KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penelitian
D. Penjelasan
Istilah
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Matematika
dalam Pandangan Konstruktivisme
B. Miskonsepsi dalam
Pembelajaran Matematika
C. Pembelajaran Perubahan
Konseptual
D. Langkah-langkah Yang
Dilakukan Dalam Pembelajaran Perubahan Konseptual
E.
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran
Perubahan Konseptua
F.
Penerapan Pembelajaran Perubahan Konseptual Pada
Materi Persamaan Kuadrat
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan
Penelitian
B. Lokasi
Penelitian
C. Subjek
Penelitian
D. Tehnik
Pengumpulan Data
E. Tehnik
Analisis Data
F. Tahap-Tahap
Penelitian
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran
Umum Hasil Penelitian
B. Pelaksanaan
dan Pengumpulan Data
C. Pengolahan
Data
BAB V PEMBAHASAN
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan disetiap
jenjang pendidikan, mempuyai peran yang dominan dalam mencerdaskan perserta
didik dengan jalan mengembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, kritis
dan konsisten. Bell
(dalam hamdani, 2000) mengatakan bahwa matematika dapat digunakan untuk
menyusun pemikiran yang teliti, tepat dan taat asas (konsisten).
Banyak kenyataan bahwa siswa tidak bisa menganalisis dan menjawab
pertanyaan dari pembelajaran matematika, sehingga siswa mengalami miskonsepsi.
Kenyataan lain yang mungkin sebagai penyebab rendahnya pemahaman terhadap
matematika adalah persepsi siswa yang kurang tepat terhadap matematika. Seperti
yang dikemukakan oleh Dossey dalam Journal
for Research in Mathematics Education, bahwa siswa memandang matematika
sebagai ilmu yang statis, hanya untuk dicontoh saja. Hal ini akan turut
mewarnai cara belajar maupun cara berpikir dalam matematika.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas agar tidak menimbulkan kesalahan yang
lebih patal atau menjaga agar tidak terjadi phobia matematika dikemudiaan hari,
diperlukan strategi khusus terutama untuk jenis miskonsepsi yang sulit untuk
disembuhkan. Oleh karena itu perlu dirancang kegiatan mengajar yang dapat
membangkitkan perubahan konseptual siswa dengan mendorong untuk berinisiatif
sendiri serta telibat aktif dalam kegiatan pembelajaran, sehingga pada akhirnya
siswa dapat membentuk atau membangun sendiri pengetahuannya. Sebagaimana
disarankan Dewey (1996) bahwa keseluruhan kehidupan dalam pembelajaran
seyogiyanya diorganisasikan sebagai bentuk kecil atau miniatur kehidupan
demokrasi, pelajar mendapat kesempatan untuk mengembangkan konsep yang telah
dimiliki sebelumnya. Aliran semacam ini disebut konstruktivisme dan salah satu
model pembelajarannya adalah pembelajaran perubahan konseptual.
Berbagai pengamatan dan hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran perubahan
konseptual masih sangat jarang dilaksanakan karena masih ada guru yang
menganggap bahwa ketika melakukan tugasnya didalam kelas, ia harus menyajikan
materi (umumnya dalam bentuk ceramah ), karena tanpa ceramah guru merasa belum
mengajar, sehingga yang terbentuk pada diri siswa adalah pengetahuaan koknitif
arah rendah. Pencapaian tujuan jangka panjang yang dicanangkan seperti
kemampuan berfikir kritis dan kreatif, bekerja sama, mandiri, berbudaya dan
berketerampilan, inovatif dan kompetitif, hampir terabaikan.[1]
Pelaksanaan pembelajaran matematika di SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar
khususnya pada materi pelajaran persamaan kuardat masih jauh seperti yang
diharapakan. Hal ini menurut penulis didasarkan beberapa persoalan, di
antaranya: (1) Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap
materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak
memahaminya: (2) Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa
yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
dipergunakan/dimanfaatkan: (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep
persamaan kuadrat sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan
sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal siswa sangat butuh untuk dapat
memahami konsep-konsep tersebut sehingga dapat diterapkan untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Semua masalah yang dipaparkan di
atas, akan berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memahami konsep persamaan
kuadrat dalam pembelajaran matematika maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitiaan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan
kuadrat di SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar sehingga dapat dijadiakn patokan dalam
mencapai efektifitas belajar siswa pada khususnya dan pencapaian tujuan pada
umumnya. Sehubungan dengan hal tersebut,
peneliti akan melakukan suatu penelitian dengan judul “Pembelajaran Perubahan
Konseptual pada Materi Persamaan Kuadrat
di Kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut
1.
Bagaimanakah konsepsi awal siswa pada
materi persamaan kuadrat di kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar
2.
Bagaimanakah bentuk pembelajaran
perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat di kelas X SMUN 1 Barona
Jaya Aceh Besar
C. Tujuan
Tujuan penelitian mengungkapakan sasaran yang ingin dicapai yang mengacu
pada isi dan rumusan masalah. Oleh karena itu sesuai dengan permasalahan, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk pembelajaran perubahan
konseptual pada materi persamaan kuadrat di kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar
D. Definisi Operasional
Untuk memudahkan memahami maksut dari keseluruhan penelitian maka
peneliti perlu memberikan definisi operasional beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini
1. Pembelajaran
Perubahan Konseptual
Pembelajaran perubahan konseptual yang dimaksut dalam penelitian ini
adalah suatu model pembelajaran yang disusun berdasarkan konsepsi siswa dan
dapat diterapkan oleh pengajar untuk meluruskan konsepsi siswa yang kurang
jelas atau berbeda sekali dengan konsep ilmiah dan sekaligus membangun konsep
baru.
2. Persamaan
KuadratPersamaan kuadrat ialah suatu persamaan yang bentuk umumnya ax² + bx + c = 0, dengan a,b,c € R dan a ≠ 0[2].
[1]
Edusaintek, (Jurnal Pendidikan, Sains dan Teknologi), hal.2.
[2] Tampomas,
Husen, Persamaan Kuadrat dan Pertidaksamaan, PT Grasindo, Jakarta, 2003
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Pembelajaran Matematika dalam Pandangan
Konstruktivisme
Tradisi konstruktivis mengandung prinsip utama bahwa pengetahuan tidak
diterima secara pasif, melainkan dibangun secara aktif oleh individu yang
belajar. Gagasan atau pemi-kiran tidak dapat dikomunikasikan maknanya melalui
kata-kata atau kalimat, atau diberikan langsung kepada seseorang, melainkan
individu itu sendiri yang mem-bentuk makna tersebut. Soedjadi mengatakan bahwa
dengan menggunakan pendekatan konstruk-tivisme kemungkinan banyak miskonsepsi
siswa yang dapat ditiadakan atau dihilangkan.[1]
Berg menyatakan bahwa menurut konstruktivisme materi atau pelajaran baru; 1)
harus bersambung dengan kon-sepsi siswa yang sudah ada, atau 2) membongkar
konsepsi lama dengan membangun kembali konsep ter-sebut.[2]
Selanjutnya Berg mengatakan bahwa setiap pe-ngajar harus menyadari dulu
prakonsepsi dan pengalaman yang sudah ada pada siswa, dan kemudian guru harus
menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya dengan “pra” pengetahuan tersebut.[3]
Merujuk dari pandangan di atas, maka dalam proses pembelajaran guru tidak
lagi menempatkan siswa sebagai individu yang pasif dan siap menerima sesuatu
pengetahuan baru kapan saja, tanpa memahami apa yang telah dimilikinya sebagai
bekal untuk berinteraksi dengan pengetahuan baru tersebut. Untuk mengkonstruk
pengetahuan pelajar, pengajar harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan
makna dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki dan kemudian menyesuaikannya
dengan situasi atau masalah yang dihadapinya. Dari pandangan di atas tampak
bahwa tradisi konstruktivism tidak hanya sebagai aktivitas individu tetapi
sebagai interaksi antara satu dengan yang lain.
Berbeda
dengan konsep di atas, proses pembelajaran yang berlangsung selama
ini umumnya dilakukan melalui penyampaian informasi, bukan pada proses
pembentukan konsep. Di sekolah, guru masih tetap merupakan sumber informasi
yang paling dominan, padahal sangat banyak sumber informasi lain yang dapat
dimanfaatkan. Proses pembelajaran sebagian besar masih berpusat pada kegiatan
mendengarkan dan menghafalkan, bukan
memberikan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dalam upaya
untuk membangun pengetahuannya sendiri.[4]
Dalam
proses pembelajaran dengan konstruktivisme, siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan
mereka dengan bantuan guru. Proses pembelajaran dengan penekanan siswa belajar
aktif ini sangat penting dan perlu dikembangkan karena keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitifnya. Mereka juga
akan terbantu menjadi orang kritis dalam menganalisis suatu hal karena mereka
berpikir dan bukan meniru saja.
Pendekatan
ini menekankan agar murid mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya, memerlukan
waktu belajar yang relatif lama, dan penanganan yang berbeda-beda untuk setiap
murid. Ini dapat menjadi hambatan terutama bila berhadapan dengan kurikulum
yang sarat muatan. Kendala lain dalam pelaksanaan konstruktivisme di Indonesia
adalah situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang
mempunyai sedikit sarana, dalam situasi seperti ini kita harus tetap memilih
dan mencoba beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melibatkan siswa agar aktif
membangun pengetahuan mereka sendiri.[5]
Kegiatan kelompok seperti diskusi, menulis dan mempresentasikan hasil diskusi
atau makalah, serta meneliti di lapangan dapat menantang siswa untuk aktif
berpikir dan membangun pengetahuan mereka.
Dalam
konstruktivisme, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru
ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan
justifikasi. Guru selalu berusaha agar seorang siswa mempunyai cara berpikir
yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi
suatu fenomena baru, dan dapat memecahkan persoalan yang lain. Sementara itu
seorang siswa yang sekedar menemukan jawaban benar belum tentu dapat
menyelesaikan persoalan baru karena mungkin ia tidak mengerti cara menemukan
jawaban itu. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu seseorang berpikir
secara benar dan membimbingnya.
Dalam
proses belajar mengajar, guru harus sadar bahwa siswa sudah mempunyai
pengetahuan awal, yaitu pengetahuan yang akan menjadi dasar untuk membangun
pengetahuan mereka selanjutnya. Jadi, dalam hal ini guru harus mengetahui taraf pengetahuan siswa.
Adapun
jawaban siswa terhadap suatu persoalan adalah jawaban yang terbaik bagi mereka
saat itu. Kalaupun jawaban tersebut salah, guru harus membantu atau memberi
jalan kepada siswa sehingga dengan demikian diharapkan jawaban menjadi lebih
baik. Untuk itu, guru perlu menciptakan suasana yang menyenangkan. Guru perlu
membantu mengaktifkan siswa untuk berpikir dengan memberikan orientasi dan
arah, tetapi tidak memaksakan. Cara ini cukup memakan waktu tapi siswa
menemukan dan menyelesaikan sendiri dan ia akan siap untuk menghadapi persoalan
baru.
Peran guru
dalam pembelajaran dengan konstruktivisme adalah sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Peran
ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas berikut:
1. Menyediakan kondisi/pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan
siswa, mendukung proses belajar siswa, memberi semangat, dan berpastisipasi
aktif pada setiap kegiatan siswa.
2. Menyediakan konflik kognitif dalam upaya mengubah miskonsepsi yang
dibawa siswa menuju kepada konsep ilmiah.
3. Menyediakan sarana yang memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuannya, merangsang siswa berpikir secara produktif atau membantu siswa
dalam mengekspresikan atau mengkomunikasikan gagasannya.
4. Memonitor, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik kepada siswa untuk
menunjukkan apakah pemikiran siswa berhasil atau tidak.[6]
Perlu kita ketahui bahwa tidak semua model
pembelajaran dapat digunakan di mana saja dan dalam situasi apa saja. Seorang
guru yang konstruktivis harus dapat mengembangkan metode dalam suatu model
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan awal siswanya.
Terdapat model pembelajaran yang bertolak dari
pandangan konstruktivis tentang pembentukan pengetahuan, salah satunya adalah
model pembelajaran perubahan konseptual. Sebelum mempelajari model pembelajaran
tersebut, ada baiknya penulis paparkan sedikit tentang miskonsepsi dalam
pembelajaran matematika.
B. Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika
Novak (1984 : 20) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu
interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.
Suparno (1998 : 95) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat
akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang
salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis
konsep-konsep yang tidak benar. Dari pengertian di atas miskonsepsi dapat
diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah
atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan. Miskonsepsi didefinisikan
sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi para ilmuwan, hanya
dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus
lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Konsepsi tersebut pada umumnya
dibangun berdasarkan akal sehat (common sense) atau
dibangun secara intuitif dalam upaya memberi makna terhadap dunia pengalaman
mereka sehari-hari dan hanya merupakan eksplanasi pragmatis terhadap dunia
realita. Miskonsepsi siswa mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran
pada jenjang pendidikan sebelumnya (Sadia, 1996:13).
Penyebab dari resistennya sebuah miskonsepsi karena setiap
orang membangun pengetahuan persis dengan pengalamannya. Sekali kita telah
membangun pengetahuan, maka tidak mudah untuk memberi tahu bahwa hal tersebut
salah dengan jalan hanya memberi tahu untuk mengubah miskonsepsi itu. Jadi cara
untuk mengubah miskonsepsi adalah dengan jalan mengkonstruksi konsep baru yang lebih
cocok untuk menjelaskan pengalaman kita (Bodner, 1986 : 14). Sejumlah
miskonsepsi sangatlah bersifat resistan, walaupun telah diusahakan untuk
menyangkalnya dengan penalaran yang logis dengan menunjukkan perbedaannya
dengan pengamatan-pengamatan sebenarnya, yang diperoleh dari peragaan dan
percobaan yang dirancang khusus untuk maksud itu. Jumlah siswa yang berpegang
terus pada miskonsepsi cenderung menurun dengan bertambahnya umur mereka dan
makin tingginya strata pendidikan mereka.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut paradigma
konstruktivis, dalam pikiran setiap orang terdapat skemata. Melalui skemata itu
ia mampu membangun gambaran mental tentang gejala-gejala yang dialaminya.
Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi
yang benar, hanya dapat ditemukan dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku
untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Miskonsepsi akan
terbentuk bila gambaran mental seseorang tidak sesuai dengan konsepsi seorang
ilmuwan. Suatu miskonsepsi muncul bila gambaran tersebut dibayangkan secara
intuitif oleh seseorang atas dasar pengalaman sehari-harinya. Dalam menangani
miskonsepsi yang dipunyai siswa, kiranya perlu diketahui lebih dahulu
konsep-konsep alternatif apa saja yang dipunyai siswa dan dari mana mereka
mendapatkannya.
Contoh miskonsepsi dalam matematika:
1.
Miskonsepsi tentang “himpunan”
Anak
menyatakan bahwa “banyak anggota himpunan bilangan asli lebih sedikit dari
banyak anggota himpunan bilangan cacah, karena bilangan asli tidak memiliki
anggota 0”.[7]
2. Miskonsepsi tentang bilangan
Karena
seringnya orang menggunakan bilangan, sampai-sampai ada pihak ataupun pejabat
yang berpendapat (sadar ataupun tidak) bahwa bilangan itu konkret. Hal itu
masih saja terungkap dalam uraian wawancara atau ungkapan di media massa.[8]
Masih
banyak contoh lain tentang miskonsepsi. Hal tersebut sangat penting untuk
diperhatikan karena matematika bukan hanya mengajar berhitung dan keterampilan
mengerjakan soal, tetapi matematika mengajarkan aspek lain berupa kecermatan,
ketelitian, berpikir logis, tanggung jawab, dan disiplin. Untuk meluruskan
konsepsi awal siswa supaya tidak banyak terjadinya miskonsepsi, model
pembelajaran perubahan konseptual lebih cocok digunakan.[9]
C. Pembelajaran Perubahan Konseptual
Ada beberapa model pembelajaran yang bertolak dari pandangan
konstruktivisme tentang pembentukan pengetahuan, salah satu diantaranya adalah
model pembelajaran perubahan konseptual (conceptual change). Davidson
dalam Hudojo menje-laskan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
menekankan pada proses perubahan konseptual pelajar.[10]
Dalam hal ini konsepsi-konsepsi yang dimiliki pelajar sebelum mengikuti
pelajaran harus digali terlebih dahulu.
Konsep adalah pengertian umum sedangkan konsepsi adalah pendapat seseorang
tentang konsep. Dalam hal ini konsepsi yang telah dimiliki siswa sebelum
mengikuti pelajaran secara formal disebut “konsepsi awal”. Pada umumnya
konsepsi ini tidak sesuai dengan konsepsi ilmuan Driver and Oldam dalam
Sutrisno.[11]
Ada bebeapa istilah untuk mengungkapkan konsepsi awal siswa, antara lain:
a) Children Science yang diungkapkan oleh Osborne (1980:1),
untuk menggambarkan pengetahuan para siswa tentang dunia dan arti dari
istilah-istilah yang mereka gunakan. Para siswa mengembangkannya untuk lebih
memahami sesuatu yang ada di lingkungannya.
b) Alternative
Pre-Conception yang
diungkapkan oleh Clernent (1982:66), yang dikembangkan dengan alasan bahwa
konsepsi alternatif dimiliki para siswa sebelum mengikuti kegiatan belajar
secara formal.
c) Alternative Framework yang diungkapkan oleh Driver (1986:443),
untuk mengasumsikan bahwa para siswa memiliki kerangka berpikir yang berlainan
dengan kerangka berpikir ilmuan.
d) Common Mis-conception yang diungkapkan oleh MC. Dermott (dalam
Sutrisno, 1997:2), untuk menyatakan pandangan (konsepsi) para siswa yang tidak
sesuai dengan pandangan para ilmuan. Dalam hal ini konsepsi awal siswa dianggap
sebagai konsepsi yang keliru.
e) Prior Knowledge yang diungkapkan oleh Bell (dalam
Sutrisno, 1997:4), diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki para siswa
sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran.
Dari pengertian konsepsi awal di atas, maka disimpulkan bahwa konsepsi awal
mahasiswa adalah pengetahuan awal mahasiswa tentang suatu konsep yang sudah
diperoleh dan dimiliki mahasiswa sebelum mengikuti perkuliahan. Sedangkan
konsepsi mahasiswa adalah pemahaman atau pengertian, pendapat, atau kerangka
berpikir mahasiswa tentang suatu konsep yang diperoleh dan dimiliki mahasiswa
sesudah mengikuti perkuliahan.
Terkait dengan konsepsi awal (prakonsepsi) dan miskonsepsi sering
juga dipandang sebagai padanan satu sama lain, meskipun tidak bisa dianggap
tepat sama maknanya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan prakonsepsi adalah
konsep awal yang dimiliki oleh seseorang tentang sesuatu objek. Konsep awal ini
dapat diperoleh seseorang dari pendidikan formal dan dari pendidikan secara
tidak formal.
Konsep awal tentang sesuatu objek yang dimiliki oleh seseorang, tidak
mustahil apabila berbeda dengan konsep yang diajarkan di sekolah tentang objek
yang sama. Juga bukan suatu yang mengherankan kalau konsep yang diterima siswa
di sekolah tidak tepat sama dengan konsep yang diajarkan di perguruan tinggi.
Dalam semacam inilah kemudian “prakonsepsi” itu dapat menjadi suatu miskonsepsi.
Soedjadi mengatakan bahwa dalam pembelajaran matema-tika, miskonsepsi dapat
dijumpai dalam beberapa sumber antara lain; makna kata, aspek praktis,
sim-plifikasi, ketunggalan struktur matematika, dan gam-bar.[12]
Dan tentu masih mungkin terdapat sumber lain sebagai penyebab terjadinya
miskonsepsi. Berg mengemukakan bahwa apabila guru mengajar tanpa memperhatikan
miskonsepsi yang sudah ada da-lam proses berpikir siswa sebelum pelajaran
dilaksa-nakan, guru tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar.[13]
Oleh karena itu, dibagian lain Berg mengatakan bahwa kunci untuk memperbaiki
mis-konsepsi siswa dan konsepsi siswa yang sudah hampir benar adalah interaksi
dengan siswa melalui latihan, pertanyaan dan soal. Tanpa interaksi dengan
siswa, guru tidak dapat mengetahui miskonsepsi siswa, kon-sepsi siswa yang
hampir benar dan tidak dapat memperbaikinya. Berg mengatakan bahwa miskonsepsi
adalah konsepsi siswa yang bertentangan dengan konsep para ilmuan.[14]
Sedangkan Sedjadi mengatakan bahwa konsep awal siswa yang tidak sesuai dalam struktur
deduktif aksiomatik mate-matika.[15]
Berdasarkan pendapat di atas, maka yang dimaksud miskonsepsi mahasiswa adalah
pemahaman atau pengertian mahasiswa tentang konsep yang sudah dipelajari yang
tidak sesuai dengan pengertian konsep ilmuwan.
Strike dan Porner dalam Sutrisno mengatakan bahwa belajar merupakan
pemahaman suatu ide baru, menilai kebenaran ide dan konsistennya dengan ide
yang lain.[16] Anggapan dasarnya adalah
bahwa konsepsi yang dibawa oleh pelajar berpengaruh pada kemampuan untuk
belajar dan berpengaruh pada ide yang akan dipelajari. Lonning menga-takan
bahwa “belajar perubahan konseptual digam-barkan sebagai assimilasi, yaitu
perubahan konsep-konsep baru pada pengetahuan yang telah ada dan sebagai
akomodasi yaitu penyususnan ulang dan peng-gantian ide baru dengan konsep yang
lebih tepat”.[17] Soedjadi mengatakan bahwa
model peru-bahan konseptual kemungkinan lebih sesuai digunakan untuk meluruskan
suatu miskonsepsi.[18]
Hal ini disebab-kan suatu model pembelajaran yang dimulai dengan menggali
terlebih dahulu konsepsi-konsepsi pelajar sebelum mengikuti pembelajaran di
kelas dan menuntut pelajar untuk menyempurnakan pengetahuan yang sudah
dimilikisertamerubah, menyusun ulang atau mengganti pengetahuan yang sudah
dimiliki tetapi ssalah dengan pengetahuan baru yang benar. Jadi model
pembelajaran perubahan konseptual yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu
model peng-ajaran yang disusun berdasarkan konsepsi mahasiswa dan dapat
diterapkan oleh pengajar untuk meluruskan konsepsi siswa yang kurang jelas atau
berbeda sekali dengan konsep ilmiah dan sekaligus membangun konsepsi baru.
Melalui perubahan konseptual dalam ke-giatan pembelajaran, para pelajar
diharap-kan aktif membentuk pengetahuannya sendiri dengan cara memodifikasi
konsepsi yang telah dimilikinya.
D. Langkah – Langkah Yang Dilakukan Dalam
Pembelajaran Perubahan Konseptula
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran perubahan konseptual
untuk membangkitkan perubahan konseptual dalam hal ini adalah;
1) Orientasi, yaitu pengajar
membuka pelajaran dengan memberikan uraian singkat tentang materi yang akan
dipelajari dan tujuan pembelajaran.
2) Pemunculan ide, yaitu
mahsiswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil. Pengajar berusa-ha
memunculkan ide siswa dengan berdasa-rkan masalah yang diungkapkan dalam Lembar
Kerja Siswa (LKS). siswa diminta untuk menyatakan secara eksplisit idenya
kepada teman dalam kelompok dan pengajar (Guru).
3) Penyusunan ulang ide, yaitu siswa
menyusun kembali ide yang telah diperoleh pada langkah 2), yaitu meliputi;
- Pertukaran ide, yaitu siswa mendiskusi-kan jawaban pada langkah pemunculan ide dalam kelompoknya. Hasil diskusi yang telah ditulis pada LKS, dijelaskan oleh salah seorang dari kelompoknya, untuk setiap kelom-pok. Dengan lengkah ini diharapkan siswa mengungkapkan kembali idenya dan saling bertukar pikiran.
- Pembukaan situasi konflik, yaitu dosen memin-ta kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang telah ditulis pada LKS. Hal ini dimaksudkan agar jawaban mereka sesuai dengan konsep ilmiah tentang materi yang sedang dipelajari.
- Pembentukan dan penilaian ide baru, yaitu siswa membangun sendiri ide atau pengeta-huan baru berdasarkan konsepsi mereka. Pada kegiatan ini guru dapat memberikan bim-bingan seperlunya. Dari kegiatan ini diha-rapkan siswa dapat menilai sendiri idenya.
- Penerapan ide baru (aplikasi), yaitu siswa mendiskusikan kembali jawaban pada tahap pe-munculan ide. Selain itu siswa diminta untuk menjawab tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Hal ini dimak-sudkan untuk mencoba konsep-konsep ilmuwan yang telah dikembangkan dan diperoleh siswa dalam situasi baru.
- Pengkajian ulang perubahan ide, yaitu guru memberikan umpan balik untuk memperkuat konsep ilmuwan yang dimiliki siswa.
- Secara skematis langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan perubahan konsep awal siswa dapat dilihat pada Gb.1.
E.Kelebihan dan
Kekurangan Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Setiap
model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dan kekurangan model pembelajaran
perubahan konseptual adalah sebagai berikut :
1.
Kelebihan
a.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pikiran, pendapat,
pemahamannya tentang suatu konsep sebelum dipelajari secara formal. Dengan
demikian siswa dilibatkan dalam merencanakan pengajarannya.
b.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk peduli dengan konsepsi awalnya
(terutama konsepsi awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah). Dengan
demikian siswa diharapkan menyadari kekeliruannya dan bersedia memperbaiki
kekeliruaan tersebut.
c.
Dapat menciptakan suasana kelas yang
hidup karena siswa dituntut untuk aktif berdiskusi dengan teman dan gurunya.
Dengan demikian cara belajar siswa aktif dapat terlaksana.
d.
Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri pengetahuan yang diajarkan
dengan memperhatikan konsepsi awalnya. Dengan demikian akan terjadi
pembelajaran yang bermakna.
e.
Guru yang mengajar menjadi kreatif karena harus berusaha mencarikan
alternatif untuk meluruskan konsepsi awal siswa yang tidak sesuai dengan konsep
ilmiah.
2.
Kekurangan
a.
Karena untuk menerapkan model pembelajaran perubahan konseptual menggali
konsepsi awal siswa sebelum siswa belajar secara formal, maka bagi siswa yang
belum terbiasa pada situasi ini merasa ”takut” dengan beberapa pertanyaan
berkenaan dengan materi yang belum dipelajari. Namun ini bisa diatasi dengan
memberikan informasi bahwa tes awal tidak mempengaruhi nilai siswa.
b.
Membutuhkan waktu yang banyak, namun ini bisa diatasi dengan membatasi
waktu ketika membagikan kelompok.
c.
Bagi guru yang kurang berpengalaman akan merasa kesulitan karena pengajaran
disusun berdasarkan pada konsepsi awal siswa yang beragam, namun ini bisa
diatasi dengan seringnya menerapkan model pembelajaran perubahan konseptual
pada materi yang ada miskonsepsinya.
F. Penerapan Pembelajaran Perubahan
Konseptual Pada Materi Persamaan Kuadrat
Tahap 1. Orientasi. Guru mengelompokkan siswa atas beberapa kelompok
yang terdiri dari 5 orang anggota kelompok. Kemudian memberikan uraian singkat
tentang materi persamaan kuadrat dan tujuan pembelajarannya.
Tahap 2. Pemuunculan ide. Dosen memberikan masalah mengenai bentu umun persamaan
kuadrat dengan menanyakan ”mengapa pada persamaan kuadrat ax² + bx + c = 0, nilai a ≠ 0? Bagaimana jika b =
0 atau c = 0 !”
Kemudian meminta ide siswa tentang
masalah tersebut secara berdiskusi. Salah satu kelompok mengatakan idenya.
Dengan jawaban ini dosen meminta mahasiswa untuk mendiskusikan dalam kelompok
masing-masing.
Tahap 3. Penyusunan ulang ide. Pada tahap ini siswa menyatakan pendapat
terhadap jawaban pertanyaan dari masing-masing kelompok
Tahap 4. Penerapan ide baru. Sedemikian sehingga dengan bimbingan
guru, seorang siswa mengatakan bahwa jika nilai a = 0 makan pesamaannya akan
menjadi pesamaan linear berbentuk bx + c = 0
Tahap 5. Pengkajian ulang perubahan ide. Pada tahap ini siswa mengerjakan soal
yang diberikan guru secara berdiskusi. Setelah guru melihat jawaban dari
masakah tesebut, lalu meminta kelompok tertentu untuk menuliskan jawabanya di
papan tulis dan memastikan bahwa siswa tidak menemukan masalah dalam menjawab
soal tersebut
[1]Sedjadi (1995).Miskonsepsi
Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan
Kontruktivisme.hal 42
[2] Berg, Euwe Van Den (Edt) ,Miskonsepsi Fisika
dan Remediasi(,UKSW, Saltiga, 1991).hal 10
[3] Berg, Euwe Van Den (Edt) ,Miskonsepsi Fisika
dan Remediasi(,UKSW, Saltiga, 1991).hal 10
[9] Ibid , hal 163
[10] Hudojo, Suatu Usaha Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa
Dalam Belajar Matematika, Makalah disajikan pada Seminar Nasional
Pengajaran Matematika di Sekolah Menengah, (Universitas Negeri Malang,200).hal
7
[11] Sutrisno Leo (1991).Konsep awal siswa tradisi
Contructivist, Makalah disampaikan pada penataran Dosen UNTAN.
Pontianak.hal 1
[12] Sedjadi (1995).Miskonsepsi
Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan
Kontruktivisme.hal 44
[14]Ibid.hal14
[15] Sedjadi (1995).Miskonsepsi Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok
tinjauan dikaitkan dengan Kontruktivisme
[16] Sutrisno Leo (1991).Konsep awal siswa tradisi
Contructivist, Makalah disampaikan pada penataran Dosen UNTAN. Pontianak.hal
2
[17] Lonning, Robert A(1993). Effect of Cooperative Learning
Srategies on Student Verbal Interactions and Achiecement During Conceptual
Change Instrucion in 10 th grade General Science .Jornual of Research and Sciencens
of Teaching Vol 30 (9), 1087-1101.
[18] Sedjadi (1995).Miskonsepsi
Dalam Pengajaran Matematika pokok- pokok tinjauan dikaitkan dengan
Kontruktivisme.hal 45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah
dalam penelitian ini, maka untuk mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat,
data yang dibutuhkan adalah aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran
merupakan suatu hal yang diamati secara langsung. Data berupa hasil tes awal
dan tes akhir, hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran dan hasil
wawancara serta catatan lapangan akan dipaparkan sesuai dengan kejadian yang
terjadi dalam penelitian dan analisi secara induktif. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini pendekatan penelitian kualitatif karena memiliki ciri-ciri
yang sesuai dengan penelitian kualitataif
Jenis
penelitian ini adalah jenis penelitian tindakan partisipan, karena peneliti terlibat langsung mulai dari
awal hingga akhir penelitian. Peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana,
pengumpul data, penganalisis data, dan penyusun laporan penelitian.
B. Lokasi Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana bentuk pembelajaran
perubahan konseptual, maka diambil tempat penelitian SMUN 1 Barona Jaya Aceh
Besar. Waktu penelitian ini akan ditentukan kemudian.
C. Subjek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek penelitian ini adalah kelas X-1, karena
menurut informasi dari guru matematika, siswa kelas X-1 lebih aktif dalam
proses pembelajaran dibandingkan dengan kelas-kelas lain, karena di SMUN Barona
jaya tersebut tidak ada kelas unggul sehingga subjek penelitian diambil secara
acak dan pengambilan siswa yang aktif supaya memudahkan komunikasi pada saat
wawancara.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terhadap efektifitas model pembelajaran ini
adalah dengan menggunakan soal tes, observasi dan pembagian angket dan
wawancara.
a.
Tes
Tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui ketuntasan belajar dalam
materi persamaan kuadrat mengunakan pembelajaran perubahan konseptual . Materi
tes disesuaikan dengan pokok bahasan persamaan kuadrat dari buku matematika
kelas X SMUN semester I. Tes ini dalam bentuk essay yang berjumlah 5 butir
soal.
b. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan peninjauan langsung kelokasi penelitian
untuk mendapatkan informasi tentang aktifitas siswa ketika belajar mengunakan
pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat.
c. Angket
Angket adalah daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan
ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan.
Dalam skripsi ini pembagiaan angket dilakukan untuk mengetahui tanggapan
siswa terhadap penerapan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat.
d. Wawancara
Wawancara dilakukan hanya kepada 4 orang siswa yang terpilih untuk di
wawancarai yang dilakukan untuk menelusuri dan mengetahui pemahaman siswa pada
materi persamaan kuadrat dengan menggunakan pembelajaran perubahan konseptual.
Disamping itu wawancara dilakukan untuk mengetahui respon siswa terhadap
pembelajaran yang diikuti.
e. Catatan Lapangan.
Catatan lapangan dilakukan untuk melengkapi data yang
tidak terekam dalam lembar pengamatan dan wawancara, hasil pencatatan lapangan
ini digunakan untuk melengkapi data.
E.
Teknik Analisis Data
Data
yang terkumpul terdiri dari hasil pekerjaan siswa yang berupa tes, wawancara,
observasi dan catatan lapangan. Analisis data dilakukan setiap kali setelah
pemberian suatu tindakan. Teknik analisa data yang digunakan adalah model alir
yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1992:18) yang meliputi kegiatan (1)
mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3) menarik kesimpulan serta
verifikasi
F. Tahap-Tahap Penelitian
Seperti yang telah dikemukakan
diatas bahwa penelitian ini merupakan penelitian tindakan. Maka
tahap-tahap yang dilaksanakan dalam penelitian ini meliputi:
1.
Tahap
Perencanaan
Berdasarkan masalah yang terjadi
di lapangan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian ini, peneliti
melakukan kajian teori sebagai pertimbangan memilih alternatif model
pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman siswa pada pokok bahasan fungsi di kelas
X SMUN 1 Barona jaya Aceh Besar dengan pembelajaran perubahan konseptual,
peneliti menyusun rencana kegiatan sebagai berikut.
a.
Menyusun rencana pembelajaran untuk
tindakan pembelajaran.
b.
Menyiapkan lembar kerja siswa.
c.
Menyiapkan instrumen pengumpulan data.
d. Menentukan kriteria
keberhasilan untuk setiap tindakan.
e. Mengkoordinasikan program
kerja pelaksanaan tindakan dengan guru matematika di kelas X SMUN 1 Barona Jaya Aceh Besar.
2.
Tahap
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan yang dimaksud
adalah melaksanakan pembelajaran perubahan konseptual pada materi persamaan kuadrat
. Dalam pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan rencana pembelajaran yang telah
susun pada tahap perencanaan.
3.
Tahap
Observasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahap
ini adalah mendokumentasikan segala
sesuatu
yang berkaitan dengan pemberian tindakan. Observasi dilakukan oleh teman
sejawat dan seorang guru matematika yang meliputi aktivitas peneliti sebagai
pengajar dan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan
menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan sebelumnya. Pengamatan juga
dimaksudkan untuk mengetahui adanya kesesuaian antara perencanaan dan pelaksana
tindakan serta untuk menjaring data aktivitas siswa dalam pembelajaran. Selain
lembar observasi, disediakan catatan lapangan untuk melengkapi data hasil
observasi. Untuk menindaklanjuti hasil observasi dan hasil tes akhir tindakan
dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian.
4.
Tahap Refleksi
Refleksi dilakukan untuk
melihat keseluruhan proses pelaksanaan tindakan dan hasil pemahaman siswa.
Refleksi merupakan kegiatan menganalisis, memahami, dan membuat kesimpulan
berdasarkan hasil tes, pengamatan, dan wawancara. Jika telah tercapai maka
siklus berhenti, tetapi bila belum berhasil maka peneliti melakukan pengulangan
siklus dengan perbaikan-perbaikan yang dianggap perlu.
Dua indikator yang digunakan
dalam menentukan sukses tidaknya siklus tindakan pada penelitian ini yaitu
indikator kesuksesan dari proses
pembelajaran dan hasil belajar siswa melalui tes akhir yang dilakukan pada
setiap akhir siklus. Indikator pertama, proses pembelajaran dikatakan berhasil
dilihat dari hasil pengamatan tentang berhasilnya guru dalam melakukan proses pembelajaran
dengan baik sesuai dengan perencanaan pembelajaran, guru aktif sebagai
pembimbing dan fasilitator dan juga guru tidak mengalami masalah yang serius
pada saat melaksanakan kegiatan proses pembelajaran baik dalam hal penyampaian
materi, penguasaan kelas dan membimbing siswa belajar.
Indikator kedua untuk melihat
berhasil tidaknya siklus tindakan pada penelitian adalah dari keaktifan siswa
dalam proses pembelajaran dan hasil belajar siswa, tindakan pada setiap siklus
dinilai berhasil bila setelah berlangsungnya kegiatan pembelajaran, siswa telah
memperoleh rata-rata skor tes akhir 65 % dari skor
maksimal dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari siswa
aktif dalam diskusi, menayakan hal-hal
yang tidak diketahui siswa dan mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik,
keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan diamati oleh observer.
Siklus penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart
(dalam Hopkins, 1985:34).
Gambar 3.1
Siklus Penelitian Tindakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar