ISLAMISASI
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
A. Pendahuluan
Era globalisasi merupakan era yang
penuh dengan tantangan, dimana persaingan di segala bidang telah berlangsung,
baik kapital, budaya, etika, maupun moral. Dalam hal ini peradaban manusia
seakan-akan telah dikuasai oleh persepsi bahwa sumber daya yang mampu mengikuti
dan menguasai era tersebut adalah mereka yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dan memang demikianlah kenyataannya, hanya dengan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang dapat mengerjakan tugas secara
profesional serta berperilaku dan berpribadi mandiri di antara desakan
persaingan yang terjadi.
Ilmu merupakan suatu yang penting
bagi umat manusia, dengan ilmu manusia akan dapat mengenal alam semesta dan
bahkan menguasainya. Keberadaan ilmu, jika diperhatikan melalui historisitasnya
muncul bersamaan dengan kehidupan manusia yang dapat digunakan untuk
mensejahterakan kehidupannya. Melalui berbagai pengalaman dan riset yang
dilakukan seiring dengan kebutuhan manusia, ilmu dapat mengantarkan manusia
untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.1
Sedangkan teknologi merupakan hasil kerja dari pada ilmu pengetahuan yang
dikembangkan sedemikian rupa hingga mencapai kemudahan dalam perjalanan hidup
manusia, dan hal ini biasanya dijadikan sebagai parameter untuk menentukan
tingkat kemajuan suatu peradaban. Sebagaimana dikemukakan oleh Sindung Tjahyadi
– yang telah merangkum berbagai definisi atas teknologi – bahwa, pertama
teknologi adalah penerapan ilmu, kedua, teknologi adalah ilmu yang
dirumuskan dalam kaitan dengan aspek eksternal, yaitu industri, dan aspek
internal yang dikaitkan dengan objek material ilmu maupun aspek
‘murni-terapan’, dan ketiga, teknologi merupakan keahlian yang terkait
dengan realitas kehidupan sehari-hari.2
Berawal dari konferensi dunia
tentang Pendidikan Muslim di Mekah tahun 1977, yang diprakarsai oleh King Abdul
Aziz University, yang banyak membahas atas gagasan Islamisasi Pengetahuan, yang
antara lain menyatakan tantangan besar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat
Islam pada zaman ini yaitu tantangan pengetahuan, bukan karena kebodohan tetapi
pengetahuan pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh
peradaban Barat, yang mana pengetahuan tersebut terlepas dari segala nilai dan
etika. Oleh karena itu perlu diadakannya pembersihan atas pengetahuan barat
dari unsur-unsur asing bagi ajaran Islam, dan merumuskan kembali serta
memadukan unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci dengan
menggunakan pendekatan filsafat sebagai pijakan dan landasan. Sehingga
menghasilkan suatu komposisi yang merangkum pengetahuan inti tersebut dan
melangkah pada Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain,
Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap
ilmu pengetahuan produk non-muslim yang selama ini dikembangan dan dijadikan
acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu
pengetahuan yang bercorak Islam.3
Dengan
munculnya paradigma di atas, telah menuai kritik bahwa hal tersebut lebih
bersifat reaktif dan bukan proaktif, sehingga akan menghambat kemajuan umat
Islam sendiri dalam menghadapi era global. Apalagi setelah meniti ulang bahwa
Islam mengajarkan keuniversalan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mana Allah
menciptakan alam semesta untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk umat Islam.
Maka, sebagai umat Islam harusnya mulai berbenah dan melakukan kritik internal
sebagai sikap intelektual muslim, dengan mengembangkan sikap toleran dan
terbuka dalam menghadapi dunia global. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
kualitas sumberdaya imtak dan iptek sebagai landasan untuk membangun peradaban
dunia Islam.4
B.
Biografi
Al-Baiquni
Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc,
Ph.D (lahir di Surakarta, 31 Agustus 1923 – meninggal 21 Desember 1998 pada umur 75 tahun dan dimakamkan di Tonjong, Bogor) adalah Fisikawan Atom
pertama di Indonesia. Dan termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom
internasional yang dihormati.
Sejak kecil, ia sudah memperoleh
pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini sudah mampu
membaca juz ke-30 (juz terakhir Al Quran yang memuat sejumlah surah pendek),
"sebelum saya bisa nembaca huruf Latin," katanya. Dan seperti
kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada sore
hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan menuntut
ilmu agama di madrasah tinggi Mamba'ul Ulum, madrasah yang didirikan Paku
Buwono X. Di situ Baiquni sekelas dengan Munawir Sjadzali, mantan Menteri
Agama. Lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI di Bandung,
1952. Kemudian mengajar di UGM Yogyakarta. Menikah dengan Sri Hartati, pasangan
ini dikaruniai 6 orang anak, 5 putra dan 1 putri.
Pada
tahun 1950, ilmu fisika atom masih menjadi monopoli Amerika Serikat yang lima
tahun sebelumnya menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Baru pada tahun 1954,
Presiden Eisenhower mengizinkan fisika atom diajarkan secara terbuka di
perguruan tinggi. Baiquni tahun ltu memang sedang memperdalam ilmu fisikanya di
Amerika Serikat. Terbukanya bidang "baru" itu tak dilewatkan begitu
saja. Mula-mula, ia belajar di Laboratorium Nasional di Argonne, tujuh bulan.
Kemudian, ia melanjutkan di Universitas Chicago, mengambil jurusan fisika
nuklir. Di universitas inilah, pada 1964, ia meraih Ph.D.-nya. Sekembalinya ke
tanah air Achmad Baiquni kembali mengajar di UGM Yogyakarta.
Pada
tahun 1973, Achmad Baiquni ditunjuk menjadi Dirjen BATAN
Jakarta hingga tahun 1984. Selain itu Prof. Baiquni juga pernah menjadi Dubes
Indonesia untuk Swedia (1985-1988), Rektor UNAS, dan dosen IAIN-Syarif
Hidayatullah. Prof. Baiquni meninggal pada 21 Desember 1998 pada usia 75 tahun.
Beliau juga menulis beberapa buku, tapi yang saya tahu hanya
ini ALQUR’AN ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI. Inti dari buku ini adalah
pendapat penulis sebagai seorang Muslim sekaligus seorang Ilmuwan Indonesia,
bahwa Al Qur’an tidak akan berubah sejak diturunkan hingga akhir zaman,
sedangkan sains dapat berubah temuannya dari masa kemasa karena bertambahnya
informasi/data yang diperoleh sebagai akibat makin canggihnya
peralatan/teknologi dan berkembangnya fisika dan matematika. Dan pendapat bahwa
mempercayai kebenaran Al Qur’an adalah sikap yang tidak bisa ditawar. Apabila
sains tampak menemukan suatu yang tidak serasi dengan Al Qur’an, ada dua
kemungkinan penyebabnya: sains belum lengkap datanya dan belum terungkap semua
gejala yang berkaitan sehingga kesimpulannya meleset, atau pemahaman terhadap
ayat yang bersangkutan kurang benar.
C. Mafhum Islamisasi
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam.
Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti
bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai
langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic
framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman
atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah
Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya
terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum
adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology),
animisme (animism), nasional-kultural (national cultural
tradition), dan paham sekuler (secularism). [32]
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia
mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih
menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati
yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas
men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia
melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya
dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai
dengan fitrahnya (original nature).[33]
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari
penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari
makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.[34] Dan
dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu
Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari
dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada
keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat
jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu
keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil
tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a
process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada
fitrah (original nature).[35]
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau
pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa
pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk
memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun
ulang data, memikir kembali argumen dan
rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali
kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin
ituditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[36]
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan
aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya
manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut
aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan
modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan
sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang
konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga
mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali
sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[37]
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di
atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah
subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasanmanusia dari
tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme(animism),
nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada
objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun
ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yangberhubungan
dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk
kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya
visi dan perjuangan Islam.
C. Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi
ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan
adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini
ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara
bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka,
islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.[38]Islamisasi
bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah
kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya
bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru
dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata
dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal
dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana
Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu
terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab
standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan
Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap
generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan
tersebut termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun
mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya
dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.[39]
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu
bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan
karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain,
makaistilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu,
istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan
pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan
pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3
yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas
sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah
tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk
terjadinya perubahan.[40]
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas
mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.
Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat.[41] Unsur-unsur
tersebut terdiri dari:
a.
Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.
Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism
which involved of reality and truth).
c.
Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular
worldview).
d. Membela
doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e.
Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan
eksistensi kemanusiaan.[42]
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan
modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun,
ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu,
ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep,
praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional,
dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut,
bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas
proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya,
batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan
sosial harus diperiksa dengan teliti.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep
kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.[43] Al-Attas
menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan
konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.
Konsep Agama (ad-din)
b.
Konsep Manusia (al-insan)
c.
Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.
Konsep kearifan (al-hikmah)
e.
Konsep keadilan (al-‘adl)
f.
Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.
Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).[44]
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk
melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan
dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu
yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan
menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.[45] Adapun
yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi
adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya
adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika
dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation
tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan
intuisi (intuition).[46] Karena
Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan
empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang
sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi
meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam
Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara
mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua
langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses
mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu,
dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke
dalamnya.[47]Dan
untuk memulai kedua proses diatas, al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali
dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an.[48] Sebab
alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling
bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview) atau
visi hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi
pemikiran dan penalaran,” karena dalam bahasa terdapat istilah dan dalam
setiap istilah mengandung konsep yang harus dipahami oleh akal pikiran. Di
sinilah pentingnya pengaruh islamisasi dalam bahasa, karena islamisasi bahasa
akan menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran.[49]
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam
islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasiilmunya
berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan
harus mempunyai kebenarannya.[50] Al-Faruqi
menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran
metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam
semesta.
c. Kesatuan kebenaran
dan kesatuan pengetahuan. [51]
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak
bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena
bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan
pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang
diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut
al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh
bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti
cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan,
antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat
mutlak. Danketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak
ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan
sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[52]
d. Kesatuan hidup[53]
e. Kesatuan umat
manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa
batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan,
nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya
memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang
dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya
menjadi landasan bagi para ilmuan.[54]
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh
untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya
selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi
melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.[55] Rencana
kerja al-Faruqi untuk program islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama,
menguasai disiplin-disiplin modern.Kedua, menguasai khazanah
Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap
bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk
melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang
mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[56]
Menurut al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah
sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan,
yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua,
peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan
Islam yang berupa antologi.[57] Keempat,
penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis.Kelima, penentuan
relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata
al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa
yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga
pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup
oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika
dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin
tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau
bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum
muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam,
penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian
krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai
problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai
problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis
kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam
kerangka kerja (framework) Islam. Dankedua belas, penyebarluasan
ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut, alat-alat
bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan
konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di
bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang
menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus diberi kesempatan
bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut
harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.[58]
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi
dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit
perbedaan di dalamnya, namun pada intinya, keduanya memiliki visi yang
sama.Dari kesemua langkah yang diajukan oleh kedua tokoh
ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan
kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar
jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan usaha
besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh
seluruh cendekiawan muslim.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail
Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.
Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi
ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika
al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi
ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan.
Dan ketiga, jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa
permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal
(luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari
masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada
beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide
islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu
kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free)
akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa
peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai
dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam
ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus
berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga
meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam
problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi
ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika
umat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar