View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

KHAZANAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM



BERKAS JAWABAN FINAL

MATA KULIAH
KHAZANAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM

Disusun Oleh:

Nama               : Muhammad Tsabirin
NIM                : 25131715-2
Konsentrasi     : Pendidikan Bahasa Arab
Kelas               : Reguler
Mata kuliah     : Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Dosen Pembimbing:
Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA


A IAIN







PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2014 M / 1435 H



KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, yang telah memberikan umur panjang dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw, yang telah menerangi dunia ini dengan ilmu. Penghormatan kepada Dosen Pembimbing bapak Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA, yang telah membimbing mata kuliah Khazanah Pemikiran Dalam Islam sehingga penulis telah dapat menyelesaikan tugas final yang terdiri dari beberapa point pertanyaan.

Penulis menyadari bahwa, didalam makalah ini sangat banyak sekali terdapat kekurangan dan juga kekeliruan baik dari segi pengumpulan bahan dan penulisan.

Inilah sekilas pengantar yang dapat penulis utarakan, atas saran dan kritik yang membangun kepada penulis, diucapkan ribuan terima kasih dan hanya kepada Allah penulis kembalikan semua. Wakafaa billahi syahiyda.
                                                               
                         Banda Aceh, 10 Februari 2014

                                                                                                   Penulis,












DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR................................................................................        1
DAFTAR ISI................................................................................................        2

                                                                                                                                   

ISI JAWABAN FINAL.................................................................................... 5



1.      Tasawuf adalah pemahaman islam melalui pendekatan rohaniah untuk menuju menjadi sufi dibutuhkan banyak pendekatan. Jelaskan maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf ?                     5
2.      Ibnu maskawaih adalah salah seorang sufi besar khusus dalam bidang pendidikan akhlak. Uraikan pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya atas konsep tahzibul akhlaknya. Dan bagaimana komentar anda jika dihubungkan dengan perkembangan di zaman modern ?                       21
3.      Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu. Berikan penjelasan yang utuh terhadap hal demikian ! dan bagaimana komentar anda ?....................      31
4.      Tarekat berada di dunia islam. Ada tarekat qadiriah dan ada tarekat tijaniyah, uraikan ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar anda terhadap tarekat tijaniyah ?      34
5.      Mu’tazilah dan ahlussunnah kedua-duanya membawa ajaran syafa’at. Jelaskan dan berikan komentar terhadap ajaran syafa’at ?......................................................      37

DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 1...................................................               20

DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 2..................................................                30

DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 3...................................................               34

DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 4..................................................                37

DAFTAR PUSTAKA PERTANYAAN 5..................................................                42



UJIAN FINAL
MATA KULIAH KHAZANAH PEMIKIRAN DALAM ISLAM

Perbaiki makalah semaksimal mungkin
1. Tasawuf adalah pemahaman islam melalui pendekatan rohaniah untuk menuju menjadi sufi dibutuhkan banyak pendekatan. Jelaskan maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf ?
2. Ibnu maskawaih adalah salah seorang sufi besar khusus dalam bidang pendidikan akhlak. Uraikan pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya atas konsep tahzibul akhlaknya. Dan bagaimana komentar anda jika dihubungkan dengan perkembangan di zaman modern ?
3. Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu. Berikan penjelasan yang utuh terhadap hal demikian ! dan bagaimana komentar anda ?
4. Tarekat berada di dunia islam. Ada tarekat qadiriah dan ada tarekat tijaniyah, uraikan ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar anda terhadap tarekat tijaniyah ?
5. Mu’tazilah dan ahlussunnah kedua-duanya membawa ajaran syafa’at. Jelaskan dan berikan komentar terhadap ajaran syafa’at ?

6. Jawablah pertanyaann ini  semua dengan menggunakan Referensi
7. Peraturan dan kode etik :
- Semua dimasukkan ke dalam satu flash disk
- Makalah dan perbaikan  (software saja)
- Dimasukkan semua hasil kerja orang dalam satu flasdisk
- Kumpul 10 hari setelah hari ujian
- Kirim ke email pada malam ujian


Email pak safir:
safir.iskandarwijaya@gmail.com






1. Tasawuf adalah pemahaman islam melalui pendekatan rohaniah untuk menuju menjadi sufi dibutuhkan banyak pendekatan. Jelaskan maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf ?

Jawaban :
Penjelasan maqam-maqam dan ahwal dalam tasawuf adalah :

Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.

A. PENJELASAN MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF ADALAH :
A. MAQAMAT
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan  al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:[2]
1.      Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua. Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.[3]
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya.[4]
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (ال عمران: 135) 
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali Imron: 135).
 .....وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (النّور: 31)  
Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)[5]
2.      Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Untuk lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn Qudamah al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.[7]
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di antaranya:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (النّساء: 77)  
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’: 77).
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (الأنعام : 32)  
Artinya:  Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata. Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah.
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a.       Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1)      As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2)      Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3)      A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
b.      Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1)      Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2)      Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3)      Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan Allah.
c.       Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1)      Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2)      Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
d.      Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat, dan segala kesenangan dunia.[8]
3.      Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[9]
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[10]
4.      Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.[11]    
5.      Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.[12] Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[13]
6.      Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.[14]
7.      Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.[15]
8.      Mahabbah
 Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin, yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifat para sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya adalah:
a.       Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b.      Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c.       Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d.      Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan membaca kitab-Nya.
e.       Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu selain Allah dan merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f.       Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap perintah itu sebagai beban.
g.      Menyanyangi semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua musuh Allah.[16]
9.      Ma’rifat
 Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.[17]
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
 وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ (الرعد: 15) 
Artinya: Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[18]


B. PENJELASAN AHWAL DALAM TASAWUF ADALAH :
B. AHWAL
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih[19]. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[20] Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.[21] Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.[22]
2.      Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut  Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.       Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.       Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.[23]
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.” Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu.
 Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut."[24]
3.      Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
 إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة: 218)  
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a.       Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b.      Takut bila harapannya hilang.
c.       Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.[25]
4.      Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[26]
5.      Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.[27]
6.      Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
            Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.[28]
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004.

Asmaran, As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.

Syukur, Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003.

Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011.

Yusuf, Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003.


Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011




2. Ibnu maskawaih adalah salah seorang sufi besar khusus dalam bidang pendidikan akhlak. Uraikan pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya atas konsep tahzibul akhlaknya. Dan bagaimana komentar anda jika dihubungkan dengan perkembangan di zaman modern ?

Jawaban :
Uraian pemikiran ibnu maskawaih dengan sejelas-jelasnya atas konsep tahzibul akhlaknya adalah :
A.    Struktur Eksistensial Manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibn Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Menurut Ibn Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat dari tingkat yang paling rendah yaitu:
  • Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
  • Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
  • Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
  • Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
  • Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
  • Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah (bernafsu) dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa (al-Nafs al-Bahimiyyah, al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah, al-Nafs al-Natiqah). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Ibn Miskawaih dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia bekerja secara harmonis dan senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan perbuatan-perbuatan moral yang akan menguntungkan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung pada factor pendidikan yang sedemikian rupa akan membentuk tata hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat keputusan-keputusan yang memang diperlukan manusia dalam  merealisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu kemestian dalam dunia pendidikan.[29]
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua macam jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Mana yang lebih dominan diantara dua macam jiwa yang lain tadi, maka demikianlah kadar turun derajat kemanusiaannya. Manusia harus pandai menentukan pilihan untuk menundukan dirinya dalam derajat mana yang seharusnya.[30]
Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah, nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan takabur. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.[31]
B.     Pokok Keutamaan Akhlak
Akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam Alqur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh, dan sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Agama tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali dibarengi dengan akhlak yang mulia.[32]
Pembicaraan mengenai akhlak tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Sebagai khalifah manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam ini tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan dalam surat Shad ayat 27:
 وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
 وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
Artinya: “dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”.
 Sebagai makhluk, manusia harus berusaha mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat Ad-Dzariyyat ayat 56:

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Akhlak dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama yang menjadi landasan pemikiran. Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat universal dan fitri. Allah berfirman pada surat Al-Syams ayat 8-10:
             فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, mengajarkan  agar untuk mengetahui baik dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati nurani kita. Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya semua manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.[33]
Menurut Ibn Miskawaih, untuk menuju pada kesempurnaan diri, manusia harus melaluinya dengan aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[34]
Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada juga yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang demikian akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Berdasarkan ide diatas Ibn Miskawaih secara tidak langsung menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.[35]
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak yang disajikan oleh Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan yang harus ditempuh, oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak. Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau polisi tengah antara dua ekstrim.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada dua orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Islam. Alqur’an dan Hadits sendiri menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terdiri dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentuk watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekuatan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional). Posisi tengah jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari’at.[36]
Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
1.      Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.[37]
Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.[38]
Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut.[39]
2.      Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spiritual dan tinggi.[40]
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya.
3.      Menjaga Kesucian Diri
Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.[41]
Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.
4.      Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
C.    Komponen-komponen Pendidikan Akhlak
1.      Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat). Dengan alasan ini, maka Ahmad’Abd Al-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Al-sa’adat merupakan konsep komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kebagusan/kecantikan.
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, al-sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai tingkatan ini sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya ia perlu menjelaskan adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair) dan al-sa’adat. Di samping juga membuat berbagai tingkatan al-sa’adat. Kebaikan bisa bersifat umum, sedangkan al-sa’adat merupakan kebaikan relatif, bergantung orang perorang (al-khair bi al-idafat ila shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu yang bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh karenanya, kebaikan merupakan tujuan setiap orang.
2.      Materi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu di pelajari, diajarkan atau di praktikan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan jalan bagi tercapainya tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibn Miskawaih dijadikan pula sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah swt. Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya:
a.       Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh.
b.      Hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
c.       Hal-hal yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum mempelajarinya.
3.      Pendidik dan Anak Didik    
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikin dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak menjadi persoalan. Dasar pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara sehingga dapat mencapai keutamaan.  Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, tuan manusiawi atau orang yang dimuliakan, kebaikan yang akan diberikan adalah kebaikan Illahi, karena ia membawa anak didik kepada kearifan, mengisinya dengan kebajikan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan abadi.
4.      Lingkungan  Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai al-sa’adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling tolong-menolong dan saling melengkapi,  kondisi demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka al-sa’adat tidak dapat terwujud sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya. Ia juga menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari saudara, anak, kerabat, keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman.  Disamping itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabi’at manusia adalah tabi’at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha untuk  memperolehnya bersama dengan mahluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan  memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan cinta sesamanya.
5.      Metode
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[42]

Komentar kita jika konsep tahzibul akhlak Ibnu maskawaih dihubungkan dengan perkembangan di zaman modern adalah :
Seluruh aspek yang di kemukakan oleh ibnu miskawaih sangat bersesuaian dengan perkembangan zaman modern sekarang ini, disebabkan oleh Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Pemikiran akhlak Ibn Miskawaih ternyata banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Selanjutnya pemikiran akhlak Ibn Miskawaih mempengaruhi filsafat akhlak Al-Ghazali dan Tusi. Sokrates mempengaruhi Ibn Miskawaih tentang jiwa sebagai intisari akhlak. Plato mempengaruhi Ibn Miskawaih dalam konsep jiwa manusia yang terbagi ke dalam tiga daya. Dan Aristoteles mempengaruhi Ibn Miskawaih dalam konsep Jalan Tengah dan penjelasan empat pokok keutamaan akhlak. Perbedaan yang mendasar antara Ibn Miskawaih dengan ketiga filosof Yunani itu adalah dalam hal penggunaan landasan teori jalan tengah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa secar filosofis pemikiran akhlak Ibn Miskawaih dipengaruhi oleh pemikiran Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Sedangkan pendekatan gabungan antara filasafat dan wahyu adalah murni tesis Ibn Miskawaih. Selanjutnya pemikiran akhlak Ibn Miskawaih mempengaruhi pemikiran akhlak al-Ghazali dalam hal konsep jiwa manusia, konsep jalan tengah, dan landasan untuk meraih jalan tengah. Adapaun pengaruhnya terhadap Tusi terletak pada konsep kebahagiaan utama. Oleh karena itu semua, maka penerapan pendidikan akhlak atau yang dinamakan dengan penerapan tahzibul akhlak oleh ibnu miskawaih bersesuaian dengan konsep perkembangan pendidikan di zaman modern sekarang. Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
  Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir,  Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H .

  A. Musthofa, Filsafat Islam,  Bandung, Pustaka Setia, 2009.

  Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970.

  Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih,  Yogyakarta, Belukar, 2004.

   Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2005.

  Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,Kairo, Dar Al-Maarif, 1971.

    Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.

   Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, Bandung, Mizan, 2003.












3. Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu. Berikan penjelasan yang utuh terhadap hal demikian ! dan bagaimana komentar anda ?

Jawaban :
Penjelasan tentang Akal dan wahyu punya peran dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam, masing-masing aliran teologis punya konsep tentang peran akal dan wahyu.

Peran Akal Dan Wahyu
A. MU’TAZILAH
            Menurut kaum Mu’tazialh bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaran akal dan kewajiban-kewajiban dapata diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib . Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal manusia , maka dari itu melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib .
            Kemudian kewajiban mengetahui dan berterimakasih kepada Tuhan serta kewajiban menjauhi yang buruk dan melakukan yang baik dapat diketahui oleh akal .
Dimana kaum Mu’tazilah sanggup mengetahui mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya ditinggalkan , sunguhpun wahyu belum ada . Selanjutnya wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat  .[43]

B. ASY’ARIYAH
            Kaum Asy’ariyah bahwa akal tak dapat mebuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa melakukan yang baik serta menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia .
Benar akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahutahui Tuhan serta berterima kasih kepada Tuhan .
            Begitupun bahwa akal dapat mengetahui Tuhan , tetapitidak dapat mengetahui  kewajiban berterima kasih kepada Tuhan , karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Kemudian soal mengetahui Tuhan , dimana bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang yang bersifata dijadikan , mengandung arti bahwa soal itu bisa diketahui dengan akal .[44]

C. MATURIDIYAH
            Menurut Maturidiah bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik serta menjauhi yang buruk , wahyulah yang berfungsi untuk menentukannya .Disamping itu bahwa percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepad-Nya sebelumadanya wahyu adalah wajib .
            Jadi disini dapat dibandingkan fungsi akal dan wahyu dalam aliran Maturidiah Bukhara dengan Samarkand yaitu:
  1. Dalam Maturidiah Bukhara dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu bisa memberitahukan tentang kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik serta menjauhi yang jahat , sedangkan fungsi akal itu bisa mengetahui Tuhan dan bisa mengetahui baik dan jahat .
  2. Dalam Maturidiah Samarkand dapat disimpulkan pula bahwa wahyu hanya memberitahukan tentang kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat, sedangkan fungsi akal dapat mengetahu Tuhan , dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan .[45]

Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan beberapa Referensi tentang peran akal dan wahyu, maka:
a.       Kaum Mu’tazilah , Asy’ariyah dan Maturidiah adalah aliran teologi dalam Islam yang berpegang pada wahyu Tuhan dan mempergunakan akal yang timbul di kalangan umat Islam , betapapun perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan terdapat pada mereka dan juga didapati perbedaan dalam memfungsikan wahyu . Hal ini tidak obahnya ditemui perbedaan dalam bidang hukum Islam .
b.      Aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal mempunyai peran yang besar dan kuat memberi Interorestai tentang teks wahyu Tuhan akan melahirkan pendapat-pendapat yang Liberal, seperti kaum Mu’tazilah . Akibat dari pada aliran ini, maka ruang gerak dalam menyesuaikan hidup dari masa kemasa dan perubahan kondisi dalam masyarakat bagi para penganutnya adalah luas, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.  dengan golongan yang memberikan peran wahyu lebih besar dari pada fungsi akal seperti Asy’ariyah, pendapat golongan ini kurang mempunyai ruang gerak karena merekaterikat dengan pada dogma-dogma alim-ulama’ dan ayat-ayat yang boleh mengandung arti laindan arti letterlek yang terkandung didalamnya .Dengan  demikian , golongan ini sukar dapat mengikuti perubahan dan perkembangan sains dan teknologi . Adapun aliran Maturidiah , corak pemikirannya berada pada antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah . Penganut aliran ini lebih leluasa ruang geraknya dalam menghadapi perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi serta masyarakat modern dari pada kaum Asy’ariyah .
c.       Jiwa dan pemikiran kaum terpelajar lebih sesuai mengikuti teologi liberal dari pada teologi tradisionil dalam menghadapi perkembangan masyarakat modern . Golongan awam lebih sukar menangkap pembahasan yang bersifat filosofis dan mudah menerima teologi terdisionil yang uraiannya sederhana .
d.       Dengan perbedaan pendapat dalam teologi Islam , umat Islam akan mempunyai keilmuan dan wawasan yang luas dalam kehidupan masyarakat  modern , sehingga diantara para penganutnya memiliki jiwa yang besar dan minat berlomba dalam berkarya untuk mencari kehidupan yang sakinah didunia dan selamat dari pada siksa Tuhan di kemudian hari nanti , hari pembalasan .
e.       Semua aktifitas manusia tidak terlepas dari pada iradah Tuhan, baik yang membawa kemudharatan atau kemaslahatan bagi dirinya dan lingkungan adalah sebagai cobaan Tuhan, kelak kemudian akan dimintai pertanggung jawaban  .Tuhan Maha Pengasih lagi Penyayang kepada hamba yang dikehendaki-Nya sesuai dengan amalnya . Tuhan mempunyai wewenang untuk memberi pahala atau menghukum seseorang yang berbuat kejahatan . Manusia mempunyai pilihan untuk melakukan sesuatu lantaran akal mdan bimbingan wahyu . Berbahagialahorang yang mendapatkan ridha Tuhan dan sebaliknya , merugilah orang yang mendapatkan hukuman-Nya .


komentar kita tentang Akal dan wahyu dan lainnya adalah :
.                                   Sekalipun berbeda pendapat diantara aliaran-aliran tersebut , para penganutnya sangat tercela bila menyalahkan pendapat yang tidak seide dengannya , bahkan mengkafirkan diantara mereka sebagaimana yang pernah terjadi . Dengan kata lain , mereka saling kafir mengkafirkan  .Pada dasarnya semua aliaran tersebut , tidaklah keluar dari Islam , sebab mereka sama-sama ingin memurnikan ke Esaan Tuhan sesuai dengan pola berfikir mereka dan mereka sama-sama menerima peran wahyu dan akal .
                  Wahyu adalah firman –firman Tuhan, sedangkan akal adalah anugrah Yang Maha Bijaksana , yang diberikan kepada manusia untuk membaca, memahami ayat-ayat Tuhan baik yang tertulis dalam kitab suci umat Islam maupun kebesaran Tuhan sebagaimana keberadaan semesta ala mini dan agar dapat mengamalkan petunnjuk-petunjuk yang terkandung didalamnya , sehingga kehidupannya dimuka bumi ini mendapatkan kehidupan yang berarti dan selamat dari pada siksa Tuhan di hari pembalasan nanti . Inilah sebenarnya peran akal manusia yang dimilikinya dan wahyulah pembimbingnya menuju rhidaTuhan .  Jadi, ke duanya tidak perlu dipertentangkan . Sekian.
DAFTAR PUSTAKA
 Harun Nasution , Akal dan wahyu dalam Islam , Penerbit Universitas Indonesia , Jakarta , 1978.

Al-Maturidi, Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmid , Syarah al-Fiqh al-Akbar, Hydrabad: Da’irah al-Ma’arif al-Nizamiyah,1321 H.

Ash-Syhiddiq ,Hasbi, TM, Dr . Prof . , Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam , Bulan Bintang, Jakarta , 1976 .

Bakar, Abu Aceh , Sejarah Filsfat Islam , Ramdhani , Solo, 1982.





4. Tarekat berada di dunia islam. Ada tarekat qadiriah dan ada tarekat tijaniyah, uraikan ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar anda terhadap tarekat tijaniyah ?

Jawaban :
Uraian ajaran tarekat qadiriah dan berikan komentar kita terhadap tarekat tijaniyah, adalah :
Adapun Ajaran tarekat Qadiriyah memiliki dua aspek, diantaranya ialah:[46]
1.    Aspek Teoritis
            Aspek teoritis adalah ungkapan tentang nasehat-nasehat dan wasiat-wasiat yang dengannya Syeikh `Abd al-Qadir Jailani menasehati pengikut-pengikutnya agar berpegang teguh kepada al-Kitab dan as-Sunnah serta berpegang kepada akhlak yang terpuji. Seakan-akan beliau berkata tidak akan meletakkan wirid-wirid, dzikir-dzikir, atau ibadah-ibadah yang tidak dijelaskan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah.
2.    Aspek Praktis
Aspek praktis ini diciptakan oleh para pengikut-pengikutnya atau orang-orang sesudahnya, yang kemudian dinisbatkan kepadanya dan muncul tanda-tanda bid’ah serta penyelewengan dari al-Kitab dan as-Sunnah, diantaranya adalah:
a.      Berkhalwat (Bersemedi)
Menurut kaum sufi, berkhalwat merupakan suatu salah satu keharusan rohani yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk menjadi seorang sufi. Mereka juga meyakini bahwa berkhalwat menjadi bukti atas kesungguhan taubat dan menguatkan keikhlasan. Berkhalwat dianggap sebagai masa-masa terbaik yang dilakukan seorang manusia bersama Tuhannya. Tujuan berkhalwat menurut mereka adalah untuk mengetahui sejauh mana kesiapan seseorang untuk pindah dari satu maqam kepada maqam berikutnya dan dari satu akhwal kepada akhwal berikutnya.
b.      Salat Qadiriyah
Salat Qadiriyah merupakan salah satu dasar dalam wirid Qadiriyah. Telah diriwayatkan tentang fadilat dan anjuran terhadapnya dari Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni, yang mana beliau menulis satu bab khusus dengan judul, “Pasal tentang fadilat salat antara maghrib dan isya’.”
c.       Hizib Muh
Hizib ini dinisbatkan kepada Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yang menulis buku al-Auraad al-Qadiriyah, dan dikira hizib ini diriwayatkan dari Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yaitu:[47]
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. اَلَّلهُمَّ مَحَا مَحَا مَحَا وَحَا بَحَا حَمَا لاَيُنْصَرُوْنَ. (وَجَعَلنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَيُبْصِرُوْنَ). كهيعص حم عسق لاَيَصْدَعُوْنَ عَنْهَا وَلاَيُنْزَفُوْنَ يَارَبُّ (ثَلاَثًا) وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَسَلَّمَ.
Hizib ini termasuk wirid utama menurut penganut tarekat Qadiriyah dan mereka mengira bahwa siapa yag membacanya di waktu pagi dan sore sebanyak tiga kali, maka dia tidak akan terkena bahaya apapun atas seizin Allah.[48]
d.      Shalawat Kibrit Ahmar
Penulis kitab al-Auraad al-Qadiriyah menyebutkan suatu dzikir yang mencakup shalawat atas Nabi Muhammad saw, yang dinamakannya dengan Shalawat Kibrit Ahmar, yang dinisbatkan kepada Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni
e.       Hizib Alif Qaim
Doa ini dinisbatkan oleh penulis al-Auraad al-Qadiriyah kepada Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni.
Teks doa tersebut adalah:
اللهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِالألِفِ الْقَائِمِ الَّذِى لَيْسَ مُهْلُهُ سَابِقٌ وَبِالْلاَّمَيْنِ الَّلذَيْنِ لَمَعَتْ بِهِمَا الأسْرَارُ وَجَعَْتُهُمَا بَيْنَ الْعَقْلِ وَالرُّوْحِ وَأخَذْتُ عَلَيْهِمَا الْعَْدَ الْوَاثِقَ وَبِالْهَاءِ الْمُحِيْطِ بِالْعُلُوْمِ الْحَوَامِدِ الْمُتَحَرِّكِ الصَّوَامِتِ النَّوَاطِقِ وَأسْألُكَ الْوَصْلَ بِالسِّرِّ الضَّيِّ مِنْهُ الْعُقُوْلُ فَهُوَ مِنْ قُرْبِهِ ذُهْلٌ أَيَتَنَوَّخُ أمْلُوْخٌ مَهِيَاشٌ مَهَايِشُ ...
Wirid ini sama dengan doa sebelumnya –dalam wirid shalawat Nabi saw- yang di dalamnya mengandung kata-kata aneh yang tidak dipahami maknanya dan mengandung pula anggapan-anggapan bathil dalam huruf hijaiyah dan istilah-istilah yang tidak ada maknanya.
f.       Berzikir kepada Allah dengan Lafal Jalalah saja “Allah” atau dengan Dhamir “Huwa”
Tarekat Qadiriyah seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, melatih zikir kepada Allah dengan hanya memakai kalimat jalalah tunggal, yaitu dengan mengulang-ulang kata “Allah” atau dhamir “huwa”. Penulis buku Dhiya’ al-Mustabin berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berzikir dengan kata ‘Allah’ dan tidak menyuruh untuk menambahnya dengan kalimat apapun pada kata ini karena itu zikir khusus bagi hamba-hamba-Nya yang dengan mereka Allah menjaga alam dunia.
g.      Menjaga Salat-salat Khusus
Mereka menjaga salat-salat khusus di siang, malam, minggu, bulan Rajab, bulan Sya’ban, dan sebagainya. Hal yang demikian itu merupakan bid’ah.[49]



KOMENTAR KITA TERHADAP TAREKAT TIJANIYAH, ADALAH :

Tareqat Tijaniyyah memang bersesuaian dengan tarekat yang lain dan juga berlandaskan kepada Al-qur’an dan hadis dan tidak bertentangan dengan ajaran yang di bawa oleh Rasulullah saw serta memelihara syari’at islam yang kaffah lagi mulia baik yang berhubungan dengan ‘amaliyah, qalbu seperti khuyu’, ikhlas, dan tawadhu’. Selama tarekat tersebut tidak melenceng dari kaidah keislaman dan syari’at yang berlaku dalam islam.
Tariqat Tijaniyyah adalah orang yang mau bertaubat dosanya, dan mau melaksanakan semua kewajiban thariqatnya, melaksanakan segala perintahnya Allah dan menjahui segala laranganNya, dengan makna amar ma’ruf nahi mungkar, lebih mementingkan kebersihan hati dari segala macam penyakit yang samar dan menjahui segala perbuatan maksiat lahir, disiplin dalam melaksanakan kewajiban yang bersifat individual (fardhu’ain) dan memperbanyak ‘amaliyah yang baik dari segala dose yang telah ia perbuat. Diantara ‘amaliyah  adalah membaca istighfar dan berzikir kepada Allah swt. Sekian.

DAFTAR PUSTAKA
Sri Mulyati, 2004. Mengenal & Memahami Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta Timur: Prenada Media.

Drs. Moh. Saifulloh Al-Azis, Manaqib, Surabaya : Terbit Terang.

Al-Auraad al-Qadiriya.





5. Mu’tazilah dan ahlussunnah kedua-duanya membawa ajaran syafa’at. Jelaskan dan berikan komentar terhadap ajaran syafa’at ?
Jawaban :
Penjelasan  dan komentar kita terhadap ajaran syafa’at, adalah :

MENURUT MU’TAZILAH :
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “Tuhan Maha Adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling menonjol untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.[50] Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya. Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
    Perbuatan Manusia
            Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak.[51] Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
    Berbuat Baik Dan Terbaik
            Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna.[52] Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat.[53] Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.[54]
    Mengutus Rasul
            Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
            Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka. Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuraa 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.[55]
    Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
            Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.[56]
            Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.[57]
Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa
    Manzilah Bain Al-Manzilataini
            Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
            Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[58]”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[59]
            Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.

MENURUT AHLUSSUNNAH :
Zainuddin mengemukakan bahwa golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu golongan dapat dianggap atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga syarat :
1.      Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya
2.      Ucapan itu diikuti kepercayaan dengan hatinya
3.      Dan dibuktikan dengan amal yang nyata

Adapun tentang dosa, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum bertaubat, maka orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman neraka, tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya.[60]

Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut ahlussunnah apa yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu hak prerogratif-Nya.
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan oleh Zainuddin, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat.[61]
Asy’ariyah tidak sepaham dengan mu’tazilah mengenai al-wa’d wa al-wa’id tersebut. Menurut ahlussunah asy’ariyah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at (pembelaan) daripada Nabi dan para Rosul serta para sholihin di hari kiamat .[62]

Lebih lanjut, Zainuddin mengemukakan bahwa dasar pemikiran Asy’ariyah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya. Sebaliknya soal al-wa’d wa al-wa’id, al-maturidi sepaham dengan mu’tazilah. Menurutnya, janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.[63]

KOMENTAR KITA TERHADAP AJARAN SYAFA’AT, ADALAH :

Adanya  syafaat disisi Allah pada hari akhir atau hari kiamat adalah bukanlah kedudukan yang dapat dicapai oleh seluruh orang. Tetapi merupakan kedudukan orang-orang yang dimuliakan dan diistimewakan oleh Allah swt . Syafaat disalahpahamkan  dan terkadang dijadikan sebagai pelarian dari pelaksanaan kewajiban padahal syafaat adalah hasil amal perbuatan kita selama berada di dunia ini yang disebut juga sebagi tempat bercocok tanam (ibadah). Bahwa jika seorang hamba beramal mulia dan salih maka sudah sepastasnya  baginya mendapat syafaat. Misalnya tidak menyia-nyiakan dan lalai dalam berbuat ibadah kepada Allah swt, dan tidak menjadikan syafaat Nabi dan para kekasih Allah  sebagai dalih dan alasan boleh berbuat dosa. Wallahu a’lam . Sekian.

DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951.

Abu Zahrah, Muhammad,  Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta : Logos Publishing House, 1996.

A. Nasir, Sahilun,  Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.

Izutsu, Tosihiko,  Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Mazru’ah, Mahmud,  Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Kairo: Dar Al-Manar, 1991.

Nasution, Harun,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.

Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.

Syak’ah, Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008









[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h.243.
[2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.193-194.
[3] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.244-245.
[5] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.245-246.
[6] Amin Syukur, Zuhud  di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.1.
[7] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.114-115.
[8] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.248-250.
[9] Ibid, h. 250-251.
[10] Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),h.72.
[11]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.252-253.
[12] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.30.
[13] Fauzan,”Maqamat dan Ahwal”, dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.html diakses tgl 09/02/2014 pukul 23.08.
[14] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.202.
[15] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.257-258.
[16] Ibid, h. 258-260.
[17] Ibid, h. 261-262.
[19] Ibid, h.262-263.
[20] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.200.
[21] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,h.263-264.
[22] http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html.
[23] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.266-267.
[25] Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu..., h.75-76.
[26] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak..., h.269-270.
[27] Ibid, h.270-271.
[28] Ibid, h.272-273.
[29] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 32.
[30] A. Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009) hal. 173-174.
[31] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970, hal. 150.
[32] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 130.
[33] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005) hal. 207-210.
[34] Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971) hal. 70.
[35] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986) hal. 61.
[36] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 83.
[37] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[38] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 46.
[39] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 99.

[40] Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003), hal. 312.
[41] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[42] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H).
[43] Harun Nasution , Akal dan wahyu dalam Islam , Penerbit Universitas Indonesia , Jakarta , 1978 . Hal 77. 
[44] Ash-Syhiddiq ,Hasbi, TM, Dr . Prof . , Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam , Bulan Bintang, Jakarta , 1976 .hal 34-35.
[45] Al-Maturidi, Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmid , Syarah al-Fiqh al-Akbar, Hydrabad: Da’irah al-Ma’arif al-Nizamiyah,1321 H. Hal 56-62.
[46] Sri Mulyati, 2004. Mengenal & Memahami Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta Timur: Prenada Media. Hal. 26-32.
[47] Drs. Moh. Saifulloh Al-Azis, Manaqib, (Surabaya : Terbit Terang), hlm. 9
[48] Al-Auraad al-Qadiriyah, hlm. 21.
[49] Sri Mulyati, 2004. Mengenal & Memahami Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta Timur: Prenada Media. Hal. 35-42.
[50] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 83
[51] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 122.
[52] Ibid
[53] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal…, hal. 54.
[54] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah…, hal. 128.
[55] Ibid
[56] Ibid, hal. 138-139.
[57] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…,hal. 85.
[58] Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53.
[59] Ibid
[60] Zainuddin.(1992). Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta.Hal 58-59.
[61] Ibid, . . . hal 63.
[62] Nasution, Harun.(2002). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.Hal 71.
[63] Zainuddin.(1992). Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta.Hal 63.

Tidak ada komentar: