BUDAK INTELEKTUAL
INTELEKTUALISME DAN VISI KEMANUSIAAN
Revitalisasi Intelektualisme Untuk Kemanusiaan Universal
Keinginan seseorang untuk menjadi seorang
cendekiawan adalah merupakan keputusan yang sulit. Bukan keterpelajaran dan kecerdasan saja layaknya
seorang sarjana atau profesor yang dibutuhkan. Sebut sajalah gologan yang
cerdik dan pandai yang menerbangkan pada permadani menara gading tempat
huniannya, tetapi cendekiawan tentunya mementa lebih dari itu. Seperti halnya
nabi Muhammad, betapa cendekiawanya telah membawa konflik lahir dan batin dalam
dirinya manakala ia dihadapkan dengan pertanyaan dan persoalan kaumnya.
Seyogyanya seorang cendekiawan kerap merasakan konflik dan gelisah, gusar,
serta serah tatkala ada diskrepansi apa yang ia rasakan dengan apa yang
dirasakan oleh masyarakat.
Cendekiawan merupakan salah satu unsur yang dapat
melakukan transformasi sosial, bila mana sadar diri dan sadar sosial
ditengah-tengah masa yang talah tidur bahkan sedang amnestia. Mereka
memiliki kepedualan untuk membangkitkan kesadaran masyarakatnya dan menjadi
motor penggerak bagi perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik. Bagi
Kuntowijoyo cendekiwan berani pilihan dan jalan cara dalam melakukan
transformasi sosial, memiliki sifat independen dan hurus berani, tidak
berpangkat dan tak berhata. Bahkan sifat kecendekiawan Kunto dapat terlihat
dalam salah satu puisinya dari judul bukunya Daun Makrifat, Makrifat Daun,
ia menuliskan; sebagai hadiah, malaikat menanyakan, apakah aku ingin
berjalan diatas mega, dan aku menolak, karena kakiku masih di bumi, sampai
kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai dhu’afa dan mustadh’afin, diangkat Tuhan
dari penderitaan.
Dalam hal ini, Intelektualisme sudah semestinya
bergerak maju secara progresif dan kritis, tidak berkutat lagi pada kerja-kerja
akademik, apalagi hanya jargon mati yang terkooptasi oleh hukum-hukum keilmuan
dan penelitian ilmiah yang cenderung membajak kekhasan intelektualitas yang
kritis, mendiktai objetifitas dengan seperangkat aturan-aturan yang tidak
memahami makna liberasi visi kemanusiaan dan intelektualisme, dibonsai oleh
pusaran petuah-petuah yang tak berdaya menembus tembok realitas untuk menemukan
visi kemanusiaan sejati. Sementara di balik bentangan
tembok anomali sosial, ada mutiara-mutiara kemanusiaan yang mesti dikuak dan
diperjuangkan untuk kemaslahatan kemanusian sosial yang bermartabat dan
berkeadilan.
Progresifitas dan kritisme harus menjadi jiwa intelektualisme agar
tetap hidup dan berstamina prima di tengah morat-marit tatanan sosial (social
order), serta lantang berbicara tentang perjuangan keadilan bagi
kemaslahatan kemanusiaan. Derita dunia intelektualisme adalah “menghambanya”
kaum intelektualitas terhadap penguasa. Fungsi-fungsi inteleksinya
digerakkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan dan otoritarianisme kaum elit
dan penguasa. Intelektualisme adalah perlambang energisitas subjek sebagai
manifestasi ke-beragamaan yang memiliki visi pencerahan, penyadaran dan
pencerdasan, bermuara kepada kebebasan dan kemerdekaan sebagai “manusia
sadar” yang berperan untuk membebaskan manusia dari penjara kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan, krangkeng pragmatisme politik, serta perbudakan,
globalisme yang menghabisi nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi).
Peranan profetik visioner ini telah dilakoni oleh seorang Rasul
(Nabi Muhammad SAW) dengan dakwah tauhid sebagai dakwah inti semua nabi
dan rasul Allah SWT yang diutus kepada manusia. Agresifitas intelektualisme
yang berparadigma tauhid terintegrasi meretas kejahiliaan besar kala itu, yakni
perbudakan kemanusiaan berupa penyerahan dan ketundukan kepada sesuatu selain
Sang Realitas Tertinggi (baca; Allah SWT). Misi memerdekakan manusia dari
kooptasi kekuasaan, otoritarianisme dan keangkuhan intelektual akibat
ke-beragamaan yang simbolik dan ritualistik, lepas dari ikatan-ikatan teologis
Islam (tauhid) yang paradigmatik. Subjek yang beragama memiliki peran besar
bagi pemuliaan moral kemanusiaan serta menorobos kebekuan problematika
kemanusiaan.
Kaum intelektual lazimnya seperti para nabi yang menyadarkan
kaumnnya dari kebodohan, kebebalan, dan ketertindasan.
Kaum intelektual merupakan rausyanfikr yang selalu hadir
untuk menyadarkan dan membebaskan. Kaum intelektual menurut Karl
Mannheim (1940:52-26) adalah meraka yang memiliki rasionalitas
substansial dan rasional fungsional. Intelektual bukan hanya sebatas
kepemilikan wawasan yang tajam dan bijak, melainkan juga mampu
mengartikulasikan wawasan tersebut untuk mencapai tujuannya. Karena itu,
tidaklah mengherankan bila bermunculan kaum intelektual bagi Robert J.
Brym (1993:2) merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan dunia
modern.
Seorang intelektual adalah seorang yang memusatkan diri untuk
memikirkan ide dan masalah non materil dengan menggunakan kemampuan
penalarannya. Julian Benda (1867-1956) dalam karya
termasyurnya “La Trahison des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual),
melukiskan bahwa intelektual merupakan sosok ideal yang kegiatan utamanya tidak
mengejar tujuan-tujuan praktis, melainkan lebih ke arah pencarian dalam mengolah
seni, ilmu atau renungan metafisik. Lain lagi dengan Antonio
Gramsci (1971) dalam bukunya “Selections from Prison
Notebooks”, mengatakan bahwa semua manusia adalah intelektual,
tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual. Gramsci membedakan
dua jenis intelektual, yaitu ;
- Pertama, intelektual tradisional yang
representasinya ada pada mereka yang secara terus menerus melakukan
hal-hal yang sama dari generasi ke generasi. Mereka yang karena ideology agama
dan monopoli kuasanya berfungsi sebagai penyebar ide dan mediator antara massa rakyat denga kelas
atasnya.
- Kedua, intelektual organik, sosok
personifikasi yang gigih dalam perenungannya, reflektif atas konteks
historisnya dan revolusioner memperjuangkan manifest perenungannya bagi kaumnya.
Intelektual organik, Gramsci semakna dengan pemahaman Karl
Mannheim tentang sosok academicus yang menghasilkan
tulisan-tulisan tentang realitas masyarakat dengan refleksi yang lebih
sistematis dan dengan studi mendalam yang lebih berciri teoritis untuk menunjukkan
strategis praksisnya atau menunjuk pemikiran Alvin Gouldner (1985:93)
yang menempatkan intelektual organik sebagai sosok berbakat yang secara
otodidak mampu merumuskan suatu peran bagi lahirnya gerakan sosial baru dalam
masyarakat modern. Suatu sosok yang oleh Gouldner dalam “Against
Fragmentation” disebut sebagai intelektual pergerakan.
Sedangkan Edward W. Said (1995) merumuskan
intelektual dalam bukunya “Representation of The Intellectual” sebagai
individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan pesan, pandangan, sikap,
atau filosofis kepada publik. Aktualisasi yang bertujuan melahirkan kebebasan
untuk memotivasi dan menggugah rasa kritis orang lain agar berani menghadapi
ortodoksi, dogma, serta tidak mudah dikooptasi kuasa tertentu (rezim atau
korporasi).
Suatu tugas dan tanggung jawab intelektual yang hampir mirip dengan
apa yang ditulis Noam Chomsky (1966) dalam “The
Responsibility of Intellectua”, yaitu intelektual yang berada dalam posisi
mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya
sesuai penyebab, motif-motif, serta maksud-maksud yang sering tersembunyi di sana . Makanya, bagi Said
kemudian, seorang intelektual harus selalu aktif bergerak dan berbuat. Dengan
ketajaman nalarnya, ia harus mampu merepresentasikan dan mengartikulasikan ide
emansipatoris dan mencerahkan orang lain.
Kaum intelektual bukanlah kelompok masyarakat yang tidak berakar
ataupun pasti terkait dengan suatu kelas atau kelompok tertentu dalam
masyarakat. Intelektual tidak sekedar dipahami sebagai pemikir yang kritis,
progresif dan terasing (terpisah) dari masyarakat, atau justeru sebaliknya,
intelektual yang bebas dari ikatan sosial dan kecenderungan ideologis tertentu.
Karena itu untuk mengetahui pola mobilitas intelektual dan keberadaan kaum
intelektual dalam masyarakat, kita dapat menganalisanya berdasarkan lokasi
sosial kaum intelektual dari orientasi politiknya.
Intelektulisme
Profetik
Peradaban yang berkemanusiaan adalah cita utama kaum
intelektualitas, bukan sebuah tatanan sosial yang tak mengindahkan nilai dan
estetika kemanusiaan yang beradab. Olehnya itu, pijakannya adalah nilai agama (religious
value) . Agama menjadi khas dan karakteristiknya sehingga peradabannya
tidak kebablasan. Konstruk peradaban yang humanis dan berbasis nilai adalah
sebuah kemestian, namun akan menjadi disorientatif ketika tidak dibangun dengan
frame-frame profetik dan kerangka keagamaan (baca; islam).
Intelektualisme profetik adalah konstruk intelektualitas yang
berparadigma kerasulan, sebuah frame dan kerangka rasionalitas dalam menafsir
realitas untuk berpraksis sosial sebagai bentuk penyadaran, pembelaan dan
pemberdayaan manusia (masyarakat) dari keterpurukan moral, ketidakberdayaan,
dan kemiskinan. Namun, tetap dalam bingkai Ilahiyah (nilai transendental)
sebagai basis paradigmatinya.
Telah dipahami bersama bahwa nabi dan Rasul yang menghantarkan wahyu
dan ajaran Ilahiyah masing-masing mengalirkan titisan teologis yang
berkesadaran Ilahiyah (transendental) dan berkemanusiaan (humanis). Nabi
Muhammad SAW dengan dakwah tauhid yang kritis, menyadarkan dan mencerahkan,
dideklarasikan lebih awal sebagai pijakan paradigmatik ideologis untuk
mengkonstruk tatanan sosial. Sebab dakwah tauhid memiliki karater dasar, yaitu;
- Pertama, karakter Ilahiyah. Sehingga
apapun perubahan itu senantiasa berawal dari perubahan nilai, yakni nilai
agamis yang berkesadaran Ilahiyah (Sang Kreator Tunggal). Perombakan
tatanan sosial tersebut adalah revolusi nilai namun tetap bersemangat humanis,
menjaga dan menjunjung nilai kemanusiaan karena sesungguhnya nilai Ilahiyah itu
adalah nuraninya nilai sosial kemanusiaan dan nuraninya peradaban yang hendak
dipancangkan.
- Kedua, Karakter Humanis. Ini
bersimbiosis dengan karakter yang pertama dan tidak bisa didikotomikan, namun
berintegrasi sebagai satu keutuhan kemanusiaan yang ber-Ilahiyah.
Gerakan perubahan para kaum intelektualis zaman dulu (para Nabi dan
Rasul) yang dipancangkan sangat kental dengan karakter humanitas. Perang dan
jihad fi Sabilillah yang dikobarkan, bukan sekedar heroisme, bukan pula sebuah
bentuk dehumanisasi, tapi malah sebaliknya, sebuah proyek pemanusiaan-humanis
yang bernurani. Menurut hemat penulis, bahwa karakter ini adalah persyaratan
mutlak. Tidak akan mungkin lahir sebuah peradaban, yakni tatanan sosial yang
bernurani jika tidak dilatari dengan basis-basis pengetahuan. Basis pengetahuan
adalah khas perubahan, karena kesadaran untuk berubah tidak mungkin diproduk
oleh doktrinasi, irasionalitas, dan perbudakan. Rasulullah dengan gerakan
revolutifnya sangat kental dengan ilmu yang menghentakkan nurani
rasionalismenya manusia kala itu.
Menelaah konteks zaman hari ini, dengan kondisi dunia intelektual
yang cenderung paradoks dari pijakan ideologis-filosofis dan humanis sosial
perlu sebuah penegasan dan revitalisasi pemaknaan peran dan fungsi
intelektualisme yang lebih orientatif, dalam artian bahwa visi perubahan dan
visi peradaban mesti terancang secara ideologis dan metodologis sebagaimana
konstruk kaum intelektual zaman nabi yang namun tentunya tetap berbasis konteks
kekinian. Berkarakter dimaksudkan bahwa nilai Ilahiyah, humanis dan keilmuan
adalah prasyarat integral dalam jiwa kaum inteleksi. Inilah yang penulis
maksudkan sebagai intelektualisme profetik, berketuhanan, bernas dan berbasis
spiriti zaman.
Nurani
Intelektualisme
Penerjemahan intelektualitas adalah sebuah kemestian dalam ruang
apapun, dalam semua dimensi kehidupan dengan spirit perubahan humanis yang
berbasis nilai telah ditorehkan oleh manusia-manusia besar sekaliber para Nabi
dan Rasul, termasuk kaum intelektual ternama seperti Noam Chomsky, Julian
Benda, Antonio Gramsci, Edward W. Said dan lainnya pada zamannya.
Intelektualisme yang hampa dari agenda humanisasi, sesungguhnya
adalah sebuah penghianatan terhadap nurani kemanusiaan, nuraninya intelektualisme.
Nurani kemanusiaan adalah fitrah yang senantiasa berdeklarasi untuk
penegakan kebenaran, keadilan, anti pembodohan dan penindasan. Intelektualisme
yang bernurani kemanusiaan akan selalu resah dan gelisah atas realitas paradoks
dengan keadilan universal, penghianatan terhadap kebenaran, amoral dan seabrek
anomali sosial. Namun keresahan itu dijawab dengan praksis sebagai sebuah
bentuk interupsi terhadap berbagai penyimpangan sosial yang ada.
Sosok intelektual yang bernurani intelektualisme adalah sosok yang
bernurani kemanusiaan. Seorang Antonio Gramsci, walau hidup dalam kemiskinan,
namun kecerdasan otaknya dan pengalaman hidupnya membuat Gramsci kerap curiga
terhadap realtas. Tubuh yang sakit-sakitan tak membuatnya patah semangat
untuk belajar sekaligus menulis risalah-risalah perlawanan. Dengan dedikasi
pada kaum buruh, dirinya mulai berubah paham dan pengertian seorang ilmuwan.
Bukannya belajar dari teks, tapi Gramsci membalik dengan berangkat dari
kenyataan. Karenanya seorang intelektual, menurut Gramsci, adalah pribadi yang
berpihak. Baginya, sebuah teori selalu hanya benar sejauh mengungkapkan apa
yang sedang dialami oleh kelas yang bersangkutan. Ringkasnya, teori tidak bisa
dilepaskan daro praksis.
Prinsip serupa ditorehkan oleh Ali Syariati yang sangat percaya
dengan mandate cendekiawan muslim sebagai sosok yang berpihak pada si lemah.
Olehnya itu, Syariati sangat menghormati seorang Abu Dzar, sahabat nabi yang
hidup dalam kemiskinan dan selalu melakukan kritik pada segala bentuk kemapanan.
Bahkan dalam doa sekalipun, syariati menegaskan dorongan untuk berpihak dan
terus mengobarkan perlawanan. Bagi Syariati maupun Gramsci, garis hidup seorang
intelektual adalah dengan masyarakat yang tertindas. Perjuangan kaum
intelektual adalah perjuangan akar rumput, pembelaan dan pemberdayaan
masyarakat dari kemiskinan, kebodohan dan keterpurukan moral. Penolakan
terhadap kehidupan yang berada dalam, garis lurus kemapanan apalagi menjadi
budak kekuasaan. Sebuah ungakapan Bloody Jack (Jack si Pemberani) “……ingatlah
teman-teman, pemberontakan terhadap penindas adalah kepatuhan kepada Tuhan……”
Intelektualisme akan mati digilas oleh
keberingasan modernisme yang mengglobal. Hegemoni global tidak akan pernah
berkompromi dengan intelektualitas yang bernurani. Oleh karena globalisme pada
satu sisi telah terwujud sebagai ideology liberalisme dan kapitalisme yang
menghegemonik peradaban manusia, sementara nurani intelektualisme sebagai
tonggak peradaban kemanusiaan universal beradan pada titik blok terpisah yang
senantiasa melakukan counter hegemony.
Kapitalisme yang berselingkuh dengan liberalisasi
politik tengah memancangkan kuku ideologisnya untuk selalu mengangkangi
pilar-pilar peradaban. Intelektualisme yang bernurani adalah pilar utama
peradaban, sebab nurani intelektualisme senantiasa menancapkan nilai ideologis
keutuhan kemanusiaan dan keadilan universal. Penuh dengan nilai dan etika
kemanusiaan, mendorong perubahan mendasar untuk kesejahteraan dan keadilan.
Sebaliknya, intelektualisme yang tidak bernurani kemanusiaan akan turut
bermesraan ”biologis” dengan liberalisme dan kepatalisme hari ini yang tidak
ramah terhadap tatanan sosial (Social Order) peradaban.
Tidak suatu masyarakat yang tidak berubah.
Sosiologi sangat memperhatikan perubahan social, oleh karena itu banyak teori
yang dilahirkan untuk menganalisis tentang perubahan social. Perubahan social
merupakan proses yang berkesinambungan, penelaahan mengenai proses tersebut
mempunyai perfektif sejarah atau evolusioner. Pada dasarnya teorri tentang perubahan
social dapat digolongkan ada dua macam teori linier dan teori siklus. (H.A.R.
Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Perubahan social yang
terjadi secara terus menerus tetapi perlahan-lahan tanpa direncanakan maka
dapat dikatan sebgai uplened social change atau yang disebut sebagai perubahan
social yang tak terencana.
Perubahan social yang demikian, disebabkan oleh
perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Ada juga perubahan social
yang direncanakan atau didesaint dan ditetapkan dalam tujuan serta srateginya.
Ini merupakan perubahan social planned social change (perubahan social yang
terencana. Perubahan social yang terencana dapat dikatan sebagai rekayasa
social. Dalam rekayasa social akan diajarkankiat dan strategi dalam mengubah masyarakat.
Sebab sebab perubahan social dalam teori social
beragam ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas; berupa
pandangan hidup, pandangan idea, dan nilai-nilai. Penganut teori ini penyeabab
utama dalam perubahan adalah idea sebagaimana yang dikemukakan oleh Max Weber.
Weber banyak menekankan betapa pengaruhnya idea terhadap suatu masyarakat.
Tesis utama weberianisme adalah pengakuan terhadap
peranan besar terhadap ideology sebagai variable independent dalam perkembangan
masyarakat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh nabi perubahan yang dilakukan
dengan berdasarkan al Qur’an, sehingga perubahan social yang dilakukan lewat
idea al Qur’an. Selanjutnya dalam perubahan dilakukan oleh orang-orang besar,
hal ini dapat dilihat perubahan yang tercatat dalam tinta emas sejarah
merupakan biografi dari orang-orang besar yang melakukan trnasformasi social.
Perubahan dilakukan oleh orang kreatif yang berkumpul menjadi suatu gerakan
social yang terlembagakan dalam bentuk lembaga yang melakukan pemberdayaan
masyarakat. (Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Social)
Pemberlakukan
strategi dalam perubahan social dapat dipetakan dengan dua cara pertama dengan
masuk kedalam system. Kedua dengan melakukan penyadaran lewat pendidikan.
Pertama, perubahan yang masuk kedalam system maka perubahan yang terjadi
revolusioner dam memiliki dampak menyeluruh. Perubahan terjadi dari tingkatan
atas sampai tingkatan bawah, perubahan dilakukan dengan menggunakan kebijakan
dan bersifat instruktif. Perubahan ini tercapai lewat jalur partai politik yang
menjadi jalur dalam memasuki system Negara yang mengeluarkan kebijakan dalam
melakukan perubahan. Sedangkan perubahan yang dilakukan dengan penyadaran lewat
lembaga pendidikan baik yang dilakukan oleh LSM ataupun lembaga yang bersifat
transformative.
Perubahan
dilakukan dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat dengan cara mereka
terjun secara langsung pada msyarakat dan ini bersifat partisipatoris dan
transformative. Masyarakat diajak untuk melakukan refleksi tentang realitas
kehidupannya, dan diajak untuk bersikap kritis terhadap kehidupan yang dialami
bersama. Perubahan ini bersifat lambat dan dilakukan oleh orang yang peduli
terhadap kehidupan social dan biasanya lemabaga itu, menangani dalam
permasalahan (bidang) tertentu yang spesifik. Hasil dari perubahan sulit untuk
dirasakan dikarenakan ia menyentuh krangka berfikir agar dapat mandiri dan
tidak memiliki ketrgantungan.
Transformasi
dalam istilah antropologi ataupun sosiologi memiliki makna tentang perubahan
yang mendalam sampai pada perubahan nilai dan cultural. Bersamaan, dengan
proses terjadainya transformasi, terjadi pula proses adaptasi, adopsi atau
seleksi terhadap kebudayaan lain.
Menurut
Neong Muhadjir pengertian tersebut merupakan hasil pengamatan ats sejarah dan
bagian dari ideology yang berkembang. Misalkan ideology kapitalis menitik beratkan dengan penumpukan capital
(modal atau harta ) yang bersifat individual. Sementara kapitalisme menitik
beratkan pada konflik antara borjuis-proletariat sebagai strategi dalam melakukan
perjuangan. Semua filsafat social dan ideology memiliki pertanyaan pokok yang
menjadi kepentingan manusia. Pertanyaan tersebut yakni bagaimana cara mengubah
masyarakat dari kondisi sekarang ke tatanan yang lebih ideal.
Selanjutnya
orang atau institusi yang mengelaborasi pertanyaan tersebut dapat menghasilkan
teori-teori social, memiliki fungsi menjelaskan kondisi masyarakat secara
empiris, pada masa kini dan sekaligus memberikan wawasan tentang perubahan dan
transformasinya.
Transformasi yang terutama perubahan prilaku dapat
lahir dari sebuah proses perubahan kesadaran dari individu yang terdapat dalam
masyarakat, yakni kesadaran mengubah pemahaman, cara pandang, interpretasi dan
aksinya. Untuk pemahaman lebih lanjut, maka akan dibahas perubahan social pada
tokoh awal yang mempeloporinya diantaranya Durkeim, Weber, dan Marx.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar