatian dan usaha membatasi
periwayatan yang di lakukan oleh para sahabat, disebabkan karena mereka khwatir
terjadi kekeliruan, yang pada hal mereka sadari bahkan hadis sumber tasyri’
setelah Al-qur’an, yang harus terjaga dalam kekeliruan sebagaimana Al-qur’an.
Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafaur rasydin (Abu Bakar, Umar Usman
dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibnu Abbas dan Abu ‘Ubaidah
berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
Abu Bakar sebagai mana khalifah yang
pertama menunjukan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut al-Dzahabi, Abu
bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan
oleh ibn Syihab dari Qabishah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada
Abu Bakar soal bagian warisan untuk diri nya. Ketika ia menyatakan bahwa hal
itu tidak ditemukan hukumnya baik dalam Al-qur’an maupun hadis. Al-Mughirah
menyebutkan, bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Abu bakar kemudian meminta
supaya Al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru hadisnya diterima.
Setelah Rasulullah Saw wafat Abu
Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka ia berkata: “kalian
meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah Saw yang di perselisihkan orang-orang
setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah mereka
meriwayatkan hadis tersebut.
Sikap kehati-hatian di tunjukkan
oleh Umar ibn Khatab. Ia seperti hanyan Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi
jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi, untuk masalah tertentu,
seperti hadis-hadis Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh Usman. Ali,
Selain dengan cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
Perlu juga dijelaskan disini, bahwa
pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu
kitab, seperti halnya Al-qur’an. Hal ini di sebabkan agar tidak memalingkan
perhatian atau kekususan mereka(umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Sebab
lain pula, bahwa para sahabat banyak menerima hadis dari Rasulullah Saw sesudah
tersebar di berbagai daerah kekuasan islam, dengan kesibukanya masing-masing
sebagai Pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan
mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya bahwa soal mebukukan hadis,
dikalangan para sahabat sendri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya.
Jadi, para
sahabat selama khalifaur rasydin sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadis
dan sangat teliti mengenai huruf dan maknanya. Karena itu kita lihat sebagian
mereka, sekalipun banyak menerima hadis dari Rsulullah Saw tidak banyak meriwayatkan
hadis pada masa itu. Bahkan, ada yang tidak meriwayatkan satupun hadis
Rasulullah. Ada juga di antara mereka yang bergetar badannya dan berubah warna
kulitnya karena sikap wara’dan hormat terhadap hadis Rasulullah saw.[3]
D.
Cara-cara Pemeliharaan Hadis Pada Masa Nabi
Para sahabat Nabi dalam pemeliharaan
hadis dengan dua cara.
1.
Melalui Hafalan.
Hadis Nabi
yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang
dicatat. Tradisi hafalan
yang merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharan dan
pengembangan pengetauhuan, dan orang-orang Arab terkenal mempumyai kekuatan
hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa
penulisan hadis tidak diperkenankan. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya
Abu Hurairah. Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan
menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a. Dinyatakan
secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan
utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai
utusan Allah yang harus ditaati olehmereka.
b. Allah
dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang
berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha
memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan
adalah Nabi sendiri.
c. Nabi
memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang
tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih
paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini
telah mendorong
para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Setelah
melihat perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup
khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar,
karena pada umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin
disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita
yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa. Di samping itu Nabi juga
khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis,
bahkan tidak mungkin ada percampuran (infiltrasi) baik secara langsung maupun
tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna hadis. Kekhawatiran
dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa yang
kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu
yang selain al-Qur’an hendaklah
dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
2.
Melalui pencatatan(Taqyidl kitabah)
Tradisi
tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis
sudah di bukukan sejak zaman Nabi
tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak di bukukannya hadis secara resmi
saat itu, sedang sahabat menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan
dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi tidak ditemuakan tanda-tandanya. Sedangkan sahabat Nabi yang membuat
catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Sebagian
ulama berpendapat, pada masa telah terjadi penulisan hadis, misalnya tentang
surat-surat Nabi tentang ajakan-ajakan memeluk agama islam kepada sejumlah
pejabat dan kepala Negara yang belum memeluk agama islam. Namun penulisan hadis
pada masa Nabi belum resmi.[4]
Ulama
hadis berpendapat bahwa Al- qur’an memperoleh perhatian penuh dari Rasulullah
Saw dan sahabat. Rasulullah Saw memerintahkan sahabat untuk menulisnya
keping-keping tulang, pelapah kurma, batu dan lain-lain. Hadis walau pun
merupakan sumber kedua setelah Al-qur’an namun tidak memperoleh perhatian yang
demikian, hadis tidak di tulis secara resmi, tidak diperintahkan orang
menulisnya sebagaimana perintah menulis Al-qur’an.[5]
Lebih jauh
Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang
melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut
dia adalah:
1. Mentadwinkan
ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah sesuatu yang
sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai
Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang
yang
dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca:masyarakat ummiyyun).
2. Sebagaimana
telah disinggung diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi
di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang
mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab
itu- mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur,
dibanding menghafal hadis.
3. Karena
dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan hadis jika
terjadi penulisan hadis.
E.
Pencatatan Hadis Pada Masa Nabi
Sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa sebahagian sahabat sempat menulis sekumpulan hadis
dimasa hidup Rasulullah saw. Diantara meraka ada yang menulis dengan izin
khusus Rasul saw, dikecualikan dari larangan umum. Namun, secara global mereka mencatat
apa yang mereka himpun baru pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi, setelah
ia memberikan izin kepada siapa saja yang ingin dan sanggup melakukan
pencatatan hadis
Pencatatan hadis pada masa
Rasulullah saw seperti tulisan Abdullah bin amr bin al-Ash. Koleksi hadis ini
termaksuk sebagai ash-shahifah ash-shadiqah. Abdullah bin amr bin al-Ash bahwa
ia menulis sendiri shahifah ini. “Ash-shadiqah adalah ash shahifah yang ku
tulis dari Rasulullah saw.”disini terhimpun seribu hadis Rasulullah . shahifah
dalam tulisan tangan Abdullah bin amr bin al-Ash tidak ditemui sekarang namun
isi nya terhimpun di dalam kitab-kitab hadis terutama dalam musnad Ahmad.[6]
Tulisan Abdullah di
atas diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mendatangi
Rasulullah untuk meminta legetimasi Rasul saw. “bolehkah Aku menulis apa saja
yang aku dengar ? Rasul saw. Bersabda ,” Ya. Sungguh aku hanya mengatakan
kebenaran dalam hal itu .abdullah bin Amr karena sayangnya kepada shahifah ini,
ia tidak memperolehkan sembarangan orang mengambilnya.
Kebenaran adanya shahifah shadiqah
dan shahifah-shahifah lain; diakui oleh ucapan Abu Hurairah, tak seorang pun
diantara para sahabat Rasulullah saw, yang lebih banyak menulis hadisnya
daripadaku, kecuali ibn Amr, karena dia terus menulis dan aku tidak.[7]
Abu Bakar juga pernah menulis, ia
berhasil menghimpun hadis-hadis Nabi saw, dalam sebuah kitab. Jumlah mencapai
500 buah, tapi kemudian ia musnahkannya, karena ia was-was menulis sesuatu yang
tidak dihafalnya dengan baik.[8] Pada
masa khulafaur-rasyidin, keadaan masih belum banyak berubah. Sikap kulafaur
rasyidin yang memperketat periwayatan
dan menjauhi penulisan, merupakan perpanjangan pendapat para sahabat lain di
masa Rasulullah. Sebagaimana yang di kemukan oleh Abu Bakar misalnya yang
sempat menghimpun sejumlah hadis, kemudian membakarnya. Umar bin Al katab
mempertimbangkan penulisan sunnah, namun tidak jadi melakukannya.”Dari urwah
bin az-Zubaier bahwa Umar bin al-kattab ingin menulis hadis. Ia lalu meminta
pendapat kepada para sahabat Rasulullah dan umumnya mereka menyetujuinya.
Tetapi ia masih ragu, kemudian ia selama satu bulan melakukan istikharah,
memohon petunjuk kepada Allah, Umar
berkata,”Aku telah menuturkan kepada kalian tentang penulisan kitab hadis, dan
kalian tahu itu. Kemudian aku teringat bahwa para kitab sebelum kalian telah
menulis beberapa kitab di samping kitab Allah, tenyata meraka menjadi lengah
dan meninggalkan kitab Allah, dan Aku, demi Allah, tidak akan mengaburkan kitab
Allah dengan sesuatu apapuan untuk selama-lamanya.”Umar pun lalu membatalkan
niatnya menulis kitab hadis.
Belakangan, diketahui bahwa Abu
Bakar dan Umar menulis hadis atau menganjurkannya. Hal ini misalnya di temukan
di dalam jam’ul oleh As-Suyuthi, tentang surat Abu Bakar kepada Anas mengenai
kewajiban zakat: yang di wajibkan oleh Rasullah saw, kepada kaum muslimin
.kemudian, ditemukan pula di dalam al muhaddits al fashil oleh ar-Ramahurmuzi.
Umar mengulangi ungkapan Nabi saw.’Ikatlah Ilmu dengan tulisan”begitu pula Ali
bin Abi thalib menganjurkan pencatatan ilmu. Ia juga dikenal sebagai orang yang
mengatakan,”ikatlah ilmu dengan tulisan.”ucapan ini sering di ulang-ulang oleh
banyak sahabat sebagai legetimasi penulisan.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hafan yang merupakan salah satu
tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharan dan pengembangan pengetauhuan,
dan orang-orang Arab terkenal mempumyai kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan
para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak
diperkenankan, namun ternyata tradsi penulisan hadis sudah dilakukan sejak
zaman Nabi.
Tradisi
tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis
sudah di bukukan sejak zaman Nabi
tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak di bukukannya hadis secara resmi
saat itu, sedang sahabat menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan
dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi tidak ditemuakan tanda-tandanya.
Rasulullah
Saw hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya, meraka selalu bertemu dan
berinteraksi dengan beliau secara bebas. Seluruh perbuatan Rasulullah Saw,
demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para
sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para
sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk
mengetahui segala apa yang disabdakan oleh Nabi. Mereka tentu meyakini bahwa
mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang di perintahkan Nabi.
[2] Nawir Salim, Ulumul Hadis.(Jakarta: PT Mutiara Sumber
Widya 1998), hal 88-91
[3] M. Ajaj al-khatib, Hadis Nabi sebelu di bukukan,(Jakarta:
Gema insane press 1999), hal 125
[4] Arifuddin Ahmad, Paradigma baru Memahami Hadis Nabi,
(Jakarta: Ranaisan, 2006), hal 32.
[5]T Muhammad Hasbi
ash-shiddieqi, sejarah dan pengantar ilmu
Hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 31.
[8] Ibit …, hal 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar