View My Stats

Senin, 06 Februari 2012

(SKRIPSI) = = = “Pembelajaran Perubahan Konseptual pada Materi Persamaan Kuadrat di Kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar”


KATA PENGANTAR
BAB I   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.    Rumusan Masalah
C.    Tujuan Penelitian
D.    Penjelasan Istilah
                                           
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.     Pembelajaran Matematika dalam Pandangan Konstruktivisme
B.     Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika
C.     Pembelajaran Perubahan Konseptual
D.     Langkah-langkah Yang Dilakukan Dalam Pembelajaran Perubahan Konseptual
E.      Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Perubahan Konseptua
F.      Penerapan Pembelajaran Perubahan Konseptual Pada Materi Persamaan Kuadrat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.    Rancangan Penelitian
B.     Lokasi Penelitian
C.    Subjek Penelitian
D.    Tehnik Pengumpulan Data
E.     Tehnik Analisis Data
F.     Tahap-Tahap Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN
A.    Gambaran Umum Hasil Penelitian
B.     Pelaksanaan dan Pengumpulan Data
C.    Pengolahan Data

BAB V   PEMBAHASAN

BAB VI  PENUTUP
A.     Kesimpulan
B.      Saran

DAFTAR PUSTAKA








PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan disetiap jenjang pendidikan, mempuyai peran yang dominan dalam mencerdaskan perserta didik dengan jalan mengembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, kritis dan konsisten. Bell (dalam hamdani, 2000) mengatakan bahwa matematika dapat digunakan untuk menyusun pemikiran yang teliti, tepat dan taat asas (konsisten).
Banyak kenyataan bahwa siswa tidak bisa menganalisis dan menjawab pertanyaan dari pembelajaran matematika, sehingga siswa mengalami miskonsepsi. Kenyataan lain yang mungkin sebagai penyebab rendahnya pemahaman terhadap matematika adalah persepsi siswa yang kurang tepat terhadap matematika. Seperti yang dikemukakan oleh Dossey dalam Journal for Research in Mathematics Education, bahwa siswa memandang matematika sebagai ilmu yang statis, hanya untuk dicontoh saja. Hal ini akan turut mewarnai cara belajar maupun cara berpikir dalam matematika.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas agar tidak menimbulkan kesalahan yang lebih patal atau menjaga agar tidak terjadi phobia matematika dikemudiaan hari, diperlukan strategi khusus terutama untuk jenis miskonsepsi yang sulit untuk disembuhkan. Oleh karena itu perlu dirancang kegiatan mengajar yang dapat membangkitkan perubahan konseptual siswa dengan mendorong untuk berinisiatif sendiri serta telibat aktif dalam kegiatan pembelajaran, sehingga pada akhirnya siswa dapat membentuk atau membangun sendiri pengetahuannya. Sebagaimana disarankan Dewey (1996) bahwa keseluruhan kehidupan dalam pembelajaran seyogiyanya diorganisasikan sebagai bentuk kecil atau miniatur kehidupan demokrasi, pelajar mendapat kesempatan untuk mengembangkan konsep yang telah dimiliki sebelumnya. Aliran semacam ini disebut konstruktivisme dan salah satu model pembelajarannya adalah pembelajaran perubahan konseptual.     
Berbagai pengamatan dan hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran perubahan konseptual masih sangat jarang dilaksanakan karena masih ada guru yang menganggap bahwa ketika melakukan tugasnya didalam kelas, ia harus menyajikan materi (umumnya dalam bentuk ceramah ), karena tanpa ceramah guru merasa belum mengajar, sehingga yang terbentuk pada diri siswa adalah pengetahuaan koknitif arah rendah. Pencapaian tujuan jangka panjang yang dicanangkan seperti kemampuan berfikir kritis dan kreatif, bekerja sama, mandiri, berbudaya dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif, hampir terabaikan.[1]
            Semua masalah yang dipaparkan di atas, akan berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memahami konsep persamaan kuadrat dalam pembelajaran matematika maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitiaan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat di SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar sehingga dapat dijadiakn patokan dalam mencapai efektifitas belajar siswa pada khususnya dan pencapaian tujuan pada umumnya. Sehubungan  dengan hal tersebut, peneliti akan melakukan suatu penelitian dengan judul “Pembelajaran Perubahan Konseptual  pada Materi Persamaan Kuadrat di Kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar”  

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
1.      Bagaimanakah konsepsi awal siswa pada materi persamaan kuadrat di kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar
2.      Bagaimanakah bentuk pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat di kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar

C. Tujuan
Tujuan penelitian mengungkapakan sasaran yang ingin dicapai yang mengacu pada isi dan rumusan masalah. Oleh karena itu sesuai dengan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat di kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar

D. Definisi Operasional
Untuk memudahkan memahami maksut dari keseluruhan penelitian maka peneliti perlu memberikan definisi operasional beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini
1. Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pembelajaran perubahan konseptual yang dimaksut dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran yang disusun berdasarkan konsepsi siswa dan dapat diterapkan oleh pengajar untuk meluruskan konsepsi siswa yang kurang jelas atau berbeda sekali dengan konsep ilmiah dan sekaligus membangun konsep baru.
2. Persamaan KuadratPersamaan kuadrat ialah suatu persamaan yang bentuk umumnya               ax² + bx + c = 0, dengan a,b,c € R dan a ≠ 0[2].









[1] Edusaintek, (Jurnal Pendidikan, Sains dan Teknologi), hal.2.
[2] Tampomas, Husen, Persamaan Kuadrat dan Pertidaksamaan, PT Grasindo, Jakarta, 2003








BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.     Pembelajaran Matematika dalam Pandangan Konstruktivisme
Tradisi konstruktivis mengandung prinsip utama bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, melainkan dibangun secara aktif oleh individu yang belajar. Gagasan atau pemi-kiran tidak dapat dikomunikasikan maknanya melalui kata-kata atau kalimat, atau diberikan langsung kepada seseorang, melainkan individu itu sendiri yang mem-bentuk makna tersebut. Soedjadi mengatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan konstruk-tivisme kemungkinan banyak miskonsepsi siswa yang dapat ditiadakan atau dihilangkan.[1] Berg menyatakan bahwa menurut konstruktivisme materi atau pelajaran baru; 1) harus bersambung dengan kon-sepsi siswa yang sudah ada, atau 2) membongkar konsepsi lama dengan membangun kembali konsep ter-sebut.[2] Selanjutnya Berg mengatakan bahwa setiap pe-ngajar harus menyadari dulu prakonsepsi dan pengalaman yang sudah ada pada siswa, dan kemudian guru harus menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya dengan “pra” pengetahuan tersebut.[3]
Merujuk dari pandangan di atas, maka dalam proses pembelajaran guru tidak lagi menempatkan siswa sebagai individu yang pasif dan siap menerima sesuatu pengetahuan baru kapan saja, tanpa memahami apa yang telah dimilikinya sebagai bekal untuk berinteraksi dengan pengetahuan baru tersebut. Untuk mengkonstruk pengetahuan pelajar, pengajar harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan makna dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki dan kemudian menyesuaikannya dengan situasi atau masalah yang dihadapinya. Dari pandangan di atas tampak bahwa tradisi konstruktivism tidak hanya sebagai aktivitas individu tetapi sebagai interaksi antara satu dengan yang lain.
Berbeda dengan konsep di atas, proses pembelajaran yang berlangsung  selama  ini umumnya dilakukan melalui penyampaian informasi, bukan pada proses pembentukan konsep. Di sekolah, guru masih tetap merupakan sumber informasi yang paling dominan, padahal sangat banyak sumber informasi lain yang dapat dimanfaatkan. Proses pembelajaran sebagian besar masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan  menghafalkan, bukan memberikan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dalam upaya untuk membangun pengetahuannya sendiri.[4]
Dalam proses pembelajaran dengan konstruktivisme, siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka dengan bantuan guru. Proses pembelajaran dengan penekanan siswa belajar aktif ini sangat penting dan perlu dikembangkan karena keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitifnya. Mereka juga akan terbantu menjadi orang kritis dalam menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.
Pendekatan ini menekankan agar murid mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya, memerlukan waktu belajar yang relatif lama, dan penanganan yang berbeda-beda untuk setiap murid. Ini dapat menjadi hambatan terutama bila berhadapan dengan kurikulum yang sarat muatan. Kendala lain dalam pelaksanaan konstruktivisme di Indonesia adalah situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang mempunyai sedikit sarana, dalam situasi seperti ini kita harus tetap memilih dan mencoba beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melibatkan siswa agar aktif membangun pengetahuan mereka sendiri.[5]  Kegiatan kelompok seperti diskusi, menulis dan mempresentasikan hasil diskusi atau makalah, serta meneliti di lapangan dapat menantang siswa untuk aktif berpikir dan membangun pengetahuan mereka.
Dalam konstruktivisme, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Guru selalu berusaha agar seorang siswa mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru, dan dapat memecahkan persoalan yang lain. Sementara itu seorang siswa yang sekedar menemukan jawaban benar belum tentu dapat menyelesaikan persoalan baru karena mungkin ia tidak mengerti cara menemukan jawaban itu. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu seseorang berpikir secara benar dan membimbingnya.
Dalam proses belajar mengajar, guru harus sadar bahwa siswa sudah mempunyai pengetahuan awal, yaitu pengetahuan yang akan menjadi dasar untuk membangun pengetahuan mereka selanjutnya. Jadi, dalam hal ini guru harus mengetahui taraf pengetahuan siswa.
Adapun jawaban siswa terhadap suatu persoalan adalah jawaban yang terbaik bagi mereka saat itu. Kalaupun jawaban tersebut salah, guru harus membantu atau memberi jalan kepada siswa sehingga dengan demikian diharapkan jawaban menjadi lebih baik. Untuk itu, guru perlu menciptakan suasana yang menyenangkan. Guru perlu membantu mengaktifkan siswa untuk berpikir dengan memberikan orientasi dan arah, tetapi tidak memaksakan. Cara ini cukup memakan waktu tapi siswa menemukan dan menyelesaikan sendiri dan ia akan siap untuk menghadapi persoalan baru.
Peran guru dalam pembelajaran dengan konstruktivisme adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Peran ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas berikut:
1.      Menyediakan kondisi/pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa, mendukung proses belajar siswa, memberi semangat, dan berpastisipasi aktif pada setiap kegiatan siswa.
2.      Menyediakan konflik kognitif dalam upaya mengubah miskonsepsi yang dibawa siswa menuju kepada konsep ilmiah.
3.     Menyediakan sarana yang memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya, merangsang siswa berpikir secara produktif atau membantu siswa dalam mengekspresikan atau mengkomunikasikan gagasannya.
4.      Memonitor, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik kepada siswa untuk menunjukkan apakah pemikiran siswa berhasil atau tidak.[6]
Perlu kita ketahui bahwa tidak semua model pembelajaran dapat digunakan di mana saja dan dalam situasi apa saja. Seorang guru yang konstruktivis harus dapat mengembangkan metode dalam suatu model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan awal siswanya.
Terdapat model pembelajaran yang bertolak dari pandangan konstruktivis tentang pembentukan pengetahuan, salah satunya adalah model pembelajaran perubahan konseptual. Sebelum mempelajari model pembelajaran tersebut, ada baiknya penulis paparkan sedikit tentang miskonsepsi dalam pembelajaran matematika.
B. Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika
Novak (1984 : 20) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Suparno (1998 : 95) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Dari pengertian di atas miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi para ilmuwan, hanya dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Konsepsi tersebut pada umumnya dibangun berdasarkan akal sehat (common sense) atau dibangun secara intuitif dalam upaya memberi makna terhadap dunia pengalaman mereka sehari-hari dan hanya merupakan eksplanasi pragmatis terhadap dunia realita. Miskonsepsi siswa mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya (Sadia, 1996:13).
Penyebab dari resistennya sebuah miskonsepsi karena setiap orang membangun pengetahuan persis dengan pengalamannya. Sekali kita telah membangun pengetahuan, maka tidak mudah untuk memberi tahu bahwa hal tersebut salah dengan jalan hanya memberi tahu untuk mengubah miskonsepsi itu. Jadi cara untuk mengubah miskonsepsi adalah dengan jalan mengkonstruksi konsep baru yang lebih cocok untuk menjelaskan pengalaman kita (Bodner, 1986 : 14). Sejumlah miskonsepsi sangatlah bersifat resistan, walaupun telah diusahakan untuk menyangkalnya dengan penalaran yang logis dengan menunjukkan perbedaannya dengan pengamatan-pengamatan sebenarnya, yang diperoleh dari peragaan dan percobaan yang dirancang khusus untuk maksud itu. Jumlah siswa yang berpegang terus pada miskonsepsi cenderung menurun dengan bertambahnya umur mereka dan makin tingginya strata pendidikan mereka.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut paradigma konstruktivis, dalam pikiran setiap orang terdapat skemata. Melalui skemata itu ia mampu membangun gambaran mental tentang gejala-gejala yang dialaminya. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi yang benar, hanya dapat ditemukan dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Miskonsepsi akan terbentuk bila gambaran mental seseorang tidak sesuai dengan konsepsi seorang ilmuwan. Suatu miskonsepsi muncul bila gambaran tersebut dibayangkan secara intuitif oleh seseorang atas dasar pengalaman sehari-harinya. Dalam menangani miskonsepsi yang dipunyai siswa, kiranya perlu diketahui lebih dahulu konsep-konsep alternatif apa saja yang dipunyai siswa dan dari mana mereka mendapatkannya.
Contoh miskonsepsi dalam matematika:
1.      Miskonsepsi tentang “himpunan”
     Anak menyatakan bahwa “banyak anggota himpunan bilangan asli lebih sedikit dari banyak anggota himpunan bilangan cacah, karena bilangan asli tidak memiliki anggota 0”.[7]
2.      Miskonsepsi tentang bilangan
Karena seringnya orang menggunakan bilangan, sampai-sampai ada pihak ataupun pejabat yang berpendapat (sadar ataupun tidak) bahwa bilangan itu konkret. Hal itu masih saja terungkap dalam uraian wawancara atau ungkapan di media massa.[8]
Masih banyak contoh lain tentang miskonsepsi. Hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena matematika bukan hanya mengajar berhitung dan keterampilan mengerjakan soal, tetapi matematika mengajarkan aspek lain berupa kecermatan, ketelitian, berpikir logis, tanggung jawab, dan disiplin. Untuk meluruskan konsepsi awal siswa supaya tidak banyak terjadinya miskonsepsi, model pembelajaran perubahan konseptual lebih cocok digunakan.[9]

C. Pembelajaran Perubahan Konseptual
Ada beberapa model pembelajaran yang bertolak dari pandangan konstruktivisme tentang pembentukan pengetahuan, salah satu diantaranya adalah model pembelajaran perubahan konseptual (conceptual change). Davidson dalam Hudojo menje-laskan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme menekankan pada proses perubahan konseptual pelajar.[10] Dalam hal ini konsepsi-konsepsi yang dimiliki pelajar sebelum mengikuti pelajaran harus digali terlebih dahulu.
Konsep adalah pengertian umum sedangkan konsepsi adalah pendapat seseorang tentang konsep. Dalam hal ini konsepsi yang telah dimiliki siswa sebelum mengikuti pelajaran secara formal disebut “konsepsi awal”. Pada umumnya konsepsi ini tidak sesuai dengan konsepsi ilmuan Driver and Oldam dalam Sutrisno.[11]
Ada bebeapa istilah untuk mengungkapkan konsepsi awal siswa, antara lain:
a)      Children Science yang diungkapkan oleh Osborne (1980:1), untuk menggambarkan pengetahuan para siswa tentang dunia dan arti dari istilah-istilah yang mereka gunakan. Para siswa mengembangkannya untuk lebih memahami sesuatu yang ada di lingkungannya.
b)      Alternative Pre-Conception yang diungkapkan oleh Clernent (1982:66), yang dikembangkan dengan alasan bahwa konsepsi alternatif dimiliki para siswa sebelum mengikuti kegiatan belajar secara formal.
c)      Alternative Framework yang diungkapkan oleh Driver (1986:443), untuk mengasumsikan bahwa para siswa memiliki kerangka berpikir yang berlainan dengan kerangka berpikir ilmuan.
d)      Common Mis-conception yang diungkapkan oleh MC. Dermott (dalam Sutrisno, 1997:2), untuk menyatakan pandangan (konsepsi) para siswa yang tidak sesuai dengan pandangan para ilmuan. Dalam hal ini konsepsi awal siswa dianggap sebagai konsepsi yang keliru.
e)      Prior Knowledge  yang diungkapkan oleh Bell (dalam Sutrisno, 1997:4), diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki para siswa sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran.
Dari pengertian konsepsi awal di atas, maka disimpulkan bahwa konsepsi awal mahasiswa adalah pengetahuan awal mahasiswa tentang suatu konsep yang sudah diperoleh dan dimiliki mahasiswa sebelum mengikuti perkuliahan. Sedangkan konsepsi mahasiswa adalah pemahaman atau pengertian, pendapat, atau kerangka berpikir mahasiswa tentang suatu konsep yang diperoleh dan dimiliki mahasiswa sesudah mengikuti perkuliahan.
Terkait dengan konsepsi awal (prakonsepsi)  dan miskonsepsi sering juga dipandang sebagai padanan satu sama lain, meskipun tidak bisa dianggap tepat sama maknanya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki oleh seseorang tentang sesuatu objek. Konsep awal ini dapat diperoleh seseorang dari pendidikan formal dan dari pendidikan secara tidak formal.
Konsep awal tentang sesuatu objek yang dimiliki oleh seseorang, tidak mustahil apabila berbeda dengan konsep yang diajarkan di sekolah tentang objek yang sama. Juga bukan suatu yang mengherankan kalau konsep yang diterima siswa di sekolah tidak tepat sama dengan konsep yang diajarkan di perguruan tinggi. Dalam semacam inilah kemudian “prakonsepsi” itu dapat menjadi suatu miskonsepsi. Soedjadi mengatakan bahwa dalam pembelajaran matema-tika, miskonsepsi dapat dijumpai dalam beberapa sumber antara lain; makna kata, aspek praktis, sim-plifikasi, ketunggalan struktur matematika, dan gam-bar.[12] Dan tentu masih mungkin terdapat sumber lain sebagai penyebab terjadinya miskonsepsi. Berg mengemukakan bahwa apabila guru mengajar tanpa memperhatikan miskonsepsi yang sudah ada da-lam proses berpikir siswa sebelum pelajaran dilaksa-nakan, guru tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar.[13] Oleh karena itu, dibagian lain Berg mengatakan bahwa kunci untuk memperbaiki mis-konsepsi siswa dan konsepsi siswa yang sudah hampir benar adalah interaksi dengan siswa melalui latihan, pertanyaan dan soal. Tanpa interaksi dengan siswa, guru tidak dapat mengetahui miskonsepsi siswa, kon-sepsi siswa yang hampir benar dan tidak dapat memperbaikinya. Berg mengatakan bahwa miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang bertentangan dengan konsep para ilmuan.[14] Sedangkan Sedjadi mengatakan bahwa konsep awal siswa yang tidak sesuai dalam struktur deduktif aksiomatik mate-matika.[15] Berdasarkan pendapat di atas, maka yang dimaksud miskonsepsi mahasiswa adalah pemahaman atau pengertian mahasiswa tentang konsep yang sudah dipelajari yang tidak sesuai dengan pengertian konsep ilmuwan.
Strike dan Porner dalam Sutrisno mengatakan bahwa belajar merupakan pemahaman suatu ide baru, menilai kebenaran ide dan konsistennya dengan ide yang lain.[16] Anggapan dasarnya adalah bahwa konsepsi yang dibawa oleh pelajar berpengaruh pada kemampuan untuk belajar dan berpengaruh pada ide yang akan dipelajari. Lonning menga-takan bahwa “belajar perubahan konseptual digam-barkan sebagai assimilasi, yaitu perubahan konsep-konsep baru pada pengetahuan yang telah ada dan sebagai akomodasi yaitu penyususnan ulang dan peng-gantian ide baru dengan konsep yang lebih tepat”.[17] Soedjadi mengatakan bahwa model peru-bahan konseptual kemungkinan lebih sesuai digunakan untuk meluruskan suatu miskonsepsi.[18] Hal ini disebab-kan suatu model pembelajaran yang dimulai dengan menggali terlebih dahulu konsepsi-konsepsi pelajar sebelum mengikuti pembelajaran di kelas dan menuntut pelajar untuk menyempurnakan pengetahuan yang sudah dimilikisertamerubah, menyusun ulang atau mengganti pengetahuan yang sudah dimiliki tetapi ssalah dengan pengetahuan baru yang benar. Jadi model pembelajaran perubahan konseptual yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu model peng-ajaran yang disusun berdasarkan konsepsi mahasiswa dan dapat diterapkan oleh pengajar untuk meluruskan konsepsi siswa yang kurang jelas atau berbeda sekali dengan konsep ilmiah dan sekaligus membangun konsepsi baru. Melalui perubahan konseptual dalam ke-giatan pembelajaran, para pelajar diharap-kan aktif membentuk pengetahuannya sendiri dengan cara memodifikasi konsepsi yang telah dimilikinya.

D. Langkah – Langkah Yang Dilakukan Dalam Pembelajaran Perubahan Konseptula
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran perubahan konseptual untuk membangkitkan perubahan konseptual dalam hal ini adalah;
1)      Orientasi, yaitu pengajar membuka pelajaran dengan memberikan uraian singkat tentang materi yang akan dipelajari dan tujuan pembelajaran.
2)      Pemunculan ide, yaitu mahsiswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil. Pengajar berusa-ha memunculkan ide siswa dengan berdasa-rkan masalah yang diungkapkan dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). siswa diminta untuk menyatakan secara eksplisit idenya kepada teman dalam kelompok dan pengajar (Guru).
3)      Penyusunan ulang ide, yaitu siswa menyusun kembali ide yang telah diperoleh pada langkah 2), yaitu meliputi;
  1. Pertukaran ide, yaitu siswa mendiskusi-kan jawaban pada langkah pemunculan ide dalam kelompoknya. Hasil diskusi yang telah ditulis pada LKS, dijelaskan oleh salah seorang dari kelompoknya, untuk setiap kelom-pok. Dengan lengkah ini diharapkan siswa mengungkapkan kembali idenya dan saling bertukar pikiran.
  2. Pembukaan situasi konflik, yaitu dosen memin-ta kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang telah ditulis pada LKS. Hal ini dimaksudkan agar jawaban mereka sesuai dengan konsep ilmiah  tentang materi yang sedang dipelajari.
  3. Pembentukan dan penilaian ide baru, yaitu siswa membangun sendiri ide atau pengeta-huan baru berdasarkan konsepsi mereka. Pada kegiatan ini guru dapat memberikan bim-bingan seperlunya. Dari kegiatan ini diha-rapkan siswa dapat menilai sendiri idenya.
  4. Penerapan ide baru (aplikasi), yaitu siswa mendiskusikan kembali jawaban pada tahap pe-munculan ide. Selain itu siswa diminta untuk menjawab tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Hal ini dimak-sudkan untuk mencoba konsep-konsep ilmuwan yang telah dikembangkan dan diperoleh siswa dalam situasi baru.
  5. Pengkajian ulang perubahan ide, yaitu guru memberikan umpan balik untuk memperkuat konsep ilmuwan yang dimiliki siswa.
  6. Secara skematis langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan perubahan konsep awal siswa dapat dilihat pada Gb.1.







 











E.Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dan kekurangan model pembelajaran perubahan konseptual adalah sebagai berikut :
1.    Kelebihan
a.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pikiran, pendapat, pemahamannya tentang suatu konsep sebelum dipelajari secara formal. Dengan demikian siswa dilibatkan dalam merencanakan pengajarannya.
b.     Memberikan kesempatan kepada siswa untuk peduli dengan konsepsi awalnya (terutama konsepsi awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah). Dengan demikian siswa diharapkan menyadari kekeliruannya dan bersedia memperbaiki kekeliruaan tersebut.
c.      Dapat menciptakan suasana kelas  yang hidup karena siswa dituntut untuk aktif berdiskusi dengan teman dan gurunya. Dengan demikian cara belajar siswa aktif dapat terlaksana.
d.     Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri pengetahuan yang diajarkan dengan memperhatikan konsepsi awalnya. Dengan demikian akan terjadi pembelajaran yang bermakna.
e.      Guru yang mengajar menjadi kreatif karena harus berusaha mencarikan alternatif untuk meluruskan konsepsi awal siswa yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah.
2.     Kekurangan
a.      Karena untuk menerapkan model pembelajaran perubahan konseptual menggali konsepsi awal siswa sebelum siswa belajar secara formal, maka bagi siswa yang belum terbiasa pada situasi ini merasa ”takut” dengan beberapa pertanyaan berkenaan dengan materi yang belum dipelajari. Namun ini bisa diatasi dengan memberikan informasi bahwa tes awal tidak mempengaruhi nilai siswa.
b.     Membutuhkan waktu yang banyak, namun ini bisa diatasi dengan membatasi waktu ketika membagikan kelompok.
c.      Bagi guru yang kurang berpengalaman akan merasa kesulitan karena pengajaran disusun berdasarkan pada konsepsi awal siswa yang beragam, namun ini bisa diatasi dengan seringnya menerapkan model pembelajaran perubahan konseptual pada materi yang ada miskonsepsinya.

F. Penerapan Pembelajaran Perubahan Konseptual Pada Materi Persamaan Kuadrat
Tahap 1. Orientasi. Guru  mengelompokkan siswa atas beberapa kelompok yang terdiri dari 5 orang anggota kelompok. Kemudian memberikan uraian singkat tentang materi persamaan kuadrat dan tujuan pembelajarannya.
Tahap 2. Pemuunculan ide. Dosen memberikan masalah mengenai bentu umun persamaan kuadrat dengan menanyakan ”mengapa pada persamaan kuadrat ax² + bx + c = 0, nilai a ≠ 0? Bagaimana jika b = 0 atau c = 0 !”
  Kemudian meminta ide siswa tentang masalah tersebut secara berdiskusi. Salah satu kelompok mengatakan idenya. Dengan jawaban ini dosen meminta mahasiswa untuk mendiskusikan dalam kelompok masing-masing.
Tahap 3. Penyusunan ulang ide. Pada tahap ini siswa menyatakan pendapat terhadap jawaban pertanyaan dari masing-masing kelompok
Tahap 4. Penerapan ide baru. Sedemikian sehingga dengan bimbingan guru, seorang siswa mengatakan bahwa jika nilai a = 0 makan pesamaannya akan menjadi pesamaan linear berbentuk bx + c = 0
Tahap 5. Pengkajian ulang perubahan ide. Pada tahap ini siswa mengerjakan soal yang diberikan guru secara berdiskusi. Setelah guru melihat jawaban dari masakah tesebut, lalu meminta kelompok tertentu untuk menuliskan jawabanya di papan tulis dan memastikan bahwa siswa tidak menemukan masalah dalam menjawab soal tersebut  







[1]Sedjadi (1995).Miskonsepsi Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan Kontruktivisme.hal 42
[2] Berg, Euwe Van Den (Edt) ,Miskonsepsi  Fisika dan Remediasi(,UKSW, Saltiga, 1991).hal 10
[3] Berg, Euwe Van Den (Edt) ,Miskonsepsi  Fisika dan Remediasi(,UKSW, Saltiga, 1991).hal 10

    [4] Sukro Muhab, Model-model Pembelajaran Bidang Sains, Makalah, (UNJ: Jakarta, 2006),  hal 5
                    [5] Ibid., hal 6
                    [6] Ibid, hal 7
                    [7] Ibid, hal 159
    [8] R. Soedjadi,Kiat…, hal 158
[9] Ibid , hal 163
[10] Hudojo, Suatu Usaha Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Belajar Matematika, Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengajaran Matematika di Sekolah Menengah, (Universitas Negeri Malang,200).hal 7
[11] Sutrisno Leo (1991).Konsep awal siswa tradisi Contructivist, Makalah disampaikan pada penataran Dosen UNTAN. Pontianak.hal 1

[12] Sedjadi (1995).Miskonsepsi Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan Kontruktivisme.hal 44

[13] Berg, Euwe Van Den (Edt) ,Miskonsepsi  Fisika dan Remediasi(,UKSW, Saltiga, 1991).hal 10
[14]Ibid.hal14
[15] Sedjadi (1995).Miskonsepsi Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan Kontruktivisme
[16] Sutrisno Leo (1991).Konsep awal siswa tradisi Contructivist, Makalah disampaikan pada penataran Dosen UNTAN. Pontianak.hal 2
[17] Lonning, Robert A(1993). Effect of Cooperative Learning Srategies on Student Verbal Interactions and Achiecement During Conceptual Change Instrucion in 10 th grade General Science .Jornual of Research and Sciencens of Teaching Vol 30 (9), 1087-1101.
[18] Sedjadi (1995).Miskonsepsi Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan Kontruktivisme.hal 45

 






BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka untuk mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat, data yang dibutuhkan adalah aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran merupakan suatu hal yang diamati secara langsung. Data berupa hasil tes awal dan tes akhir, hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran dan hasil wawancara serta catatan lapangan akan dipaparkan sesuai dengan kejadian yang terjadi dalam penelitian dan analisi secara induktif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan penelitian kualitatif karena memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan penelitian kualitataif
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian tindakan partisipan,  karena peneliti terlibat langsung mulai dari awal hingga akhir penelitian. Peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis data, dan penyusun laporan penelitian.
B. Lokasi Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana bentuk pembelajaran perubahan konseptual, maka diambil tempat penelitian SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar. Waktu penelitian ini akan ditentukan kemudian.

C.     Subjek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek penelitian ini adalah kelas X-1, karena menurut informasi dari guru matematika, siswa kelas X-1 lebih aktif dalam proses pembelajaran dibandingkan dengan kelas-kelas lain, karena di SMUN Barona jaya tersebut tidak ada kelas unggul sehingga subjek penelitian diambil secara acak dan pengambilan siswa yang aktif supaya memudahkan komunikasi pada saat wawancara.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terhadap efektifitas model pembelajaran ini adalah dengan menggunakan soal tes, observasi dan pembagian angket dan wawancara.
a.       Tes
Tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui ketuntasan belajar dalam materi persamaan kuadrat mengunakan pembelajaran perubahan konseptual . Materi tes disesuaikan dengan pokok bahasan persamaan kuadrat dari buku matematika kelas X SMUN semester I. Tes ini dalam bentuk essay yang berjumlah 5 butir soal.

b.      Observasi
Observasi adalah pengamatan dan peninjauan langsung kelokasi penelitian untuk mendapatkan informasi tentang aktifitas siswa ketika belajar mengunakan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat.

c.       Angket
Angket adalah daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan.
Dalam skripsi ini pembagiaan angket dilakukan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap penerapan pembelajaran perubahan konseptual  pada materi persamaan kuadrat.

d.      Wawancara
Wawancara dilakukan hanya kepada 4 orang siswa yang terpilih untuk di wawancarai yang dilakukan untuk menelusuri dan mengetahui pemahaman siswa pada materi persamaan kuadrat dengan menggunakan pembelajaran perubahan konseptual. Disamping itu wawancara dilakukan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran yang diikuti.
e. Catatan Lapangan.
Catatan lapangan dilakukan untuk melengkapi data yang tidak terekam dalam lembar pengamatan dan wawancara, hasil pencatatan lapangan ini digunakan untuk melengkapi data.

E. Teknik Analisis Data
            Data yang terkumpul terdiri dari hasil pekerjaan siswa yang berupa tes, wawancara, observasi dan catatan lapangan. Analisis data dilakukan setiap kali setelah pemberian suatu tindakan. Teknik analisa data yang digunakan adalah model alir yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1992:18) yang meliputi kegiatan (1) mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3) menarik kesimpulan serta verifikasi

F. Tahap-Tahap Penelitian 
            Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa penelitian ini merupakan penelitian tindakan. Maka tahap-tahap yang dilaksanakan dalam penelitian ini meliputi:
1.      Tahap Perencanaan 
Berdasarkan masalah yang terjadi di lapangan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian ini, peneliti melakukan kajian teori sebagai pertimbangan memilih alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman siswa pada pokok bahasan fungsi di kelas X SMUN 1 Barona jaya Aceh Besar dengan pembelajaran perubahan konseptual, peneliti menyusun rencana kegiatan sebagai berikut.
a.       Menyusun rencana pembelajaran untuk tindakan pembelajaran.
b.      Menyiapkan lembar kerja siswa.
c.       Menyiapkan instrumen pengumpulan data.
d.      Menentukan kriteria keberhasilan untuk setiap tindakan.
e.       Mengkoordinasikan program kerja pelaksanaan tindakan dengan guru matematika di kelas  X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar.
2.      Tahap Pelaksanaan Tindakan
            Pelaksanaan tindakan yang dimaksud adalah melaksanakan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat . Dalam pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan rencana pembelajaran yang telah susun pada tahap perencanaan.
3.      Tahap Observasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mendokumentasikan segala
sesuatu yang berkaitan dengan pemberian tindakan. Observasi dilakukan oleh teman sejawat dan seorang guru matematika yang meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan sebelumnya. Pengamatan juga dimaksudkan untuk mengetahui adanya kesesuaian antara perencanaan dan pelaksana tindakan serta untuk menjaring data aktivitas siswa dalam pembelajaran. Selain lembar observasi, disediakan catatan lapangan untuk melengkapi data hasil observasi. Untuk menindaklanjuti hasil observasi dan hasil tes akhir tindakan dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian.
4.      Tahap Refleksi
Refleksi dilakukan untuk melihat keseluruhan proses pelaksanaan tindakan dan hasil pemahaman siswa. Refleksi merupakan kegiatan menganalisis, memahami, dan membuat kesimpulan berdasarkan hasil tes, pengamatan, dan wawancara. Jika telah tercapai maka siklus berhenti, tetapi bila belum berhasil maka peneliti melakukan pengulangan siklus dengan perbaikan-perbaikan yang dianggap perlu.
Dua indikator yang digunakan dalam menentukan sukses tidaknya siklus tindakan pada penelitian ini yaitu indikator  kesuksesan dari proses pembelajaran dan hasil belajar siswa melalui tes akhir yang dilakukan pada setiap akhir siklus. Indikator pertama, proses pembelajaran dikatakan berhasil dilihat dari hasil pengamatan tentang berhasilnya guru dalam melakukan proses pembelajaran dengan baik sesuai dengan perencanaan pembelajaran, guru aktif sebagai pembimbing dan fasilitator dan juga guru tidak mengalami masalah yang serius pada saat melaksanakan kegiatan proses pembelajaran baik dalam hal penyampaian materi, penguasaan kelas dan membimbing siswa belajar.
Indikator kedua untuk melihat berhasil tidaknya siklus tindakan pada penelitian adalah dari keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dan hasil belajar siswa, tindakan pada setiap siklus dinilai berhasil bila setelah berlangsungnya kegiatan pembelajaran, siswa telah memperoleh rata-rata skor tes akhir  65 % dari skor maksimal dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari siswa aktif  dalam diskusi, menayakan hal-hal yang tidak diketahui siswa dan mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik, keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan diamati oleh observer.









Siklus penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart (dalam Hopkins, 1985:34).
 
















Gambar 3.1 Siklus Penelitian Tindakan

           
           




Tidak ada komentar: