BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan beragama banyak sekali pemikiran yang dikembangkan oleh
para cendikiawan, termasuk di dalamnya agama islam. Dilihat dari kenyataan
historis, wacana pemikiran islam selalu berkembang dari waktu ke waktu, sejak
zaman Rasulullah saw. Sampai sekarang. Kehidupan beragama tidak terlepas dari
kehidupan sosial dimana agama itu berkembang, dimana diperlukan berbagai
pemikiran agar dapat mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman.
Perjalanan pemikiran Islam itu juga dipengaruhi oleh naik turunnya
kekuasaan pada abad ke-15. Pada abad itu terjadi kemerosotan pemikiran Islam
serta ditandai oleh kejumudan berpikir, sehingga kekuasaan para penjajah
menjadi kuat di hampir semua negara Islam yang terjajah. Di samping itu, para
penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk
menyingkirkan atau paling tidak mendistorsi pemikiran Islam. Karena itu,
terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada yang ingin
mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Kelompok ini disebut
oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif. Sedangkan anti tesa dari
kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam pemikiran Islam
sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran modern yang nota
bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan kelompok yang
berpandangan liberal (Islam Liberal) [1].
Islam liberal merupakan salah satu gerakan yang muncul di masa modern
sekarang ini, dimana perkembangan masalah-masalah yang diberbagai bidang
menerpa umat islam. Perkembangan pemikiran islam di Indonesia tidak terlepas
dari perkembangan pemikiran islam di daerah negara lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
Gerakan/Organisasi
dan Aliran
(
ISLAM LIBERAL )
A. ISTILAH JIL
Istilah Islam Liberal disusun dari dua kata, yaitu Islam
dan Liberal.
Islam maksudnya adalah dienul Islam, yang
diturunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى kepada Muhammad صلى
الله عليه وسلم. Dan Liberal
artinya adalah kebebasan.
Setelah dua kata ini disusun, kata Liberal berfungsi sebagai
keterangan terhadap Islam, sehingga secara singkat bisa dikatakan Islam
yang Liberal atau Bebas.
Gerakan Islam Liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk
membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kejumudan.
Dalam konteks global, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada al-Qur`an dan sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham Liberal awal melalui Syah Waliyulloh (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar[2].
Dalam konteks global, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada al-Qur`an dan sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham Liberal awal melalui Syah Waliyulloh (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar[2].
Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara
lain: maraknya kekerasan atas nama agama (dien), gencarnya tuntutan
penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam
yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Harun Nasution.
Selanjutnya secara lebih nyata para anak-anak muda tersebut mendirikan
sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya
adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia.
Usahanya dilakukan dengan membangun milis (Islamliberal@yahoo.com).
Sejak saat itulah mereka menamakan diri dengan sebutan Jaringan Islam
Liberal. Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal
yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil
diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL)
mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal
dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik.[3]
B. AD/ART
JARINGAN ISLAM LIBERAL
Dalam websitenya www.islamlib.com/id/, disebutkan bahwa Islam
Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan
sebagai berikut:[4]
a. Membuka
pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
b.
Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
c.
Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
d. Memihak
pada yang minoritas dan tertindas.
e. Meyakini
kebebasan beragama.
f. Memisahkan
otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan
politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi).
Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan
politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah
sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak
punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di
ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[5]
Lebih
lanjut, terdapat tiga misi yang diemban oleh JIL, yaitu:
|
Untuk memuluskan misinya, JIL melakukan
kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan
maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman
publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara
khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:
|
Ditempat lain, Ulil Abshar Abdala
selaku kordinator JIL menyebutkan, ada tiga kaedah yang hendak dilakukan
oleh JIL, yaitu:
|
Adapun mengenai tujuan, mereka
merumuskannya ke dalam empat hal, yaitu:
|
|
|
|
|
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai
dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas
mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas
dari tekanan konservatisme.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan
politik yang adil dan manusiawi.
|
1. Menciptakan
intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis
dan demokratis serta berperspektif gender;
2. Membentuk intellectual
community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras
untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan
konsolidasi demokrasi di Indonesia;
3. Menggulirkan
intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga
Swadaya Masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas
nama agama.
|
Pertama, membuka ruang diskusi, meningkatkan daya kritis
masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang berbeda.
Kedua, ingin merangsang penerbitan buku yang bagus dan
riset-riset.
Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangun semacam
lembaga pendidikan yang sesuai dengan visi JIL mengenai Islam.
|
Pertama, memperkokoh landasan demokratisasi lewat
penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme, dan humanisme.
Kedua, membangun kehidupan keberagaman yang berdasarkan
pada penghormatan atas perbedaan.
Ketiga, mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan
(utamanya: Islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis.
Keempat, mencegah agar pandangan-pandangan keagamaan yang
militan dan pro kekerasan tidak menguasai wacana publik.
|
|
|
|
|
Bila
diteliti lebih jauh, sebenarnya wacana-wacana dan konsep-konsep yang
dikumandangkan oleh para aktivis JIL, telah pernah dikembangkan
sebelumnya oleh kalangan Orientalis Barat dan Misionaris Kristen dalam
proses Sekularisasi dan Liberalisasi Islam. Atas dasar ini, maka sekilas sudah
terlihat persamaan gagasan antara Orientalis Barat dengan apa yang sedang
diusung JIL. Hal ini menimbulkan kecurigaan tentang misi yang sedang diperjuangkan
JIL, apakah misi tersebut murni untuk merubah wajah islam, atau misi ini hanya
sebuah pesanan.
Apalagi
tokoh-tokoh yang sering dibanggakan oleh JIL adalah orang-orang yang telah
mencatat sejarah hitam dalam Islam dengan menjadi perpanjangan tangan dari kaum
Orientalis dalam upaya menggeroti Islam dari dalam. Oleh karena itu sangat
wajar bila mayoritas Muslim Indonesia menyambut gerakan JIL dengan sikap yang
kontra.
C. REALITAS PERKEMBANGAN JARINGAN
ISLAM LIBERAL
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama
yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit
di Surabaya, Tempo di Jakarta, dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta.
Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal.
Disamping itu mereka juga gencar memuat ide-ide mereka melalui artikel-artikel
yang disajikan kepada publik.[6]
1. Semua
Agama Sama
Menurut JIL, Islam tidak beda dengan agama kufur dan syirik
manapun, semuanya masuk surga. Semua orang beragama adalah mukmin, oleh
karena itu semua bersaudara dan halal saling menikahi. Meyakini
Islam satu-satunya agama yang benar tidak boleh. Oleh karena itu dakwah
Islamiyah pun tidak boleh. Wajib diganti dengan dialog, tukar menukar
pengalaman dan kerja sama dalam bidang sosial keagamaan. Mereka disini
cenderung mengartikan islam bukan nama sebuah agama, tetapi islam dalam
pengertian etimologi yaitu tunduk dan patuh.
2. Al-Qur’an
Adalah Produk Budaya, Bukan Kitab Suci.
Menurut JIL, sejarah al-Qur’an hingga menjadi “kitab suci” dan “autentik”
perlu dilacak kembali. Untuk tujuan itu, mereka menawarkan dekontruksi sebagai
sebuah strategi terbaik. Karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti
sumber-sumber muslim tradisionil yang meyakini kesucian kitab al-Qur’an.
Menurut mereka, Mushaf Usmani sebenarnya hanyalah hasil sosial dan budaya
masyarakat. Mereka juga menyalahkan metodologi ulama dahulu yang mengontrol
kebenaran wahyu dengan menggunakan analisis grammar dan yang berhubungan
dengan bahasa.
3.
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم Tokoh
Historis Yang Perlu Dikritisi
Menurut tokoh-tokoh JIL, Nabi Muhammad صلى الله
عليه وسلم adalah tokoh sejarah yang perlu dikaji secara kritis, sehingga
tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek
beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya. Komentar diatas
merupakan salah satu bentuk penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
yang dilontarkan oleh JIL.
Ummat Islam meyakini bahwa Rosulullah صلى الله
عليه وسلم adalah seorang yang
terpelihara dari dosa sekecil apapun dan dari kesalahan (ma’shum). Apa
yang diucap dan dilakukan beliau صلى الله عليه وسلم semua bersumber dari Wahyu, sebagaimana
yang ditegaskan dalam al-Qur’an tepatnya dalam surat an-Najm ayat 3-4 :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤
Artinya:
(3) dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
(4) Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
4. Menolak
Syari’at Islam
Menurut kelompok JIL, sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Luthfi
as-Syaukani (dosen Universitas Paramadina), bahwa syari’at Islam itu sebenarnya
tidak ada. Syariat Islam hanya karangan orang-orang yang datang belakangan yang
memiliki idealisme yang berlebihan terhadap Islam. Semua hukum yang diterapkan
oleh sebuah masyarakat pada dasarnya adalah hukum positif, termasuk yang
diberlakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. Kalaupun sumber konstitusinya berasal
dari al-Qur’an, hal ini karena Muhammad صلى الله عليه
وسلم adalah seorang Rosul dan tidak memiliki sumber konstitusi yang
lebih baik dari al-Qur’an saat itu.[7]
5.
Penghalalan Yang haram, dan Pengharaman yang halal.
Menurut tokoh-tokoh JIL, semua masalah yang ada dalam Islam tetap terbuka
ruang untuk ijtihad ulang, meskipun masalah tersebut telah disepakati oleh
semua ummat Islam sejak zaman dahulu. Re-ijtihad menurut mereka tidak terbatas
pada masalah-masalah hukum amali saja, tetapi juga berlaku pada masalah-masalah
keilahian yang sudah berstatus qath’i.
Al-Quran (QS. Al A’raf (7) ayat 80-84) sudah memberikan gambaran jelas
bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:
وَلُوطاً إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ
الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّن الْعَالَمِينَ ﴿٨٠﴾ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ
شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاء بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ ﴿٨١﴾ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ
أَن قَالُواْ أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٨٢﴾ فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاَّ
امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ ﴿٨٣﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَراً
فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ ﴿٨٤)
Artinya:
(80) Dan (Kami
juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”
(81) Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
(82) Jawab
kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan
pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berpura-pura mensucikan diri.”
(83) Kemudian
Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).
(84) Dan
Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang berdosa itu.
Dari berbagai data yang berhasil dihimpun mengenai sepak terjang JIL,
setelah dianalisis dapat diajukan beberapa hasil temuan sebagai berikut[8]:
Pertama, kelompok JIL merupakan
perpanjangan tangan Orientalis dan Missionaris Kristen untuk merusak Islam dari
dalam, dan memecah belahkan ummat Islam, sebab kalangan Barat sangat takut jika
ummat Islam bersatu.
Kedua, JIL merupakan kader-kader
didikan Barat, atau didikan dari mereka yang menjadi kader Barat. Maka gagasan
mereka tidak akan pernah terlepas dari paradigma Barat dalam memandang Islam.
Ketiga, JIL merupakan kelompok yang sangat
minim pengetahuannya tentang seluk-beluk Islam dan sumbernya, tetapi mereka
berlagak seperti orang yang telah mencapi tingkat mujtahid. Ini terlihat dari
kerangka berpikir metodologis yang mereka gunakan.
D. TOKOH-TOKOH JIL
Di Indonesia, tokoh aliran Islam Liberal yang paling
menonjol adalah Harun Nasution dan Nurcholis Majid. Daripada mereka lahir ramai
lagi tokoh-tokoh baru yang berbilang jumlahnya. Akan tetapi alhamdulillah, para
ilmuan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah Indonesia tidak pernah membiarkan mereka
selesa dengan dakwah Islam Liberal yang mereka kembangkan.
Inilah daftar 50
TOKOH JIL INDONESIA[9]
:
Berbagai buku dan
makalah ditulis untuk menjawab dan menolak manhaj mereka, antaranya:
|
A.
Para Pelopor
|
B.
Para Senior
|
C. Para
Penerus “Perjuangan”
|
1. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya” oleh Prof. H.M. Rasjidi. (Bulan Bintang, Jakarta 1977).
2. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan oleh Dr. Daud Rasyid
(Akbar Media, Jakarta 2002) yang merupakan jawapan ilmiah lagi terperinci
kepada Nurcholis Majid.
3. Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Majid oleh
Abdul Qadir Djaelani. (Penerbitan Yadia 1994).
4. Propaganda Sesat Penyatuan Agama oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid. (Darul
Haq, Jakarta 2001).
5. Bahaya Islam Liberal oleh Hartono Ahmad Jaiz. (al-Kautsar, Jakarta 2002).
6. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawapannya oleh Adian
Husaini dan Nuim Hidayat (Gema Insani, Jakarta 2002).
7. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur’an: Menanggapi Ulil Absar
Abdala oleh Agus Hasan Bashari (As-Sunnah, Surabaya 2003).
8.
Anggapan
Semua Agama Benar dalam Sorotan Al-Qur’an oleh Muhammad Thalib
(Menara Kudus, Jogjakarta 2003).
|
1. Abdul Mukti Ali 2. Abdurrahman Wahid 3. Ahmad Wahib 4. Djohan Effendi 5. Harun Nasution 6. M. Dawam Raharjo 7. Munawir Sjadzali 8. Nurcholish Madjid |
9. Abdul Munir Mulkhan 10. Ahmad Syafi’i Ma’arif 11. Alwi Abdurrahman Shihab 12. Azyumardi Azra 13. Goenawan Mohammad 14. Jalaluddin Rahmat 15. Kautsar Azhari Noer 16. Komaruddin Hidayat 17. M. Amin Abdullah 18. M. Syafi’i Anwar 19. Masdar F. Mas’udi 20. Moeslim Abdurrahman 21. Nasaruddin Umar 22. Said Aqiel Siradj 23. Zainun Kamal |
24. Abd A’la 25. Abdul Moqsith Ghazali 26. Ahmad Fuad Fanani 27. Ahmad Gaus AF 28. Ahmad Sahal 29. Bahtiar Effendy 30. Budhy Munawar-Rahman 31. Denny JA 32. Fathimah Usman 33. Hamid Basyaib 34. Husein Muhammad 35. Ihsan Ali Fauzi 36. M. Jadul Maula 37. M. Luthfie Assyaukanie 38. Muhammad Ali 39. Mun’im A. Sirry 40. Nong Darol Mahmada 41. Rizal Malarangeng 42. Saiful Mujani 43. Siti Musdah Mulia 44. Sukidi 45. Sumanto al-Qurthuby 46. Syamsu Rizal Panggabean 47. Taufik Adnan Amal 48. Ulil Abshar-Abdalla 49. Zuhairi Misrawi 50. Zuly Qodir |
|
|
|
|
Tokoh Islam Liberal Berdasarkan
Negara Asalnya Antara Lain[10]:
E. POINT-POINT PEMIKIRAN KELOMPOK JIL
Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal,
yang menurut mereka tidak terpaku dengan teks-teks Agama (Al Quran dan Hadis),
tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks
tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks
sama sekali, dan hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Lebih jelasnya, di bawah ini kami cantumkan point-point pemikiran kelompok
JIL tersebut yang dikutip dari berbagai sumber [11]:
|
·
Umat Islam tidak boleh memisahkan
diri dari umat lain, sebab
munusia adalah keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat.
Karena itu larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim
sudah tidak relevan lagi
|
·
Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang membedakan antara muslim
dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan
universal manusia.
|
·
Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah
murni kesepakatan masyarakat secara demokratis.
|
·
Hukum Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli,
dan pernikahan itu sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai
penerjemahan nilai-nilai universal.
|
·
Muhammad adalah tokoh histories yang harus dikaji secara kritis
karena beliau adalah juga manusia yang banyak memiliki kesalahan.
|
·
Kita tidak wajib meniru rasulllah
secara harfiah.
Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal di Madinah
secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai itu sesuai
dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain.
|
·
Wahyu tidak hanya berhenti pada
zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang telah selesai dalam bentuk
al-Qur’an). Tapi wahyu dalam bentuk temuan ahli fikir akan terus berlanjut,
sebab temuan akal juga merupakan wahyu karena akal adalah anugerah Tuhan.
|
·
Karena semua temuan manusia adalah
wahyu, maka umat
Islam tidak perlu membuat garis pemisah antara Islam dan Kristen, timur dan
barat, dan seterusnya.
|
·
Nilai islami itu bisa terdapat di
semua tempat, semua
agama, dan semua suku bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan
bentuknya.
|
·
Agama adalah baju, dan perbedaan
agama sama dengan perbedaan baju. Maka sangat konyol orang yang bertikai karena
perbedaan baju (agama). semua agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu
penyerahan diri kepada Tuhan.
Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya. |
·
Memperjuangkan tegaknya syariat
Islam adalah wujud
ketidakberdayaan umat Islam dalam menyelesaikan masalah secara arasional.
Mereka adalah pemalas yang tidak mau berfikir.
|
·
Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan
dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis.
|
·
Islam adalah proses yang tidak
pernah berhenti, yaitu
untuk kebaikan manusia. Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka
Agama (Islam) juga harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia.
Kalau Islam itu diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah,
maka itu adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.
|
|
Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan
faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan
pluralisme agama.[12]
Sekulerisme adalah
faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara
dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap
agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin
agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui
bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan).
Lebih-lebih lagi faham Pluralisme, yaitu menganggap semua
agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita
tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk.
(Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh JIL
itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.
F. PEMIKIRAN ATAU GAGASAN UTAMA JIL
Pembahasan yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh JIL ini adalah masalah yang kontemporer yang sedang hangatnya
dibicarakan oleh masyarakat global seperti Islam dan Negara, Islam dan
Kesetaraan gender, Islam dan Demokrasi, islam dan Pluralisme, Islam dan
Syariah, Islam dan Hukum Internasional Modern, Islam dan Ideologi Modern.[13]
Dalam websitenya disebutkan bahwa
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan
landasan sebagai berikut [14]:
PEMIKIRAN
ATAU GAGASAN UTAMA JIL
|
||||
|
||||
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal
percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah
prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca.
Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah
ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami
pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam
semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan
ilahiyyat (teologi).
|
||||
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna
literal teks.
Ijtihad yang
dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan
semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam
semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal
hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat
religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian
dari peradaban kemanusiaan universal.
|
||||
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan
plural.
Islam Liberal
mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan)
sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan
manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap
bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar;
plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan
dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus
berubah-ubah.
|
||||
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal
berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang
tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan
praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat
Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup
minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
|
||||
5. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal
meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang
harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan
(persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
|
||||
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas
keagamaan dan politik.
Islam Liberal
yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal
menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara
yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan
kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat
mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk
menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan
urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[15]
|
||||
|
|
|
|
|
G. PERMASALAHAN YANG
DIANGKAT OLEH JIL[16]
Analisa penulis terhadap
pemikiran para tokoh jaringan islam liberal tentang beberapa permasalahan yang mereka angkat ke lingkungan perdebatan dan
menghasilkan wacana yang kontoversial akan
dipaparkan sebagai berikut:
1.
Permasalahan Sekulerisme
Dalam hal ini mereka ingin memisahkan antara kehidupan duniawi dengan
ukhrawi, ialah menempatkan hal-hal yang bersifat keduniaan dalam tempat
semestinya dan melepaskan umat dalam mengukhrawikan hal-hal yang semacam
(duniawi) itu.
Fungsi manusia sebagai khalifah di bumi adalah mengelola bumi untuk
mencapai perbaikan hidup di bumi dan memberi ruang kebebasan dalam berbuat
untuk mencapai perbaikan itu. Jadi, agama hanya bersifat pribadi tidak untuk
mengatur perilaku manusia dalam kehidupan.
2. Permasalahan Semua Agama Sama.
Menurut JIL, Islam tidak beda dengan agama kufur dan syirik manapun,
semuanya masuk surga. Semua orang beragama adalah mukmin, oleh karena itu semua
bersaudara dan halal saling menikahi. Meyakini Islam satu-satunya agama yang
benar tidak boleh. Oleh karena itu dakwah islamiyah pun tidak boleh. Wajib
diganti dengan dialog, tukar menukar pengalaman dan kerja sama dalam bidang
sosial keagamaan. Mereka disini cenderung mengartikan islam bukan nama sebuah
agama, tetapi islam dalam pengertian etimologi yaitu tunduk dan patuh.
3. Permasalahan Penolakan Syari’ah.
Menurut kelompok JIL,
sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Luthfi as-syaukani (dosen universitas
Paramadina), bahwa syari’at islam itu sebenarnya tidak ada. Syariat islam hanya
karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisme yang berlebihan
terhadap islam. Semua hukum yang diterapkan oleh sebuah masyarakat pada
dasarnya adalah hukum positif, termasuk yang diberlakukan oleh Nabi. Kalaupun
sumber konstitusinya berasal dari al-Qur’an, hal ini karena Muhammad adalah
seorang Rasul dan tidak memiliki sumber konstitusi yang lebih baik dari
al-Qur’an saat itu.[17]
Selanjutnya penolakan terhadap syari’at islam sangat gencar dikampanyekan
oleh para aktivis JIL. Menurut mereka, penerapan syariat oleh negara berarti
melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan equality (kesamaan) di antara seluruh warga negara. JIL
bersikeras memisahkan agama dari negara. Karena negara dalam pandangan mereka,
harus netral dari pengaruh agama apa pun. Sementara, agama harus tetap
dipertahankan dalam wilayah privat.[18]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jaringan islam liberal berdiri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
gerakan-gerakan keagamaan yang ada pada masa kekuasaan orde baru, ketika umat
islam merasa ditekan dan dipinggirkan oleh pemerintahan pada masa itu.
Dalam kajian ini penulis menyimpulkan bahwa “ Aliran Islam Liberal” dapat ditela’ah dari beberapa Aspek, yaitu
dari :
1.
Istilah
JIL
2.
AD/ART Jaringan Islam Liberal
3.
Realitas perkembangan Jaringan Islam
Liberal
4.
Tokoh-tokoh
JIL
5.
Point-point pemikiran kelompok JIL
6.
Pemikiran
atau gagasan utama JIL
7.
Permasalahan
yang diangkat oleh JIL
B. Saran
Saya selaku pemakalah mohon maaf atas segala
kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu saya mengharapkan
kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam
Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema
Insani, 2002.
Barton, Greg Ph.D, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Antara, 1999.
Budi Handrianto, 50 Tokoh
Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, Semarang: Al Kautsar, 2009.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya. 2001.
Luthfi Assyaukanie, Wajah
Liberal Islam Indonesia, Jakarta:
Jaringan Islam Liberal, 2002.
Muhamad Ali, The Rise of Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary
Indonesia dalam The American Journal of Islam Social Sciences 22.
Munawar, Budi dan rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan
Pluralisme Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta:
Grasindo, 2010.
Zuly Qodir, Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Zuly Qodir, Pemikiran Pembaharuan Islam:Wacana
Intelektual Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Http://al-aziziyah.com/ruang-dosen87-ruang-dosen160-siapa-jil.html
download Ahad, 3 Juli 2011 jam 02.18
http://kabarnet.wordpress.com/2009/09/20/fakta-fakta-kesesatan-jil-jaringan-islam-liberal/
http://www.akhirzaman.info/menukonspirasi/konspirasi-islam/1972-membongkar-borok-kesesatan-jil-dan-ahmadiyah.html.
[1] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di
Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 9.
[3] Http://al-aziziyah.com/ruang-dosen87-ruang-dosen160-siapa-jil.html
download Ahad, 3 Juli 2011 jam 02.18
[6]
Http://al-aziziyah.com/ruang-dosen87-ruang-dosen160-siapa-jil.html download
Ahad, 3 Juli 2011 jam 02.18.
[8] Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam
Indonesia, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002) hlm.
23.
[9]
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia
: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, (Semarang: Al
Kautsar, 2009),
hlm. 11-35.
[10]
Ibid, . . . 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme. Hlm. 7-10.
[11] Muhamad Ali, The
Rise of Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia dalam The
American Journal of Islam Social Sciences 22, I, hlm.
6-12.
[12] http://www.akhirzaman.info/menukonspirasi/konspirasi-islam/1972-membongkar-borok-kesesatan-jil-dan-ahmadiyah.html.
[13] Zuly Qodir, Pemikiran Pembaharuan Islam:Wacana
Intelektual Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hlm. 42-43.
[14]
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia
: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, (Semarang: Al
Kautsar, 2009),
hlm. 29.
[16] Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam
Indonesia, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002) hlm. 25-29.
[17]
Ibid, . . . hlm. 17-18
[18]
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia
: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, (Semarang: Al
Kautsar, 2009),
hlm. 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar