BAB I
PENDAHULUAN
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan
hidup yang di dalamnya terdapat pandangan integral
terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).
Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada
saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz
University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana
dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan
sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia.
Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu
pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the
Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education,
dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.”[1]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan
menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontra-pun
bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi
tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951)
dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu.[2] Sedangkan pihak yang
menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir
muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul
Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga
mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman,
misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena
tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam
penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas.
Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus
digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.[3]
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi
menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini setidaknya akan menjadi
sebuah ‘‘bentuk penilaian’’ bagi para pembaca khususnya para
akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau
gagasan islamisasi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al-Baiquni
Nama lengkap
Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc, Ph.D (lahir di Surakarta, 31 Agustus 1923 – meninggal 21 Desember 1998 pada umur 75 tahun dan dimakamkan di Tonjong, Bogor) adalah Fisikawan Atom
pertama di Indonesia. Dan termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom
internasional yang dihormati.
Sejak kecil, ia
sudah memperoleh pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini
sudah mampu membaca juz ke-30 (juz terakhir Al Quran yang memuat sejumlah surah
pendek), "sebelum saya bisa nembaca huruf Latin," katanya. Dan
seperti kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada
sore hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan
menuntut ilmu agama di madrasah tinggi Mamba'ul Ulum, madrasah yang didirikan
Paku Buwono X. Di situ Baiquni sekelas dengan Munawir Sjadzali, mantan Menteri
Agama. Lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI di Bandung,
1952. Kemudian mengajar di UGM Yogyakarta. Menikah dengan Sri Hartati, pasangan
ini dikaruniai 6 orang anak, 5 putra dan 1 putri.
Pada tahun 1950, ilmu fisika atom masih menjadi monopoli
Amerika Serikat yang lima tahun sebelumnya menjatuhkan bom atom di Hiroshima.
Baru pada tahun 1954, Presiden Eisenhower mengizinkan fisika atom diajarkan
secara terbuka di perguruan tinggi. Baiquni tahun ltu memang sedang memperdalam
ilmu fisikanya di Amerika Serikat. Terbukanya bidang "baru" itu tak
dilewatkan begitu saja. Mula-mula, ia belajar di Laboratorium Nasional di
Argonne, tujuh bulan. Kemudian, ia melanjutkan di Universitas Chicago,
mengambil jurusan fisika nuklir. Di universitas inilah, pada 1964, ia meraih
Ph.D.-nya. Sekembalinya ke tanah air Achmad Baiquni kembali mengajar di UGM
Yogyakarta.
Pada tahun 1973, Achmad Baiquni ditunjuk menjadi Dirjen Badan
Tenaga Atom Nasional (BATAN)
Jakarta hingga tahun 1984. Selain itu Prof. Baiquni juga pernah menjadi Dubes
Indonesia untuk Swedia (1985-1988), Rektor UNAS, dan dosen IAIN-Syarif
Hidayatullah. Prof. Baiquni meninggal pada 21 Desember 1998 pada usia 75 tahun.
Alhasil, terlepas dari latar belakang yang demikian
mendalam penghayatan akan agama Islam bagi sesosok Prof. Baiquni, maka
sumbangsih pemikiran yang paripurna sebagai salah satu ilmuwan senior
Indonesia.
B.
Pengertian Islamisasi Ilmu.
Dalam
karyanya yang sangat masyhur, menjelaskan bahwa pengertian dari Islamisasi Ilmu
yaitu sebagai usaha untuk mengacukan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi
berhubung data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali
tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkaya
visi dan perjuangan Islam. Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti
melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan
menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut aI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan
ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains
sastra, dan sains sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan tujuan yang konsisten dengan Islam.[4] Sedangkan
menurut Prof. Dr. Ahmad Baiquni, secara epistimologis, islamisasi ilmu
pengetahuan tidak berarti kita harus mengubah rumus-rumus reaksi kimia, yang
kebenarannya telah terbukti melalui penelitian ilmiah, melainkan kita harus
memagari agar peserta didik tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang
bertentangan dengan agama kita.[5]
Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang
dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga
sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga
sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia.
C.
Materi Keislaman
Salah satu materi keislaman tentang Sain “AL QUR’AN ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI" karya Prof Achmad Baiquni M.Sc., Ph.D
Al Qur’an merupakan sumber segala ilmu; suatu ungkapan
yang tidak hanya terdengar di lingkungan umat Islam saja, tetapi kadang-kadang
terucapkan juga oleh beberapa cendekiawan Barat dalam menghadapi situasi
tertentu. Ungkapan yang salah bila diartikan “mempelajari dan mengembangkan
sains melalui penelitian” sebagai usaha yang tidak perlu dilakukan dan sia-sia
kalau semuanya bisa dengan hanya membaca dan mengartikan Al-Qur’an saja. Menurut
pengertian Achmad Baiquni, pengembangan sains itu justru diperintahkan oleh
Allah SWT agar kita dapat memahami ayat-ayat Al Qur’an lebih sempurna, sehingga
tampak kebesaran dan kekuasaan-Nya secara lebih nyata, dan supaya kita dapat
menguasai pengetahuan tentang sifat dan kelakuan alam sekitar kita, dapat
mengolah alam yang kita huni ini seperti layaknya seorang khalifah yang bijaksana
dan bertanggung jawab.
Dengan bukunya yang bertajuk "Al Qur’an Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi", Achmad Baiquni memaparkan bagaimana penciptaan
alam semesta berikut tahapan-tahapannya yang dinyatakan di dalam Al Qur’an dan
bagaimanakah pandangan sains klasik dan modern terhadap proses kejadian alam
itu. Selain itu
dalam buku tersebut juga dikupas beberapa hal tentang bagaimana pandangan ilmu
pengetahuan tentang isyarat Al’qur’an berkenaan dengan adanya makhluk hidup di
luar bumi, bagaimana dapat dipahami pengertian Al Qur’an tentang tujuh lapis
langit, bagaimana para ilmuwan memikirkan skenario tentang terjadinya kiamat,
bagaimana proses perkembangan penafsiran ayat-ayat kauniyah seperti yang menyatakan
gunung-gunung berjalan, serta
bagaimana pengertian tentang “Kun Fayakun”.
Terbagi
dalam tiga bagian utama, dimana bagian pertamanya dibahas mengenai perspektif
Al Qur’an tentang sains dan teknologi, di sini dijelaskan konsep alam semesta
menurut pandangan klasik dan modern, serta anjuran-anjuran pengembangan sains
dalam Al Qur’an. Konsep-konsep Kosmologi dalam Al Qur’an juga dikupas cukup gamblang, yang
disertai juga dengan pemaparan konsep kosmologi menurut sains. Pada bagian kedua dijelaskan tentang pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pengaruhnya terhadap pemahaman Al Qur’an. Makna kata
evolusi dijelaskan disini, dimana seleksi alamiah yang dimaksud oleh Darwin
sebenarnya merupakan seleksi Ilahiyah, karena Allah-lah yang memilih
siapa akan punah dan siapa yang akan terus berkembang. Sedangkan pada bagian
terakhir dibahas tentang kebangkitan dunia baru Islam abad ke-21, bagian ini
menjelaskan makna ilmu pengetahuan di tengah umat Islam, gejala-gejala yang
timbul di era teknologi, perbandingan posisi umat Islam dengan bangsa bangsa
lain, serta pentingnya penguasaan teknologi.
Inti dari buku karya Achmad Baiquni, adalah pendapat
penulis sebagai seorang Muslim sekaligus seorang Ilmuwan Indonesia, bahwa Al Qur’an
tidak akan berubah sejak diturunkan hingga akhir zaman, sedangkan sains dapat
berubah temuannya dari masa kemasa karena bertambahnya informasi/data yang
diperoleh sebagai akibat makin canggihnya peralatan/teknologi dan berkembangnya
fisika dan matematika. Dan
pendapat bahwa mempercayai kebenaran Al Qur’an adalah sikap yang tidak bisa
ditawar. Apabila sains tampak menemukan suatu yang tidak serasi dengan Al
Qur’an, ada dua kemungkinan penyebabnya: sains belum lengkap datanya dan belum
terungkap semua gejala yang berkaitan sehingga kesimpulannya meleset, atau
pemahaman terhadap ayat yang bersangkutan kurang benar.
D.
Tafsir Al-Qur’an
Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
dapat dilihat dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada
Nabi Muhammad Saw. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak
dua kali. Kata tersebut menurut Achmad Baiquni,
selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah, mengobservasi,
membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara
induktif.
Achmad Baiquni
melontarkan pertanyaan dalam bukunya, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, “kenapa
seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak kedua orang tuanya?” secara
ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran kromosom (sel laki-laki dan
perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu kemudian membelah dan
berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu sel-sel keturunan itu
meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan merupakan “kopian” dari
pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak hampir dapat dikatakan pasti
mewarisi sifat orang tuanya.[6]
Contoh lain adalah Q.S. al A’raf: 58 yang berbunyi:
وَالْبَلَدُ
الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ
إِلَّا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ (الأعرف:
)
Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan
izin Allah; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana.
Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. al A’raf: 58)[7]
Ayat ini menunjukkan bahwa walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan
bagi tumbuhnya tanam-tanaman, kecocokan tanah juga tumbuh juga merupakan syarat
tumbuhnya tanaman tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap
tanah. Maka dengan kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk
tumbuh. Tafsiran ini menunjukkan bahwa Baiquni berusaha untuk memberikan
“nuansa baru”, bahwa al Qur’an sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya,
dan keilmiahannya itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.[8]
Dengan demikian,
inti dari pemikiran ini adalah untuk mewujudkan kepeduliannya terhadap kondisi
obyektif masyarakat Muslim pada masanya agar bangkit dari keterbelakangan dan
kebodohan.
Kita ambil contoh
menafsirkan ayat al Qur’an yang berbunyi
yang ada dalam buku Acmad Baiquni :
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ
وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ
إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ
وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ
لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا
أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ
زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: ه)
Artinya: “Wahai manusia! Jika kamu dalam keraguan (hari) kebangkitan,
maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim neurut
kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian secara berangsur-angsur kamu menjadi dewasa, dan (ada
pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, dan ia tidak
mengetahui lagi sesuatu yang pernah ia ketahui. Dan kamu lihat bumi ini kering.
Kemudian bila Kami turunkan air, hiduplah bumi dan subur serta tumbuhlah
berbagai macam tumbuhan yang indah.”
(Q.S. al Hajj: 5)[9]
Dalam menafsirkan ayat ini memberikan kiasan bahwa manusia itu berasal dari
tanah, sebagaimana juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Unsur air juga menjadi
penyebab tumbuhnya manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan
proses keajaiban manusia di dalam rahim seorang ibu, ia menegaskan bahwa inilah
dalil penting ilmu al ajnah atau embriologi manusia dan ilmu ini wajib
dipelajari. Al-Baiquni berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ilmu alam dan
mempelajarinya adalah satu hal yang wajib. Hal demikian karena al Qur’an hanya
memberikan petunjuknya secara global dan kesempurnaannya dibutuhkan pengetahuan
A.
Bahasa Al-Qur’an
Dalam al-Qur'an menyentuh segala sesuatu (baik tentang keberagamaan,
terutama tentang keduniaan) sehingga darinya dapat ditarik ilmu pengetahuan,
atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini penulis paparkan
beberapa bahasa ayat-ayat dalam al-Qur'an QS. al-Baqarah ayat 164:
اِنَّ
فىِ خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِىْ تَجْرِيْ فىِ الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ
وَمَآاَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَآءٍ فَاَحْيَا بِهِ اْلاَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا وَبَثَّ فْيهَا مِنْ كُلِّ دَآبَّةٍ صلى وَتَصْرِيْفِ
الرِّيحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَاْلاَرْضِ لَايةٍ
لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
(البقرة ١٦٤)
Artinya
: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkannya. (QS. Al-Baqarah 2 : 164)
QS. al-Anbiya' 80-81
وَعَلَّمْنهُ
صَنْعَةَ لَبُوْسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ اَنْتُمْ شَاكِرُوْنَ وَلِسُلَيْمنَ الرِّيْحَ عَاصِفَةً تَجْرِيْ
بِاَمْرِهِ
.اْلاَرْضِ الَّتِيْ برَكْنَا فِيْهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْئٍ
عَالِمِيْن آِلى
Arinya : Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud
membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka
hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Dan (telah Kami tundukkan) untuk
sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya
ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Mahamengetahui segala
sesuatu.
QS.
al-Kahfi 18: 95-96
قَالَ
مَامَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّي خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ وَاجْعَلْ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا.
اتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِ قلى
حَتَّى اِذَا سَاوى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا قلى حَتَّى
اِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ اتُوْنِيْ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
Artinya:
Dzulqurnain berkata : "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku
terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan
alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.
berilah
aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata
dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqurnain: "Tiuplah (api
itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun
berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi
panas itu".
QS.
al-Rahman 55: 33
يمَعْشَرَ
الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ
السَّموَاتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْا قلى
لاَ
تَنْفُذُوْنَ اِلاَّ بِسُلْطَان
Artinya:
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan
kekuatan.
Ayat pertama di atas mendeskripsikan masalah
alam semesta (kosmologi).[10]
Ayat-ayat semacam ini di dalam al-Qur'an, menurut sebagian ulama', berjumlah
sekitar 750.[11]
Penciptaan langit misalnya, dapat dilihat juga dalam al-Mulk 67: 3, penciptaan
bumi dan silih bergantinya siang dan malam dapat dilihat juga dalam QS. al-Ra'd
13: 3, bumi dan gunung dapat dilihat juga dalam QS. Qâf 50: 7-8, laut dapat
dilihat juga dalam QS. Yûnus 10: 22, hujan dapat dilihat juga dalam QS.
al-Baqarah 2: 22, hujan (dan kilat) dapat dilihat dalam QS. al-Rûm 30: 24,
binatang dapat dilihat juga dalam QS. al-Nahl 16: 5-6, QS. Hûd 11: 6,
angin dapat dilihat juga dalam QS. al-Hijr 15: 22.
Ayat kedua memperbincangkan masalah teknologi.
Dalam konteks ayat tersebut, Allah mengajari Nabi Dawud a.s. tentang pembuatan
baju pelindung yang dapat digunakan dalam pertempuran. Ia (baca: Nabi Dawud
a.s.) dilimpahi pengetahuan tentang cara membuatnya, ia memperoleh knowhow. Begitu
juga Nabi Sulaiman a.s., Allah telah menundukkan angin baginya sehingga ia
dapat melawan dengan dorongannya ke negeri di sekitarnya. Ia memperoleh
teknologi pengendalian tenaga angin, sekaligus dapat memanfaatkannya. Teknologi
yang diberikan kepada kedua Nabi tersebut, begitu Achmad Baiquni, dapat
difahami dan langsung dipergunakan, karena tidak terlalu jauh dari tingkat
kebudayaan umat mereka pada waktu itu.[12]
Ayat ketiga memperbincangkan masalah
arsitektur, yang dalam ayat tersebut al-Qur'an menggambarkan betapa Dzulqurnain
telah membangun dinding yang amat kokoh dengan menggunakan batang-batang besi
dan logam tembaga cair. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Achmad Baiquni,
ia telah memperoleh pengetahuan teknologi sipil dan metalurgi yang juga siap
pakai, karena tidak jauh dari tingkatan kebudayaan umat manusia pada saat itu.[13]
Ayat terakhir memperbincangkan masalah
penjelajahan angkasa luar. Dalam ayat tersebut Allah merangsang jin dan manusia
untuk dapat menerobos ke segenap penjuru langit dan bumi dengan melibatkan
sesuatu yang tingkatannya berada jauh di atas kemampuan pengetahuan manusia pada
saat ayat tersebut diturunkan, meskipun faktor yang menentukan keberhasilannya
diberitakan kepada mereka sekaligus. Dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya
dapat meraba serta menerka saja jawabannya. Namun pada abad XX, demikian Achmad
Baiquni,[14]
mereka telah melihat bagaimana teknologi propulasi roket dan pengendalian
elektronis yang canggih telah berhasil mengantarkan manusia sampai ke permukaan
bulan dan mengembalikannya ke bumi, serta mengirimkan pesawat-pesawat
antariksa, yang masing-masing mempunyai misi tertentu, ke planet-planet dalam
tata surya. Sungguhpun bukan buku teknologi peroketan atau aerodinamika, namun
ayat tersebut telah mengungkapkan faktor penentu tersebut.
Berangkat dari deskripsi masing-masing ayat di
atas, dapat digeneralisir bahwa al-Qur'an dan telah memberikan kajiannya
terhadap ilmu umum. Selain ayat-ayat di atas, masih banyak ayat lain (yang
memperbincangkan hal lain pula). Namun hal itu tidak berarti bahwa semua
problem kehidupan di alam ini --termasuk di dalamnya segala yang berkenaan
dengan manusia-- terhimpun secara rinci dalam Al-Qur’an sumber pokok ajaran
tersebut. Karena bagaimanapun juga, al-Qur'an diwahyukan pada masa tertentu
yang terbatas ruang dan waktu. Dan seringkali turunnya dilatarbelakangi oleh
kasus tertentu yang terjadi di saat itu, yang tentunya berbeda dengan
kasus-kasus yang terjadi pada masa-masa setelahnya. Karena setiap masa memiliki
kasusnya sendiri-sendiri. Berangkat dari sinilah akhirnya realitas tersebut
difahami secara kontroversial oleh para ilmuwan muslim
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis yang telah
diungkapkan oleh Al-Baiquni dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Berawal
dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini
telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang
berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi
lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis,
terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan
betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya
sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya
sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan
ini kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu".
Sedangkan manfaat yang kita dapat rasakan dari Islamisasi Ilmu yaitu kita selaku Umat Islam tidak menjadi kafir dan kehilangan arah dalam hal keimanan dalam melihat berbagai fenomena ilmu pengetahuan.
Sedangkan manfaat yang kita dapat rasakan dari Islamisasi Ilmu yaitu kita selaku Umat Islam tidak menjadi kafir dan kehilangan arah dalam hal keimanan dalam melihat berbagai fenomena ilmu pengetahuan.
Kita
sebagai umat yang percaya kepada Al-qur’an yang merupakan Wahyu Allah yang
memberikan landasan berbagai ilmu sehingga tidak terjadi dikotomi dalam
ilmu pengetahuan. yang jelas tidak ada
ketidakserasian antara al-Qur'an dan sains modern. "Seluruh ayat-ayat
al-Qur'an sepenuhnya sesuai dengan sains modern," demikian penegasan
Al-Baiquni. Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan
Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi
Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003.
Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu ISID
Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007.
Al-Faruqi, Islamisasi llmu Pengetahuan,
jakarta:lontar utama 2000.
Ahmad Baiquni, Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur’an, Jurnal
Inovasi, No. 08 Th. IV/1990.
Ahmad Baiquni, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana
Bhakti Waqaf, 1997
Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur'an",
dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan dalam Perspektif
al-Qur'an, Yogyakarta: LPPI UMY.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998
[1] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan,
Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung
: Nuansa, 2003), hal. 330
[2] Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for
Islamic & Occidental Studis, 2007), hal. 10
[5]
Ahmad Baiquni, Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur’an, Jurnal
Inovasi, No. 08 Th. IV/1990, hal. 11
[7]Depag
RI, Op. Cit., hlm. 212
[8] Ahmad
Baiquni, Op. Cit., hlm. 191
[9] Ibid.,
hlm. 187
[10] Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam Perspektif
al-Qur'an", dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur'an, (Yogyakarta: LPPI UMY), hlm. 106.
[11] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 441
[12] Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam...., hlm. 106
[13] Ibid.
hlm. 107
[14] Ibid.
hlm. 107-108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar