PENDIDIKAN
ISLAM
DI
INDONESIA MASA
KOLONIAL
KONSTRUKSI
SOSIAL-KEAGAMAAN
DAN
TRADISI PENDIDIKAN
DI
INDONESIA
Awal Abad Ke-20 Hingga Kemerdekaan
Untuk melihat respon masyarakat, terutama
dalam aspek pendidikan, terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial abad
XX, diantaranya, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, tradisi keagamaan
yang berkembang dimasyarakat indonesia sebagai konsekuensi dari persentuhan
dengan ide-ide pembaharuan islam. Kedua, fenomena kebijakan pemerintahan
kolonial dalam bidang pendidikan yang kemudian direspon oleh masyarakat.
Sebagai
agama yang universal, islam membawakan peradabannya sendiri, tak terkecuali
dibidang pendidikan, yang berakar pada tradisi yang sangat panjang sejak masa
Rasulullah Saw. Tradisi pendidikan islam di indonesia tidak sepenuhnya khas
indonesia, kecuali hanya menambahkan muatan dan corak keislaman terhadap tradisi pendidikan yang sudah ada,
terutama yang bermula dari agama Hindu. IP Simanjuntak berargumen bahwa
“masuknya agama islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil; yang
berubah sejak pengembangan agama islam, ialah: isi agama yang dipelajari,
bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran
agama itu, serta latar belakang pelajaran-pelajaran.
KONTAK DENGAN GAGASAN PEMBAHARUAN
Kehadiran gerakan pembaharuan di Indonesia
pada awal abad XX dilatarbelakangi oleh
kesadaran dan semangat yang komplek. Usaha pembaharuan yang dimaksudkan untuk
melakukan pemurnian ajaran islam dengan mengembalikan praktik-praktik
keagamaan itu kepada sumber utamanya dan memisahkannya dari adat dan
kebiasaan lokal.
Usaha pembaharuan dalam kenyataannya
menimbulkan ketegangan dan bahkan gejolak sosial, yang biasa dikenal dengan
pertentangan antara kaum muda-yang mewakili kaum pembaharu –dengan kaum tua-yang
mewakili kalangan konservatif. Dalam mempertahankan pendirian masing-masing
kelompok, lembaga-lembaga pendidikan dijadika sebagai alat sosialisasi ide dan
bahkan mobilisasi massa. Dalam kejadian ini, kaum muda menjadikan madrasah
sebagai pusat konsolidasi ide dan mobolisasi massa, sedangkan kaum tua
menjadikan surau sebagai pusat untuk kepentingan yang sama.
Seperti pembaharu di timur tengah pada
abad XIX, khususnya Jamaluddin al-afgani dan Muhammad Abduh, pemikiran dan
usaha mereka bertumpu kepada keyakinan bahwa islam adalah agama yang sangat
mendorong penggunaan akal sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. pengaruh
tokoh pembaharu timur tengah terhadap gerakan umat islam di Indonesia
dimungkinkan antara lain karena terbukanya kesempatan untuk memperdalam islam
dibeberapa pusat pendidikan islam Arab, khususnya khairo, madinah, dan mekkah.
Diperkirakan pada saat itu, bahwa sejak
awal abad XIX, kairom tetap dipandang sebagai sentral penerbitan, baik untuk
buku dan jurnal berbahasa arab maupun melayu.
Penyebaran ide-ide pembaharuan berjalan lebih intensif setelah muncul
majalah berbahasa melayu, al-imam di singapura antara 1906-1977, dan al-manar
di padang antara 1911-1916. hal yang sama juga dilakukan oleh jurnal dalam
bahasa Arab, al-irsyad terbit dipekalongan, jawa tengah, dan dikelola oleh
mesyarakat Indonesia keturunan Arab Hadramaut.
TRADISI PENDIDIKAN
Sesuai dengan uraian sebelumnya,
pengembangan pendidikan bagi masyarakat bumi putera, diperkirakan oleh para
ahli belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi
pendidikasn rakyat yang sudah berkembang, yakni pendidikan islam. Akan tetapi,
secara teknis usulan itu sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan islam waktu
itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut
kelembagaan, kurikulum, maupun metode pengajarannya.
Sistem persekolahan pemerintahan Hindia
belanda untuk rakyat Indonesia pada mulanya terbatas untuk kalangan bangsawan,
yakni sekolah kelas satu (hollands school).sekolah-sekolah ini
diselenggarakan untuk tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah, juga pegawai
perdagangan dan perusahaan. Setelah mengalami perubahan-perubahan,
masing-masing sekolah memakan waktu tujuh tahun dan lima tahun. Dalam politik
pendidikan pemerintah Hindia Belanda, pendirian sekolah-sekolah ini merupakan
langkah susulan setelah sebelumnya pemerintah hanya menyediakan pendidikan bagi
kalangan belanda sendiri.
Pemerintah Hindia belanda juga menyediakan
pengembangan sistem persekolahan untuk rakyat secara luas dengan biaya yang
murah. Sekolah ini disebut dengan sekolah desa, sangatlah banyak peminatnya,
namun Pemerintah Hindia belanda sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Pada awalnya
sekolah ini terbatas bagi kalangan belanda dan eropa sendiri, tetapi kemudian
sedikit demi sedikit dibuka kesempatan bagi kalangan bangsawan. Karena biayanya
yang mahal serta pereturannya yang ketat, rakyat pada umumnya tidak bisa
menikmati jenjang sekolah yang lebih tinggi ini. Jika disekolah desa, mata
pelajaran terbatas pada membaca, menulis, dan berhitung, pada sekolah-sekolah
yang lebih tinggi mata pelajarannya sudah menyangkut bahasa dan pengetahuan
umum yang lebih luas. Dengan kata lain, pemerintah Hindia Belanda tetap
memberlakukan sistem dikriminasi dalam lapangan pendidikan untuk keuntungan
kalangan Belanda sendiri.
Perkembangan sekolah yang semakin merakyat
dalam batas yang cukup jauh telah merangsang kalangan islam untuk memberikan
respon. Dalam hal ini mereka memikirkan bahwa diskriminasi untuk mendapatkan
kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat tampak dalam politik dan
kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Dengan hal yang demikian, pendidikan islam
sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal
kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi
sekolah-sekolah ala Belanda.
Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan
islam yang sebanding dengan sekolah ala belanda dalam perkembangannya menjadi
agenda bagi hampir semua organisasi dan gerakan islam di Indonesia.
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Jami’atul khair, persatuan umat islam, persatuan
islam, al-irsyad, al-washliyah, persatuan tarbiyah islamiyah, dan organisasi
islam lainnya memiliki bagian khusus
dalam rangka pendirian madrasah-madrasah diberbagai daerah.
Dengan mendirikan madrasah, umat islam
agaknya telah memberikan respon yang cukup tepat terhadap kebijakan pemerintah
Hindia Belanda sehingga pendidikan islam disatu sisi tidak terlalu tertinggal,
dan disisi lain tetap mempertahankan ciri-ciri keislamannya secara kuat.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA
Awal Abad Ke-20 Hingga Kemerdekaan
Sebelum mengkaji perkembangan
sosial-politik yang terjadi pada abad ke-20, ada baiknya melihat masa-masa
sebelum masa itu.
Jauh sebelum abad ke-19 masyarakat
Indonesia telah mengalami tekanan dari
kekuatan-kekuatan eropa, pada tahun 1825, pemerintah kolonial Belanda
mentradisikan sebuah model penetrasi baru yang kemudian dikenal dengan sistem
“Tanam paksa”. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda menerapkan
undang-undang kolonial yang mengatur hidup rakyat banyak, termasuk kehidupan
keagamaan mereka. Dalam kebijakan ini, muatan yang dikembangkan adalah menitikberatkan kepada kepentingan agama, yakni misi Kristen.
Kegiatan kebijakan ini menimbulkan usaha
perlawanan dari pihak pribumi dalam bentuk perang. Diantaranya yaitu Perang
Jawa (1825-1830), dan Perang Paderi (1821-1838). Perlawanan rakyat
yang paling penting adalah Perang Paderi dan Perang Aceh. Dua peperangan ini
menandai awal perluasan wilayah kekuasaan kolonial atas seluruh daerah
Nusantara.
Selanjutnya, pemerintahan kolonial Belanda menjalankan
kebijakan “kebijakan Liberal”. Kebijakan ini didisarkan atas seringnya
pemberontakan di tingkat lokal, di satu sisi, dan disisi lain tekanan dari kelompok liberal didalam negeri Belanda,
setelah tahun 1848 yang memperlonggar “Sistem kultural” sehingga perusahaan
luar bisa masuk. Oleh karena masuknya perusahaan itu, tingkat pendidikan di
tanah jawa semakin melemah, dan terjadi kemerosotan pendidikan.
Kebijakan liberal semakin mendistorsi
nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental bagi masyarakat pribumi sehingga
kemudian diganti dengan kebijakan baru yang disebut “Politik Etis”
(ethical policy). Kebijakan baru ini diterapkan sebagai respon masyarakat
belanda terhadap penderitaan masyarakat jajahannya. Politik etis mengharuskan
belanda untuk memberikan bantuan finansial bagi kesejahteraan rakyat Hindia
Belanda, terutama guna pembenahan bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian.
Untuk melihat kebijakan pemerintah
kolonial Belanda abad ke-20 agaknya tidak dapat dilepaskan dari peranan Snock
Hurgronje. Dalam banyak hal, pandangan Hurgronje kebalikan kebijakan pemerintah
Belanda yang diterapkan sebelumnya. Hurgronje mengritik habis-habisan kesalahan
yang dilakukan oleh pemeriintah belanda
yang berkaitan dengan masalah yang melibatkan kaum muslim.
Secara umum, kebijakan-kebijakan yang
disarankan oleh Hurgronje didasarkan atas tiga prinsip :
Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek
ibadah dari islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankan nya
logika dari balik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa
pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka.
Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial islam,
atau aspek mu’amalat dalam islam, seperti perkawinan, wakaf, dan hubungan
sosial lainnya, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati
keberadaannya.
Ketiga, dan paling penting, adalah dalam masalah politik,
pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi kegiatan-kegiatan apapun yang
dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme
atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah
kolonial Belanda.
Pijakan dasar yang dikembangkan oleh
Hurgronje ini sesungguhnya diarahkan untuk mencapai kelanggengan kolonial
Belanda di wilayah Hindia Belanda. Aggar kekuasaan belanda dapat
dipertahankan terus secara damai, setiap
upaya harus diambil untuk menghilangkan jarak kultural ini.
Kebijakan
Belanda terhadap pendidikan islam pada dasarnya bersifat menekan karena
kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Diantara
kebijakan pemerintah kolonial dalam pengawasan pendidikan islam adalah diterbitkannya “Ordonansi Guru”.
Pertama dikeluarkan tahun 1905 mengharuskan setiap guru agama islam untuk minta
dan memperolahh izin dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.
Sedangkan ordonansi kedua pada tahun 1925 hanya mewajibkan guru agama untuk
melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi
pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dann penganjur agama islam di negeri
Nusantara.
Ordonansi pengawasan ini dipicu oleh
merosotnya ekonomi dunia yang kemudian didengungkan dengan alasan penghematan,
kebijakan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan kristen di Indonesia.
Oleh sebab itulah melatarbelakangi
munculnya “Sekolah Liar” pribumi
yang bersifat swasta.
Menurut S. Nasution, pada dasarnya pendidikan
masa kolonial belanda itu memilki ciri-ciri umum sebagai berikut:
Pertama, gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan
pendidikan anak-anak Hindia Belanda.
Kedua, dualisme dalam pendidikan dengan menekankan
perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
Ketiga, kontrol sentral yang kuat. Segala soal mengenai
sekolah, dan hal yang berkaitan dengan sekolah, ditentukan oleh pemerintah
pusat.
Keempat, keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan
sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan
pendidikan.
Kelima, adanya prinsip konkordansi, yang bertujuan untuk
menjaga agar sekolah-sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurukulum dan standar
yang sama dengan sekolah-sekolah di negeri Belanda.
Keenam, tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sisitematis untuk pendidikan anak pribumi.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
PEMERINTAH KOLONIAL JEPANG
Tahun 1942
hingga 1945
Perpindahan kekuasaan terjadi ketika
kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Kebijakan politik jepang tidak
jauh dari skenario yang dibuat Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan islam dari
politik praktisnya. Dalam mobilisasi islam Indonesia, pemerintah jepang
menciptakan hubungan yang sangat dekat
dengan elit muslim.
Pada masa kolonial Jepang, MIAI (majelis
islam a’la indonesia) sebagai organisasi independen yang didukung oleh NU dan
muhammadiyah. Pada waktu itu menghadapi tantangan tersendiri. Independensi MIAI
mengakibatkan tidak lagi memiliki anggota –anggota dari organisasi islam
seperti awal berdirinya. MIAI tidak lagi bersifat federatif karena
organisasi-organisasi islam banyak dibekukan. Akhirnya, pada september 1942,
MIAI dibubarkan oleh Jepang. Menurut Harry j. Benda, pembubaran ini pada
dasarnya reaksi jepang terhadap agitasi bait al-mal yang terus menerus dan
secara gencar dilancarkan oleh pengurus MIAI tanpa melibatkan Shumubu-kantor
urusan agama yang dibentuk Jepang. Sebagai pengganti MIAI, Jepang membentuk
organisasi federal baru, yaitu Masyumi (majelis syuro muslimin Indonesia)
tanggal 22 november 1943 dan diberi status hukum pada tanggal 1 Desember 1943.
sebagai ketua organisasi ini adalah K.H.Hasyim Asy’ary.
Masyumi semakin kokoh ketika tanggal 1
Agustus 1944, pemerintah Jepang mengeluarkan pengumuman reorganisasi Shumubu
yang bertujuan agar semua masalah keagamaan yang dirasakan penting dapat diatur
dengan mudah. Kegiatan keagamaan keislaman dibawah kontrol elit Muslim.
Tampaknya pada perkembangan selanjutnya
kekuatan jepang semakin memudar. Pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri
koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam waktu dekat. Janji ini dikenal
dengan deklarasi Koiso. Masyumi, juru bicara islam saat itu, langsung
menanggapi deklarasi itu dengan menempatkan gerakan islam dibelakang
tujuan-tujuan nasionalisme Indonesia. Pada pertengahan Oktober, pengurus
federasi islam bertemu di Jakarta dan membuat keputusan agar umat islam
mempersiapkan diri untuk membela tanah air, membebaskan negara dan agamanya dan
siap berkorban demi kemerdekaan.
Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan
yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Berbeda dengan
pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Jepang membiarkan dibukanya kembali
madrasah-madrasah yang pernah hidup pada masa pemerintahan sebelumnya. Pada
masa penjajahhan jepang juga, pengembangan madrasah Awaliyah digalakkan secara
luas, Majelis islam tingi menjadi penggagas dan sekaligus penggerak utama untuk
berdirinya madrasah-madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia
minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah Awaliyah itu lebih ditekankan
pada pembinaan keagamaan dan
diselenggarakan pada sore hari.
Sungguhpun demikian, ketika Jepang masuk
di wilayah Padang pada Maret 1924 dan pemerintah indonesia tercatat hanya
mengizinkan membuka sekolah atau madrasah dari tingkat dasar hingga tingkat
menengah saja. Sedangkan pendidikan tingkat tinggi tidak diberlakukan. Tidak
ditemukan secara pasti sebab-sebab pelarangan
itu. Namun, dari perkembangan setting sosial politik yang terjadi ketika
itu, memang jepang belum menunjukkan ke pemerintahan yang mapan.
MUHAMMADIYAH DAN MODEL
LEMBAGA MADRASAH
Awal Abad
Ke-20 Hingga Kemerdekaan
K.H.Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868
dari sebuah keluarga muslim tradisional yang berdomisili di Kauman, sebuah
kampung yang sangat religius di Yogyakarta. Ia merupakan anak ke empat. Semasa
kecil, Ahmad Dahlan diberi nama Muhammad Darwisy. Nama beliau diganti sewaktu
beliau ketika beliau kembali dari Mekkah dengan nama Ahmad Dahlan. Ayahnya,
Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman adalah khatib resmi Masjid Agung
Kesultanan Yogyakarta. Yang wafat pada tahun 1896 yang kemudin posisinya
diganti oleh Ahmad Dahlan. Ibunya adalah anak perempuan hakim agama Kyai Haji
Ibrahim.
Usaha-usaha dibidang pendidikan oleh K.H.
Ahmad Dahlan semakin digalakkan setelah ia membentuk perkumpulan Muhammadiyah.
Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 18 November 1912. maksud dan tujuan
perkumpulan ini ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk
mencapai hal itu, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
- Mengadakan
dakwah Islam.
- Memajukan
pendidikan dan pengajaran.
- Menghidup
suburkan masyarakat tolong menolong.
- Mendirikan
dan memelihara tempat ibadah dan waqaf.
- Mendidik
dan mengasuh anak-anak serta pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang
berarti.
- Berusaha
kearah perbaikan kehidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.
- Berusaha
dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku
dalam masyarakat.
Untuk menjelaskan alasan
berdirinya gerakan Muhammadiyah, beberapa teori dan sudut pandang mengenai itu
telah banyak dilakukan. Para sarjana yang mencoba menjelaskan masalah berupaya
membangun teori yang didasarkan atas bacaan mereka mengenai lingkungan,
sosial-keagamaan yang melatarbelakangi tumbuhnya gerakan ini.
Alwi Shihab seorang sarjana
Indonesia alumni Temple University, Amerika Serikat yang meneliti Muhammadiyah,
menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi di dirikannya
Muhammadiyah itu.
Pertama, bahwa kelahiran Muhammadiyah di dorong
oleh gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun
pertama abad XX.
Kedua, kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul
sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama
dalam masyarakat.
Ketiga, penetrasi dalam misi Kristen di
Indonesia yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun kebijakan
yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda yang menyangkut Muslim dan Kristen sangat
berorientasi kepada menjaga keamanan, kalangan Kristen mendapat keuntungan
besar dalam pertumbuhan jumlah pemeluk agama mereka.
DINAMIKA MADRASAH MUHAMMADIYAH
Dalam
perkembangan pendidikan Islam, Muhammadiyah menggunakan dua sistem. Pertama,
sekolah yang mengikutim pola Gubernerment yang ditambah dengan pelajaran
agama. Kedua, mendirikan madarasah yang lebih banyak mengajarkan
ilmu-ilmu agama. Pada sistem pertama, guru-guru pribumi dilibatkan pada sekolah
itu sebagai tenaga pengajar dengan silabus modern dengan memasukkan pelajaran
umum dan agama yang berdasarkan pada pelajaran Bahasa Arab dan Tafsir.
Sistem
kedua adalah sistem madrasah dengan banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama,
diantara madrasah Muhammadiyah yang cukup berjasa yang didirikan pada masa
penjajahan adalah sebagai berikut:
- Kweekschool
Muhammadiyah,
- Mu’allimin
Muhammadiyah,
- Mu’allimat
Muhammadiyah,
- Zu’ama/Za’imat,
- Kulliyah
Muballighin/Muballighat,
6. Tabligh School,
7. H.I.K. Muhammadiyah.
Selain sekolah diatas, juga
termasuk HIS Muhammadiyah, MULO Muhammadiyah, AMS Muhammadiyah, Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah, dan Madrasah Tsanawiyah/Wustha Muhammadiyah, dengan
perbandingan yang bervariasi dan pada madrasah tersebut diberikan mata
pelajaran umum dan agama secara seimbang.
Menurut laporan Muhammad Yunus, Madrasah Diniyah Muhammadiyah
bertujuan untuk memberi bekal kepada para siswa supaya mempunyai semangat
mengamalkan tuntunan dan pengetahuan Islam setingkat yang lebiih tinggi dari
sekolah rakyat serta di titikberatkan pada kecakapan membaca Alqur’an
Usaha pendidikan yang
dikembangkan oleh Muhammadiyah ternyata tidak hanya pada tingkat dasar dan
menengah saja, tapi juga pada tingkat perguruan tinggi. Pada tahun 1936, dalam
Kongres Seperempat Abad di Jakarta telah diputuskan akan mendirikan Universitas
Muhammadiyah. Namun karena terjadinya Perang Dunia II rencana itu kandas.
Dengan demikian, paling tidak
ada dua format pengembangan pendidikan Muhammadiyah, yaitu:
1. Madrasah yang menyerupai sekolah Belanda
dengan menggabungkan antara muatan-muatan keagamaan dan non keagamaan, dan
2. Madrasah Diniyah (keagamaan) yang lebih
menekankan pada muatan-muatan keagamaan dan menambahkan muatan-muatan umum
secara terbatas.
NAHDLATUL ULAMA (NU)
DAN MODEL LEMBAGA MADRASAH
Awal Abad Ke-20
Hingga Kemerdekaan
Perkumpulan NU dibentuk pada tanggal 31
Januari 1926/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Organisasi ini dipelopori oleh
beberapa kyai dari daerah Jawa Timur, di antaranya:
- K.H.
Hasyim Asy’ari, Tebuireng,
- K.H. Abdul
Wahab Hasbullah,
- K.H.
Bisri, Jombang,
- K.H.
Riduwan, Semarang,
- K.H.
Nawawi, Pasuruan,
- K.H. R.
Asnawi, Kudus,
- K.H. R.
Hambali, Kudus,
- K.H.
Nakhrawi, Malang,
- K.H.
Doromuntaha, Bangkalan,
- K.H. M.
Alwi Abdul Azis.
Maksud dan tujuan yang dilakukan NU secara
eksplisit terlihat pada anggaran dasarnya terlihat pada pasal 2 dan pasal 3.
ketiak NU lahir, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi para kyai
tradisional, diantaranya adalah: pertama, perlawanan dari kaum
Imperialis yangg mempenetrasi Islam. Kedua, kehadiran kelompok reformis
yang diwakili Muhammadiyah yang telah memarginalkan legitimisasi para kyai. Ketiga,
kehadiran sejumlah organisasi seperti Sarekat islam dan Muhammadiyah yang
melemahkan kekuatan para kyai sebagai juru bicara komunitas Islam.
Dalam bidang pendidikan NU telah
mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting. Baik pada masa
penjajahan Belanda maupun pada penguasaan Jepang, NU tetap memajukan
pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah serta mengadakan tabligh dan
pengajian-pengajian. Disamping itu, NU terus mengurusi bidang sosial dan bahkan
bidang politik.
DINAMIKA MADRASAH NAHDLATUL ULAMA (NU)
Pada
awal pertumbuhannya, menurut steenbrink, NU merupakan organisasi kota dengan
basis ulama dan lembaga madrasah di Surabaya. Bagi NU, lebih mudah mendirikan
madrasah yang memakai model barat di kota daripada di pedesaan. Demikian juga
dalam pengambilan Guru untuk mengajarkan materi umum. Pada tahun 1938, NU
menetapkan Reglement mengenai susunan madrasah. Susunan madrasah itu
sebagaimana dapat dilihat pada tabel :
Tabel susunan Madrasah NU :
No
|
Jenjang Madrasah
|
Durasi Belajar
|
1.
|
Madrasah Awaliyah
|
2 tahun
|
2.
|
Madrasah Ibtida’iyah
|
3 tahun
|
3.
|
Madrasah Tsanawiyah
|
2 tahun
|
4.
|
Madrasah Mu’allimat Wustha
|
2 tahun
|
5.
|
Madrasah Mu’allimun ‘Ulya
|
3 tahun
|
|
Jumlah
|
13 tahun
|
Dalam kenyataan, NU tidak memiliki
statistik yang jelas mengenai pendidikannya sehingga agak kewalahan untuk
memastikan kapan NU mulai mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Dengan demikian,
dapat dipastikan perkembangan pendidikan
NU dapat dilihat melalui Pesantren Tebuireng, karena pesantren inilah yang
paling masyhur di seluruh Indonesia.
Meskipun tetap mempertahankan ciir-ciri
keagamaan, sebagaimana layaknya pesantren
di Nusantara, pada tahun 1919, pesatren Tebuireng mengalami pembaharuan.
Pengajaran yang semula dilaksanakan dengan hanya sistem sorogan dan bandongan
ditingkatkan denagn memasukkan sistem berrkelas, yang dikenal dengan sistem
madrasah.
Dalam perbandingan dengan perkembangan
yang terjadi di Minangkabau, apa yang terjadi di pesantren Tebuireng agaknya
hampir sama yang terjadi di Sumatra Tawalib, sebagaimana layaknya pesantren,
pesantren Tebuireng tetap menyelenggarakan pengajian kitab-kitab, tetapi
didalamnya dibuka madrasah dan pengajaran dilakukan berkelas. Dengan kata lain,
KH. Hasyim Asy’ary telah menjadikan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan pesantren
Tebuireng. Pola ini dalam perkembangannya kemudian diadopsi oleh
pesantren-pesantren lain, khususnya di Jawa, termasuk di Kediri, Demak, Kudus,
Cirebon, dan Banten.
KH.
Hasyim Asy’ary telah meletaakkan dasar pembaharuan pendidikan pesantren dengan
mendirikan madrasah salafiyah yang menggunakan sistem klasikal. Yang didirikan
pada tahun 1916. dan pada awalnya hanya untuk pengajian al-qur’an. Tokoh paling
penting dalam pengembangan pesantren ini yaitu K.H.Ilyas, dan Wahid Hasyim.
Format
madrasah Salafiyah dalam pengelolaan K.H. Ilyas sepertiya menjadi cikal bakal
bagi perkembangan madrasah pada dekade berikutnya di lingkungan Pesantren
Tebuireng, khususnya bagi pesantren di Jawa dan Madura pada umumnya. Sistem
pengajaran Bahasa Arab tidak luput dari keseriusan K.H. Ilyas. Dia mengambil
sistem pengajaran bahasa Belanda yang diterima di HIS sebagai penggantinya.
Namun, usaha ini tertunda ketika tahun 1931 beliau harus pergi ke Mekkah untuk
menyelesaikan studinya bersama K.H. Wahid Hasyim. Upaya ini lalu dilanjutkan
oleh K.H. Wahid Hasyim dan beliau membuka madrasah modern dengan nama Madrasah
Nizhamiyah yang mengajarkan pelajaran agama dan umum, Bahasa Arab, Inggris, dan
Belanda. Beliau mengusulkan perubahan radikal dalam sistem pengajaran
pesantren. Usul itu antara lain diganti dengan sistem tutorial yang sistematis
dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Ini
berarti pengajaran di pesantren tak terbatas hanya pengajian kitab-kitab Islam
klasik, melainkan para santri diajarkan lebih banyak lagi mata pelajaran lain.
Dalam
sistem ini NU lebih banyak menggunakan sistem “pembaharuan dalam pesantren”.
Madrasah lebih banyak dikembangkan dengan menggabungkan antara muatan keagamaan
dan non keagamaan dengan persentase tertentu, disamping ada madrasah yang
memang mengembangkan materi-materi keagamaan saja.
PENDIDIKAN PESANTREN
REKONSTRUKSI
SISTEM
PENDIDIKAN
PESANTREN
Wacana yang berkembang dalam dinamika
pemkiran dan pengalaman praktis alumni pesantren tampaknya menegaskan bahwa
pesantren merupakan bagian dari infra struktur masyarakat yang secara makro
telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk mempunyai idealisme,
kemampuan intelektual, dan akhlak mulia guna menata dan membangun karakter
bangsa yang paripurna.
Bersamaan dengan perkembangan globalisasi,
pesantren dihadapkan dengan perubahan sosial budaya yang tak terelakkan.
Sebagai konsekuensi logis atas perkembangan ini, pesantren mau tak mau harus
memberikan respons yang mutualistis. Sebab, pesantren tak dapat melepaskan diri
dari bingkai perubahan-perubahan itu. Kemajuan informasi dan komunikasi telah
menembus benteng budaya pesantren.
REKONSTRUKSI METODE PENDIDIKAN PESANTREN
Sebagai
sebuah sistem, Islam megandung muatan-muatan yang dibedakan dalam dua kategori
yaitu:
Pertama, ajaran dasar yang menjadi referensi bagi
landasan hidup dan penyelesaiannya dalam mengatasi seluruh problematika akibat
rangkaian dinamika struktur sosial budaya yang mempunyai nilai kebenaran mutlak
dan niscaya tidak runtuh dalam segala perubahan.
Kedua, ajaran-ajaran bukan dasar yang merupakan hasil
interpretasi dan derivasi dari ajaran dasar, ini tersimplikasi terutama dalam
kitab kuning yang meliputi hampir dalam segala aspek kehidupan dan di jadikan
pedoman dari ajaran dasar.
Dalam
pendidikan pesantren umumnya materi ajaran yang diberikan secara intens dan
simultan lebih menekankan ajaran yang disebut dalam kategori kedua. Metode yang
diterapkan di pesantren selama ini menggunakan metode induksi. Pesantren
mengajarkan kajian-kajian partikular lebih dulu seperti Fiqih dan berbagai
tradisi praktis lainnya yang dianggap sebagai Ilm al-Hal. Satu lagi
metode yaitu metode deduksi, yaitu metode yang akan terbentuk pada aspek
psikologis dan perkembangan kemampuan imajinasi struktur nalar santri. Oleh
karena itu, penggunaan metode ini agaknya membutuhkan pernyataan kurikulum dan
manajemen pesantren yang canggih.
REKONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN
Kurikulum
pesantren yang diwakili oleh kitab kuning hanya lebih menekankan pada bidang
Fiqih, Theologi, dan bahasa. Fiqih kebanyakan membahas masalah Mazhabiah
tentang kesimpulan hukum tertentu yang sesuai dengan mu’amalah umat. Theologi
di pesantren menerapkan masalah pengajaran pengetahuan tentang aliran-aliran
yang muncul dalam Islam.
Kajian
kebahasaan dalam kurikulum pendidikan pesantren menempati posisi yang
berlebihan pada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang
terjelejahi dengan semestinya. Keadaan
kurikulum pendidikan pesantren yang demikian-terutama dalam kurikulum fiqh,
teologi dan tasawuf-memberikan sebuah konsekuensi pada eksklusivisme pondok
pesantren dari pemikiran lain.
Implikasi
dari eksklusivisme ini terwujud dalam tiadanya budaya kritis, analitis, dan
reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir
tidak diakui lagi dan sistem munazharah pun hilang dari tradisi pesantren. Para
ulama dahulu, ketika melakukan proses legitimasi, cenderung mempraktikkan cara itu terutama dalam memberikan respon atas masalah yang
berkembang dimasanya, yang jelas tidak sama dengan masalah yang dihadapi dunia
sekarang.
Di
sisi lain, pesantren merasa “anti” terhadap disiplin-disiplin ilmu filsafat.
Sebab, ilmu ini tampaknya dikhawatirkan
akan mendestruksi pemahaman yang selama ini telah dianut komunitas pesantren
secara mapan. Yang pada akhirnya, sistem pendidikan pesantren hanya berfungsi
sebagai penerima (receivers) pemikiran islam klasik secara apa adanya (taken
for granted).
REKONSTRUKSI MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN
Sistem
pendidikan pesantren biasanya dilakukan secara alami dengan pola manajerial
yang tetap dalam tiap tahunnya. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren agaknya belum
terlihat. Dewasa ini pesantren memang sudah saatnya harus membuka mata untuk
membuka dunia luar. Perkembangan yang terjadi diluar dirinya harus diketahui
dan diantisipasi, terutama ketika harus
berbenturan. Keharusan ini meniscayakan
kebutuhan pola kerja sama simbiosis mutualisme antara pesantren dengan
institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dan menciptakan
nuansa transformatoris.
Pola kerja ini meniscayakan minimalisasi
asumsi-asumsii negatif yang dilekatkan
pada pesantren: terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan
cenderung mempertahankan status quo .
JIWA PESANTREN
Sistem
pendidikan pesantren yang dibangun dalam rangkaian sejarah telah melahirkan sejumlah jiwa
pesantren yang meniscayakan standarisasi nilai. Jiwa yang dibangun itu
keseluruhan akan menjadi karakteristik
yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan manapun. Jiwa pesantren yang
dimaksud terimplikasi dalam panca-jiwa pesantren berikut :
Pertama,
jiwa keikhlasan, jiwa yang tidak didorong oleh
ambisi apapun yang memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi
semata-mata demi ibadah kepada Allah.
Kedua,
jiwa kesederhanaan tetapi agung, sederhana bukan berarti pasif, melarat,
miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan
dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan.
Ketiga,
jiwa Ukhwah Islamiyyah yang demokratis.
Keempat,
jiwa kemandirian, yaitu kesanggupan
membentuk kondisi pesantren sebagai institusi pendidikan islam yang mandiri
dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan belas kasihan pihak lain.
Pesantren harus mampu berdiri diatas
kekuatannya sendiri.
Kelima,
jiwa bebas dalam memilih alternatif
jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimistis dalam menghadapi segala
problematika hidup berdasarkan nilai-nilai islam. Kelima bagian ini harus mampu
dan senantiasa melekat dalam dunia pesantren.
MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN:
SEBUAH BATASAN
Perkembangan
dunia telah melahirkan suatu kamajuan zaman yang modern. Sistem pendidikan
pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang
ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive.
Keharusan
untuk mengadakan rekonstruksi ini
sesungguhnya sudah dimaklumi. Bukankah dunia pesantren telah memperkenalkan
sebuah kaidah yang sangat jitu: al-muhafazhah ‘al al-qadim ash-shalih ma
al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (membina budaya-budaya klasik yang baik dan
terus menerus menggali budaya-budaya baru yang lebih konstruktif).
Kaidah
ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan
membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak terlepas dari
bingkai al-ashlah (lebih baik). Aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang
harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap
perubahan dan tuntunan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan
prinsip efektifitas dan efesiensi, dan sebagainya.
Namun
demikian, nilai-nilai pesantren tidak perlu dikorbankan demi proyek modernisasi
pesantren. Kendati harus berubah, menyesuaikan, metamorfose, atau apapun
namanya, “dunia pesantren harus tetap hadir dengan jati dirinya yang khas”,
sebab itulah sesungguhnya jati diri pesantren.
KONSEP
PENDIDIKAN
K.H.M.
HASYIM ASY’ARI
Kajian Atas Kitab Adab Al-‘alim wa
al-Muta’allim
SIGNIFIKASI
Penelusuran
terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan islam dalam sejarahnya yang cukup
panjang akkan menghadapi problematika sendiri ketika tidak mengapresiasi
teori-teori dan eksperimen pendidikan islam. Namun demikian, dinamika sebuah
peradaban mau tidak mau melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam format
dan kapasitas yang sederhana.
Pemanfaatan
terhadap kajian teoritis pendidikan islam yang dilakukan oleh generasi
muslim-akhir sangat minim. Kalangan intelektual muslim agaknya kurang memberi
perhatian secara serius terhadap kekayaan islam itu. Kajian yang lebih intens
dilakukan adalah justru berpegang pada sebuah pengulangan kajian praktis yang
menghasilkan teoritisasi yang terbatas, baik dilihat dari sisi ruang maupun
waktu.
Kurangnya
animo intelektul-muslim dalam mengapresiasi khazanah pendidikan tampaknya
disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, pengalaman tradisi kependidikan
yang berlangsung, terutama semenjak jatuhnya
baghda oleh kaum mongol hingga masa-masa belakangan. Kedua, kecebderungan yang
menggejala dalam dunia intelektual muslim dewasa ini agaknya lebih banyak
memfokuskan pada persoalan-persoalan yang memilki ikatan erat dengan wacana
keagamaan. Ketiga, mungkin sebagai faktor yang paling pernting, disiplin
pendidikan merupakan bagian ilmu pengetahuan yang kurang memilki mata rantai yang bertautan dalam
proses sejarahnya.
K.H. HASYIM ASY’ARI: SKETSA BIOGRAFIS
Nama
lengkap beliau K.H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd
al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim-yang mempunyai gelar pangeran Bona-ibn Abd
al-Rahman-yang dikenal dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo-ibn Abdullah bin Abdu
al-Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain al-Yaqin-yang
disebut dengan Sunan Giri. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa
Timur, pada hari selasa Kliwon 24 Dzulkaidah 1287 H. Bertepatan dengan tanggal
14 Februari 1871, K.H. Hasyim Asy’ari
wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 juli 1947 bertepatan dengan 7
Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
Semasa
hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan
dibidang ilmu-ilmu Al-qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia
menjelajah menuntut ilmu ke berbagi pondok pesantren, terutama di Jawa, yang
meliputi Shona, siwalan buduran, langitan tuban, demangan bangkalan, dan
sidoardjo. Setelah lama menimba ilmu di pondok pesantren sidoardjo, ternyata K.H.
Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru
kepada K.H.Ya’qub yang merupakan kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’qub lambat
laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy-Ari dalam prilaku
kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, khadijah.
Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy-Ari melangsungkan pernikahan
dengan putri K.H.Ya’qub tersebut.
Bagi
Hasyim Asy-Ari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak ada
putus-putusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang dicapai pada saat
itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asy-Ari untuk berpindah ke tempat
lain. Akhirnya, ia memilih daerah yang penuh dengan tatangan dan dikenal sebaga
daerah “Hitam”. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ul Awal 120 H, bertepatan 6 Februari
1906 M, Hasyim Asy-Ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren
inilah K.H. Hasyim Asy’ari banyak melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan
sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal,
tetapi juga pemimpin masyarakat secara informal.
Sebagai
seorang intelektual, K.H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang
berharga bagi pengembangan peradaban, dintaranya adalah sejumlah Literatur yang
berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K.H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah
:
1. Adab al ‘alim a al mutallim fi ma yahtaj
ilaih al-mutaallim fi ahwal taallum wama yatawaqqaf alaih al-muallim fi maqamat
ta’limih.
2. Ziyadat Ta’liqat, radda fiha manzhumat al
syeikh abd allah bin yasin al- fasurani allati bi hujubiha ‘ala ahl jam’iyah
nahdlat al ‘ulama.
3. At- Tanbihat al wajibat liman yashna’ al
maulid al munkarat.
4. Ar- Risalat al jami’at, sharh fiha ahwal
al mauta wa asyrath al sa’at ma’bayan mafhum al -sunnah wa al bid’ah.
5. Al-Risala al-tauhidiyah, wahiya risalah
shaghirat fi bayan aqidah ahl- sunnah wa-al jama’ah.
6. Al -Qalaid fibayan ma yajib min al’aqaid.
Dari sebagian karya K.H.
Hasyim Asy’ari dan data-data yang tersedi itu cukup memberikan ketertarikan
bagi sebagian intelektual untuk melakukan penelitian dari berbagai perspektif.
Terbukti terdapatnya penelitian yang memfokuskan baik pada ketokohan K.H.
Hasyim Asy’ari maupun pada pemikirannya yang relatif banyak. Bahkan, penelitain
itu tidak hanya dilakukan didalam negeri an sich tetapi juga di luar negeri.
KARYA KEPENDIDIKAN: ADAB AL-A’LIM WA
AL-MUTA’ALLIM
Kitab
ini merupakan kitab yang berisi tentang
konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun pada tanggal 22 Jumadil akhir
tahun 1343 H. K.H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran
akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu
pengetahuan.
Kitab
ini juga, secara keseluruhan, terdiri atas 8 bab yang masing-masing membahas
tentang keutamaan ilmu dan ilmuwan serta pembelajaran, etika yang mesti
dicamkan dalam belajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap
pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus
diperhatikan bagi guru, etika guru ketika dan akan mengajar, etika guru
terhadap murid-muridnya, etika menggunakan literatur, dan alat-alat yang
digunakan dalam belajar. Kedelapan bab tersebut sesungguhnya dapat
diklasifikasikan menjadi 3 bagian penting, yakni signifikansi pendidikan,
tanggung jawab dan tugas murid, serta tanggung jawab dan tugas guru.
Dalam
hal penelitian pertama, pembahasan tampaknya lebih banyak difokuskan pada
teoretasasi mengenai signifikansi pendidikan dan tugas serta tanggung jawab
bagi murid dan guru. Sedangkan penelitian terakhir menulusuri konsep etika
belajar mengajar dalam perspektif K.H. Hasyim Asy’ari dan implikasinya bagi
dunia pendidikan islam.
KARAKTERISTIK PEMIKIRAN K.H. HASYIM ASY’ARI
Menurut
Hasan langgulung, ada 4 corak pemikiran kependidikan islam yang dapat dipahami.
Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam
spesifikasi fiqih, tafsir dan hadits. Kedua, corak pemikiran pendidikan
yang bermuatan sastra. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis.
Contohnya adalah corak yang dikembangkan oleh aliran mu’tazilah, Ikhwan
Al-shafa dan para filosof. Keempat, pemikiran pendidikan islam yang
berdiri sendiri dan berlainan dengan corak diatas, tetapi ia berpegang pada
semangat Al-qur’an dan Hadits.
Kecenderungan
dalam pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis
yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya
dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi
K.H. Hasyim Asy’ari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang
benar-benar lillahi ta’ala. Kemudian, ilmu diraih jika jiwa orang yang mencari
ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan aspek-aspek
keduniawian.
Kecenderungan
ini merupakan wacana umum bagi literatur-literatur kitab kuning yang tidak bisa
dihindari dari persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk
replikasi atas prinsip-prinsip sufisme Al-Ghazali.
SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN
Sisi
pendidikan yang sangat menarik perhatian dalam konsep pendidikan K.H. Hasyim
Asy’ari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajarannya. Dalam
memahami tesis diatas, K.H. Hasyim Asy’ari sesungguhnya berusaha mengedepankan
pemikiran bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari
paradikma normatif yang bersumbu pada titik sentral ketuhanan. Paradikma ini
diasumsikan akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan secara tuntas dan
tidak menimbulkan spekulasi yang berkepanjangan. Dimensi ketuhanan hendaknya
menjelma pada partikulasi-partikulasi, terutama dalam prilaku sosial, sehingga
secara keseluruhan menunjukkan satu bingkaian yang utuh. Tampaknya, K.H. Hasyim
Asy’ari berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan integritas dalam
berprilaku adalah makhluk tuhan yang terbaik.
K.H.
Hasyim Asy’ari sering mengutip hadits dan pendapat ulama serta menyatakan
pendapatnya tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut Nabi, tingginya
derajat ulama jika dibanding dengan ahli ibadah, pertama, bagaikan utamanya
Nabi dibanding dengan manusia selainnya, kedua, bagaikan terangnya bulan
purnama dibanding dengan cahaya bintang, ketiga, bagi syetan lebih sulit
menggoda seorang cendekiawan daripada seribu ahli ibadah.
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari ini
tampaknya menyiratkan sebuah pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan
adalah hati. Penekanan pada hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari
corak pemikiran pendidikan progresivisme dan esensialisme. Perbedaan-perbedaan
ini dimungkinkan oleh karena adanya titk pandang yang tidak sama dalam memahami
manusia. Baik aliran progresivisme dan esensialisme, sama-sama mendasarkan
pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari-yang identik dengan
pemikiran Al-Ghazali-menyimpulkan bahwa substansi manusia bukan terletak pada
unsur fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan kependidikan yang didasarkan
atas hati, memang denagn sendirinya akan menghadapi kesulitan tersendiri,
terutama dikontekskan dalam usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab,
usaha verifikasi dan pembuktia ilmiah membutuhkan kerangka empiris, sehingga
agak sulit mencari titik temunya.
Dalam kenyataan banyak dijumpai tugas
kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni
bagaimana membentuk orang-orang yang saleh dalam perspektif Tuhan, tentunya
Tuhan dalam sesuatu yang dipahaminya. Sementara aspek yang lain, yang tidak
kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan penguasaan materi pelajaran,
menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah
cukup intennya intervensi pemahaman keagamaan yang kurang memberi penghargaan
terhadap aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan ini semakin
mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang kritis.
RELASI PESERTA DIDIK-PENDIDIK
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang
baik, peserta didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam
hal ini, perlu adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. K.H.
Hasyim Asy’ari menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu cakap dan profesional
(kalimat ahliatuh), kasih sayang (tahaqqaqat syafaqatuh) , berwibawa (zhaharah
muru’atuh), menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat (‘urifat
iffatuh), berkarya (isytaharat shiyanatuh), pandai mengajar (ahsan ta’lim), dan
berwawasan luas (ajwa tafhim). Kehati-hatian dalam memilih pendidik ini
didasarkan atas pandangannya bahwa ilmu itu sama dengan agama.
Peserta didik harus memiliki anggapan
(image) dalam bahwa pendidik itu mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat
berwibawa, sehingga peserta didik harus mengetahui dan mengamalkan etika
berbicara dengan pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berankat ke pendidik
hendaknya bersedekah dan berdo’a terlebih dahulu untuk pendidik.
Pola hubungan antara peserta didik dengan
pendidik seperti yang dikembangkan K.H. Hasyim Asy’ari diatas agaknya
menyiratkan pada sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan
oleh aspek guru. Guru tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge)
kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan
terhadap pembentukan prilaku (etika) peserta didik.
CATATAN AKHIR
Dalam
karya K.H. Hasyim Asy’ari cenderung lebih menekankan pada unsur hati sebagai
titik tolak pendidikannya. Sebab, hatilah yang mendorong sebuah etika itu
muncul. Kecenderungan pada aspek hati ini dengan sendirinya membedakan diri
dari corak pemikiran pendidikan yang lain, seperti aliran progresivisme dan
esensialisme. Disamping itu, K.H. Hasyim Asy’ari memandang pendidik sebagi
pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang
mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika
peseta didik.
MENIMBANG
PESANTREN DALAM
PROSES
TRANSFORMASI SOSIAL
PESANTREN DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM
Institusi
pendidikan di Indonesia yang telah mengenyam sejarah paling panjang di antaranya
adalah pesantren. Institusi ini lahir, tumbuh, dan berkembang
telah lama. Bahkan, semenjak belum dikenalnya lembaga pendidikan lainnya di
Indonesia, pesantren telah hadir lebih awal.
Dari
perspektif pendidikan,pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tahan
terhadap gelombang modernisasi. Padahal, diberbagai kawasan Dunia Muslim,
lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali lenyap, tergusur oleh ekspansi
sistem pendidikan modern atau mengalami tranformasi menjadi lembaga pendidikan
umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi
dan metodologi pendidikan modern itu.kenyataan ini dapat dilihat pada
kelembagaan tradisional di kawasan Timur Tengahyang tersimplifikasi atas tiga
jenis: madrasah,kuttap, dan mesjid.
Dalam
catatan Azyumardi Azra, pembaharuan dan modernisasi pendidikan dimulai di Turki
pada awal pertengahan abad ke-19 yang kemudian menyebar hampir keke seluruh
wilayah kekuasaan Turki Usmani di Turki
Usmani di Timur Tengah. Namun,program pembaharuan pendidikan di Turki itu
semula tidak menempatkan medresse (madrasah) sebagai objek pembaharuan.
pengalaman
lembaga pendidikan tradisional islam di Turki dan Mesir agaknya cukup memadai
untuk mendiskripsikan proses-proses pemudaran dan pelenyapan sistem pendidikan
tradisional Islam dalam alunan gelombang modernisasi yang di gaungkan para
penguasa di masing-masing negara tersebut. Kondisi sosiologis dan politis yang
menimpa medresse di turki atau madrasah dan kuttap diMesir pada
segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis dan politis yang
mengitari pesantren di indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut pada gilirannya
membuat pesantren mampu tetap bertahan.
RESPON PESANTREN
Dalam
menghadapi tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional
islam, dalam hal ini pesantren juga berhadapan dengan tantangan yang datang
dari kaum reformis atau modernis muslim. Gerakan reformis muslim yang menemukan
momentumnya sejak awal abad ke 20 menuntut diadakannya reformulasi sistem pendidikan
islam guna menghadapi tantangan
kolonialisme dan ekspansi kristen. Dalam konteks ini, reformasi kellembagaan
pendidikan modern islam diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama,
sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran islam,
seperti sekolah adabiyah yang didirika Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 dan
sekolah-sekolah umum model Belanda yang mengajarkan Al-qur’an, yang didirikan
oleh organisasi semacam Muhammadiyah. kedua, madrasah modern pada titik
tertentu menganulir substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, seperti
sekolah diniyah zainuddin Labay, el-yunusi atau sumatra Thawalib.
Pesantren
harus melakukan sejumlah akomodasi adjustment yang dianggap tidak hanya
akan mendukung kontinuitas dalam pesantren, tetapi juga bermanfaat bagi para
santri. Dalam wujudnya secara konkrit, pesantren meerespon tantangan itu dalam
beberapa bentuk. Pertama, pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren
dengan memasukkan subjek-subjek umum dan keterampilan (vokational). Kedua,
pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal dan perjenjangan. Ketiga,
pembaharuan kelembagaan, seperti kepemimpina pesantren, divertifikasi lembaga
pendidikan. Keempat, pembaharuan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi.
INDIGENOUSITAS PESANTREN
Pesantren
merupakan dunia tradisional islam yang mampu mewarisi dan memelihara
kesinambungan tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak
terbatas pada periode tertentu.
Sebagai
lembaga yang murni berkarakter keIndonesiaan (indigenous), pesantren
muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya,
sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memilki keterkaitan erat yang tidak bisa
terpisahkan. Hal ini tidak hanya terlihat dari hubungan latar belakang
pendirian pesantren dengan lingkungan tertentu , tetapi juga dalam pemeliharaan
eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian shadaqah, waqaf, hibah, dan
sebagainya. Pesantren dengan kiainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai cultural
brokers (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.
PESANTREN DAN PERUBAHAN SOSIAL
Disamping
karakter dasariah diatas, pesantren juga memilki karakter plural, tidak
seragam. Pluralitas pesantren ini diantaranya ditunjukkan oleh tiadanya sebuah
aturan apapun –baik menyangkut manajerialm, administrasi, birokrasi, struktur,
budaya, kurikulum apalagi pemihakan politik –yang dapat mendefinisikan
pesantren menjadi tunggal.
Watak
dasariah pesantren diidentikkan dengan penolakan terhadap isu-isu pemusatan
(sentrakisasi) merupakan potensi luar biasa bagi pesantren dalam memainkan
tranformasi sosial secara efektif.
Karena itu, pesantren adalah kekuatan masyarakat dan sangat diperhitungkan oleh negara. Dengan
kemampuan feksibilitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan,
bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting
sosial-budaya, bahkan politik dan ideologi negara sekalipun.
CATATAN AKHIR
Dalam
hal yang diuraikan diatas, bahwa pesantren memilki kekuatan internal dalam
menghadapi gelombang modernisasi. Pada sisi kelembagaan pendidikan, pesantren
tidak runtah oleh derasnya angin modern, berbeda dengan pengalaman lembaga
pendidikan tradisional islam lainnya yang pada titik tertentu lenyap dari
deretan sejarah modern. Dalam hal ini, banyak disebabkan oleh faktor
dasariah yang dimiliki pesantren,
diantaranya adalah kelembagaan indigenous
keindonesiaan yang menyimpan kekuatan
dan kemandirian dan
nonsentralisme. Yang pada akhirnya
menjadi potensi yang luar biasa dalam
melakukan usaha pemberdayaan masyarakat.
PENDIDIKAN
ISLAM
DI MASA
DEPAN
PENDIDIKAN
ISLAM
Sejarah Dan Tantangan Masa Depan
AKHLAK DAN PENDIDIKAN
Sebuah
hipitesis yang menytakan bahwa diantara faktor terpenting yang memberi
sumbangan terhadap merosotnya ekonomi dan peradaban umat dengan segala pranata sejarahnya adalah
mundurnya etika dan nilai-nilai yang
dijunjung oleh masyarakat, atau dalam ‘bahasa’ agama adalah akhlak.
Hipotesis
ini dapat dibuktikan prof. Gunar Mirdal, peraih nobel di bidang ekonomi yang
berasal dari swiss, mengadakan penelitian disebelas negara tentang
faktor-faktor yang menjadi penyebab keterbelakangan bangsa di bidang ekonomi.
Pada akhir kesimpulan, ia menyatakan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi
penyebab utama keterbelakangan tersebut.
Dalam
islam, tujuan pendidikan yang dikembangkan adalah mendidik budi pekerti; oleh
karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlah merupakan jiwa dari pendidikan
islam. Untuk itu sebagaiman diungkapkan oleh Dr. Fadhil Al-Djamaly, umat islam
harus mampu menciptakan sistem pendidikan yang didasari atas keimanan kepada
Allah, karena hanya iman yang benarlah menjadi dasar pendidikan yang benar dan
membimbing umat kepada usaha mendalami
hakikat menurut ilmu yang benar; dan ilmu yang benar membimbing umat ke arah
amal saleh.
PENDIDIKAN ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH
Umat
islam dalam sejarahnya yang panjang sesungguhnya telah memperlihatkan pada
pentingnya pendidikan islam. Hal ini dapat ditelusuri sejak masa Rasulullah Saw
hingga dewasa ini.
Adapun
materi pengajaran yang diajarkan Rasulullah di Makkah adalah:
“pendidikan keagamaan dan
akhlak; serta menganjurkan kepada menusia, supaya mempergunakan akal pikirannya
memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuhan, dan alam semesta, sebagai
anjuran kepada pendidikan ‘aqliyah dan ilmiah.
Sedangkan
kurikulum pengajaran di Madinah adalah keimanan dan ibadah, pendidikan akhlak,
pendidikan jasmani, dan syari’at yang berhubungan dengan masyarakat. Kondisi
aktivitas belajar baru mengalami perubahan yang berarti ketika islam lahir. Bagi bangsa Arab, mesjid
merupakan lembaga pendidikan pertama yang bersifat umum dan sistematis.
Perkembangan
dunia pendidikan ini menghantarkan umat islam pada kemajuan yang sangat berarti.
Berkembanhnya pusat-pusat peradaban yang dipenuhi denagn berbagai kegiatan
ilmiah da scientific menjadikan
posisi umat islam ketika itu sangat diperhitungkan oleh dunia Barat.
Dalam
proses penyebaran islam, pendidikan islam dikembangkan melalui mesjid, langgar,
atau surau-surau yang tidak memakai kelas, tidak memakai bangku, meja dan papan
tulis sampai menjadi madrasah. Pada awalnya, baik madrasah maupun pondok
pesantren dibangun bukan untuk kepentingan politik praktis, akan tetapi adalah
untuk mempelajari agama islam, terutama aqidah, ibadah mahdlah dan
bahasa arab; juga mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang
baik dan benar, mampu menjalankan syari’at agamanya serat menumbuhkan rasa
memilki terhadap bangsanya (nasionalism). Oleh karena tumbuhnya kesadaran
terhadap beberapa hal demikian, tidak aneh kemudian jiwa perlawanan terhadap
ketertindasan dan kebodohan dalam diri pelajar itu menjadi sikap perlawanan
terhadap kaum penjajah.
PENDIDIKAN ISLAM DEWASA INI
Dunia
pendidikan Indonesia dewasa ini memperlihatkan fenomena yang kurang
membanggakan. Sering terjadi tawuran di kalangan pelajar, perbuatan asusila
yang dilakukan kaum terpelajar dan cendikiawan itu pada gilirannya meningkatkan
pada penilaian yang kurang baik terhadap
pendidikan. Fenomena demikian, memang agaknya tidak terlepas dari sekat-sekat
sosial-masyarakat.
Dalam
segala fenomena yang berkembang dewasa ini, oleh para sarjana pendidikan dijadikan bahan dalam merumuskan beberpa
identifikasi krisis pendidikan islam yang sedang dan akan terjadi. Krisis
pendidikan islam tersebut adalah:
a. Krisis nilai yang bekaitan dengan sikap
menilai suatu perbuatan tentang baik dan buruk.
b. Krisis konsep tentang kesepakatan arti
hidup yang baik.
c. Adanya kesenjangan kredibilitas.
d. Beban institusi sekolah terlalu besar,
melebihi kemampuannya.
e. Kurangnya relevansi program pendidikan di
sekolah dengan kebutuhan pembangunan.
f. Kurangnya idealisme dan citra remaja
tentang peranannya di masa depan.
g. Semakin membesarnya kesenjangan si miskin
dan si kaya.
Untuk mengikis beberapa krisis
tersebut, kiranya diadakan usaha ilmiah-sistematis yang mampu merumuskan
epistemilogi dan aksiologi dunia pendidikan islam dan memberikan ‘penekanan’
terhadapkependidikan secara nasional. Kenyataan ini mengindikasikan perlunya pengkajian
ulang dan kemauan masyarakat –pemerintah dalam memberikan kebijakan yang lebih
menjanjikan terhadap perkembangan pendidikan islam.
Sebagai usulan dalam usaha di
atas, dapat dikedepankan beberapa bahan perbincangan berikut.
Pertama, mengadakan rumusan ulang terhadap arah
‘kiblat’ pendidikan agama.
Kedua, merevitalisasi pendidikan agama di
Indonesia.
Ketiga, mendirikan lembaga pendidikan tinggi
(universitas) islam internasional.
Keempat, mengembangkan buku-buku Dars yang memilki kesamaan visi dan misi, Artinya,
buku-buku pelajaran keagamaan yang digunakan oleh seluruh siswa Indonesia
mengacu pada platform yang sama.
PENUTUP
Pentingnya
pendidikan islam ini telah dibuktikan olehsejarah. Namun, dalam perkembangannya
dewasa ini, dunia pendidikan islam dihadapkan dengan tantangan yang sangat
hebat. Untuk itu, perlu ada usaha ilmiah- sistematis untuk merumuskan dunia
pendidikan islam, khususnya untuk konteks islam –kemudian mampu memberikan
‘penekanan’dlam memutuskan kebijakan nasional.
PENGEMBANGAN
LEMBAGA
KEPENDIDIKAN
DALAM
ERA GLOBAL
Kecenderungan
dunia pendidikan di Indonesia, termasuk di Jakarta, belakangan ini menunjukkan
“kekurangsemangatan” dalam menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Kejadian yang
seringkali terlihat kasat mata, seperti tawuran dan tindakan asusila lainnya,
menunjukkan masih dipertanyakannya tingkat keberhasilan institusi pendidikan
yang ada sementara ini.
Kenyataan
ini sesungguhnya tidak harus dijadikan sebagai penghambat untuk melakukan
kreativitas dan pembaharuan-pembaharuan pendidikan, tetapi justru dianggap
sebagai tantangan untuk tidak berhenti melakukan rekayasa dan ijtihad secara
kritis dan cerdas.
KECENDERUNGAN BARU
Bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global, sudah pasti akan memasuki abad
yang penuh dengan persaingan bebas itu. Arus informasi yang akan kita hadapi
sangat besar dan pengetahuan baru yang diciptakan oleh para ilmuwan jga akan
besar jumlahnya. Sebagai konsekuen logisnya adalah bahwa keberadaan sumberdaya
manusia Indonesia yang unggul dan memadai di masa yang akan datang menduduki
posisi yang sangat penting dan strategis. Dengan adanya sumber daya manusia
yang unggul dalam penguasaan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa
Indonesia akan dapat menggerakkan sektor-sektor industri secara lebih
efesien dan produktif serta mampu
bersaing di pasar dunia.
Rekayasa
kependidikan diusahakan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicita-citakan,
sebagaimana yang diajarkan oleh agama. Dalam konteks islam, pendidikan
hendaknya mampu melahirkan peserta didik yang memilki kekuatan pada dua
dimensi: rasa taqwa kepada Allah Swt dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada
sesama. Dengan demikian, pendidikan itu harus mampu menciptakan manusia-manusia
yang tidak hanya seleh secara personal kepada tuhannya, tetapi juga memilki
kesalehan sosial.
TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Sebagai
tuntutan atas menguatnya ledakan informasi dan pengetahuan yang menandai
masyarakat modern, lembaga pendidikan di masa global dalam penyelenggaraan
fungsinya harus mampu mengajarkan bagaimana dapat memperoleh informasi dan
mengolah informasi kepada peserta didik. Dalam kaitannya, setidaknya ada
dua masalah yang harus mendapatkan perhatian serius, yaitu masalah metode
pengajaran dan masalah sistem pendidikan.
Tentang
metode pengajaran, hingga kini sumber informasi utama bagi murid –mahasiswa
ialah guru –dosen. Informasi yang diolah dengan baik akan menghasilkan
pengetahuan (knowledge), dan hanya pengetahuan yang diolah dengan baik akan
menghasilkan kearifan atau kebijakan (wisdom). Tanpa kepandaian mengolah,
segenap informasi yang ada akan menggunduk menjadi hutan informasi yang tidak
ada artinya.
Mengenai
sistem pendidikan, masalah yang dihadapi ialah bahwa sistem pendidikan yang
dimiliki sekarang ini pada dasarnya tidak dapat menjangkau golongan papa pada
masyarakat kita. Disamping melakukan upaya pembenahan pada persoalan metode dan
sistem pendidikan, lembaga persekolahan juga berusaha melakukan proses
transformasi pendidikan secara keseluruhan.
Oleh
karena itu, ada lima perubahan pokok yang harus terjadi untuk mewujudkan
transformasi ini. Kelima perubahan ini ialah :
1. Penyusutan jumlah murid per kelas sehingga
dalam batas rasio (guru;murid) yang produktif.
2. Adanya perpustakaan sekolah.
3. Adanya pusat bimbingan yang bukan berupa ‘polisi
sekolah’ tetapi pusat bimbingan yang membantu semua siswa mencapai
perkembangan optimal dari segenap
potensi yang ada dalam diri mereka.
4. Improvisasi kurikulum yang rasional dan
produktif.
5. Perbaikan penghasilan guru –dosen sehingga
setiap guru –dosen dapat dengan tenang
melakukan tiga hal yang harus dilakukan dalam profesinya: mengajar, membaca dan
merenung (kontemplasi).
Tranformasi sekolah (perguruan
tinggi) membutuhkan biaya. Sekolah atau lembaga pendidikan harus mampu menjadi
milik publik. Oleh karena itu, sekolah (perguruan tinggi) harus memahami
aspirasi masyarakat setempat, dan harus berusaha untuk menampung aspirasi
tersebut. Konsekuensi dari ini semua ialah bahwa guru –dosen di masa depan
tidak hanya pandai mengajar, belajar dan berkontemplasi, tetapi ia juga harus
pandai merebut simpati masyarakat. Guru –dosen di masa depan bukan pegawai
pemerintah atau yayasan, tetapi ia juga kepercayaan masyarakat dan tumpuan
harapan masyarakat.
Perubahan
yang terjadi di Dunia Global telah melahirkan sejumlah tantangan, terrmasuk
dalam dunia pendidikan. Tantangan tersebut perlu diapresiasi dengan penuh
kearifan dan kedewasaan. Oleh karena itu, penyatuan nilai-nilai idealitas
dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan objektif di lapangan menjadi sebuah
keniscayaan, di samping adanya kerja sama dan komitmen sosial di kalanga
sekolah (perguruan tinggi) itu sendiri.