View My Stats

Sabtu, 22 Maret 2014

Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc, Ph.D tentang Islamisasi Ilmu



BAB I
PENDAHULUAN
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup  yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.”[1]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu.[2] Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.[3]
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’  bagi para pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau gagasan islamisasi ini.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Al-Baiquni
Nama lengkap Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc, Ph.D (lahir di Surakarta, 31 Agustus 1923 – meninggal 21 Desember 1998 pada umur 75 tahun dan dimakamkan di Tonjong, Bogor) adalah Fisikawan Atom pertama di Indonesia. Dan termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom internasional yang dihormati.
Sejak kecil, ia sudah memperoleh pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini sudah mampu membaca juz ke-30 (juz terakhir Al Quran yang memuat sejumlah surah pendek), "sebelum saya bisa nembaca huruf Latin," katanya. Dan seperti kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada sore hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan menuntut ilmu agama di madrasah tinggi Mamba'ul Ulum, madrasah yang didirikan Paku Buwono X. Di situ Baiquni sekelas dengan Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama. Lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI di Bandung, 1952. Kemudian mengajar di UGM Yogyakarta. Menikah dengan Sri Hartati, pasangan ini dikaruniai 6 orang anak, 5 putra dan 1 putri.
Pada tahun 1950, ilmu fisika atom masih menjadi monopoli Amerika Serikat yang lima tahun sebelumnya menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Baru pada tahun 1954, Presiden Eisenhower mengizinkan fisika atom diajarkan secara terbuka di perguruan tinggi. Baiquni tahun ltu memang sedang memperdalam ilmu fisikanya di Amerika Serikat. Terbukanya bidang "baru" itu tak dilewatkan begitu saja. Mula-mula, ia belajar di Laboratorium Nasional di Argonne, tujuh bulan. Kemudian, ia melanjutkan di Universitas Chicago, mengambil jurusan fisika nuklir. Di universitas inilah, pada 1964, ia meraih Ph.D.-nya. Sekembalinya ke tanah air Achmad Baiquni kembali mengajar di UGM Yogyakarta.
Pada tahun 1973, Achmad Baiquni ditunjuk menjadi Dirjen Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Jakarta hingga tahun 1984. Selain itu Prof. Baiquni juga pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Swedia (1985-1988), Rektor UNAS, dan dosen IAIN-Syarif Hidayatullah. Prof. Baiquni meninggal pada 21 Desember 1998 pada usia 75 tahun.
Alhasil, terlepas dari latar belakang yang demikian mendalam penghayatan akan agama Islam bagi sesosok Prof. Baiquni, maka sumbangsih pemikiran yang paripurna sebagai salah satu ilmuwan senior Indonesia.
B.     Pengertian Islamisasi Ilmu.
Dalam karyanya yang sangat masyhur, menjelaskan bahwa pengertian dari Islamisasi Ilmu yaitu sebagai usaha untuk mengacukan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi berhubung data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut aI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan tujuan yang konsisten dengan Islam.[4] Sedangkan menurut Prof. Dr. Ahmad Baiquni, secara epistimologis, islamisasi ilmu pengetahuan tidak berarti kita harus mengubah rumus-rumus reaksi kimia, yang kebenarannya telah terbukti melalui penelitian ilmiah, melainkan kita harus memagari agar peserta didik tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang bertentangan dengan agama kita.[5]
Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam  semesta kepada manusia.
C.    Materi Keislaman
Salah satu materi keislaman tentang Sain “AL QUR’AN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI" karya Prof Achmad Baiquni M.Sc., Ph.D
Al Qur’an merupakan sumber segala ilmu; suatu ungkapan yang tidak hanya terdengar di lingkungan umat Islam saja, tetapi kadang-kadang terucapkan juga oleh beberapa cendekiawan Barat dalam menghadapi situasi tertentu. Ungkapan yang salah bila diartikan “mempelajari dan mengembangkan sains melalui penelitian” sebagai usaha yang tidak perlu dilakukan dan sia-sia kalau semuanya bisa dengan hanya membaca dan mengartikan Al-Qur’an saja. Menurut pengertian Achmad Baiquni, pengembangan sains itu justru diperintahkan oleh Allah SWT agar kita dapat memahami ayat-ayat Al Qur’an lebih sempurna, sehingga tampak kebesaran dan kekuasaan-Nya secara lebih nyata, dan supaya kita dapat menguasai pengetahuan tentang sifat dan kelakuan alam sekitar kita, dapat mengolah alam yang kita huni ini seperti layaknya seorang khalifah yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Dengan bukunya yang bertajuk "Al Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi", Achmad Baiquni memaparkan bagaimana penciptaan alam semesta berikut tahapan-tahapannya yang dinyatakan di dalam Al Qur’an dan bagaimanakah pandangan sains klasik dan modern terhadap proses kejadian alam itu. Selain itu dalam buku tersebut juga dikupas beberapa hal tentang bagaimana pandangan ilmu pengetahuan tentang isyarat Al’qur’an berkenaan dengan adanya makhluk hidup di luar bumi, bagaimana dapat dipahami pengertian Al Qur’an tentang tujuh lapis langit, bagaimana para ilmuwan memikirkan skenario tentang terjadinya kiamat, bagaimana proses perkembangan penafsiran ayat-ayat kauniyah seperti yang menyatakan gunung-gunung berjalan, serta bagaimana pengertian tentang “Kun Fayakun”.
Terbagi dalam tiga bagian utama, dimana bagian pertamanya dibahas mengenai perspektif Al Qur’an tentang sains dan teknologi, di sini dijelaskan konsep alam semesta menurut pandangan klasik dan modern, serta anjuran-anjuran pengembangan sains dalam Al Qur’an. Konsep-konsep Kosmologi dalam Al Qur’an juga dikupas cukup gamblang, yang disertai juga dengan pemaparan konsep kosmologi menurut sains. Pada bagian kedua dijelaskan tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruhnya terhadap pemahaman Al Qur’an. Makna kata evolusi dijelaskan disini, dimana seleksi alamiah yang dimaksud oleh Darwin sebenarnya merupakan seleksi Ilahiyah, karena Allah-lah yang memilih siapa akan punah dan siapa yang akan terus berkembang. Sedangkan pada bagian terakhir dibahas tentang kebangkitan dunia baru Islam abad ke-21, bagian ini menjelaskan makna ilmu pengetahuan di tengah umat Islam, gejala-gejala yang timbul di era teknologi, perbandingan posisi umat Islam dengan bangsa bangsa lain, serta pentingnya penguasaan teknologi.
Inti dari buku karya Achmad Baiquni, adalah pendapat penulis sebagai seorang Muslim sekaligus seorang Ilmuwan Indonesia, bahwa Al Qur’an tidak akan berubah sejak diturunkan hingga akhir zaman, sedangkan sains dapat berubah temuannya dari masa kemasa karena bertambahnya informasi/data yang diperoleh sebagai akibat makin canggihnya peralatan/teknologi dan berkembangnya fisika dan matematika. Dan pendapat bahwa mempercayai kebenaran Al Qur’an adalah sikap yang tidak bisa ditawar. Apabila sains tampak menemukan suatu yang tidak serasi dengan Al Qur’an, ada dua kemungkinan penyebabnya: sains belum lengkap datanya dan belum terungkap semua gejala yang berkaitan sehingga kesimpulannya meleset, atau pemahaman terhadap ayat yang bersangkutan kurang benar.
D.    Tafsir Al-Qur’an
Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut menurut Achmad Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara induktif.
Achmad Baiquni melontarkan pertanyaan dalam bukunya, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, “kenapa seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak kedua orang tuanya?” secara ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran kromosom (sel laki-laki dan perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu kemudian membelah dan berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu sel-sel keturunan itu meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan merupakan “kopian” dari pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak hampir dapat dikatakan pasti mewarisi sifat orang tuanya.[6]
Contoh lain adalah Q.S. al A’raf: 58 yang berbunyi:
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ (الأعرف:    )
Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. al A’raf: 58)[7]
Ayat ini menunjukkan bahwa walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya tanam-tanaman, kecocokan tanah juga tumbuh juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka dengan kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh. Tafsiran ini menunjukkan bahwa Baiquni berusaha untuk memberikan “nuansa baru”, bahwa al Qur’an sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahannya itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.[8]
Dengan demikian, inti dari pemikiran ini adalah untuk mewujudkan kepeduliannya terhadap kondisi obyektif masyarakat Muslim pada masanya agar bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan.
Kita ambil contoh menafsirkan ayat al Qur’an yang berbunyi yang ada dalam buku Acmad Baiquni :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: ه)
Artinya: “Wahai manusia! Jika kamu dalam keraguan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim neurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian secara berangsur-angsur kamu menjadi dewasa, dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, dan ia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah ia ketahui. Dan kamu lihat bumi ini kering. Kemudian bila Kami turunkan air, hiduplah bumi dan subur serta tumbuhlah berbagai macam tumbuhan yang indah.”
 (Q.S. al Hajj: 5)[9]
Dalam menafsirkan ayat ini memberikan kiasan bahwa manusia itu berasal dari tanah, sebagaimana juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Unsur air juga menjadi penyebab tumbuhnya manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan proses keajaiban manusia di dalam rahim seorang ibu, ia menegaskan bahwa inilah dalil penting ilmu al ajnah atau embriologi manusia dan ilmu ini wajib dipelajari. Al-Baiquni berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ilmu alam dan mempelajarinya adalah satu hal yang wajib. Hal demikian karena al Qur’an hanya memberikan petunjuknya secara global dan kesempurnaannya dibutuhkan pengetahuan
A.    Bahasa Al-Qur’an
Dalam al-Qur'an menyentuh segala sesuatu (baik tentang keberagamaan, terutama tentang keduniaan) sehingga darinya dapat ditarik ilmu pengetahuan, atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini penulis paparkan beberapa bahasa ayat-ayat dalam al-Qur'an QS. al-Baqarah ayat 164:
اِنَّ فىِ خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِىْ تَجْرِيْ فىِ الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآاَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَآءٍ فَاَحْيَا بِهِ اْلاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فْيهَا مِنْ كُلِّ دَآبَّةٍ صلى وَتَصْرِيْفِ الرِّيحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَاْلاَرْضِ لَايةٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ                                                                                                                                   (البقرة ١٦٤)
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkannya. (QS. Al-Baqarah 2 : 164)
QS. al-Anbiya' 80-81
وَعَلَّمْنهُ صَنْعَةَ لَبُوْسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ اَنْتُمْ شَاكِرُوْنَ                         وَلِسُلَيْمنَ الرِّيْحَ عَاصِفَةً تَجْرِيْ بِاَمْرِهِ                              
.اْلاَرْضِ الَّتِيْ برَكْنَا فِيْهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْئٍ عَالِمِيْن آِلى
Arinya : Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Dan (telah Kami tundukkan) untuk sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Mahamengetahui segala sesuatu.
QS. al-Kahfi 18: 95-96
قَالَ مَامَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّي خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ وَاجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا.
 اتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِ قلى حَتَّى اِذَا سَاوى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا قلى حَتَّى اِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ اتُوْنِيْ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
Artinya: Dzulqurnain berkata : "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.
berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqurnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu".
QS. al-Rahman 55: 33
يمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّموَاتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْا قلى
لاَ تَنْفُذُوْنَ اِلاَّ بِسُلْطَان
Artinya: Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.
Ayat pertama di atas mendeskripsikan masalah alam semesta (kosmologi).[10] Ayat-ayat semacam ini di dalam al-Qur'an, menurut sebagian ulama', berjumlah sekitar 750.[11] Penciptaan langit misalnya, dapat dilihat juga dalam al-Mulk 67: 3, penciptaan bumi dan silih bergantinya siang dan malam dapat dilihat juga dalam QS. al-Ra'd 13: 3, bumi dan gunung dapat dilihat juga dalam QS. Qâf 50: 7-8, laut dapat dilihat juga dalam QS. Yûnus 10: 22, hujan dapat dilihat juga dalam QS. al-Baqarah 2: 22, hujan (dan kilat) dapat dilihat dalam QS. al-Rûm 30: 24, binatang dapat dilihat juga dalam QS. al-Nahl 16: 5-6, QS. Hûd 11: 6, angin dapat dilihat juga dalam QS. al-Hijr 15: 22.
Ayat kedua memperbincangkan masalah teknologi. Dalam konteks ayat tersebut, Allah mengajari Nabi Dawud a.s. tentang pembuatan baju pelindung yang dapat digunakan dalam pertempuran. Ia (baca: Nabi Dawud a.s.) dilimpahi pengetahuan tentang cara membuatnya, ia memperoleh knowhow. Begitu juga Nabi Sulaiman a.s., Allah telah menundukkan angin baginya sehingga ia dapat melawan dengan dorongannya ke negeri di sekitarnya. Ia memperoleh teknologi pengendalian tenaga angin, sekaligus dapat memanfaatkannya. Teknologi yang diberikan kepada kedua Nabi tersebut, begitu Achmad Baiquni, dapat difahami dan langsung dipergunakan, karena tidak terlalu jauh dari tingkat kebudayaan umat mereka pada waktu itu.[12]
Ayat ketiga memperbincangkan masalah arsitektur, yang dalam ayat tersebut al-Qur'an menggambarkan betapa Dzulqurnain telah membangun dinding yang amat kokoh dengan menggunakan batang-batang besi dan logam tembaga cair. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Achmad Baiquni, ia telah memperoleh pengetahuan teknologi sipil dan metalurgi yang juga siap pakai, karena tidak jauh dari tingkatan kebudayaan umat manusia pada saat itu.[13]
Ayat terakhir memperbincangkan masalah penjelajahan angkasa luar. Dalam ayat tersebut Allah merangsang jin dan manusia untuk dapat menerobos ke segenap penjuru langit dan bumi dengan melibatkan sesuatu yang tingkatannya berada jauh di atas kemampuan pengetahuan manusia pada saat ayat tersebut diturunkan, meskipun faktor yang menentukan keberhasilannya diberitakan kepada mereka sekaligus. Dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya dapat meraba serta menerka saja jawabannya. Namun pada abad XX, demikian Achmad Baiquni,[14] mereka telah melihat bagaimana teknologi propulasi roket dan pengendalian elektronis yang canggih telah berhasil mengantarkan manusia sampai ke permukaan bulan dan mengembalikannya ke bumi, serta mengirimkan pesawat-pesawat antariksa, yang masing-masing mempunyai misi tertentu, ke planet-planet dalam tata surya. Sungguhpun bukan buku teknologi peroketan atau aerodinamika, namun ayat tersebut telah mengungkapkan faktor penentu tersebut.
Berangkat dari deskripsi masing-masing ayat di atas, dapat digeneralisir bahwa al-Qur'an dan telah memberikan kajiannya terhadap ilmu umum. Selain ayat-ayat di atas, masih banyak ayat lain (yang memperbincangkan hal lain pula). Namun hal itu tidak berarti bahwa semua problem kehidupan di alam ini --termasuk di dalamnya segala yang berkenaan dengan manusia-- terhimpun secara rinci dalam Al-Qur’an sumber pokok ajaran tersebut. Karena bagaimanapun juga, al-Qur'an diwahyukan pada masa tertentu yang terbatas ruang dan waktu. Dan seringkali turunnya dilatarbelakangi oleh kasus tertentu yang terjadi di saat itu, yang tentunya berbeda dengan kasus-kasus yang terjadi pada masa-masa setelahnya. Karena setiap masa memiliki kasusnya sendiri-sendiri. Berangkat dari sinilah akhirnya realitas tersebut difahami secara kontroversial oleh para ilmuwan muslim













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis yang telah diungkapkan oleh Al-Baiquni dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu".
Sedangkan manfaat yang kita dapat rasakan dari Islamisasi Ilmu yaitu kita selaku Umat Islam tidak menjadi kafir dan kehilangan arah dalam hal keimanan dalam melihat berbagai fenomena ilmu pengetahuan.
Kita sebagai umat yang percaya kepada Al-qur’an yang merupakan Wahyu Allah yang memberikan landasan berbagai ilmu sehingga tidak terjadi dikotomi dalam ilmu pengetahuan. yang jelas tidak ada ketidakserasian antara al-Qur'an dan sains modern. "Seluruh ayat-ayat al-Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains modern," demikian penegasan Al-Baiquni. Wallahu a'lam.








DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003.
Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu  ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007.
Al-Faruqi, Islamisasi llmu Pengetahuan, jakarta:lontar utama 2000.
Ahmad Baiquni, Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur’an, Jurnal Inovasi, No. 08 Th. IV/1990.
Ahmad Baiquni, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997
Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur'an", dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, Yogyakarta: LPPI UMY.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998


[1] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), hal. 330

[2] Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu  (ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007),  hal. 10
[3]ibid  hal. 18
[4] Al-Faruqi, Islamisasi llmu Pengetahuan,(jakarta:lontar utama 2000), hal 131
[5] Ahmad Baiquni, Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur’an, Jurnal Inovasi, No. 08 Th. IV/1990, hal. 11
[6] Ahmad Baiquni, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, (Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997), hlm. 185
[7]Depag RI, Op. Cit., hlm. 212
[8] Ahmad Baiquni, Op. Cit., hlm. 191
[9] Ibid., hlm. 187
[10] Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur'an", dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, (Yogyakarta: LPPI UMY), hlm. 106.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 441
[12] Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam...., hlm. 106
[13] Ibid. hlm. 107
[14] Ibid. hlm. 107-108

Tidak ada komentar: