View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI



ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
A.    Pendahuluan
Era globalisasi merupakan era yang penuh dengan tantangan, dimana persaingan di segala bidang telah berlangsung, baik kapital, budaya, etika, maupun moral. Dalam hal ini peradaban manusia seakan-akan telah dikuasai oleh persepsi bahwa sumber daya yang mampu mengikuti dan menguasai era tersebut adalah mereka yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan memang demikianlah kenyataannya, hanya dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang dapat mengerjakan tugas secara profesional serta berperilaku dan berpribadi mandiri di antara desakan persaingan yang terjadi.
Ilmu merupakan suatu yang penting bagi umat manusia, dengan ilmu manusia akan dapat mengenal alam semesta dan bahkan menguasainya. Keberadaan ilmu, jika diperhatikan melalui historisitasnya muncul bersamaan dengan kehidupan manusia yang dapat digunakan untuk mensejahterakan kehidupannya. Melalui berbagai pengalaman dan riset yang dilakukan seiring dengan kebutuhan manusia, ilmu dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.1 Sedangkan teknologi merupakan hasil kerja dari pada ilmu pengetahuan yang dikembangkan sedemikian rupa hingga mencapai kemudahan dalam perjalanan hidup manusia, dan hal ini biasanya dijadikan sebagai parameter untuk menentukan tingkat kemajuan suatu peradaban. Sebagaimana dikemukakan oleh Sindung Tjahyadi – yang telah merangkum berbagai definisi atas teknologi – bahwa, pertama teknologi adalah penerapan ilmu, kedua, teknologi adalah ilmu yang dirumuskan dalam kaitan dengan aspek eksternal, yaitu industri, dan aspek internal yang dikaitkan dengan objek material ilmu maupun aspek ‘murni-terapan’, dan ketiga, teknologi merupakan keahlian yang terkait dengan realitas kehidupan sehari-hari.2
Berawal dari konferensi dunia tentang Pendidikan Muslim di Mekah tahun 1977, yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University, yang banyak membahas atas gagasan Islamisasi Pengetahuan, yang antara lain menyatakan tantangan besar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini yaitu tantangan pengetahuan, bukan karena kebodohan tetapi pengetahuan pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban Barat, yang mana pengetahuan tersebut terlepas dari segala nilai dan etika. Oleh karena itu perlu diadakannya pembersihan atas pengetahuan barat dari unsur-unsur asing bagi ajaran Islam, dan merumuskan kembali serta memadukan unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagai pijakan dan landasan. Sehingga menghasilkan suatu komposisi yang merangkum pengetahuan inti tersebut dan melangkah pada Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-muslim yang selama ini dikembangan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak Islam.3
Dengan munculnya paradigma di atas, telah menuai kritik bahwa hal tersebut lebih bersifat reaktif dan bukan proaktif, sehingga akan menghambat kemajuan umat Islam sendiri dalam menghadapi era global. Apalagi setelah meniti ulang bahwa Islam mengajarkan keuniversalan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mana Allah menciptakan alam semesta untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk umat Islam. Maka, sebagai umat Islam harusnya mulai berbenah dan melakukan kritik internal sebagai sikap intelektual muslim, dengan mengembangkan sikap toleran dan terbuka dalam menghadapi dunia global. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas sumberdaya imtak dan iptek sebagai landasan untuk membangun peradaban dunia Islam.4

B.     Biografi Al-Baiquni

Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc, Ph.D (lahir di Surakarta, 31 Agustus 1923 – meninggal 21 Desember 1998 pada umur 75 tahun dan dimakamkan di Tonjong, Bogor) adalah Fisikawan Atom pertama di Indonesia. Dan termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom internasional yang dihormati.
Sejak kecil, ia sudah memperoleh pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini sudah mampu membaca juz ke-30 (juz terakhir Al Quran yang memuat sejumlah surah pendek), "sebelum saya bisa nembaca huruf Latin," katanya. Dan seperti kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada sore hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan menuntut ilmu agama di madrasah tinggi Mamba'ul Ulum, madrasah yang didirikan Paku Buwono X. Di situ Baiquni sekelas dengan Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama. Lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI di Bandung, 1952. Kemudian mengajar di UGM Yogyakarta. Menikah dengan Sri Hartati, pasangan ini dikaruniai 6 orang anak, 5 putra dan 1 putri.
            Pada tahun 1950, ilmu fisika atom masih menjadi monopoli Amerika Serikat yang lima tahun sebelumnya menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Baru pada tahun 1954, Presiden Eisenhower mengizinkan fisika atom diajarkan secara terbuka di perguruan tinggi. Baiquni tahun ltu memang sedang memperdalam ilmu fisikanya di Amerika Serikat. Terbukanya bidang "baru" itu tak dilewatkan begitu saja. Mula-mula, ia belajar di Laboratorium Nasional di Argonne, tujuh bulan. Kemudian, ia melanjutkan di Universitas Chicago, mengambil jurusan fisika nuklir. Di universitas inilah, pada 1964, ia meraih Ph.D.-nya. Sekembalinya ke tanah air Achmad Baiquni kembali mengajar di UGM Yogyakarta.
Pada tahun 1973, Achmad Baiquni ditunjuk menjadi Dirjen BATAN Jakarta hingga tahun 1984. Selain itu Prof. Baiquni juga pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Swedia (1985-1988), Rektor UNAS, dan dosen IAIN-Syarif Hidayatullah. Prof. Baiquni meninggal pada 21 Desember 1998 pada usia 75 tahun.
Beliau juga menulis beberapa buku, tapi yang saya tahu hanya ini ALQUR’AN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI. Inti dari buku ini adalah pendapat penulis sebagai seorang Muslim sekaligus seorang Ilmuwan Indonesia, bahwa Al Qur’an tidak akan berubah sejak diturunkan hingga akhir zaman, sedangkan sains dapat berubah temuannya dari masa kemasa karena bertambahnya informasi/data yang diperoleh sebagai akibat makin canggihnya peralatan/teknologi dan berkembangnya fisika dan matematika. Dan pendapat bahwa mempercayai kebenaran Al Qur’an adalah sikap yang tidak bisa ditawar. Apabila sains tampak menemukan suatu yang tidak serasi dengan Al Qur’an, ada dua kemungkinan penyebabnya: sains belum lengkap datanya dan belum terungkap semua gejala yang berkaitan sehingga kesimpulannya meleset, atau pemahaman terhadap ayat yang bersangkutan kurang benar.
C.     Mafhum Islamisasi
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi. 
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). [32]
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).[33]
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.[34] Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).[35]
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin ituditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[36]
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusiaMenurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[37]
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasanmanusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme(animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yangberhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
C.  Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.[38]Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.[39]
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, makaistilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.[40]
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.    Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat.[41] Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a.    Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.    Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c.    Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d.   Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e.    Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[42]
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.    Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.[43] Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.       Konsep Agama (ad-din)
b.      Konsep Manusia (al-insan)
c.       Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.      Konsep kearifan (al-hikmah)
e.       Konsep keadilan (al-‘adl)
f.       Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).[44]
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.[45] Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).[46] Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.[47]Dan untuk memulai kedua proses diatas, al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an.[48] Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview) atau visi hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran,” karena dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang harus dipahami oleh akal pikiran. Di sinilah pentingnya pengaruh islamisasi dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran.[49]
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasiilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.[50] Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. [51]
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Danketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[52]
d. Kesatuan hidup[53]
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.[54]
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.[55] Rencana kerja al-Faruqi untuk program islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern.Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[56]
Menurut al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi.[57] Keempat, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis.Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dankedua belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.[58]
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit perbedaan di dalamnya, namun pada intinya, keduanya memiliki visi yang sama.Dari kesemua langkah yang diajukan oleh kedua tokoh ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim.


Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan. Dan ketiga, jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.

Tidak ada komentar: