View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

SEJARAH HADIS PADA MASA AWAL ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
     Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi.
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutama pada zaman Nabi.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual.Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan.
















BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH HADIS PADA MASA AWAL ISLAM
A. Metode Rasul dalam Menyampaikan Hadis  kepada Sahabat
Bahwa hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Dalam menyampaikan pengajaran, Nabi Saw. Memiliki metode ataupun cara-cara tertentu mendidik sahabat-sahabatnya ke jalan sunnah. Cara-cara itu merupakan bagian dari keberhasilan menejmen dakwah Nabi saw. Merubah para sahabat menjadi generasi yang memiliki tingkat kepengikutan kepada sunnah. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Husn at-tarbiyah wa ta’lim. Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan dengan cara yang baik sehingga sahabat merasa puas dengan kerangan dan prilaku Nabi. Beliau adalah guru yang penuh keikhlasan, perhatian, kasih sayang, dan sopan dalam penyampaikannya. Ketika berceramah Rasulullah saw memberikan keterangan yang jelas dengan suara yang lantag dan tegas. Diriwayatkan bahwa ekpresi Nabi Saw. Berpidato seakan-akan sebagai seorang komandan perang yang siap brtempur. Ia penuh semangat dan antusias. Bahkan, ia tidak enggan untuk mengulang penjelasannya ketiaka sahabat yang belum memahami uraiannya. Jika ada pertanyaan, beliau memberikan jawab lebih dari yang ditanya oleh sipenanya.
2.      Tadarruj. Nabi memberikan pengajaran dengan cara bertahap sebagaimana Al-qur’an diturunkan dengan metode yang sama. Kedudukan sunnah sebagai penjelas Al-qur’an tentunya mengikuti pola gradualitas wahyu tersebut. Ini berarti Al-qur’an dan sunnah sangat mempertimbangkan factor cultural, sosial, dan psikologi masyarakat dalam menerima dan mengamalkan ajaran islam. Tahapan itu merupakan hikmah terbesar di dalam persyariatan hukum Allah bagi manusia agar merusak ke dalam setiap jiwa masyarakat.
3.      Tanwi wa taghyir. Dalam pada itu, Rasulullah saw. Memberikan pengajaran dengan car memilah dan membagi masalah yang diajarkan agar sahabat mudah memahami dan tidak merasa jemu. Demikian juga beliau merubah pola-pola penyampaian dan pengajaran dengan variatif. Ini merupakan bagian dari manajemen pengajaran Nabi yang dilakukannya agar sahabat sedikit demi sedikit tapi mampu memahami dan mengamalkan sunnah. Sehingga, pendidikan islam tetap melekat di dalam setiap relung hati sahabat.
4.      Tatbiq al-‘amali. Rasul tidak hanya memberikan penjelasan kepada sahabatnya tetapi juga dalam berbagai kesempatan ia melakukan praktek langsung terhadap apa yang disampaikannya. Misalnya, Rasul mengajarkan sejumalah ayat Al-qur’an kepada sahabat, lalu menyuruh sahabat membacanya kembali, dan menerapkan dalam kehidupan mereka. Usman bin affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya, setelah mempelajari sepuluh ayat dari Nabi saw, biasanya mereka tidak menambahnya sihingga mereka mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Mereka berkata, “kami mempelajari Al-qur’an, ilmu, dan pengalamannya sekaligus.
5.      Mura’ah al-muustawayat al-muukhtalifah. Dalam melakukan pengajaran Rsul saw. Selalu mempertimbangkan kondisi objektif, spikologis, dan kecerdasan orang yang bertanya kepadanya. Rasul saw tidak menyama ratakan seluruh sahabat. Oleh sebab itu, ditemukan pola pengajaran dan jawaban yang berbeda yang diberikan Rasul saw. Kepada para sahabat. Rasul saw, pernah ditanya seorang sahabat tentang amalan yang utama, Nabi menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda di antara sipenanya. Misalnya, ketiaka Nabi ditanya tentang hal ini ia menjawab. “beriman kepada Allah dan Rasulnya,”beliau ditanya lagi, “kemudian apa lagi? Beliau menjawab,”jihad di jalan Allah.”beliau ditanya lagi,”kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,” Haji mabrul”ketika Nabi ditanya oleh sahabat yang lain tentang pertamnyaan yang sama beliau menjawabnya dengan muatan dan urutan yang berbeda. Beliau mengatakan,”shalat pada waktunya,” berbakti kepada orang tua,”jihat dijalan Allah, perbedaan materi jawaban itu dilatarbelakangi  dari kondisi psikologis orang yang bertanya. Jawaban itu disesuaikan  Nabi berdasrkan kebutuhan spikologi penanya. Jawaban itu merupakan penekanan Nabi untuk perbaikan moralitas ke arah yang lebih baik orang yang bertanya tersebut.
6.      Taisir wa’adam at-tasydid. Ajaran Nabi saw. Bertitik tolak pada pengabdian diri kepada Allah dan kemudahan umat manusia. Oleh sebab itu, hakikat islam adalah pengabdian sekaligus kemaslehatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, melalui Anas Nabi saw. Pernah bersabda ,”permudahlah dan jangan mempersukar.”[1]
Berdasarkan keterangan di atas, di temukan bahwa dalam mengajarkan sunnah kepada para sahabat, Nabi saw. Menggunakan cara-cara (metode) pengajaran. Efektivitas metode pengajaran itu telah terbukti di dalam sejarah umat islam. Sahabat-sahabat Nabi adalah generasi terbaik dalam mengamalkan sunnah. Meraka mendapat langsung dari Nabi saw. Dengan metode yang selaras dengan kultur, psikologis, kecerdasan dan kebutuhan sahabat. Sehingga mereka tercerahkan dari kejahilan. Oleh sebab itu, sahabat Nabi saw. Mampu memahami ajaran islam, mengamalkannya, dan sekaligus menyatukannya dalam jiwa mereka. Ini sebuah fakta reformasi pendidikan moral, cultural, dan spiritual yang paling sukses dalam sejarah dunia.
B. Cara-cara Sahabat Memperoleh Hadits Nabi.
            Hadis-hadis nabi yang terhimpun didalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadis di masa Rasulullah saw dahulu. Apa yang diterima oleh para sahabat dari Nabi disamapaikan pula oleh mereka kepada sahabat yang lain yang tidak hadir pada saat itu dan selanjutnya mereka menyampaikan kepada generasi berikutnya, dan demikian seterusnya hingga sampai kepada para perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadis.
            Cara penerimaan hadis pada masa Rasulullah Saw tidaklah sama dengan cara penerimaan generasi selanjutnya. Penerimaan hadis pada masa Rasulullah Saw dilakukan oleh para sahabat dekat beliau, seperti Khulafaur Rasyidindan kalangan sahabat utama lainnya. Para sahabat pada masa nabi minat yang besar untuk memperoleh hadis pada masa Rasulullah saw, oleh karena itu mereka berusaha keras mengikuti Nabi Saw. Agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau mereka lihat sacara langsung. Apabila diantara mereka yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi ketika itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh dari beliau.
            Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk memperoleh hadis Nabi Saw.
1.      Mendatangi majlis-majlis taklim yang diadakan Rasulullah Saw. Rasulullah selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran islam kepada para sahabat. Para sahabat selalu berusaha untuk menghadiri majlis tersebut meskipun mereka sibuk dengan pekerjan masing-masing, seperti mengembala ternak atau berdagang. Apabila mereka berhalangan, maka mereka bergantian menghadiri majlis terebut sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya. Yang hadir memberi tahu informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak hadir.
2.      Kadang-kadang Rasul sendiri menghadapi peristiwa tertentu, kemudian beliau menjelskan hukumnya kepada para sahabat. Apalagi para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut jumlahnya banyak, maka berita tentang peristiwa tersebut jumlahnya banyak, maka berita tentang peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun, apabila yang hadir hanya sedikit, maka Rasulullah memerintahkan mereka yang hadir untuk memberitahukannya kepada sahabat yang lain yang kebetulan tidak hadir.
3.      Kandang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah dan Rasulullah memberi fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang terjadi adakalanya mengenai diri sipenanya sendiri, namun tidak jarang pula terjadi pada diri sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau didengarnya.
4.       Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah Saw melakukan perbuatan, dan sering kali yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut, kemudian menyaksikannya kepada yang lainnya  atau generasi sesudahnya.[2]
C. Kehati-hatian Sahabat dalam Menerima Periwayatan Hadits.
            Para sahabat mengetahui kedudukan hadis maka mereka berpegang teguh padanya dan mengikuti atsar-atsar Rasulullah Saw. Mereka tidak menyalahi hadis jika mereka menyakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari hadis warisan beliau. Mereka sangat hati-hati dalam menerima hadis dari Raulullah saw. Karena khawatir berbuat kesalahan dan takut hadis yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan.
            Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang di lakukan oleh para sahabat, disebabkan karena mereka khwatir terjadi kekeliruan, yang pada hal mereka sadari bahkan hadis sumber tasyri’ setelah Al-qur’an, yang harus terjaga dalam kekeliruan sebagaimana Al-qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafaur rasydin (Abu Bakar, Umar Usman dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibnu Abbas dan Abu ‘Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
            Abu Bakar sebagai mana khalifah yang pertama menunjukan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut al-Dzahabi, Abu bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn Syihab dari Qabishah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk diri nya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya baik dalam Al-qur’an maupun hadis. Al-Mughirah menyebutkan, bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Abu bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru hadisnya diterima.
            Setelah Rasulullah Saw wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka ia berkata: “kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah Saw yang di perselisihkan orang-orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah mereka meriwayatkan hadis tersebut.
            Sikap kehati-hatian di tunjukkan oleh Umar ibn Khatab. Ia seperti hanyan Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi, untuk masalah tertentu, seperti hadis-hadis Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh Usman. Ali, Selain dengan cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
            Perlu juga dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya Al-qur’an. Hal ini di sebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekususan mereka(umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat banyak menerima hadis dari Rasulullah Saw sesudah tersebar di berbagai daerah kekuasan islam, dengan kesibukanya masing-masing sebagai Pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya bahwa soal mebukukan hadis, dikalangan para sahabat sendri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya.
Jadi, para sahabat selama khalifaur rasydin sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadis dan sangat teliti mengenai huruf dan maknanya. Karena itu kita lihat sebagian mereka, sekalipun banyak menerima hadis dari Rsulullah Saw tidak banyak meriwayatkan hadis pada masa itu. Bahkan, ada yang tidak meriwayatkan satupun hadis Rasulullah. Ada juga di antara mereka yang bergetar badannya dan berubah warna kulitnya karena sikap wara’dan hormat terhadap hadis Rasulullah saw.[3]
D. Cara-cara Pemeliharaan Hadis Pada Masa Nabi
            Para sahabat Nabi dalam pemeliharaan hadis dengan dua cara.
1.      Melalui Hafalan.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Tradisi hafalan yang merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharan dan pengembangan pengetauhuan, dan orang-orang Arab terkenal mempumyai kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah. Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a.       Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati olehmereka.
b.      Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
c.       Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Setelah melihat perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa. Di samping itu Nabi juga khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis, bahkan tidak mungkin ada percampuran (infiltrasi) baik secara langsung maupun tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna hadis. Kekhawatiran dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).  
2.      Melalui pencatatan(Taqyidl kitabah)
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis sudah di bukukan sejak zaman  Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak di bukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemuakan tanda-tandanya. Sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Sebagian ulama berpendapat, pada masa telah terjadi penulisan hadis, misalnya tentang surat-surat Nabi tentang ajakan-ajakan memeluk agama islam kepada sejumlah pejabat dan kepala Negara yang belum memeluk agama islam. Namun penulisan hadis pada masa Nabi belum resmi.[4]
Ulama hadis berpendapat bahwa Al- qur’an memperoleh perhatian penuh dari Rasulullah Saw dan sahabat. Rasulullah Saw memerintahkan sahabat untuk menulisnya keping-keping tulang, pelapah kurma, batu dan lain-lain. Hadis walau pun merupakan sumber kedua setelah Al-qur’an namun tidak memperoleh perhatian yang demikian, hadis tidak di tulis secara resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya sebagaimana perintah menulis Al-qur’an.[5]
Lebih jauh Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah:
1.      Mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca:masyarakat ummiyyun).
2.      Sebagaimana telah disinggung diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab itu- mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur, dibanding menghafal hadis.
3.      Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan hadis jika terjadi penulisan hadis.
E. Pencatatan Hadis Pada Masa Nabi
            Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sebahagian sahabat sempat menulis sekumpulan hadis dimasa hidup Rasulullah saw. Diantara meraka ada yang menulis dengan izin khusus Rasul saw, dikecualikan dari larangan umum. Namun, secara global mereka mencatat apa yang mereka himpun baru pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi, setelah ia memberikan izin kepada siapa saja yang ingin dan sanggup melakukan pencatatan hadis
            Pencatatan hadis pada masa Rasulullah saw seperti tulisan Abdullah bin amr bin al-Ash. Koleksi hadis ini termaksuk sebagai ash-shahifah ash-shadiqah. Abdullah bin amr bin al-Ash bahwa ia menulis sendiri shahifah ini. “Ash-shadiqah adalah ash shahifah yang ku tulis dari Rasulullah saw.”disini terhimpun seribu hadis Rasulullah . shahifah dalam tulisan tangan Abdullah bin amr bin al-Ash tidak ditemui sekarang namun isi nya terhimpun di dalam kitab-kitab hadis terutama dalam musnad Ahmad.[6]
Tulisan Abdullah di atas diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mendatangi Rasulullah untuk meminta legetimasi Rasul saw. “bolehkah Aku menulis apa saja yang aku dengar ? Rasul saw. Bersabda ,” Ya. Sungguh aku hanya mengatakan kebenaran dalam hal itu .abdullah bin Amr karena sayangnya kepada shahifah ini, ia tidak memperolehkan sembarangan orang mengambilnya.
            Kebenaran adanya shahifah shadiqah dan shahifah-shahifah lain; diakui oleh ucapan Abu Hurairah, tak seorang pun diantara para sahabat Rasulullah saw, yang lebih banyak menulis hadisnya daripadaku, kecuali ibn Amr, karena dia terus menulis dan aku tidak.[7] 
            Abu Bakar juga pernah menulis, ia berhasil menghimpun hadis-hadis Nabi saw, dalam sebuah kitab. Jumlah mencapai 500 buah, tapi kemudian ia musnahkannya, karena ia was-was menulis sesuatu yang tidak dihafalnya dengan baik.[8] Pada masa khulafaur-rasyidin, keadaan masih belum banyak berubah. Sikap kulafaur rasyidin  yang memperketat periwayatan dan menjauhi penulisan, merupakan perpanjangan pendapat para sahabat lain di masa Rasulullah. Sebagaimana yang di kemukan oleh Abu Bakar misalnya yang sempat menghimpun sejumlah hadis, kemudian membakarnya. Umar bin Al katab mempertimbangkan penulisan sunnah, namun tidak jadi melakukannya.”Dari urwah bin az-Zubaier bahwa Umar bin al-kattab ingin menulis hadis. Ia lalu meminta pendapat kepada para sahabat Rasulullah dan umumnya mereka menyetujuinya. Tetapi ia masih ragu, kemudian ia selama satu bulan melakukan istikharah, memohon petunjuk kepada  Allah, Umar berkata,”Aku telah menuturkan kepada kalian tentang penulisan kitab hadis, dan kalian tahu itu. Kemudian aku teringat bahwa para kitab sebelum kalian telah menulis beberapa kitab di samping kitab Allah, tenyata meraka menjadi lengah dan meninggalkan kitab Allah, dan Aku, demi Allah, tidak akan mengaburkan kitab Allah dengan sesuatu apapuan untuk selama-lamanya.”Umar pun lalu membatalkan niatnya menulis kitab hadis.
            Belakangan, diketahui bahwa Abu Bakar dan Umar menulis hadis atau menganjurkannya. Hal ini misalnya di temukan di dalam jam’ul oleh As-Suyuthi, tentang surat Abu Bakar kepada Anas mengenai kewajiban zakat: yang di wajibkan oleh Rasullah saw, kepada kaum muslimin .kemudian, ditemukan pula di dalam al muhaddits al fashil oleh ar-Ramahurmuzi. Umar mengulangi ungkapan Nabi saw.’Ikatlah Ilmu dengan tulisan”begitu pula Ali bin Abi thalib menganjurkan pencatatan ilmu. Ia juga dikenal sebagai orang yang mengatakan,”ikatlah ilmu dengan tulisan.”ucapan ini sering di ulang-ulang oleh banyak sahabat sebagai legetimasi penulisan.[9]















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Hafan yang merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharan dan pengembangan pengetauhuan, dan orang-orang Arab terkenal mempumyai kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradsi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
            Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis sudah di bukukan sejak zaman  Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak di bukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemuakan tanda-tandanya. 
            Rasulullah Saw hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya, meraka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Seluruh perbuatan Rasulullah Saw, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan oleh Nabi. Mereka tentu meyakini bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang di perintahkan Nabi.






[1][1] Ramli Abdul Wahid,MA. Studi Ilmu Hadis, (Bandung:citapustaka Media Perintis 2011), hal 38-40
[2] Nawir Salim, Ulumul Hadis.(Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya 1998), hal 88-91
[3] M. Ajaj al-khatib, Hadis Nabi sebelu di bukukan,(Jakarta: Gema insane press 1999), hal 125
[4] Arifuddin Ahmad, Paradigma baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Ranaisan, 2006), hal 32.
[5]T Muhammad Hasbi ash-shiddieqi, sejarah dan pengantar ilmu Hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 31.
[6] Ramli Abdul Wahid,MA. Studi Ilmu Hadis,,,.64
[7] Ramli Abdul Wahid,MA. Studi Ilmu Hadis…,hal 64
[8] Ibit …, hal 65
[9] Ramli Abdul Wahid,MA. Studi Ilmu Hadis…,hal 66

Tidak ada komentar: