BERKAS JAWABAN FINAL
MATA
KULIAH
KHAZANAH
PEMIKIRAN DALAM ISLAM
Disusun Oleh:
Nama : Muhammad
Tsabirin
NIM : 25131715-2
Konsentrasi : Pendidikan
Bahasa Arab
Kelas : Reguler
Mata kuliah : Khazanah
Pemikiran Dalam Islam
Dosen Pembimbing:
Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2014 M / 1435 H
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, yang telah
memberikan umur panjang dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw, yang telah menerangi dunia ini dengan
ilmu. Penghormatan kepada Dosen Pembimbing bapak Dr. T. Safir Iskandar Wijaya,
MA, yang telah membimbing mata kuliah Khazanah Pemikiran Dalam Islam sehingga penulis
telah dapat menyelesaikan tugas final yang terdiri dari beberapa point
pertanyaan.
Penulis menyadari bahwa, didalam makalah ini sangat banyak sekali
terdapat kekurangan dan juga kekeliruan baik dari segi pengumpulan bahan dan
penulisan.
Inilah sekilas pengantar yang dapat penulis utarakan, atas saran
dan kritik yang membangun kepada penulis, diucapkan ribuan terima kasih dan
hanya kepada Allah penulis kembalikan semua. Wakafaa billahi syahiyda.
Banda
Aceh, 10 Februari 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ 1
DAFTAR ISI................................................................................................ 2
ISI JAWABAN FINAL.................................................................................... 5
1.
Tasawuf
adalah pemahaman islam melalui pendekatan rohaniah untuk menuju menjadi sufi
dibutuhkan banyak pendekatan. Jelaskan maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf ? 5
2. Ibnu maskawaih adalah salah seorang sufi besar khusus dalam bidang
pendidikan akhlak. Uraikan pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya
atas konsep tahzibul akhlaknya. Dan bagaimana komentar anda jika dihubungkan
dengan perkembangan di zaman modern ? 21
3. Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam
islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu.
Berikan penjelasan yang utuh terhadap hal demikian ! dan bagaimana komentar
anda ?.................... 31
4.
Tarekat
berada di dunia islam. Ada tarekat qadiriah dan ada tarekat tijaniyah, uraikan
ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar anda terhadap tarekat tijaniyah ? 34
5.
Mu’tazilah
dan ahlussunnah kedua-duanya membawa ajaran syafa’at. Jelaskan dan berikan
komentar terhadap ajaran syafa’at ?...................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 1................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 2.................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 3................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 4.................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 5.................................................. 42
UJIAN
FINAL
MATA
KULIAH KHAZANAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM
Perbaiki makalah semaksimal mungkin
1. Tasawuf adalah pemahaman islam melalui pendekatan
rohaniah untuk menuju menjadi sufi dibutuhkan banyak pendekatan. Jelaskan
maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf ?
2. Ibnu maskawaih adalah salah seorang sufi besar khusus
dalam bidang pendidikan akhlak. Uraikan pemikiran ibnu maskawaih dengan
sejelas-jelasnya atas konsep tahzibul akhlaknya. Dan bagaimana komentar anda
jika dihubungkan dengan perkembangan di zaman modern ?
3. Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu
pengetahuan dalam islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang
peran akal dan wahyu. Berikan penjelasan yang utuh terhadap hal demikian ! dan
bagaimana komentar anda ?
4. Tarekat berada di dunia islam. Ada tarekat qadiriah
dan ada tarekat tijaniyah, uraikan ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar
anda terhadap tarekat tijaniyah ?
5. Mu’tazilah dan ahlussunnah kedua-duanya membawa ajaran
syafa’at. Jelaskan dan berikan komentar terhadap ajaran syafa’at ?
6. Jawablah pertanyaann ini semua dengan menggunakan Referensi
7. Peraturan dan kode etik :
- Semua dimasukkan ke dalam satu flash disk
- Makalah dan perbaikan
(software saja)
- Dimasukkan semua hasil kerja orang dalam satu flasdisk
- Kumpul 10 hari setelah hari ujian
- Kirim ke email pada malam ujian
Email
pak safir:
safir.iskandarwijaya@gmail.com
1.
Tasawuf adalah pemahaman islam melalui pendekatan rohaniah untuk menuju menjadi
sufi dibutuhkan banyak pendekatan. Jelaskan maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf
?
Jawaban
:
Penjelasan
maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf adalah :
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan
berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat)
menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah),
lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak
dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui
amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah
untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi
sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat)
secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan
tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan
menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini
karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli
An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara
spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam
(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua
persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
A.
PENJELASAN MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF ADALAH :
A. MAQAMAT
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang
berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf,
maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang
hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam
sebelumnya.[1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya.
Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’,
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan
jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr,
al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan
bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud,
al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang
berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah
dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat,
dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan
dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing
istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:[2]
1. Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti
“kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1)
orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari
kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud
sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan
kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu
ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah
dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya
dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam
yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat
wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan
perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali
perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan
melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu
Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua.
Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi
pertengahan), yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu
taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang
melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.[3]
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya
ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan
amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.
Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang
ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung
dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini
dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai
tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan
dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja.
Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan
perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat
dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh
al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini
ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan
sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al
Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat
Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang
mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa
sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya,
yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya.[4]
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat
yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ
يَعْلَمُونَ (ال عمران:
135)
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali Imron: 135).
.....وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (النّور: 31)
Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)[5]
2. Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta
kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya
perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus
terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya
dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan
keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Untuk lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di
atas, masih dirasa perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut
Ibn Qudamah al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu
yang lebih baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi
keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam
hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah
tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan
tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.[7]
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang
menjelaskan hal itu, di antaranya:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا
قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (النّساء:
77)
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini
hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan
kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’: 77).
وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ
لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (الأنعام :
32)
Artinya: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am:
32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang
kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam
seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh
sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan
yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan
dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan
mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan
karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata.
Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba
dan Allah.
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud
menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a. Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud.
Tingkatan ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya
zuhud, yaitu:
1)
As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan
dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2)
Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia
secara sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3)
A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi
kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai
apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
b. Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai.
Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1)
Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan
zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2)
Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan
kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3)
Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di
mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya
ingin berjumpa dengan Allah.
c. Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus
ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1)
Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2)
Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu,
seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
d.
Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala
sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham,
pangkat, dan segala kesenangan dunia.[8]
3. Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar
adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri
dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika
mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam
kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan
pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu,
sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan
yang sungguh-sungguh.[9]
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan
nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs),
sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[10]
4. Wara’
Wara’, secara harfiah,
berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun
persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’
dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan
meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak
menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’
dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di
dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati
nurani.[11]
5. Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh
atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta
lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.[12]
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak
meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta
tetapi tidak menolak.[13]
6. Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin
Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah
seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang
memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan
tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati,
dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam
hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya
didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan
maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan
Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan
keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian
berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada
dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk
hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan
tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah
dengan Allah dan karena Allah.[14]
7. Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan
pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar
Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang
menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan
dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan
dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan
menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan
berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan
Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti
bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.[15]
8. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai
secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan
suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya
kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah
al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam
pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada
siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan
neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap
dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu
jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya
dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk
menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk
mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat
yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu
motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya
kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua
dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena
Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu
mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain
yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah
keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan
terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan
cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta
kedua.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan.
Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan
dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa
al-muttaqin, yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap
kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah
ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari
penglihatan dan ma’rifat para sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah
yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah
di antaranya adalah:
a.
Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara
saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b.
Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas
nama cinta kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c.
Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d.
Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan
Allah dan membaca kitab-Nya.
e.
Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu selain
Allah dan merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f.
Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan
tidak menganggap perintah itu sebagai beban.
9. Ma’rifat
Ma’rifat
berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau
pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama,
yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan
merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi
bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui
pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada
sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan
dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai
pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi
dan berkaitan dengan nur Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang
dihubungkan dengan Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui
rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din
membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama dan
sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas
dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar
pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani
dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan
hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang
sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati
para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.[17]
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari,
siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk
sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak,
pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran
sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat
rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan
mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ (الرعد:
15)
Artinya:
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya
di waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua
kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk
ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih
lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang
yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian
pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam
lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang
Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih
dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan
kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara
berbagai makna Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam
silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan
pemurnian dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam
kebaqaan-Nya.[18]
B.
PENJELASAN AHWAL DALAM TASAWUF ADALAH :
B. AHWAL
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang
berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal
adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani
dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah
kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba
pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau
sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal
sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan
takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada
perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba
ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal
tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat,
yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu
yang lama, yang disebut bawadih[19].
Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan
diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya
permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[20]
Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga
terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang
paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’,
ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.[21]
Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT
sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan
ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun
tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran
ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT
senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan
kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa
jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang
engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.[22]
2. Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut
kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah
tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali
Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang
tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan
atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.
Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti
kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan
tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.
Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang
sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus
asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian,
khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang
sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.[23]
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut
kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran
dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit
ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat.
Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat
tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu
dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas
mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni,
mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut
kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada
seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu
ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang
lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan
tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.”
Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu.
Dia mengira bahwa perempuan itu
telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah.
Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan
itu dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu
bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?"
Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang
kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan
tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita.
Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu
pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat
dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi
melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia
menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian,
terhapuslah dosa tersebut."[24]
3. Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan
senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau
optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة: 218)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang
harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan,
harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau
hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf).
Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut
terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula
orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut
akan siksaan Tuhan.[25]
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak
ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai
tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai
tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta
bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram
dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi
tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan
ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir
adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka
di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah,
sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang
paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka
mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram
kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[26]
5. Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi
adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan
seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang
diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat
kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada
dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan
seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang
menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam
keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang
bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada
dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama,
seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa
gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah
berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah
terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang
akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak
lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan
mengagungkan disertai dengan suka cita.[27]
6. Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi,
tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah)
atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah
mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau
Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa
yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga
tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi
seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang
sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka
timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa
cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka
tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan
mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang
dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara
pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam
pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan
Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam
hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin
adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang dimiliki.[28]
DAFTAR PUSTAKA
|
Anwar, Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia.2004.
Asmaran, As. Pengantar Studi Tasawuf.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Syukur, Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2004.
Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem
Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011.
Yusuf, Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003.
Fauzan,”Maqamat dan Ahwal”, dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.html .
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Rajawali Pers. 2011
|
2.
Ibnu maskawaih adalah salah seorang sufi besar khusus dalam bidang pendidikan
akhlak. Uraikan pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya atas konsep
tahzibul akhlaknya. Dan bagaimana komentar anda jika dihubungkan dengan
perkembangan di zaman modern ?
Jawaban
:
Uraian
pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya atas konsep tahzibul akhlaknya
adalah :
A. Struktur Eksistensial Manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang
memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan
manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibn Miskawaih
menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan
berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada
kebaikan. Menurut Ibn Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang
bertingkat-tingkat dari tingkat yang paling rendah yaitu:
- Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
- Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
- Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal
positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan
berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
- Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
- Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
- Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal
kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi
sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah)
berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs
yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs
an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah (bernafsu)
dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani)
dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah
akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab
adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia.
Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang
berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa (al-Nafs
al-Bahimiyyah, al-Nafs
as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah, al-Nafs
al-Natiqah). Daya
bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal
dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Ibn Miskawaih dalam kitab Tahzib al-Akhlaq,
menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia bekerja secara harmonis
dan senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan perbuatan-perbuatan moral
yang akan menguntungkan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia. Stabilitas
fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung pada factor pendidikan yang
sedemikian rupa akan membentuk tata hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam
membuat keputusan-keputusan yang memang diperlukan manusia dalam merealisasikan nilai-nilai moral dalam
kehidupan. Dan oleh karena penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai
dengan naturalnya merupakan prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka
pembinaannya merupakan suatu kemestian dalam dunia pendidikan.[29]
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki
jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya,
setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari
binatang. Manusia yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa
cerdasnya, dan dalam selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu.
Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua macam jiwa lainnya (kebinatangan dan
binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Mana yang
lebih dominan diantara dua macam jiwa yang lain tadi, maka demikianlah kadar
turun derajat kemanusiaannya. Manusia harus pandai menentukan pilihan untuk
menundukan dirinya dalam derajat mana yang seharusnya.[30]
Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan
jiwa yang tiga macam tersebut, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah
atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah,
nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu
dan takabur. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil, harga diri, berani,
pemurah, benar dan cinta.[31]
B. Pokok
Keutamaan Akhlak
Akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu
menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa
baik yang diabadikan dalam Alqur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba
maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukan bahwa suatu bangsa akan
kokoh apabila akhlaknya kokoh, dan sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh
apabila akhlaknya rusak. Agama tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali
dibarengi dengan akhlak yang mulia.[32]
Pembicaraan mengenai akhlak tidak akan lepas dari
hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Sebagai khalifah manusia
bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam
ini tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan
dalam surat Shad ayat 27:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالأرْضَ وَمَا
بَيْنَهُمَا بَاطِلا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
Artinya: “dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah
anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka
akan masuk neraka”.
Sebagai
makhluk, manusia harus berusaha mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk
patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat
Ad-Dzariyyat ayat 56:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Akhlak dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama
yang menjadi landasan pemikiran. Pertama,
Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat universal dan fitri.
Allah berfirman pada surat Al-Syams ayat 8-10:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW,
mengajarkan agar untuk mengetahui baik
dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati nurani kita.
Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tentram,
sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya semua
manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan fitri tentang
baik dan buruk. Kedua, moralitas
dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Ketiga, tindakan etis itu
sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi
pelakunya.[33]
Menurut Ibn Miskawaih, untuk menuju pada kesempurnaan
diri, manusia harus melaluinya dengan aplikasi akhlak dalam kehidupan
sehari-hari. Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa
berfikir dan pertimbangan.[34]
Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari
watak dan ada juga yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian,
sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan
yang demikian akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.
Berdasarkan ide diatas Ibn Miskawaih secara tidak langsung menolak pendapat
sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak
tidak mungkin berubah.[35]
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak yang
disajikan oleh Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan yang harus
ditempuh, oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak. Ibn Miskawaih
secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain
dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau polisi tengah antara
dua ekstrim.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kemungkinan perubahan
akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah
masyarakat ada dua orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan
ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran
Islam. Alqur’an dan Hadits sendiri menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad
adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terdiri dari salah satu
tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentuk watak yang pada gilirannya akan
memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering
dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam
yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibn
Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh
oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara
umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan
keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua
ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak
secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan
ekstrem kekuatan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari
pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi
pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga,
jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs
as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah
(berfikir/rasional). Posisi
tengah jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi tengah
jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah
keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari
posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan
alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan
syari’at.[36]
Berikut ini rincian pokok
keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
1. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan
sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara
yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa
kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang
maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat
kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi
keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.[37]
Ibnu Miskawaih juga memberi
pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan
kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir
yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan
dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan
untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.[38]
Secara sederhana dapat kita
cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang
menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan,
sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini
diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut.[39]
2. Keberanian
Keberanian merupakan
keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing
oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini
kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut
terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah
berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari
keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi
seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam
menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada
dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam
hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih
spiritual dan tinggi.[40]
Sehingga dapat kita
simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya
adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya.
3. Menjaga Kesucian Diri
Menjaga kesucian diri
merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya
dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan
tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.[41]
Kesucian diri yang terdapat
pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa
mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.
4. Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa
menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing. Keadilan
yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan
akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri,
sehingga menghasilkan keseimbangan berupa keadilan. Adapun keadilan yang
diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan
agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal
ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila
manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa,
keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain.
Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah
terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa
ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan seseorang
untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu
Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga
untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia
menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau
menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa
manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi
dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
C. Komponen-komponen Pendidikan Akhlak
1.
Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih
adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan
memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat).
Dengan alasan ini, maka Ahmad’Abd Al-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa
menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang
akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup
manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Al-sa’adat merupakan konsep
komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity),
keberhasilan (success), kesempurnaan
(perfection), kesenangan (blessedness), dan kebagusan/kecantikan.
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya,
al-sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan
filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai tingkatan ini
sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya ia perlu menjelaskan adanya perbedaan
antara kebaikan (al-khair) dan
al-sa’adat. Di samping juga membuat berbagai tingkatan al-sa’adat. Kebaikan
bisa bersifat umum, sedangkan al-sa’adat merupakan kebaikan relatif, bergantung
orang perorang (al-khair bi al-idafat ila
shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu yang
bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh
karenanya, kebaikan merupakan tujuan setiap orang.
2.
Materi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn
Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu di pelajari, diajarkan atau di
praktikan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih
menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan
jalan bagi tercapainya tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibn Miskawaih
dijadikan pula sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah swt. Ibn Miskawaih
menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan
akhlaknya:
a. Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh.
b. Hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
c. Hal-hal yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama
manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak
membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum
mempelajarinya.
3.
Pendidik dan Anak Didik
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik
pertama bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikin
dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa,
penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak menjadi
persoalan. Dasar pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan
mengetahui penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara
sehingga dapat mencapai keutamaan. Guru
berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, tuan manusiawi atau orang yang
dimuliakan, kebaikan yang akan diberikan adalah kebaikan Illahi, karena ia
membawa anak didik kepada kearifan, mengisinya dengan kebajikan yang tinggi dan
menunjukan kepada mereka kehidupan abadi.
4. Lingkungan Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai
al-sa’adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar
saling tolong-menolong dan saling melengkapi,
kondisi demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai.
Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya akan terwujud karena
kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka al-sa’adat tidak dapat
terwujud sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam
ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya. Ia juga menyatakan
bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan
orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari saudara, anak, kerabat,
keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman.
Disamping itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabi’at
manusia adalah tabi’at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha
untuk memperolehnya bersama dengan
mahluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan saling
bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan
cinta sesamanya.
5.
Metode
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak
yang baik adalah pertama, adanya
kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh
keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua
pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[42]
Komentar
kita jika konsep tahzibul akhlak Ibnu maskawaih dihubungkan dengan perkembangan
di zaman modern adalah :
Seluruh aspek yang di kemukakan oleh ibnu miskawaih sangat
bersesuaian dengan perkembangan zaman modern sekarang ini, disebabkan oleh Pemikiran
Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya
dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin
jalan tengah. Pemikiran akhlak Ibn Miskawaih ternyata banyak dipengaruhi oleh
pemikiran etika Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Selanjutnya pemikiran akhlak
Ibn Miskawaih mempengaruhi filsafat akhlak Al-Ghazali dan Tusi. Sokrates
mempengaruhi Ibn Miskawaih tentang jiwa sebagai intisari akhlak. Plato
mempengaruhi Ibn Miskawaih dalam konsep jiwa manusia yang terbagi ke dalam tiga
daya. Dan Aristoteles mempengaruhi Ibn Miskawaih dalam konsep Jalan Tengah dan
penjelasan empat pokok keutamaan akhlak. Perbedaan yang mendasar antara Ibn
Miskawaih dengan ketiga filosof Yunani itu adalah dalam hal penggunaan landasan
teori jalan tengah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa secar filosofis pemikiran
akhlak Ibn Miskawaih dipengaruhi oleh pemikiran Sokrates, Plato, dan
Aristoteles. Sedangkan pendekatan gabungan antara filasafat dan wahyu adalah
murni tesis Ibn Miskawaih. Selanjutnya pemikiran akhlak Ibn Miskawaih
mempengaruhi pemikiran akhlak al-Ghazali dalam hal konsep jiwa manusia, konsep
jalan tengah, dan landasan untuk meraih jalan tengah. Adapaun pengaruhnya
terhadap Tusi terletak pada konsep kebahagiaan utama. Oleh karena itu semua,
maka penerapan pendidikan akhlak atau yang dinamakan dengan penerapan tahzibul
akhlak oleh ibnu miskawaih bersesuaian dengan konsep perkembangan pendidikan di
zaman modern sekarang. Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
|
Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq,
ed. Syekh. Hasan Tamir, Beirut,
Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H .
A. Musthofa, Filsafat Islam, Bandung,
Pustaka Setia, 2009.
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Yogyakarta, Belukar, 2004.
Haidar Bagir, Buku
Saku Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2005.
Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,Kairo, Dar
Al-Maarif, 1971.
Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.
Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
ed. Sayyed Hossein Nasr, Bandung, Mizan, 2003.
|
3.
Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam,
masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu.
Berikan penjelasan yang utuh terhadap hal demikian ! dan bagaimana komentar
anda ?
Jawaban :
Penjelasan
tentang Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam
islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu.
Peran Akal Dan Wahyu
A. MU’TAZILAH
Menurut kaum Mu’tazialh
bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaran akal dan
kewajiban-kewajiban dapata diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib .
Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal manusia , maka dari itu melakukan
yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib .
Kemudian kewajiban
mengetahui dan berterimakasih kepada Tuhan serta kewajiban menjauhi yang buruk
dan melakukan yang baik dapat diketahui oleh akal .
Dimana kaum Mu’tazilah sanggup mengetahui mana yang seharusnya dilakukan
dan mana yang seharusnya ditinggalkan , sunguhpun wahyu belum ada . Selanjutnya wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan
diperoleh manusia di akhirat .[43]
B. ASY’ARIYAH
Kaum Asy’ariyah bahwa akal
tak dapat mebuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa melakukan
yang baik serta menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia .
Benar akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang
mengetahutahui Tuhan serta berterima kasih kepada Tuhan .
Begitupun bahwa akal dapat
mengetahui Tuhan , tetapitidak dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan , karena segala kewajiban dapat
diketahui hanya melalui wahyu. Kemudian soal mengetahui Tuhan , dimana bahwa
wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang yang bersifata dijadikan
, mengandung arti bahwa soal itu bisa diketahui dengan akal .[44]
C. MATURIDIYAH
Menurut Maturidiah bahwa
kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik serta menjauhi
yang buruk , wahyulah yang berfungsi untuk menentukannya .Disamping itu bahwa
percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepad-Nya sebelumadanya wahyu adalah
wajib .
Jadi disini dapat
dibandingkan fungsi akal dan wahyu dalam aliran Maturidiah Bukhara dengan
Samarkand yaitu:
- Dalam Maturidiah Bukhara dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu bisa memberitahukan tentang kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik serta menjauhi yang jahat , sedangkan fungsi akal itu bisa mengetahui Tuhan dan bisa mengetahui baik dan jahat .
- Dalam Maturidiah Samarkand dapat disimpulkan pula bahwa wahyu hanya memberitahukan tentang kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat, sedangkan fungsi akal dapat mengetahu Tuhan , dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan .[45]
Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan beberapa Referensi tentang peran akal
dan wahyu, maka:
a. Kaum Mu’tazilah , Asy’ariyah dan Maturidiah adalah aliran teologi dalam
Islam yang berpegang pada wahyu Tuhan dan mempergunakan akal yang timbul di
kalangan umat Islam , betapapun perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan
terdapat pada mereka dan juga didapati perbedaan dalam memfungsikan wahyu . Hal
ini tidak obahnya ditemui perbedaan dalam bidang hukum Islam .
b. Aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal mempunyai peran yang
besar dan kuat memberi Interorestai tentang teks wahyu Tuhan akan melahirkan
pendapat-pendapat yang Liberal, seperti kaum Mu’tazilah . Akibat dari pada
aliran ini, maka ruang gerak dalam menyesuaikan hidup dari masa kemasa dan
perubahan kondisi dalam masyarakat bagi para penganutnya adalah luas, terutama
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. dengan golongan yang memberikan peran wahyu
lebih besar dari pada fungsi akal seperti Asy’ariyah, pendapat golongan ini
kurang mempunyai ruang gerak karena merekaterikat dengan pada dogma-dogma
alim-ulama’ dan ayat-ayat yang boleh mengandung arti laindan arti letterlek
yang terkandung didalamnya .Dengan
demikian , golongan ini sukar dapat mengikuti perubahan dan perkembangan
sains dan teknologi . Adapun aliran Maturidiah , corak pemikirannya berada pada
antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah . Penganut aliran ini lebih leluasa ruang
geraknya dalam menghadapi perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi serta
masyarakat modern dari pada kaum Asy’ariyah .
c. Jiwa dan pemikiran kaum terpelajar lebih sesuai mengikuti teologi liberal
dari pada teologi tradisionil dalam menghadapi perkembangan masyarakat modern .
Golongan awam lebih sukar menangkap pembahasan yang bersifat filosofis dan
mudah menerima teologi terdisionil yang uraiannya sederhana .
d. Dengan perbedaan pendapat dalam teologi Islam , umat Islam akan mempunyai
keilmuan dan wawasan yang luas dalam kehidupan masyarakat modern , sehingga diantara para penganutnya
memiliki jiwa yang besar dan minat berlomba dalam berkarya untuk mencari
kehidupan yang sakinah didunia dan selamat dari pada siksa Tuhan di kemudian
hari nanti , hari pembalasan .
e. Semua aktifitas manusia tidak terlepas dari pada iradah Tuhan, baik yang
membawa kemudharatan atau kemaslahatan bagi dirinya dan lingkungan adalah
sebagai cobaan Tuhan, kelak kemudian akan dimintai pertanggung jawaban .Tuhan Maha Pengasih lagi Penyayang kepada
hamba yang dikehendaki-Nya sesuai dengan amalnya . Tuhan mempunyai wewenang
untuk memberi pahala atau menghukum seseorang yang berbuat kejahatan . Manusia
mempunyai pilihan untuk melakukan sesuatu lantaran akal mdan bimbingan wahyu .
Berbahagialahorang yang mendapatkan ridha Tuhan dan sebaliknya , merugilah
orang yang mendapatkan hukuman-Nya .
komentar
kita tentang Akal dan wahyu dan lainnya adalah :
. Sekalipun berbeda pendapat diantara aliaran-aliran tersebut , para
penganutnya sangat tercela bila menyalahkan pendapat yang tidak seide dengannya
, bahkan mengkafirkan diantara mereka sebagaimana yang pernah terjadi . Dengan
kata lain , mereka saling kafir mengkafirkan
.Pada dasarnya semua aliaran tersebut , tidaklah keluar dari Islam ,
sebab mereka sama-sama ingin memurnikan ke Esaan Tuhan sesuai dengan pola
berfikir mereka dan mereka sama-sama menerima peran wahyu dan akal .
Wahyu
adalah firman –firman Tuhan, sedangkan akal adalah anugrah Yang Maha Bijaksana
, yang diberikan kepada manusia untuk membaca, memahami ayat-ayat Tuhan baik
yang tertulis dalam kitab suci umat Islam maupun kebesaran Tuhan sebagaimana
keberadaan semesta ala mini dan agar dapat mengamalkan petunnjuk-petunjuk yang
terkandung didalamnya , sehingga kehidupannya dimuka bumi ini mendapatkan
kehidupan yang berarti dan selamat dari pada siksa Tuhan di hari pembalasan
nanti . Inilah sebenarnya peran akal manusia yang dimilikinya dan wahyulah
pembimbingnya menuju rhidaTuhan . Jadi,
ke duanya tidak perlu dipertentangkan . Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
|
Harun
Nasution , Akal dan wahyu dalam Islam , Penerbit Universitas Indonesia
, Jakarta , 1978.
Al-Maturidi, Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmid , Syarah
al-Fiqh al-Akbar, Hydrabad: Da’irah al-Ma’arif al-Nizamiyah,1321 H.
Ash-Syhiddiq ,Hasbi, TM, Dr . Prof . , Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid/ Kalam , Bulan Bintang, Jakarta , 1976 .
Bakar, Abu Aceh , Sejarah Filsfat Islam , Ramdhani , Solo, 1982.
|
4. Tarekat berada di dunia islam. Ada tarekat qadiriah dan ada
tarekat tijaniyah, uraikan ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar anda
terhadap tarekat tijaniyah ?
Jawaban :
Uraian
ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar kita terhadap tarekat tijaniyah,
adalah :
Adapun Ajaran tarekat Qadiriyah memiliki dua aspek, diantaranya
ialah:[46]
1. Aspek Teoritis
Aspek teoritis adalah ungkapan tentang nasehat-nasehat dan
wasiat-wasiat yang dengannya Syeikh `Abd al-Qadir Jailani menasehati
pengikut-pengikutnya agar berpegang teguh kepada al-Kitab dan as-Sunnah serta
berpegang kepada akhlak yang terpuji. Seakan-akan beliau berkata tidak akan
meletakkan wirid-wirid, dzikir-dzikir, atau ibadah-ibadah yang tidak dijelaskan
di dalam al-Kitab dan as-Sunnah.
2. Aspek Praktis
Aspek praktis ini diciptakan oleh para pengikut-pengikutnya atau
orang-orang sesudahnya, yang kemudian dinisbatkan kepadanya dan muncul
tanda-tanda bid’ah serta penyelewengan dari al-Kitab dan as-Sunnah, diantaranya
adalah:
a. Berkhalwat (Bersemedi)
Menurut kaum sufi, berkhalwat
merupakan suatu salah satu keharusan rohani yang harus ditempuh oleh seorang
salik untuk menjadi seorang sufi. Mereka juga meyakini bahwa berkhalwat menjadi
bukti atas kesungguhan taubat dan menguatkan keikhlasan. Berkhalwat dianggap
sebagai masa-masa terbaik yang dilakukan seorang manusia bersama Tuhannya.
Tujuan berkhalwat menurut mereka adalah untuk mengetahui sejauh mana kesiapan
seseorang untuk pindah dari satu maqam kepada maqam berikutnya
dan dari satu akhwal kepada akhwal berikutnya.
b. Salat Qadiriyah
Salat Qadiriyah merupakan salah satu dasar dalam wirid
Qadiriyah. Telah diriwayatkan tentang fadilat dan anjuran terhadapnya dari
Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni, yang mana beliau menulis satu bab khusus dengan
judul, “Pasal tentang fadilat salat antara maghrib dan isya’.”
c. Hizib Muh
Hizib ini dinisbatkan kepada Syeikh `Abd al-Qâdir
Jîlâni yang menulis buku al-Auraad al-Qadiriyah, dan dikira hizib ini
diriwayatkan dari Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yaitu:[47]
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. اَلَّلهُمَّ مَحَا
مَحَا مَحَا وَحَا بَحَا حَمَا لاَيُنْصَرُوْنَ. (وَجَعَلنَا مِنْ بَيْنِ
أَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ
لاَيُبْصِرُوْنَ). كهيعص حم عسق لاَيَصْدَعُوْنَ عَنْهَا وَلاَيُنْزَفُوْنَ
يَارَبُّ (ثَلاَثًا) وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ
الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَسَلَّمَ.
Hizib ini termasuk wirid utama menurut penganut tarekat Qadiriyah dan
mereka mengira bahwa siapa yag membacanya di waktu pagi dan sore sebanyak tiga
kali, maka dia tidak akan terkena bahaya apapun atas seizin Allah.[48]
d.
Shalawat
Kibrit Ahmar
Penulis kitab al-Auraad al-Qadiriyah
menyebutkan suatu dzikir yang mencakup shalawat atas Nabi Muhammad saw, yang
dinamakannya dengan Shalawat Kibrit Ahmar, yang dinisbatkan kepada Syeikh `Abd
al-Qâdir Jîlâni
e.
Hizib
Alif Qaim
Doa ini dinisbatkan oleh penulis al-Auraad
al-Qadiriyah kepada Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni.
Teks doa tersebut adalah:
اللهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِالألِفِ الْقَائِمِ
الَّذِى لَيْسَ مُهْلُهُ سَابِقٌ وَبِالْلاَّمَيْنِ الَّلذَيْنِ لَمَعَتْ بِهِمَا
الأسْرَارُ وَجَعَْتُهُمَا بَيْنَ الْعَقْلِ وَالرُّوْحِ وَأخَذْتُ عَلَيْهِمَا الْعَْدَ
الْوَاثِقَ وَبِالْهَاءِ الْمُحِيْطِ بِالْعُلُوْمِ الْحَوَامِدِ الْمُتَحَرِّكِ
الصَّوَامِتِ النَّوَاطِقِ وَأسْألُكَ الْوَصْلَ بِالسِّرِّ الضَّيِّ مِنْهُ
الْعُقُوْلُ فَهُوَ مِنْ قُرْبِهِ ذُهْلٌ أَيَتَنَوَّخُ أمْلُوْخٌ مَهِيَاشٌ
مَهَايِشُ ...
Wirid ini sama dengan
doa sebelumnya –dalam wirid shalawat Nabi saw- yang di dalamnya mengandung
kata-kata aneh yang tidak dipahami maknanya dan mengandung pula
anggapan-anggapan bathil dalam huruf hijaiyah dan istilah-istilah yang tidak
ada maknanya.
f. Berzikir kepada Allah dengan Lafal Jalalah saja
“Allah” atau dengan Dhamir “Huwa”
Tarekat Qadiriyah
seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, melatih zikir kepada Allah dengan hanya
memakai kalimat jalalah tunggal, yaitu dengan mengulang-ulang kata “Allah” atau
dhamir “huwa”. Penulis buku Dhiya’ al-Mustabin berkata: “Sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk berzikir dengan kata ‘Allah’ dan tidak menyuruh untuk
menambahnya dengan kalimat apapun pada kata ini karena itu zikir khusus bagi
hamba-hamba-Nya yang dengan mereka Allah menjaga alam dunia.
g. Menjaga Salat-salat Khusus
Mereka menjaga
salat-salat khusus di siang, malam, minggu, bulan Rajab, bulan Sya’ban, dan
sebagainya. Hal yang demikian itu merupakan bid’ah.[49]
KOMENTAR
KITA TERHADAP TAREKAT TIJANIYAH, ADALAH :
Tareqat Tijaniyyah memang bersesuaian dengan tarekat yang lain dan
juga berlandaskan kepada Al-qur’an dan hadis dan tidak bertentangan dengan
ajaran yang di bawa oleh Rasulullah saw serta memelihara syari’at islam yang
kaffah lagi mulia baik yang berhubungan dengan ‘amaliyah, qalbu seperti khuyu’,
ikhlas, dan tawadhu’. Selama tarekat tersebut tidak melenceng dari kaidah
keislaman dan syari’at yang berlaku dalam islam.
Tariqat Tijaniyyah adalah orang yang mau bertaubat dosanya, dan mau
melaksanakan semua kewajiban thariqatnya, melaksanakan segala perintahnya Allah
dan menjahui segala laranganNya, dengan makna amar ma’ruf nahi mungkar, lebih
mementingkan kebersihan hati dari segala macam penyakit yang samar dan menjahui
segala perbuatan maksiat lahir, disiplin dalam melaksanakan kewajiban yang
bersifat individual (fardhu’ain) dan memperbanyak ‘amaliyah yang baik dari
segala dose yang telah ia perbuat. Diantara ‘amaliyah adalah membaca istighfar dan berzikir kepada
Allah swt. Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
|
Sri Mulyati, 2004. Mengenal & Memahami
Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta Timur: Prenada Media.
Drs.
Moh. Saifulloh Al-Azis, Manaqib, Surabaya : Terbit Terang.
Al-Auraad
al-Qadiriya.
|
5. Mu’tazilah
dan ahlussunnah kedua-duanya membawa ajaran syafa’at. Jelaskan dan berikan
komentar terhadap ajaran syafa’at ?
Jawaban :
Penjelasan dan komentar kita
terhadap ajaran syafa’at, adalah :
MENURUT MU’TAZILAH :
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “Tuhan
Maha Adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling menonjol untuk menunjukkan
kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini
bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan
manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan
terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang
adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.[50]
Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya. Ajaran tentang keadilan ini
berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
Perbuatan Manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara
langsung atau tidak.[51]
Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk.
Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
Berbuat Baik Dan Terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut
ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik,
bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya
karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu
sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang,
dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya,
tuhan juga tidak maha sempurna.[52]
Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat
jahat.[53]
Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan,
yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak
seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.[54]
Mengutus Rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan,
karena alasan-alasan berikut ini :
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia
dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih
kepada manusia (Q.S asy-syuraa 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan mengutus rasul. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan
lain kecuali dengan mengutus rasul.[55]
Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran
kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha
adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat
dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi
orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi
orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan
bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.[56]
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun
yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa
yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak
memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala
bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali
bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali
bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam
neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah
mengampuninya.[57]
Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan
tidak melakukan perbuatan dosa
Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran
Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang
melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap
orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa
orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan.
Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri
mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya
amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan
al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa
besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu,
dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut
“orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula
kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[58]”Mengomentari
pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan
hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain
dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[59]
Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak
dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut
adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan
pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak
karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan masih mengerjakan
kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan
dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan
kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir.
Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang
lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah
ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang
kecil.
MENURUT
AHLUSSUNNAH :
Zainuddin
mengemukakan bahwa golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu
golongan dapat dianggap atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga syarat
:
1. Mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan lisannya
2. Ucapan itu
diikuti kepercayaan dengan hatinya
3. Dan dibuktikan
dengan amal yang nyata
Adapun
tentang dosa, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum
bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat.
Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia
masuk neraka, tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah
selesai menjalani hukuman neraka, tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena
imannya.[60]
Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa
menurut ahlussunnah apa yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang
dilarangnya itu buruk. Menurut mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada
kejahatan yang mutlak, karena itu hak prerogratif-Nya.
Menurut
Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan oleh Zainuddin, barangsiapa yang mati dalam
keadaan kafir atau melakukan dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka,
dan barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk
selama-lamanya. Kaum mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan
Allah dan syafaat di hari kiamat.[61]
Asy’ariyah
tidak sepaham dengan mu’tazilah mengenai al-wa’d wa al-wa’id tersebut. Menurut
ahlussunah asy’ariyah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang
mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang
dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at
(pembelaan) daripada Nabi dan para Rosul serta para sholihin di hari kiamat .[62]
Lebih
lanjut, Zainuddin mengemukakan bahwa dasar pemikiran Asy’ariyah ialah bahwa
Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang
dia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata
Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu
ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam
neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu
ialah memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan
pada tempatnya. Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu,
sehingga tidak bisa digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya. Sebaliknya soal
al-wa’d wa al-wa’id, al-maturidi sepaham dengan mu’tazilah. Menurutnya,
janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.[63]
KOMENTAR
KITA TERHADAP AJARAN SYAFA’AT, ADALAH :
Adanya syafaat disisi Allah
pada hari akhir atau hari kiamat adalah bukanlah kedudukan yang dapat dicapai
oleh seluruh orang. Tetapi merupakan kedudukan orang-orang yang dimuliakan dan
diistimewakan oleh Allah swt . Syafaat disalahpahamkan dan terkadang dijadikan sebagai pelarian dari
pelaksanaan kewajiban padahal syafaat adalah hasil amal perbuatan kita selama
berada di dunia ini yang disebut juga sebagi tempat bercocok tanam (ibadah).
Bahwa jika seorang hamba beramal mulia dan salih maka sudah sepastasnya baginya mendapat syafaat. Misalnya tidak
menyia-nyiakan dan lalai dalam berbuat ibadah kepada Allah swt, dan tidak menjadikan
syafaat Nabi dan para kekasih Allah
sebagai dalih dan alasan boleh berbuat dosa. Wallahu a’lam . Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
|
Asy-Syahrastani,
Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub
al-'Ilmiyah, 1951.
Abu
Zahrah, Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta :
Logos Publishing House, 1996.
A.
Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
Izutsu,
Tosihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri
Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Mazru’ah,
Mahmud, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Kairo: Dar Al-Manar, 1991.
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986.
Razak,
Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Syak’ah,
Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu
Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008
|
[4] http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html di akses tgl 21 februari 2013.
[11]Tim penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel, Akhlak..., h.252-253.
[12] Amin Syukur, Tasawuf
Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h.30.
[13] Fauzan,”Maqamat dan
Ahwal”, dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.html
diakses tgl 09/02/2014 pukul 23.08.
[18] http://sufiroad.blogspot.com/2010/08/tauhid-dan-marifatullah.html diakses tgl 09/02/2014
pukul 23.08
[20] Ali Anwar Yusuf, Studi
Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.200.
[22] http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html.
[29] Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat
Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 32.
[37] Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat
Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[38] Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat
Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 46.
[40] Oliver
Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr,
(Bandung, Mizan, 2003), hal. 312.
[41] Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat
Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[42] Ibn
Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat
Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H).
[43] Harun Nasution , Akal
dan wahyu dalam Islam , Penerbit Universitas Indonesia , Jakarta , 1978 . Hal
77.
[44] Ash-Syhiddiq ,Hasbi,
TM, Dr . Prof . , Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam , Bulan Bintang,
Jakarta , 1976 .hal 34-35.
[45] Al-Maturidi, Abu Mansur
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmid , Syarah al-Fiqh al-Akbar, Hydrabad: Da’irah
al-Ma’arif al-Nizamiyah,1321 H. Hal 56-62.
[46] Sri Mulyati, 2004. Mengenal & Memahami
Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta Timur: Prenada Media. Hal.
26-32.
[47] Drs. Moh.
Saifulloh Al-Azis, Manaqib, (Surabaya : Terbit Terang), hlm. 9
[48] Al-Auraad
al-Qadiriyah, hlm. 21.
[49] Sri Mulyati, 2004. Mengenal & Memahami
Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta Timur: Prenada Media. Hal.
35-42.
[50] Abdur Razak
dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 83
[51] Mahmud
Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991),
hal. 122.
[52] Ibid
[53] Muhammad bin
Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal…, hal. 54.
[54] Mahmud
Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah…, hal. 128.
[55] Ibid
[56] Ibid, hal.
138-139.
[57] Abdur Razak
dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 85.
[58] Tosihiko
Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein
dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53.
[59] Ibid
[62] Nasution, Harun.(2002).
Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.Hal 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar