View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

PENGERTIAN HADITS/SUNNAH (Naqd ‘Ulum Al-Hadits)



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Banyak diantara kita yang mungkin terjadi kesalahpahaman dalam menyebutkan tentang apakah itu yang dinamakan hadits/sunnah. Karena pada dasarnya terdapat beberapa pengertian yang berbeda dan yang sama  diantara para ulama.
Melalui makalah ini penulis hanya akan menjelaskan tentang apakah yang dimaksud dengan hadits dan sunnah baik secara etimologis maupun secara terminologi dan menurut para Ulama Ahli, baik Ahli Hadits, Ushul maupun Ahli Fiqh, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman mengenai pengertian hadits/ sunnah. 
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.[1] 
Sunnah atau lebih dikenal dengan hadis, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antar kelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab Hadis) yang dianggap autentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Islam merupakan agama yang universal karena dalam ajaran islam melingkupi urusan dunia dan akhirat, ajaran agama islam pertama kali muncul di jazirah arab yang dibawakan oleh seorang tokoh yakni nabi Muhammad SAW. Islam berarti ajaran agama yang dibawakan oleh nabi Muhammad yang Al-Qur’an sebagai sumber hukum utamanya.  Al-Qur’an adalah wahyu Allah di sampaikan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril secara berangsur – angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari terdiri atas 30 juz, 114 surat, yang surat  pertamanya adalah Al-Fatihah dan surat terakhir surat Annas. Dalam mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber hukum banyak sekali yang dilakukuan sebagai dasar ilmu pengetahuan diantaranya melalui tafsir, terjemah dan pendalaman Al-Qur’an atau yang biasa di sebut Ulumul Qur’an.[2]

Selain Al-Qur’an Islam juga memiliki sumber hukum yang lain seperti Hadis, Ijma dan Qiyas. Dalam hal ini penulis ingin mengaji ilmu–ilmu hadis dari segi pengertian Hadits/Sunnah menurut Ulama Hadits, ulama Ushul dan ulama Salaf, serta implikasi dari semua pengertian hadist menurut Ulama Hadits, Ushul, dan Salaf.
















BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN HADITS/SUNNAH
(Naqd ‘Ulum Al-Hadits)

A.      Pengertian Hadits Menurut Ulama Hadits
1. Pengertian Hadits Secara Etimologis
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.[3] 
Secara etimologi, sunnah berarti tata cara.[4] Menurut pengarang kitab lisan al-‘Arab- mengutip pendapat syammar-sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan, yaitujalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Dalam kitab mikhtar al-shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[5] Al-Tahanuwi juga berpendapat bahwa sunnah menurut etimologi berarti tata cara, baik maupun buruk.[6]

2. Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.[7]
3. Pengertian sunnah menurut bahasa (etimologis)
Menurut bahasa sunnah berarti:
اَلطَّرِ يْقَةُ مَحْمُوْدَةً كَا نَتْ او مَذْمُوْ مَةً

Artinya: “Jalan yang terpuji atau yang tercela.”      
Dalam kaitan sunnah yang diartikan dengan السيرة .atau…الطر يقة…Khalid bin ‘Utbah Al-Hadzi mengatakan:
فَلاَ تَجْزَ عَنَّ مِنْ سِيَرَةٍ اَنْتَ سَرَتَهَا فَاَوَّلُ رَاضٍ سُنَّةً مَنْ يَسِيْرُهَا

Artinya: “Janganlah kamu halangi perbuatan yang telah kau lakukan, karena orang yang pertama menyenangi suatu perbuatan adalah orang yang melakukannya”.
Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berhubungan dengan hukum syara’, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Dan apa bila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan al-Sunnah, berarti yang dimaksudkan adalah al-Qur’an dan Hadis. 
4. Pengertian sunnah menurut istilah (terminologi)
Sedang sunnah menurut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan: Ahli Hadis, Ahli Ushul dan Ahli Fikih.[8]

a. Pengertian hadits menurut Ahli Hadits, ialah:
Menurut istilah (terminologi)ahli-ahli hadits, sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.[9] Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadis.[10]
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ وَاَحْوَا لُهُ 
Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan. [11]
Ada juga yang memberikan pengertian lain, yakni:
مَاأُضِيْفَ إلى النبي ص م قَولاً أو فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً

Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.

Sebagian Muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadis diatas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. (hadis marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadis mauquf), dan tabi’in (hadis maqtu’), sebagaimana disebut oleh Al- Tirmizi:

Artinya: “Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang maukuf, yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu’ yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.” [12]


b. Pengertian sunnah menurut ahli hadis adalah:
ما اثِرَ عنِ النبى ص م مِن قولٍ أو فعل أو تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل البِعْثَةِ أو بعدها.

Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”. 
Kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda-beda, sebab para Ulama’ memandang sunnah dari segi yang berbeda-beda, pun pula dasar membicarakannya dari segi yang berlainan :[13]
a. Ulama Hadits
Ulama Hadits memberikan pengertian Sunnah meliputi biografi Nabi, sifat-sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai tubuhnya, rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai physic dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari-harinya, baik sebelum atau sesudah bi’stah atau di angkat sebagai nabi.
b. Ulama Ushul Fiqh
Ulama Ushul Fiqh memberikan pengertian sebagai berikut;
“Segalayang di nuklikan dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pahutnya dengan Hukum”.
c. Ulama Fiqh
Menurut Ulama Fiqh, sunnah ialah “perbuatan yang di lakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Jadi suatu pekerjaan yang utama di kerjakan”.
Atau dengan kata lain: sunnah ialah suatu amalan yang di beri pahala apabila di kerjakan, dan tidak dituntut apabila di tinggalkan.

Jadi dengan definisi tersebut, para ahli hadis menyamakan antara sunnah dan hadis. Tampaknya para ahli hadis membawa makna sunnah ini kepada seluruh kebiasaan Nabi SAW. Baik yang melahirkan hukun syara’ maupun tidak. Hal ini bisa dilihat dari definisi yang diberikan mencakup tradisi Nabi sebelum masa terutusnya sebagai rasul.[14]
Akan tetapi bagi ulama Ushuliyyin jika antara sunnah dan hadis dibedakan, maka bagi mereka, hadis adalah sebatas sunnah Nabi SAW saja. Ini berarti sunnah cakupannya lebih luas dibanding hadis. 

B.       Pengertian Hadits Menurut Ulama Ushul dan Ulama Salaf (Sahabat)
1. Pengertian hadits menurut para ulama ushul, sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah:
أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتَقْرِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأَ حْكاَمُ و تُقَرَّرُهاَ

Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatan hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.[15]

Sunnah Menurut Ahli-Ahli Fiqih[16]
Menurut ahli-ahli fiqih (fuqaha), sunnah adalah hal-hal yang berasal dari nabi Muhammad saw baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[17]
Arti sunnah seperti tersebut di atas telah disepakati oleh para ulama, baik ahli-ahli bahasa, usul fiqih, fiqih, maupun hadis.
Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode-periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.
Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata sunnah itu.[18]

2. Pengertian sunnah menurut ahli ushul mengatakan: 
Menurut ahli-ahli usul fiqih, Sunnah adalah sabda nabi Muhammad saw yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya.[19]

Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Beliau. Berdasarkan pemahaman seperti ini mereka mendefinisikan sunnah sebagai berikut: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Selain al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara”.[20]

3. Pengertian sunnah menurut ulama salaf mengatakan: 
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[21]
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

Artinya: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” [22]

Hadits   di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Sebagaimana Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah beliau.
Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi saw baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih luas.[23]
Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmahnya.

Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

Tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat. Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
C.      Implikasi dari Pengertian Hadits Menurut Ulama Hadits dan Ulama Ushul dan Salaf
a. Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul. Mereka memandang Nabi adalah sosok suri tauladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga dalam pandangan mereka segala sesuatu yang berasal dari Nabi; baik yang ada kaitanya dengan hukum maupun tidak adalah sunnah.
b. Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama, namun mereka membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan pengambilan hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat syariat) di samping Allah. Ulama usul mengucapkan hadis secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qawliyah. Karena menurut mereka sunnah memiliki arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum. bukan sebatas ucapan saja.
c. Tetapi makna sunnah menurut kebanyakan kalangan salaf lebih luas dari itu, karena  mereka mengartikan sunnah dengan makna yang lebih luas dari makna menurut ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqih. Mereka mengartikan sunnah sebagai setiap perkara yang sejalan dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam serta para sahabatnya baik perkara I’tikad maupun ibadah, dan lawannya adalah bid’ah.[24]
Dikatakan si fulan berada di atas sunnah, jika amalan-amalannya sejalan dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam. Juga dikatakan si fulan di atas bid’ah, jika amalannya menyelisihi al-Qur’an dan as Sunnah atau salah satunya.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istilah sunnah menurut ungkapan salaf mencakup sunnah dalam ibadah maupun i’tiqad, walaupun kebanyakan para penulis tentang sunnah menggunakannya untuk perkara-perkara i’tiqad.”
Beliau berkata rahimahullah : “As Sunnah adalah pedoman yang Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam berada di atasnya berupa keyakinan, maksud, ucapan dan amalan.”
Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Kebanyakan para ulama mutaakhirin mengkhususkan sunnah para perkara yang berkaitan dengan i’tiqad, karena itu merupakan pokok agama dan yang menyelisihinya berada dalam bahaya yang besar.”
Ibnu Rajab rahimahullah menambahkan, “As Sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup:berpegang dengan pedoman yang ditempuh Nabi Shalallahu’alaihi wassalam dan para khalifahnya yang rasyidin, baik berupa i’tiqad, amalan maupun ucapan.”[25]
Penulis mengintisarikan bahwa, Melihat pengertian dari beberapa tulisan dan  Referensi diatas dapat dikategorikan antara lain :
Hadits secara  umum. Dikalangan ulama berbeda-beda, ada yang menyamakan dan ada yang membedakan sebagaimana dalam tabel berikut :

Ulama Hadits
Ulama Ushul dan Fiqih
Ulama Salaf
- Ulama hadits adalah lebih kepada keseluruhan (bidang hadits saja) bersifat keseluruhan hafalan.
- Sunnah lebih kepada perbuatan (tradisi yang digunakan) yang dijalankan oleh umat.
- Hadits lebih kepada perkataan nabi.
- Sunnah harus diperkuat oleh hadits (fi’li nabi dan qaulu nabi).
- Hadits merupakan kenderaan sunnah. Dan juga sebagai laporan sahabat terhadap nabi.
- Dan orang yang mengingkari sunnah, ia menjadi kufur.
- Ulama hadits :
- Segala gerak-gerik nabi Saw
- Nabi sebagai suri tauladan bagi ummat.
- Tidak perlu dibeda-bedakan.
- Dan juga nabi ada yang bersifat kemanusiaan dan ada yang bersifat kerasulan
- Ibnu umar mengikuti nabi dengan sedetil-detilnya.
- Semua yang berasal dari nabi, semuanya adalah harus diikuti.

- Ulama ushul adalah lebih kepada hadits untuk hukumnya (kaidah hukum) yaitu pengaplikasian hadits, hukum dan komprehensif.
- Ulama ushul :
- Hadits adalah sunnah qauliah.
- Sebagai sumber ajaran islam yaitu al qur’an dan sunnah.
- Mengacu kepada hukum syara’ saja.
- Sunnah bagi sebutan ulama ushul
- Hadits bagi sebutan ulama hadits
- Baju, jenggot, pakaian dikategorika kepada sunnah menurut ulama ushul.
- Hadits merupakan lebih kepada perkataan, perbuatan, dan taqrir rasulullah saja.
- Ahli ushul berpendapat bahwa sunnah lebih kepada hukum syara’. Sedangkan menurut ulama ahli hadits yaitu semua yang berasal dari nabi dari lahir sampai wafatnya nabi.
- Ulama ushul berbeda pendapat dengan ulama hadits (jumhur ulama).
Ulama ushul :
- Hanya terdapat pada hukum syara’ bila ada kandungannya
- Segala aktivitas nabi sebelum menjadi rasul bukan dikatakan sunnah.
- Segala yang berhubungan dengan nabi tetapi belum ada hukum syara’, belum dikatakan sunnah.
- Hadits lebih kepada perkataan, sedangkan sunnah lebih kepada perbuatan, apabila dikategorikan sebagi hukum syara’ dan terdapat hukumnya. Yang kemudiannya hadits yang layak diambil menjadi hukum syari’at.
- Mengikuti yang kerasulannya saja.
- Mengikuti sunnah yang semestinya bisa diikut.idak semua dari nabi itu bisa dijadikan sebagai syari’at.
- Ulama salaf adalah generasi masa rasulullah dan para sahabat dan generasi berikutnya.
- Fiqh adalah pemahaman tentang kehidupan.
- Ulama salaf adalah hadits itu orientasinya lebih ke rasul dan para sahabat pada masa itu. (sunnah itu keseluruhan, hadits dari arti sempit)





Penulis mengutarakan bahwa: Lafadz sunnah jika diungkapkan dalam bab i’tiqad, maka yang dimaksud adalah agama secara sempurna, tidak sebagaimana yang diistilahkan oeh ahli hadits, ahli ushul atau ahli fiqih.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam kajian ini penulis menyimpulkan bahwa “ Pengertian Hadits/Sunnah (Naqd ‘Ulum al-Hadits)” dapat dilihat dari beberapa Aspek pengertian para ulama, yaitu:
a. Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
b. Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama, namun mereka membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan pengambilan hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat syariat) di samping Allah.
c. Tetapi makna sunnah menurut kebanyakan kalangan salaf lebih luas dari itu, Mereka mengartikan sunnah sebagai setiap perkara yang sejalan dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam serta para sahabatnya baik perkara I’tikad maupun ibadah, dan lawannya adalah bid’ah.
d. Penulis mengutarakan bahwa: Lafadz sunnah jika diungkapkan dalam bab i’tiqad, maka yang dimaksud adalah agama secara sempurna, tidak sebagaimana yang diistilahkan oeh ahli hadits, ahli ushul atau ahli fiqih.

B.     Saran
Saya selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA



Azami.M.M, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pejaten Barat, Pustaka Firdaus, 2000.

Azami.M.M, Studies in Hadist Methodology and literatur Terj. Meth Krelaha. Jakarta:Lentera. 2003.

Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.

Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakkir. Ulum al-Hadist. 1996.

Muhammad bin Ali al-Maliki. al-Manhalal-Latif fi Usul al-Hadis al-Syarif. Jiddah. Sahar al-Mamlakah al-arabiyah, 1990.

Muhammad Hasbi Ash shiddiqi, Sejarah & pengantar Ilmu Hadits, Semarang. PT Pustaka Rizqi Putra, 1998.

M. ‘Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu, 2003.

Munzier Suparta M.A,  Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Suparman Usman, hukum islam,Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,  2006.

Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as Suhaimi, Jadilah Salafi Sejati, Jakarta: Pustaka at Tazkia, 2007.

Yusuf Qordhowi, Pengantar Studi hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2007.



[1] Muhammad bin Ali al-Maliki. 1990. al-Manhalal-Latif fi Usul al-Hadis al-Syarif. Jiddah. Sahar al-Mamlakah al-arabiyah. Hal-41&51. atau lht Muhammad Hasbi Ash shiddiqi. 1998. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang. P.T. Pustaka Rizqi Putra. Hal-1,4.
[2] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakkir. Ulum al-Hadist. Hal-17
[3] Muhammad bin Ali al-Maliki. 1990. al-Manhalal-Latif fi Usul al-Hadis al-Syarif. Jiddah. Sahar al-Mamlakah al-arabiyah. Hal-41&51.
[4] Al-Qamus Al-Muhit, dan Lisan Al-Arab; kata’sunan.
[5] Mukhtar al-shahih, 339.
[6] kasysyaf istilahat al-funun,703.
[7] Muhammad Hasbi Ash shiddiqi. 1998. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang. P.T. Pustaka Rizqi Putra. Hal-1,4.

[8] Masjfuk Zuhdi, 1993, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Bina Ilmu), Hal-80
[9] Al-sunnah wa makanatuha, 59. Taujih al-nadhar, 3
[10] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pejaten Barat, Pustaka Firdaus, 2000, Hal. 13-14.
[11] Yusuf Qordhowi, 2007, Pengantar Studi hadits, (Bandung: Pustaka Setia), Hal-20
[12] M. ‘Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu, Hal-19.
[13] M. M. Azami, Studies in Hadist Methodology and literatur Terj. Meth Krelaha. Jakarta:Lentera. 2003. Hal 21-23
[14] Ibid,. . . , Hal-20-22.
[15] Drs. Munzier Suparta M.A, 2002,  Ilmu Hadis,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) Hal-7-9.
[16] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pejaten Barat, Pustaka Firdaus, 2000, Hal.14.
[17]Al asnawi, Nihayat Al-Sul Syarh Minhaj Al-Wushul, ii:196.  Al-syauqani., irsyad al fuhul, 33. Kasysyaaf Istilahat al Funun, 703-704.
[18] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pejaten Barat, Pustaka Firdaus, 2000, Hal. 13-14.
[19] Kasysyaaf Istilahat Al Funun, 703. ‘abd al-wahhab Kahallaf, ‘Ilm Ushul Al-Fiqh, 36.
[20] Ibid, . . . , Hal-4-5.
[21] Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,  Hal. 10.
[22] Drs. Munzier Suparta M.A, 2002,  Ilmu Hadis,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) Hal-5.
[23] Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[24] Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as Suhaimi, 2007, Jadilah Salafi Sejati, (jakarta: Pustaka at Tazkia), Hal-36-42.
[25] Suparman Usman, hukum islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama). Hal. 44-46

Tidak ada komentar: