View My Stats

Minggu, 26 September 2010

PEMBAGIAN HADITS MENURUT SANDARANNYA===== ULUMUL HADITS=

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hadits adalah pensyarah yang menjelaskan kemujmalan (keglobalan) Al-qur’an. Misalnya di dalam Al-qur’an ada perintah untuk mengerjakan sholat, akan tetapi di dalamnya tidak dijelaskan bagaimana cara mengerjakan sholat. Semua hukum-hukum yang berkaitan dengan sholat seperti waktu sholat, rukun-rukun sholat, gerakan-gerakan sholat, pembatal-pembatal sholat, dan hukum-hukum lainnya dapat kita temukan penjelasannya di dalam Hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.


B. Tujuan pembahasan
Melalui pembuatan makalah ini, diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan untuk lebih memahami pengertian istilah-istilah hadits marfu’, mauquf dan maqthu’.
Setelah mahasiswa mempelajari dan memahami materi tersebut, penulis mengharapkan agar mahasiswa dapat menjadikannya sebagai bahan bacaan atau ilmu yang bermanfaat. Baik bagi diri sendiri maupun bagi yang memerlukannya


BAB II
PEMBAHASAN

PEMBAGIAN HADITS MENURUT SANDARANNYA
Hadits menurut sandarannya terbagi menjadi dua: maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam yaitu:
1. Hadits Qudsi (sudah dijelaskan pada pembahasan yang lalu)
2. Marfu’
3. Mauquf
4. Maqthu’
Berikut ini penjelasan tiga macam hadits terakhir yang disebutkan diatas:

A. HADITS MARFU’
1. Definisi
Al-Marfu’ menurut bahasa: isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah SAW. Taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yg bersifat jelas ataupun secara hukum, baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’(terputus).

Hadits marfu’ adalah:

Artinya:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dalam bentuk perkataan, perbuatan, taqrir(pengakuan), ataupun sifat.
2. Hukum hadits Marfu’.
Hukum hadits marfu’ tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadits marfu’ berstatus shahih, hasan, dhaif.
3. Macam-macamnya
Dari definisi diatas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada delapan macam, yaitu: berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu: marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.


Contohnya:
1. Marfu’ secara tashrih: perkataan seorang sahabat, “aku telah mendengar rasulullah bersabda begini”, atau “ rasulullah telah menceritakan kepadaku begini”, “Rasulullah bersabda begini”, atau “Dari rasulullah bahwasanya bersabda begini”, atau yang semisal dengan itu.
2. Marfu’ dari sabda secara hukum: perkataan dari sahabat yang tidak mengambil dari cerita Isra’iliyat berkaitan dengan perkara dengan perkara yang terjadi dimasa lampau seperti: awal penetapan makhluk, barita tentang para nabi, atau berkaitan dengan masalah yang akan datang, seperti: tanda-tanda hari kiamat, dan keadan di akhirat. Di antaranya perkataan sahabat; “ kami diperintahkan seperti ini”, atau “kami dilarang untuk begini”, atau “termasuk sunnah melakukan begini”.
3. Perbuatan yang Marfu’ secara tashrih: seperti perkatan seorang sahabat: “Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan begini”.
4. perbuatan yang Marfu’ secara hukum: seperti perbuatan sahabat yang btidat ada celah untuk berijtihad didalamnya, menunjukkan bahwa hal itu bukan dari sahabat, melainkan dari Nabi SAW, sebagaiman disebutkan dalam riwayat Bukhari: “Adakah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka puasa dengan mengqashar shalat pada perjalanan empat Burud” ( jamak dari bard, salah satu satuan jajrak yang digunakan di zaman itu, sekitar 80 km).
5. Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih: seperti perkataan shahabat, “Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” - dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
6. Penetapan yang dimarfu’kan secara hukum: seperti perkataan sahabat, “Adalah para sabat melakukan begini pada zaman Nabi SAW”.
7. sifat yang dimarfu’kan secara tashrih: seperti perkatan sahabat menyebutkan sifayt Rasulullah seperti dalam hadits Ali ra, “Nabi SAW itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”, “Adalah Nabi SAW berkulit cerah, peramah dan lemah lembut”.
8. Sifat yang dimarfu’kan secara hukum: seperti perkataan sahabat: “Dihalalkan untuk kami begini”, atau “telah diharamkan atas kami demikian’. Ungkapan seperti secera zhahir menunjukkan bahwa Nabi SAW yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah SAW adalah yang menghalalkan dan mengharamkan, maka penghalalan dan pengharaman itu sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.



B. HADITS MAUQUF
1. Pengertian
Al-Mauquf berasal dari Waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan parawi menghentikan sebuah hadits pada sahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah: perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi SAW , baik bersambung sanadnya kepada nabi maupun tidak bersambung.
Ajjaj Al- Khattib mengemukakan definisi sebagai berikut:


Yaitu: segala yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan beliau, perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya muttashil atau munqathi’.
At-Thahhan memilih definisi yang lebih ringkas, yaitu:

Sesuatui yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrir.
Dari definisi diatas dappat disimpullkan bahwa, segala sesuatu yang diriwayatkan dari, atau dihubungkan kepada, seorang sahabat atau sejumlah sahabat, baik berupa perkataan, dan pengakuan disebut hadits mauquf. Dan sanadnya boleh jadi muttashil, atau munqathi’.




2. Macam-macam hadits mauquf:
1. Mauquf Qauli (perkataan). Seperti perkataan seorang perawi, telah berkata Ali bin abi thalib ra, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya ?”
Contoh lain:


Bukhari berkata, “Ali ra berkata,’berbicaralah dengan manusia tentang apa yang diketahui/dipahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan rasulNya didustai.”.


Artinya:Dari ‘Abdullah (ibn Mas’ud), ia berkata:”janganlah hendaknya salah seorang dari kamu taqlid Agamanya dari orang, karena kalau orang ini beriman, ia juga turut beriman; tetapi kalau orang itu kufur, iapun ikut kufur”.
2. Mauquf Fi’li (perbuatan). Seperti perkataan Imam Bukhari,:

“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum.”.


Artinya:Dari ‘Abdillah bin Ubaid bin ‘Umair, ia berkata: Umar menyuruh kepada seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya. Maka anak itu memilih ibunya, lalu ibunya bawa dia.
3. Mauquf Taqriri: seperti perkataan seorang taba’in, “ Aku telah melakukan begini didepan seorang sahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Para fuqaha khurasan menamai hadits mauquf dengan atsar, dan hadits marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dengan khabar. Namun, para ahli hadits menamai keduanya dengan atsar, karena kata atsar pada dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.
Riwayat Mauquf sanadnya ada yang shahih, atau hasan, atau dha’if. Hukum asal pada hadits Mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama, karena perkataan dan perbuatan sahabat, tetapi jika dia kuat maka dapat menguatkansebagian hadits-hadits dha’if.
Hadits mauquf yang berstatuskan marfu’
Di antara hadits mauquf terdapat hadits yang lafadh dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadits yang demikian dinamai oleh para ulama hadits dengan Al-mauquf Lafzhan Al-marfu’ ma’nan, yaitu: secara lafaz berstatus mauquf namun scara makna berstatus marfu’.
Di antara bentuk-bentuk hadits mauquf yang dihukumkan, atau berstatus marfu’, adalah:
1) Perkataan sahabat mengenai masalah-masalah yang bukan merupakan lapangan ijtihad dan pula dapat ditelusuri melalui pemahaman secara kebahasaan, serta tidak pula bersumber dari ahli kitab, umpamanya:
a. Berita tentang masa lalu, seperti tentang awal kejadian manusia.
b. Berita tentang masa yang akan datang, seperti huru-hara dan kedahsyatan keadaan yang akan dialami pada hari kiamat.
2) Perbuatan sahabat mengenai masalah yang bukan merupakan lapangan ijtihad, seperti shalat kusuf yang dilakukan oleh Ali ra dengan cara melakukan lebih dari dua ruku’ pada setiap raka’atnya.
3) Berita dari sahabat mengenai perkataan atau perbuatan mereka tantang sesuatu serta tidak adanya sikap keberatan yang muncul mengenai perkataan/ perbuatan tersebut. Terhadap hal ini ada dua keadaan, yaitu:
a. Apabila perkataan atau perbuatan sahabat tersebut disandarkan kepada masa Nabi SAW, maka hukumnya adalah Marfu’, seperti perkataan Jabir ra.:

Adalah kami berazal pada masa Rasulullah SAW (H.R.Bukhari Muslim)
b. Namun,apabila perkataan atau perbuatan sahabat tersebut tidak disandarkan lepada masa Nabi SAW, maka jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits tersebut statusnya adalah Mauquf.
4) Perkataan sahabat: “umirna bikadza.”(kami diperintahkan untuk melakukan itu) ,dan lain-lain.
5) Perawi hadis tersebut ketika menyebutkan nama sahabat mengatakan, “ yarfa’uhu”,” dia me-rafa’kannya”.
6) Penafsiran sahabat yang berhubungan sebab Nuzul ayat Al-Qur’an, seperti perkataan Jabir:


Orang-orang Yahudi berkata,”siapa yang menggauli istrimya dari arah belakangnya, maka akan lahir anak yang juling matanya,”maka setelah itu turunlah ayat Al-Qur’an yang mengatakan,”istri-istri kamu ádalah ibarat lahan perkebunan kamu,….(H.R. Muslim)
3. Hukum Hadits Mauquf
Apabila suatu Hadits Mauquf berstatus hukum Marfu’,sebagaimana diuraikan di muka, dan berkualitas shahih atau Hasan maka hukumnya sama seperti hadits marfu’’ yaitu dapat dijadikan hujjah.
Namun, apabila status hukumnya tidak Marfu’, maka para Ulama berbeda pendapat tentang ke-hujjahan-nya. Apabila fatwa sahabat tersebut diterima dengan suara bulat oleh para sahabat melalui suatu konsensus, maka para Ulama sepakat bahwa fatwa tersebut bersifat mengikat dan diterima sebagai Ijma’. Akan tetapi, terhadap fatwa seorang sahabat yang tidak didukung oleh para sahabat, para Ulama berbeda pendapat. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a) Imam Malik, menyatakan bahwa fatwa seorang sahabat adalah dalil yang sah dan harus didahulukan dari qiyas, baik fatwa tersebut señalan dengan qiyas atau tidak. Pendukung pendapat ini juga mendasarkankan pendapat mereka kepada beberapa Hadits Nabi, seperti:

Sahabatku adalah seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti di antara mereka, kamu akan memperoleh petunjuk.
b) Pendapat lain dari Ahmad ibn Hanbal, ulama Hanafiyah Abu al-Hasan al-Karkhi, menyatakan bahwa ijtihad seorang sahabat tidaklah merupakan dalil hukum, serta tidak mengikat para mujtahid yang datang kemudian dan tidak juga yang lain. Lebih lanjut ulama kelompok ini menyatakan bahwa seorang mujtahid haruslah mendasarkan ijtihadnya langsung kepada sumber syariah dan bukan bertaklid kepada orang lain, termasuk kepada sahabat.
c) Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa fatwa sahabat adalah hukum dan dalil yang mengikat apabila fatwa tersebut bertentangan, atau tidak sejalan dengan qiyas. Karena hal ini mengindikasikan lemahnya qiyas dlam masalah tersebut. Namun, apabila pendapat sahabat sejalan dengan qiyas, maka pendapat tersebut diterima sebagai dalil hanya karena kesejalanannya dengan qiyas yang sudah merupakan dalil yang sah. Jadi, fatwa sahabat disini bukanlah dalil yang berdiri sendiri.



C. HADIST MAQTHU’
1. Pengertian
Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah yaitu perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’i atau orang dibawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Dan perbedaan antara Al-Maqthu’ dan Al- Munqathi’, bahwasanya Al-Maqthu’adalah bagian dari sifat matan, sedang Al-Munqathi’ bagian dari sanad. Hadits yang Maqthu’ itu dari perkataan tabi’i dan orang yang dibawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya, sedang yang munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits , seperti Imam As-Syafi’I dan At-Thabarani menamakan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya, ini adalah istilah yang tidak populer, hal itu terjadi sebelum adanya penetepan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al- Maqthu’ sebagai pembeda dalam istilah Al- Munqathi’.
Contohnya:
1. Al-maqthu’ al-qauli(yang berupa perkataan):seperti perkataan Hasan Al-Basri tentang shalat dibelakang ahli bid’ah,”shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya.
2. Al-maqthu’ al-fi’li (yang berupa perbuatan)

Artinya: dari Qatadah, ia berkata: Adalah Sa’id bin Musaiyib pernah shalat dua rakaat sesudah ‘Ashar.
3. Al-maqthu’ at-taqriri


Artinya: dari Hakam bin ‘Utaibah, ia berkata: Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga) shalat disitu.
2. Status hukum hadits Maqthu’
Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sesuatu hukum, karena status dari percatan Tabi’in sama dengn perkataan Ulama lainnya.
Tempat yang diduga terdapat hadits Mauquf dan Maqthu’:
a. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
b. Mushannaf Abdurrazzaq
c. Kitab-kitab tafsir: Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Al-Mundzir.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
1. Hadits marfu’ secara istilah adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dalam bentuk perkataan, perbuatan, taqrir(pengakuan), ataupun sifat.
2. Hadits marfu’ ada delapan macam, yaitu: berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu: marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
3. Hadits mauquf secara istilah adalah perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi SAW , baik bersambung sanadnya kepada nabi maupun tidak bersambung.
4. Hadits maqthu’ secara istilah adalah perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’i atau orang dibawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
5. Setiap hadits mempunyai status hukum tersendiri berdasarkan ketetapan atau pendefinisian hadits tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Qaththan, Syeikh Manna. 2004. Pengantar Study Ilmu Hadits. Cetakan IV. Jakarta Timur. Maktabah Wahdah.

Hasan, Abdul Qadir. 2002. Ilmu Mushthala’ah Hadits. Bandung. CV.Diponegoro.

Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Cetakan I. Jakarta Selatan PT.Mutiara Sumber Widya.

http://waii-hmna.blogspot.com/2007/06/012-klasifikasi-hadits-marfu’-mauquf-maqthu’.html


http://www.tokoyasin.com/blog/?p=59

Tidak ada komentar: