BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yang
dimaksud dengan ahlussunnah wal jama’ah di dalam lapangan sejarah pemikiran
islam adalah kaum Asy’ariah dan kamu Maturidi. Selain itu, golongan ahlussunnah
wal jama’ah adalah golongan yang didukung oleh para ahli hadits dan para ahli
madzhab fiqih, yang satu sama lain tidak saling kafir mengkafirkan dan mereka
sepaham dalam soal ibadah, yaitu mengikuti Rasulullah SAW, para sahabatnya dan
para tabi’in.
Selama ini
yang kita
mengetahui tentang Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah madzhab yang :
- Dalam aqidah, mengikuti salah satu
dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
- Dalam ‘ubudiyah (praktek peribadatan)
mengikuti salah satu Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik Bin Anas, Muhammad
al-Syafi’I dan Ahmad Bin Hanbal.
- Dan dalam ber-tasawuf mengikuti salah satu Iman : Abu Qasim Al-Junaidi
al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali.
Ahlus Sunnah wal Jama`ah adalah sebuah istilah dalam
khazanah ke-Islaman, yang maknanya relatif sangat longgar dan luas, sehingga
sering disalah pahami dan digunakan secara tidak baku. Tidak ada keterangan
pasti kapan istilah ini muncul. Tetapi ada hadis yang diduga menjadi rujukan
untuk pembentukannnya. Hadis tersebut menyuruh umat Islam bepegang, menjaga dan
mengamalkan sunnah Rasulullah (bahkan juga sunnah khulafa’ur rasyidin). Ada
juga hadis yang menyatakan orang Islam yang selamat adalah mereka yang berada
di dalam jamaah atau bergabung dengan jamaah, maksudnya tidak menjadi orang
yang keluar atau meninggalkan jamaah, menyendiri atau menyempal. Kelihatannya
makna kedua hadis di atas digabung sehingga muncullah istilah Ahlus Sunnah
wal Jama`ah yang maknanya lebih kurang mereka yang mengikuti dan mejaga
sunnah Rasulullah serta berada di dalam jama`ah.[1]
Tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana istilah ini muncul, bagaimana
perkembangannya dan bagaimana penggunaannya sekarang ini.
Ketika Ali bin abi Thalib diangkat menjadi khalifah (35 H),
maka Mu`awiyah waktu itu Gubernur daerah Suriah yang berkedudukan di Damaskus,
melakukan pemberontakan. `Ali tidak berhasil mengalahkan Mu`awiyah, malah
sebaliknya Mu`awiyah berhasil memecah pengikut`Ali menjadi dua kelompok: satu
ingin terus berperang (khawarij) dan satu lagi ingin berdamai (syi`ah `Ali).
Karena perang tidak selesai, maka Mu`awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan
terus memerintah selama enam belas tahun setelah Ali terbunuh. Sedang `Ali
memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Koufah, dan berkuasa selama
empat tahun, saat mana dia dibunuh oleh pengkhianat (40 H).[2]
Golongan Ahlusunnah
juga memiliki sumber-sumber pendapat lain seperti yang ada pada golongan yang
lain. Dalam hal ini penulis ingin mengkaji tentang “Ahlusunnah dan Para Pemikirnya” yang mengangkat tentang
Kemahaesaan Tuhan, Keadilan Tuhan, Kedudukan Manusia, Persoalan Wahyu dan Akal,
serta Pemaknaan Iman dan Kufur dalam Kaitannya dengan Semangat Intelektual dan
semangat Kehidupan.
BAB
II
PEMBAHASAN
AHLUSUNNAH DAN
PARA PEMIKIRNYA
(Tentang Kemahaesaan Tuhan, Keadilan
Tuhan, Kedudukan Manusia, Persoalan Wahyu dan Akal, serta Pemaknaan Iman Dan
Kufur dalam Kaitannya dengan Semangat Intelektual dan semangat Kehidupan)
A. AHLUSUNNAH DAN PARA PEMIKIRNYA
Husein Muhammad sebagaimana dikutip
oleh Imama Baehaqi, mengemukakan bahwa dalam sejarah pemikiran islam, term
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja), muncul secara lebih popular setelah Abu
Hasan al-asy’ari (w.324 H/936 M) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w.944 M),
mengajukan gagasan “Kalam”nya yang antithesis terhadap pemikiran-pemikiran
mu’tazilah.
Pemikiran-pemikiran
teologis kedua orang tersebut berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan
mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala mu’tazilah kepada berpikir
tradisionalis dengan berpegang pada Sunnah Nabi Muhammad SAW. Karena itu Aswaja
sering diidentikkan dengan Asy’arrisme-Maturidisme (Asy’ariah-Maturidiyah),
sebagaimana dikemukakan komentator Ihya Ulumuddin, Murtaza Zubaidi dalam
kitabnya Istihaf Saadah al-muttaqin .[3]
Al-Baghdadi sebagaimana dikutip
Husein Muhammad yang tercantum dalam bukunya Imam Baehaqi, mengemukakan bahwa
para penulis sejarah pemikiran islam selalu mengaitkan istilah Aswaja dengan
hadits Nabi SAW tentang kelompok-kelompok kaum muslimin yang terpecah menjadi
73 golongan. Nabi mengatakan bahwa semua kelompok tersebut akan masuk neraka
kecuali satu, yaitu :”Ma’ana ‘alaih wa ashhabi” (tradisi saya dan sahabat
saya). Dalam riwayat lain disebutkan : “Kecuali satu, yaitu Al-Jama’ah”.[4]
Dalam tulisan berikut ini, selanjutnya Penulis akan
mengetengahkan pokok-pokok pikiran kedua aliran tersebut.
A.1.
ASY’ARIYAH
A.1.1.
Sekilas tentang Tokoh Pendiri Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah dinisbahkan kepada pendirinya Abul Hasan ‘Ali bin
Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal
bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari. Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun
260 H/875 M. Semula dia adalah seorang murid dari al-Jubba’i (seorang
tokoh Mu’tazilah) di Bashrah. Al-Asy’ari menjadi penganut ajaran Mu’tazilah
sampai tahun 300 H atau 912 M. Ia meninggal tahun 324 H/975 M di Bagdad.
Setelah mendalami ajaran Mu’tazilah hingga umur 40 tahun, terjadilah perbedaan
antara dia dengan gurunya al-Juba’I mengenai berbagai masalah kalam, yang
akhirnya tidak puas atas jawaban-jawaban gurunya, sehingga ia
meninggalkan aliran mu’tazilah.
Asy’ariyah meninggalkan aliran Mu’tazilah dengan alasan yang
masih merupakan sesuatu yang kabur, belum terungkap apa di balik rahasia itu.
Karena itu, tidaklah terlalu mudah dibenarkan dan diyakini bahwa ia
meninggalkan aliran yang dianut gurunya, karena tidak puas atas jawaban
gurunya Al-Juba’i.[5]
Kaum Mu’tazilah, terutama tokoh-tokohnya dikenal sangat
terampil dalam menggunakan akal pikiran bahkan sangat mengagungkan akal dalam
melihat suatu persoalan, faktor ini salah satunya dapat diduga menjadi salah
satu alasan mengapa Asy’ari meninggalkan aliran tersebut.
Pembentukan aliran baru dari Asy’ari ini juga disebabkan
faktor sosial. Ia melihat bahwa aliran Mu’tazilah sudah berada dalam keadaan
lemah. Masyarakat sudah tidak bisa menerima kebaikannya lagi karena menimbulkan
fitnah, penyiksaan, pengaliran darah ulama penentangnya dengan mihnah.[6]
Diduga al-Asy’ari melihat adanya bahaya bagi umat Islam kalau paham
Mu’tazilah yang sulit untuk dicerna dan diterima umat, tidak diganti
dengan kalam atau teologi yang teratur untuk menjadi pegangan mereka.
A.1.2.
Paham dan Ajaran Aliran Asy’ariyah
Untuk mengetahui paham dan ajaran Asy’ariyah, ada baiknya
dikemukakan lebih dahulu paham dan ajaran yang dikemukakan oleh
pendirinya mengenai berbagai aspek teologis. Doktrin-doktrin al-Asy’ari yang
terpenting adalah :
Pertama, Tuhan sifat-sifat-Nya.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat
dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak, ia berhadapan
dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok Mujassimah
(antropomorsis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam AlQur’an dan Sunnah dan sifat-sifat
itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan
kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain
essensi-Nya. Tangan, kaki, telinga Allah, ‘arsy atau kursi tidak boleh
diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari
berpendapat , melainkan secara simbolis (kontra dengan kelompok sifatiah).
Selanjutnya ia berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak
dapat dibandingkan dengan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut
realitasnya (hakikah)- tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak
berbeda dengan-Nya.
Kedua, Kekuasaan Tuhan atas perbuatan
manusia. Al-Asy’ari memiliki paham dan keyakinan yang ditafsirkan banyak
kalangan condong ke paham Jabariyah mengenai kehendak mutlak Tuhan dan
keadilan Tuhan. Dia berpandangan bahwa kehendak Tuhan tidak tunduk kepada
siapapun. Apa saja yang dikehendaki Tuhan, itulah yang ada, dan apa yang ada,
itulah yang dikehendakinya.[7]
Di atas Tuhan tidak ada sesuatu apapun yang dapat membuat
hukum dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat Tuhan, karena Dia
adalah Raja yang Maha Memaksa, bagiNya tidak ada batasan apapun yang bisa
membatasiNya.[8]
Asy’ariyah mendasarkan pandangannya atas beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya
adalah :
والله
خلقكم وماتعملون (الصافات : 26(
Ayat ini
mengandung arti : “Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu”. Maka
perbuatan manusia diciptakan Allah. Begitu pula dengan ayat yang lain:
وما
تشا ؤون الاأن يشاءالله (الانسان : 30(
Ayat di atas berimplikasi bahwa kehendak manusia adalah satu
dengan kehendak Tuhan, dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia,
sebenarnya tidak lain adalah kehendak Tuhan.[9]
Sementara Mu’tazilah sebagai antitesa faham Asy’ariyah
menjadikan prinsip keadilan Tuhan sebagai landasan dan kerangka dalam memandang
hakikat perbuatan manusia, maka sebaliknya Asy’ariyah bertitik tolak dari
konsep kemutlakan kehendak dan kekuasaan Tuhan untuk menyusun teorinya
mengenai perbuatan manusia. Oleh karenanya, akan ditemukan bahwa aliran
Asy’ariyah lebih dekat kepada paham Jabariyah dari pada Qadariyah.[10]
sebab sebagai konsekuensi logis dari doktrin Tuhan Maha Kuasa dan Maha
Berkehendak adalah pengakuan atas kelemahan manusia secara hakiki. Dan manusia
dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Selanjutnya untuk mengambarkan hubungan antara perbuatan
manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, al-Asy’ari mengemukakan teori
“kasb” yang oleh kebanyakan ahli ilmu kalam dirasakan sulit untuk dipahami.
Asy’ari menjelaskan arti kasb sebagai sesuatu yang terjadi dari
muktasib(yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan (qudrah
haditsah). Makna kasb di sini bererti perolehan. Dalam Maqalat
al-Islamiyyyin disebutkan kata iktishab memberi makna bahwa
sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diccipatkan dan dengan demikian
menjadi kasb (perolehan) bagi orang yang dari dayanya perbuatan itu timbul.[11]
Pada prinsipnya Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya, tetapi yang berlaku adalah bahwa Allah menciptakan perbuatan
untuk menusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan
perbuatan-perbuatan tersebut. Jadi perbuatan-perbuatan di sini adalah ciptaan
Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan begitu kasb
mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang
hadits. Dan ini berimplikasi bahwa perbuata manusia dibarengi dengan daya
dan kehendakNya dan bukan atas daya dan kehendak manusia itu sendiri.[12]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa fa’il (pelaku)
sebenarnya suatu perbuatan manusia adalah Allah dan manusia merupakan wadah
bagi fi’il (perbuatan) yang disebut kasb. Namun
demikian karena dia juga berdaya dan mempunyai kehendak yang ditujukan
untuk mewujudkan kasb ini, maka bisa saja menisbastkan
perbuatan kepada manusia. Hanya saja, yang perlu dicermati adalah adanya
pandangan bahwa daya dan kehendak itu tidak berpotensi untuk menjadi pencipta
atau pelaku. Ia hanya merupakan penyerta bagi perbuatan Tuhan dan wujudnya
menjadi kasb. Oleh karena itu tidak bisa tidak, perbuatan manusia
harus diletakkan dalam kerangka kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan.
Tampaknya, Aliran Asy’ariyah muncul dengan teori kasbnya
untuk menengahi pertentangan antara Qadariyah dan Jabariyah,[13]
dengan menyatakan bahwa manusia wajib berusaha, namun disandarkan bahwa usaha
manusia itu tidak dapat berpengaruh terhadap jalan kehidupannya yang telah
ditentukan Tuhan. Namun demikian, ini tidak selalu harus diinterpretasikan
sebagai suatu tanda fatalistis. Mungkin saja yang dimaksudkan oleh
pernyataan tersebut ialah apapun yang dilakukan manusisa tidak akan melampaui
ketentuan sunnatullah, yaitu hukum alam ciptaan Tuhan dan hal ini
hanya tepat untuk analisis tingkat Tuhan, tetapi tidak tepat untuk analisis
tingkat manusia. Bila dibawa ke pikiran manusia, maka faham yang demikian
itu mungkin akan berakhir dengan anggapan bahwa konsep Asy’ariyah
tidak percaya pada hukum alam dan kausalitas. Apalagi di kalangan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah, dikenalkan adanya rukun iman yang ke-6, yaitu percaya
kepada qadla dan qadar Tuhan, hal ini menambah anggapan bahwa
paham Asy’ariyah adalah falatistik dan Jabariyah.
Ketiga, akal dan wahyu serta kreteria baik
dan buruk. Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, keduanya berbeda dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan menggunakan rasio.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan
pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus
berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasarkan pada rasio.
Keempat, qadimnya al-Qur’an. Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya
al-Qur’an, yaitu pandangan Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk)
sehingga tidak qadim dan pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah
yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah (yang qadim dan
tidak diciptakan). Bahkan Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan
bunyi al-Qur’an adalah qadim. Untuk mendamaikan kedua pandangan
yang saling bertentangan itu, dalam teori Al-Asy’ari al-Qur’an bukan makhluk
sebagaimana dalam konsep teologi Mu’tazilah, melainkan kalam Allah yang qadim.
al-Qur’an yang qadim itu tidak mempunyai huruf dan suara.
Kelima, melihat Allah. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodok ekstrim, terutama Zahiriah yang menyatakan
bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan Allah bersemayam di Arsy. Selain itu,
Al-Asy’ari juga tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari
rukyatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin dapat bahwa Alah dapat
di lihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan Dia dapat di lihat atau
bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Keenam, keadilan. Pada dasarnya Al-Asy’ari
dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu Adil. Namun mereka berbeda dalam cara
pandang makna keadilan Tuhan. Al-Asyari tidak sependapat dengan ajaran
Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Ia harus menyiksa
orang yang salah dan berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun
karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan
keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari
visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Ketujuh, kedudukan orang berdosa. Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan iman
merupakan lawan kufr, predikat seseorang haruslah satu di antaranya.
Jika tidak mukmin dia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufr.
A.1.3.
Perkembangan Aliran Asy’ariyah dan Tokoh-Tokohnya
Al-Asy’ari berupaya mengambil jalan tengah antara dua kubu
yang dipandangnya menjunjung akal secara berlebihan (rasionalis) dan aliran
tekstualis. Kita melihat Al-Asy’ari mendasarkan ajaran-ajarannya pada dalil
naqli dan dan dalil aqli. Ia menetapkan apa yang terdapat dalam al-Qur’an
dan Hadits, menyangkut persoalan aqidah, seperti sifat-sifat Allah, hari
akhirat, malaikat, hisab, siksa, pahala, kemudian mendapatkan dalil akal
dan penjelasan logis, dan berdalil dengannya untuk kebenaran yang datang dari
al-Qur’an dan Hadis itu. Ia tidak menggunakan akal sebagai hakim atas nash-nash
dengan cara mentakwilkan ayat, namun menggunakan akal untuk membantu
makna apa yan dikehendaki oleh zhahir nash-nash tersebut.
Setelah Imam Al-Asy’ari meninggal, ajarannya mengalami
perkembangan dan kemajuan. Tidak seperti pada masa awal pertumbuhannya, pada
perkembangan selanjutnya tampak lebih mendahulukan penafsiran akal daripada
nash. Ada dua tokoh Asy’ariyah setelah al-Asy’ari sendiri yang berusaha untuk
merasionalkan pandangan-pandangan al-Asy’ariyah sehubungan dengan perbuatan
manusia. Yang pertama adalah Ibnu Qasim al-Baqillani, yang dilahirkan di
Bashrah dan meninggal di Bagdad sekitar tahun 403 H /1013 M dan yang kedua
adalah Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi (419 H/1028 M-478H/1085 M).
Al-Baqillani dianggap melangkah lebih jauh dari Asy’ari.[14]
Kalau Asy’ari menganggap perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan seluruhnya,
sehinga daya yang diciptakan Tuhan pada manusia sama sekali tidak dipahami
sebagai daya yang efektif, maka al-Baqilani berpendapat, manusia mempunyai
peranan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Ia menggunakan istilah genus
atau al-Jinsu untuk semua gerak perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
memaki istilah espece atau al-Nau’u untuk gerakan yang
mengambil bentuk, seperti berdiri, duduk, berjalan, berbaring dan
sebagainyayang merupakan ciptaan manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak
mutlak diciptakan Tuhan, sedangkan gerak dalam contoh berdiri, duduk dan semacamnya
merupakan perbuatan yang efektif dan diciptakan oleh manusia dan inilah yang
dimaksudnya sebagai kasb. Al-Baqillani juga membedakan antara khlq dan
kasb. Khlaq merupakan penciptaan perbuatan dari tiada menjadi
ada, sedangkan kasb adalah penciptaan perbuatan dari iradat yang sudah
diciptakan Allah. Khalq adalah perbuatan Allah, sementara kasb
adalah perbuatan manusia. Dengan demikian, kasb dalam pemahaman al-Baqillani
berperan dan memberi bekas secara efektif bagi perbuatan-perbuatan manusia,
sekalipun berasal dari daya yang diciptakan Tuhan.[15]
Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi, yang lahir pada tahun
419 H/1028M dan wafat pada tahun 478H/1085 M), bahkan maju selangkah lagi ke
depan mendekati Mu’tazilah dalam kaitannya denga perbuatan manusai. Dalam bukunya
al-Irsyad dan Luma’ul-Adillah, di samping ia menekankan ta’wil (interpretasi)
terhadap ayat-ayat Tuhan yang bersifat tajjassun atau antromorphist. Al-Juwaini
tampaknya sependapat dengan Mu’tazilah untuk mentakwilkan ayat-ayat demikian
itu. Selain itu ia menulis bahwa manusia tidak terpaksa dalam mewujudkan
perbuatannya dan bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Ini berarti bahwa
manusia punya daya sendiri dalam perbuatannya.[16]
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution[17]
memposisikan al-Juwaini sebagai tokoh Asy’ariyah yang kembali dengan melalui
jalan berkelok kepada ajaran Mu’tazilah. Bahkah Montgomery Watt[18]
menyatakan abahwa al-Juwaini telah bergeser ke arah posisi Mu’tazilah.
Al-Ghazaliy, sebagai tokoh ketiga dari al-Asy’ariyah,
dianggap sebagai revitalisator dari konsep Asy’ari. Nyaris tidak ada yang baru
dari al-Asy’ari sebagaimana pendahulunya (al-Baqillani dan Juwaini). Dari
Al-Ghazali lah, ajaran Asy’ari berkembang pesat merasuk ke lapisan-lapisan
masyarakat dunia Islam, sebagai seorang teolog yang mahir memainkan
pedang filsafat dan akhirnya dikenal sebagai pendekar rohani dan seorang sufi
yang alim.
Menurut al-Ghazali, Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban.
Ia tidak wajib menciptakan makhluk dan karenanya tidak wajib pula membuat
syari’at dan memberikan taklif. Oleh karena itu, tidaklah ia wajib memberikan
pahala kepada hamba-hamba-Nya yang taat sebagaimana Ia tidak wajib berbuat baik
kepada hamba-hamba-Nya. Seterusnya menurut al-Ghazaliy, Tuhan boleh saja
membebankan sesuatu yang tidak bisa terpikul oleh manusia (ta’lif ma la
yuthaq), karena taklif sendiri merupakan hak prerogatif Allah.[19]
Dari dua tokoh Asy’ariyah, Al-Asy’ari pendiri dan Al-Ghazaliy
penyebar yang efektif, memandang bahwa Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan
mutlak. Tuhan dimetaforakan sebagai raja absulot yang tidak terkait kepda dan
apapun, tidak terikat kepada janji-janjiNya, kepada hukum-hukum dan norma-norma
keadilan (menurut ukuran manusia), dan seterusnya.
Pemikiran-pemikiran Asy’ariyah dipelajari pertama melalui
karya-karaya Imam al-Ghazaliy (450-505 H/1058-1111M), seorang tokoh Asy’ariyah,
murid al-Juwaini, yang kembali mengulang pokok-pokok pendapat Al-Asy’ari.
Pemikiran Asy’ariyah yang serupa dengan pemikiran Al-Ghazaliy juga dipopulerkan
oleh al-Sanusi. Pemikiran-pemikiran teologis al-Ghazaliy yang tercantum dalam Ihya’u
Ulumiddin yang sejalan dengan pemikiran Al-Asyari di antaranya adalah
tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, tentang dapatnya Tuhan dilihat oleh Manusia
di akhirat, dan tentang mungkinnya Tuhan membebani Manusia manusia dengan
kewajiban-kewajiban yang tidak mampu dipikulnya.[20]
Dari kitab-kitab ini, lahir buku-buku kecil baik berupa matan ataupun syarah
yang sejalan dengan padangan kedua tokoh yang disebutkan di atas.
A.1.4.
Faktor Pendukung Keberhasilan Aliran Asy’ariyah
Jika dianalisa dengan seksama, maka akan terlihat bahwa
penyebaran aliran Asy’ariyah yang dapat meluas dan menggantikan kedudukan
aliran Mu’tazilah adalah karena beberapa faktor :
Pertama, Al-Asy’ari sebagai pendiri aliran ini
adalah sosok yang terkenal taqwa, cerdas dan terampil dalam olah logika. Karena
kefasihan lidahnya dan kemampuannya dalam berdiskusi maka kadang-kadang
gurunya, al-Juba’i mewakilkan padanya pada berbagai diskusi yang dipimpinnya.
Kedua, Al-Asy’ari mempunyai banyak pengikut
dari ulama-ulama keempat mazhab besar, yang menyebabkan mudah tersebar dan
tersiarnya aliran pemikiran dia.
Ketiga, Al-Asy’ari dan
pengikut-pengikutnya mampu meneruskan ajaran dan meletakannya ke dalam
buku-buku yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga ajarannya dapat bertahan dan
terus dipelajari. Diantara buku-buku itu : Maqalatul al-Islamiyyah;
Al-Ibanah fi Ushuli al-Diniyah; Al-Luma (ketiganya di tulis Al-Asy’ari), Al-Tauhid
oleh Al-Baqillani; Al-Irsyad oleh Al-Juwaini; Qawaidu al-Aqaid;
Al-Iqtishad; Iljamu al Awam (ketiganya ditulis oleh Al-Ghazali); Umdatu
al Taufik oleh al-Sanusi.
Keempat, seperti disebutkan sebelumnya bahwa
dalam aliran Asy’ari manusia digambarkan lemah, yang tidak berdaya apa-apa
berhadapan dengan kekuasaan yang absulot, apalagi kekuasaan mutlak Tuhan.
Dengan pendekatan sejarah dianalisa teologi ini timbul merupakan refleksi
keadaan masyarakat Islam pada abad 9 M. Karena teologi ini didirikan atas
kerangka landasan yang menganggap bahwa akal manusia lemah, maka di sinilah
letak kekuatan teologi Asy’ariyah itu, yaitu ia dengan mudah dapat diterima
oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kelima, kunci keberhasilan teologi Al-Asy’ari
karena sejak berdirinya ia telah berpihak kepada awamnya-umat Islam yang
jumlahnya selalu mayoritas di dunia sunni. Mereka adalah orang-orang yang tidak
setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sejarah menunjukkan bahwa aliran
Asy’ari berhasil menarik rakyat banyak berkat campur tangan khalifah
al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai
paham resmi pada waktu itu.
Keenam, sifat akomodatifnya pada Dinasti yang
berkuasa sebagai konsekuensi logis dari paham manusia lemah dihadapan penguasa
merupakan salah satu faktor penting tersebarnya aliran ini secara meluas.
Dengan demikian aliran ini sering mendapat dukungan, bahkan menjadi
aliran dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian tentu ada pengaruh
negatif dari paham ini, karena dinilai menghilangkan kesadaran pemikiran
rasional di dunia Islam.
Ketujuh, teologi Asy’ariyah mempunyai basis
yang kuat pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara hidup pemikiran,
serta jauh dari pengetahuan. Tetapi teologi ini akan menjadi lemah di saat
berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemua teknlogi baru.[21]
A.2.
MATURIDIYAH
A.2.1.
Sekilas tentang Tokoh Pendiri Aliran Maturidiyah
Tokoh pendiri aliran Maturidiyah adalah Abu Mansur
A-Maturidi. Ia dilahirkan di daerah Samarkand, wilayah Termsoxiana di Asia
Tengah, daerah yan sekaran disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak
diketahui secara pasti, namun hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah.
Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Guruna dalam bidang fiqh dan teologi
bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi yang wafat pada tahun 268 H. Imam
Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah dari
tahun 232-274 H / 847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk
menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya
untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat
Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut
akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya sudah banyak dituangkan dalam bentuk
karya tulis, diantaranya adalah : Kitab al- Tauhid; Maqalat fi al Kalam;
Raddu Awail al-Adillah li al-Ka’bi; Raddu Wa’id al Fussaqli al Ka’bi; Raddu
Tahzib al-Jadl li al-Ka’bi; Bayanu Wahm al-Mu’tazilah; Raddu al-Ushul
al-Khamsah li Abi Muhammad al-Babili; Al-Raddu ‘ala al-Ushul
al-Qaramithah; Raddu al-Imamah li Ba’di al-Rawafid; Al-usul fi Qa’imat Kutub
al-Maturid[22]
Buku-buku
di atas mengindikasikan kedalaman ilmunya di bidang kalam. Selain itu ia juga
banyak menulis buku tentang tafsir, fiqh dan ushul fiqih dan lain-lain.
A.2.2.
Paham dan Ajaran Aliran Maturidiyah
Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi dapat diringkas sebagai
berikut :
Pertama, akal dan wahyu. Dalam
pemikiran teologinya Al-Maturidi mendasarkan pada al-Qur’an dan akal. Dalam hal
ini ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang ia berikan kepada akal lebih
besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Karena itu di dalam Al-Qur’an
manusia diperintahkan supaya menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Namun akal menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban
lainnya, kecuali dengan bimbingan wahyu.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa
sesuatu yang baik dan buruk itu adalah dapat ditentukan dengan akal, namun
kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk hanya dapat diketahui
dengan wahyu.
Kedua, Perbuatan Manusia. Bagi Al Maturidi,
manusia dapat berbuat sekehendak hatinya , manusia puna kebebasan untuk
bertindak. Wahyu menjelaskan kepada manusia tentang perbuatan-perbuatan yang
diperintahkandan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Ada perbuatan yang diancam
dan ada pula yang diberi upah. Tuhan yang memerintahkan dan melarang
suatu perbuatan, manusialah yang berbuat dan melakukan perbuatan.
Manusia dapat berbuat dengan daya yang diberikan oleh Allah
kepadanya. Tidak mungkin ia dapat berbuat kalau ia tidak diberikan daya
untuk itu. Sama halnya seseorang tidak dapat mengetahui sesuatu yang ia sendiri
tidak punya pengetahuan untuk itu.
Dengan demikian Al-Maturidi membagi perbuatan antara
perbuatan manusia disebut al-Khalq, sedangkan yang disandarkan kepada
manusia disebut kasb. Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia,
manusia berbuat dengan daya yang diciptakan Tuhan itu. Karena manusia diberikan
kebebasan untuk mengunakan daya itu, maka ia akan diminta pertanggungjawabannya
terhadap penggunaan daya tersebut.
Untuk mempertegas pandangannya, al-Maturidiy membawa teori masyiah
dan ridha ke dalam masalah ini. Manusia melakukan segala perbuatan baik
dan buruk atas kehendak (masyi’ah) Tuhan. Tetapi, tidak semuanya dengan
kerelaan Tuhan, karena Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Dengan begitu,
manusia bebrbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaanNya. Sebaiknya,
manusia berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan tetapi tidak atas kerelaan-Nya
Ketiga, Sifat-sifat Tuhan. Berkaitan dengan
masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi
dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat seperti Sama’, Bashar dan sebagainya. Walaupun
begitu pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari
yang mengartikan sifat Tuhan sebagai sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan
melekat pada zat itu sendiri. Adapun menurut al-Maturidi, sifat tidak dikatakan
sebagai esensi-Nya dan bukan pula selain esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu inheren
dengan zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa
pengertian antromorfisme karena sifat tidak berwujud yang tersendiri
zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim
(ta’addud al-qudama).
Tampaknya paham al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan
cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada
pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Keempat, Melihat Tuhan. Al-Maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini
diberitakan oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak
di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud
walaupun ia immaterial. Namun, melihat Tuhan di akhirat kelak tidak
memperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan di akhirat kelak
tidak sama dengan keadaan di dunia.
Kelima Kalam Tuhan. Al-Maturidi membedakan
antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi
(sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah
sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari
huruf-huruf dan suara adalah baharu (hadis). Kalam nafsi tidak dapat
kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila
kaifa), dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya, kecuali degan
suatu perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai
tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari
segi makna abstrak. Berdasarkan kedua pandangan tersebut, kalam Allah
menurut menurut Mu’tazilah bukan sifatNya dan bukan pula zatNya,
melainkan perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat
Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka
menggunakan istilah hadis sebagai ganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam
konteks ini pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi,
karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, yang tidak
lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi yang merupakan sifat kekal Tuhan.
Keenam, Pengutusan Rasul. Karena tidak
selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia,
seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari
syari’at yang dibebankan kepada manusia, maka menurut Al-Maturidi akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Jadi pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia membebankan kepda
akalnya sesuatu yang berada di luar kemampuannya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah
umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik
dalam kehidupannya dengan ajaran para rasul tersebut.
Ketujuh, Pelaku Dosa Besar.
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak
kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa
syirik. Adapun berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka. Karena itu , perbuatan
dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau
murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar,
adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan
menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi
sifatnya saja.
A.2.3.
Perkembangan Aliran Maturidiyah
Dalam perkembangannya, aliran Maturidiyah cukup populer di
dunia Islam, meskipun tidak sejajar dengan popularitas aliran Asy’ariyah.
Karyanya banyak dikenal meskipun yang kini bisa dipelajari tinggal beberapa
kitab saja. Pemikiran kalam Al-Maturidi diterima oleh mayoritas ummat Islam,
termasuk umat Islam d Indonesia. Padahal dilihat dari pengaruh letak geografis
tepat ia tinggal, yakni di pedalaman samarkhand (tepatnya diperkampungan
maturid), jelas sangat jauh dibandingkan Al-Asy’ari yang tinggal di pusat
kota sekaligus pusat peradaban umat Islam kala itu.
Namanya nyaris selalu disejajarkan dengan nama
Al-Asy’ari dalam hal popularitas dan penegakannya terhadap akidah Ahlussunnah
wa-aljamaah. Keduanya kemudian disebut-sebut sebagai imam dan peletak
dasar pemikiran kalam Ahl al-Sunnah wal al-Jamaah. Walaupun agaknya
terhadap Al-Maturidi sendiri pengakuan umat Islam lebih kepada namanya sebagai
salah satu imam, tetapi bukan terhadap pemikiran-pemikiran kalamnya.
Pemikirannya seolah-olah tenggelam terdominasi dalam doktrin-doktrin kalam
Al-Asy’ari yang telah dibumbui juga oleh para ulama Asy’ariyah. Pemikiran
Al-Maturidi kurang mendapat perhatian yang seimbang, apalagi pengaruhnya
terhadap pembentukan karakteristik ummat. [23]
Al-Sunnah,
mula-mula diberi pengertian identik dengan hadits Nabi Muhammad SAW. Ahlus
Sunnah, dengan begitu berarti orang-orang yang mengikuti dan mengamalkan hadits
Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi al-sam’ani (w.1166) menginformasikan pada kita
bahwa Al-Sunnah dipakai sebagai lawan dari bid’ah (penyimpangan). Ketika bid’ah
telah terjadi dan marak dimana-mana, maka sekelompok ulama melakukan reaksi
atasnya dengan menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlus Sunnah, yaitu sebuah
kelompok yang ingin mengembalikan segala persoalan umat kepada tradisi Nabi SAW
dan melakukan pembelaan terhadapnya .[24]
Pengertian
ini dalam perjalanan selanjutnya diberi identitas yang eksklusif. Yakni ketika
ia hanya ditujukan kepada Mu’tazilah. Dalam arti lain, gerakan-gerakan kelompok
sunni ini lebih diarahkan kepada kelompok mu’tazilah yang telah dinilainya
banyak melalukan penyimpangan dan mengabaikan tradisi Nabi SAW.
Sedangkan
kata al-jama’ah, oleh al-zubaidi diartikan sebagai “thariq al-shahabah”, cara
hidup dan berpikir para sahabat Nabi SAW (Ithaf, Vol II : 6). Tetapi Syatibi
(w. 790 H) dalam al-I’tishan menyebutkan al-jama’ah dalam berbagai pengertian. Pertama,
mayoritas besar kaum muslimim (al-sawad al-a’dzam min al-muslimin). Kedua,
para ulama mujtahid, ketiga para sahabat Nabi SAW. Keempat,
kesepakatan orang Islam. Dan Kelima, golongan kamu muslimin dengan satu
pemimpin (Al-Syatibi, Vol III : 136).
Sampai disini menjelaskan bahwa
Aswaja bukan saja dapat dipahami sebagai sebuah filosofi “Ma’ana ‘alaih wa
ash habi” dalam hal mana semua orang berhak menghubungkannya, melainkan
juga pada tataran realitas kesejahteraan ummat. Diakui atau tidak Aswaja telah
menjadi sebuah madzhab, yaitu sebuah aliran yang di dalamnya memakai unsur
manhaj (cara berpikir) dan doktrin (Manhajiyyun Wa’aqadiyan) yang dapat
dibedakan dari madzhab lain, dengan Asy’ari dan Maturidi sebagai pelopornya.[25]
Sedangkan Zainuddin mengemukakan bahwa golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah golongan yang didukung oleh para ahli hadits, ahli fiqih dan para
ahli madzhab fiqih. Mereka satu sama lain tidak
saling kafir mengkafirkan, tidak tuduh menuduh keluar dari agama dan mereka
berpaham dalam soal ibadah. Dalam member kelapangan dalam soal ibadah, Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah berpedoman pada hadits :[26]
اَلْاِخْتِلَافُ
بَيْنَ اُمَّتِى رَحْمَةٌ
“Perbedaan
diantara umatku adalah menjadi rahmat”
Dan
Allah berfirman :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ
النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ
رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ
جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (هود : 118-11)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat
Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi
Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud : 10
/ 118-119)
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ
عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ (اللأنعام : 35)
“Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua
dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang
jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”
Jadi Ahlus
Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi
Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan
mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang
istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan
menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan
senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti
mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih
terhadapnya berarti kesesatan.[27]
Lebih
lanjut, M.M.Sharif, menyebutkan bahwa system teologi al-maturidi dan al-Asy’ari
sampai saat ini banyak diterima oleh umat islam di dunia. Meski nama madzhab
ini dinisbatkan pada mereka, sebetulnya pembuat system tersebut bukan
al-maturidi dan bukan pula al-asy’ari serta keduanya bukan pula pionir di
bidang ini. Imam Abu Hanifah (w. 150/767) merupakan ulama terkemuka pertama
dalam lingkungan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang mengkaji teologi lama sebelum
mempelajari fiqih, memerangi sekte-sekte sempalan di zamannya, dan dalam teologi
dia mendirikan aliran ortodoks pertama. Al-Maturidi dan Al-Asy’ari mengikuti
sistemnya ini, menjelaskannya dengan filsafat di zamannya. Berusaha untuk
mempertahankannya dengan argument dan nalar, sehingga system tersebut memiliki
landasan kuat. Oleh sebab itulah maka nama aliran ini identik dinisbatkan
kepada orang yang member sistem ini dengan bentuk yang kokoh.[28]
Di antara para ulama besar dunia (Para
Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah) yang berpaham
akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah
wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
B. TENTANG KEMAHAESAAN TUHAN
M.M.
Sharif mengemukakan bahwa menurut
ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi, bukan
tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki
sifat-sifat seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar,
melihat dan lain-lain. Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada
dasarnya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan dengan doktrin “Mukhalafah”,
atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat diaplikasikan
kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik dan jangan
dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin “mukhalafah”
inilah, asy’ariah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan
selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat
tuhan berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya
yakni dalam segenap hakikatnya.[29]
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang
disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti tekstual, tetapi mengandung makna
hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan Abu Huzail menjelaskan bahwa
sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan
Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan
pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya,
kata al-jubba’i ialah untuk mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat
dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui .[30]
Lebih lanjut, Harun Nasution mengemukakan bahwa sifat-sifat Tuhan, kata
al-ghazali, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu
sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk
mengatasinya kaum asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan,
tetapi tidak pula lain dari Tuhan.[31]
Sedangkan Hamka sebagaimana dikutip
oleh Yunan Yusuf dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan mencoba menghindari
perdebatan tentang apakah sifat Tuhan itu ada dalam dzat atau berbeda di luar
dzat Tuhan itu sendiri. Karena menurut Hamka, memebahas sifat dan dzat manusia
saja sangat sulit apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan. Oleh sebab itu, ia
lebih menitikberatkan kajiannya kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik
dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang dapat diambil dari
pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk mempertinggi kualitas iman
seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas
amal sholehnya.[32]
C. TENTANG KEADILAN
TUHAN
Mengenai konsep keadilan Allah SWT.
Zainuddin mengemukakan pendapat Asy’ariyah bahwa Allah SWT pencipta segala
perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan
makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat
sesuatu, maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, atas
perbuatannya itu si hamba mempunyai kasab. Menurut Asy’ariyah, kasab itu ialah
berbarengannya kemampuan si hamba dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya punya
kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT.[33]
Dalam uraian tersebut nampaklah
bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara pendapat Qadariah dan Jabariah.
Allah menciptakan kemampuan dan
kemauan si hamba yang keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga
perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa
perantara seperti batu, pohon-pohon dan sebagainya. Ada yang memakai
perantara yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena si
hamba merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan mendapat
balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu
memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.
D. TENTANG KEDUDUKAN
MANUSIA
Menurut
Zainuddin, kaum ahlussunah asy’ariyah mengatakan bahwa manusia mempunyai
kemampuan yang berpengaruh atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT.
Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa atas pilihannya.
Kemampuan manusia tidak berpengaruh secara asli atas amal perbuatannya, hanya
seperti tangan yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa
jika tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan demikian, kaum
asy’ariyah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai dengan firman
Allah bahwa[34] :”dia
menciptakan apa saja yang dikehendaki termasuk yang diciptakannya dengan
perantara perbuatan mereka”.
Sedangkan Hamka berpendapat bahwa
manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk
menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah berdasarkan pilihan bebas manusia itu
sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan berkehendak dan berbuat
tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, karena kepada manusia diberikan
potensi akal. Dengan akal inilah manusia menimbang mana yangbaik dan mana yang
buruk, mana yang mendatangkan kemudlaratan dan mana yang mendatangkan
kemanfaatan.[35]
E. PERSOALAN WAHYU DAN AKAL
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an
dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat
Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran
yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan
memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia
untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh
iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Walaupun Al asy’ari dan mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al asy’ari mengutamakan wahyu,
sementara mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan mu’tazilah pada akal.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu
dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.
Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebutuhan sesuatu itu
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk
itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada
posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
F. PEMAKNAAN IMAN DAN KUFUR
Zainuddin mengemukakan bahwa golongan
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu golongan dapat dianggap atau
diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga syarat :
1. Mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan lisannya
2. Ucapan itu
diikuti kepercayaan dengan hatinya
3. Dan
dibuktikan dengan amal yang nyata
Adapun tentang dosa, Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan kewajiban dan
mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum bertaubat, maka orang ini dihukum
sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak
abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjalani hukuman
neraka, tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena imannya.[37]
Dari uraian
tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut ahlussunnah apa yang diperintahkan
Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut mereka tidak ada
kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu hak
prerogratif-Nya.
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan
oleh Zainuddin, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan dosa
besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam
keadaan beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum mu’tazilah
tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat.[38]
Asy’ariyah tidak sepaham dengan
mu’tazilah mengenai al-wa’d wa al-wa’id tersebut. Menurut ahlussunah
asy’ariyah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati dalam
keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya.
Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at (pembelaan) daripada Nabi
dan para Rosul serta para sholihin di hari kiamat .[39]
Lebih lanjut, Zainuddin mengemukakan
bahwa dasar pemikiran Asy’ariyah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas
semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi
segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke
dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah
memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu
kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang
bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan Allah
adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan
timbulnya kedzaliman daripada-Nya. Sebaliknya soal al-wa’d wa al-wa’id,
al-maturidi sepaham dengan mu’tazilah. Menurutnya, janji-janji dan
ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.[40]
G. KAITANNYA DENGAN SEMANGAT
INTELEKTUAL DAN SEMANGAT KEHIDUPAN
Dengan
kemunculannya, Aswaja tetap mempertahankan manhaj-manhaj yang telah dinobatkan
oleh para Salafussholih sebagai Manhajul Fikri. Upaya dekonstruktif ini
selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana
jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada
dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada.
Dalam perkembangannya, akhirnya menjadi konsep
dasar segala pemikiran Aswaja. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri
meliputi ; tawasuth (moderat),
tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah
bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun
tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan
manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang
dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam
antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme
(tekstual) dan rasionalisme.
Selanjutnya,
dalam konteks hubungan sosial, seorang pengikut Aswaja harus bisa menghargai
dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun.
Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita
pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan
mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan akhirnya diserahkan
pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan.
Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh
dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun
(seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek
kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks
politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang
diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan
keberpihakan yang tidak seharusnya.
Walaupun
dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang
tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap
netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan
bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing
adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu
adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
Dalam sejarah pergumulan pemikiran Islam, Aswaja senantiasa
menampilkan kultur moderat yang tidak eksklusif dan ekstrim. Berbeda dengan kultur
Khawarij, Syi’ah, Murji’ah dan sejumlah Manhaj pemikiran ke Islaman lain
yang cenderung mengklaim dirinya sebagai ideologi alternatif yang sparatis
bahkan radikal.
Aswaja
sebagai Manhajul Fikr tentunya memiliki peran yang sangat penting dalam
mewujudkan misi Islam sebagai agama Rahmatan
Lil ‘Alamin. Untuk menunjukkan hal tersebut Aswaja dijadikan sebagai
landasan utama dalam beraktifitas sehari-hari, terutama dalam dunia intelektual
dan kehidupan sosial. Setidaknya ada 2 (dua) tugas mulia Aswaja, yaitu
:
a. Aswaja sebagai pola fikir dan tingkah laku
Manhaj Al-Wasathiyah Al-Asy’ariyah sesungguhnya
merupakan pendekatan teologis yang ideal dan selalu up tu date. Secara
filosoofi, manusia tak mampu memperoleh kebenaran mutlak tanpa mendasarkan
pemikiran kepada wahyu. Apa yang diperoleh kaum intelektual disebut sebagai
obyektif, setelah diteliti secara sesama, ternyata sangat subyektif. Hal ini
dikarenakan karakteristik pengetahuan manusia menghendaki kesesuaian (teori
korespondensi) antara persepsi dengan realitas, dan realitas itu sendiri
merupakan rekayasa akal. Maka seluruh pengetahuan manusia adalah subyektif. Objektifitas
dapat dicapai tatkala obyek pengetahuan berbicara tentang dirinya sendiri.
b. Aswaja sebagai paradigma intelektual
Tiga mainstream dalam tradisi aswaja pada dasarnya
mempresentasikan tiga potensi intelektual manusia. Ketiga potensi tersebut
adalah potensi Rasional, Indrawi, dan Intuisi. Atau dapat pula mewakili
tiga model aliran pemikiran yaitu rasionalisme, empirisme, dan spiritualisme.
Aliran-aliran tersebut menunjukkan adanya penekanan bahwa prinsip keterbukaan
berfikir dan fleksibelitas berperilaku menghendaki adanya sikap keterbukaan
pula terhadap berbagai aliran pemikiran.
Dalam beberapa dekade terakhir, wacana Intelektual Aswaja
memperlihatkan suatu perkembangan yang cukup signifikan. Seperti munculnya
kritikan al-Ghozali yang dituduh sebagai penyebab mundurnya semangat
intelektual Islam, maka saat itulah muncul wacana baru yang lazimnya disebut
dengan neo Aswaja yang dimotori oleh Syekh Musthofa Abd ar-Raziq.
Kemudian disusul muridnya Syekh Abdul Halim Mahmud yang tampil dengan
semangat intelektual baru dengan tetap mengacu pada garis pemikiran Al-Ghazali,
namun penekanannya lebih menitikberatkan pada aspek metodologis ketimbang
produk pemikiran.
Aspek metodologis inilah yang menjadi simbol kemenangan dan
keunggulan Aswaja. Dengan hal ini, diharapkan mampu mengantarkan umat manusia
pada perkembangan dan kemajuan IPTEK yang mengarahkan pada kecenderungan intelektual
kepada sciencific thinking.
Seorang muslim dapat menghayati makna ke-Esaan Tuhan dalam
temuan-temuan ilmiyah di laboratorium. Misalnya uraian Dr. Musthofa Mahmud di
Mesir tentang struktur sel-sel dalam setiap makhluk hidup sangat memukau secara
aspek metodologis bila dibandingkan dengan sistem argumentasi yang diberikan
oleh tokoh sebelum masanya. Sehingga dapat pula dimaknai bahwa adanya dikhotomi
ilmu agama, sudah saatnya dihapuskan dan dipadukan secara integrated melalui
internalisasi ilmu-ilmu Islam dan aktualisasi ajaran-ajaran tauhid dalam
kehidupan di era ilmu pengetahuan dan tekhnologi.[41]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam kajian ini
penulis menyimpulkan tentang Ahlusunnah,
yaitu:
1.
Kelompok
Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen
dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam
perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya,
yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
2.
Pokok-pokok
ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan
aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat
Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran
mereka atau dalam masalah cabang.
3.
Pemikiran-pemikiran
al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi
memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan
Asy’ari.
4.
Yang dimaksud dengan
ahlussunnah wal jama’ah di dalam lapangan sejarah pemikiran islam adalah kaum
Asy’ariah dan kamu Maturidi. Selai itu, golongan ahlussunnah wal jama’ah adalah
golongan yang didukung oleh para ahli hadits dan para ahli madzhab fiqih, yang
satu sama lain tidak saling kafir mengkafirkan dan mereka sepaham dalam soal
iabadah, yaitu mengikuti Rosulullah SAW, para sahabtnya dan para tabi’in.
5.
Secara ringkas,
ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham :
1) Yang dihukumkan orang islam ialah orang yang mempunyai kepercayaan hati,
dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya;
2) Orang islam yang berbuat dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat,
maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk
neraka, tetapi mempunyai harapan besar masuk surga, walaupun sudah berabad-abad
lamanya;
3) Semua
perbuatan Allah mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya,
dan yang mengetahui hanyalah Allah sendiri.
6. Semua umat
islam di tanah air kita Indonesia ini adalah termasuk golongan ahlussunnah wal
jama’ah, tak ada kecualinya, karena i’tikad dan ibadahnya semua sesuai dengan
ajaran Allah dan Rosul-Nya.
B. Saran
Saya selaku pemakalah
mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena
itu saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini
dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam,
Jakarta : Beunebi Cipta, 1987.
Adawy, Muhammad Ahmad.1947. As-Syarhu al-Jadid Lijauharotu at-Tauhid.
Al-Haramain, Jeddah.
Baehaqi, imam.2000. Kontroversi Aswaja : Aula Perdebatan dan
Reinterpretasi.LkiS, Yogyakarta.
Hielmy, Irfan.1999. Ukhuwah Ahlus Sunnah : Khazanah Aqidah, Moral dan
Spiritual dari Pesantren. Penerbit Nuansa, Bandung.
Hadikusuma, Djarnawi.1996. ahlussunnah wal jama’ah Bid’ah Khurafat.
Percetakan Persatuan, Yogyakarta.
Harun
Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta : UI Press, 1987.
Muhammad A Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam
: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Noer
Iskandar Barsany, Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi : Perbandingan
dengan kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari, Jakarta : Sri Gunting, 2001.
Nurcholish
Madjid, Khazanah
Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
Rosihan
Anwar dan Abdul Rozak, Kamus Istilah Teologi Islam, Bandung : Pustaka Setia,
2002.
Sharif, M.M. 2004. Aliran-Aliran
Filsafat Islam. Nuansa Cendikia, Bandung.
Yatim,. Badri, Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Rajawali Press, 2006.
Yusuf, Yunan. 2003. Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Perlamadani, Jakarta.
Zahrah, Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fikri al-Arabi, tt
Zainuddin. 1992. Ilmu Tauhid
Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta.
[1] Nasution,
Harun.(2002). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.hal 63.
[3] Baehaqi,
imam.(2000). Kontroversi Aswaja : Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.LkiS,
Yogyakarta.hal 31.
[5] Dalam banyak
literatur aliran Sunnah diriwayatkan sebelumnya terjadi dialog karena gurunya
tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas beberapa pertanyaannya, atau
ia pernah bermimpi bertemu Rasulullah untuk meninggalkan paham itu dan kembali
pada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal tersebut mungkin benar. Namun salah satu faktor
yang tidak boleh diabaikan adalah faktor sejarah yang pada saat itu sudah tidak
kondusif bagi paham Mu’tazilah karena banyak mengalami perlawanan dari
mayoritas ummat Islam. Tindakan khalifah al-Mutawakkil mengakomodir paham
Asy’ari sebagai aliran Kerajaan dan meninggalkan Mu’tazilah yang semula menjadi
paham kerajaan perlu dianalisa lebih jauh.
[6] Mihnah
(inquistition)
adalah peristiwa yang terjadi dalam lembaran sejarah Islam yan bernuansa
teologis dan politis, sebab para pemuka Mu’tazilah menginterogasi tokoh-tokoh
ortodoksi seperti Ahmad bin Hanbal, menyangkut keyakinan tentang apakah
Al-Qur’an itu qadim atau baru. Tokoh Mu’tazilah berkeyakinan mihnah harus
dilaksanakan dengan kekerasan karena ada legitimasi teologisnya. Kaum
Mu’tazilah berpandangan kelompok ortodoksi telah melanggar monotisme
Tuhan. Dikatakan politis karena peristiwa mihnah terjadi atas sponsor dan
intervensi langsung khalifah Al-Makmun, penguasa dari Bani Abbasiyah yang
mendukung ajaran-ajaran Mu’tazilah.
[7] Abu
al-Hasan Ali Ibn Ismail al-Asy’ariy, al-Ibanah fi Ushul al Dinayah, Al-Jami’ah
al-Islamiyah, Cet. V, Medinah, 1409 H h. 157.
[8] Lihat Abu
Hasan al-Asy’ari, Kitab Al-Luma’ fi al-Radd’ alaa Ahl al-Zaigh wal
al- Bida’, Syirkah Syahimah Mudhariyah, Bagdad, 1955, h. 117.
[9] Harun
Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987 h.
110.
[10] Harun
Nasution dalam Islam Rasional h. 115 dan Teologi
Islam h. 106-107, malah menyebutkan bahwa kalau Mu’tazilah (rasional)
menganut faham Qadariyah dan faham sunnatullah, maka Asy’ariyah (tradisional)
menganut faham fatalisme (Jabariyah) dan menolak adanya sunnatullah yang
mengatur alam semesta dan sedikit memakai akal dalam pemikiran teologinya.
Namun demikian banyak kalangan yang berpandangan sebagaimana tulis mastuhu
(1994 : 27) bahwa aliran Asy’ariyah telah menampilkan diri sebagai paham tengah
antara Qadariyahdan Jabariyah, karena paham Qadariyah dan Jabariyah di dunia
Pesantren Indonesia misalnya dianggap sesat.
[11] Abu
al-Hasan Ismail al-Asy’ariy, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhilaf al-Mushallin,
Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, Kairo, 1969, h. 221.
[12] Yang
cukup rumit dipahami dari teori kasab ini adalah, meskipun kehendak dan daya
manusia tidak efektifdan Allah lah pembuat dan pencipta kasb yang
sebenarnya, namun asy’ari tetap berpendirian bahwa kasb termasuk perbuatan
ikhtiari dengan alasan dalam hal ini terdapat daya sehingga itu tidak bisa
disebut paksaan. Dengan teori kasbnya Asy’ari berusaha menunjukkan peran
manusia di dalam perbuatannya. Namun oleh para pengkritiknya, keteguhan
dan keyakinan dasar mengenai kemutlakan kehendak dan kekuasaan Tuhan kembali
menggiringnya ke dalam kawasan paham yang cenderung agak jabariyah, meskipun
ada yang menambahkan dengan predikat “moderat”.
[13] Lihat
Nurcholish Madjid, Khazanah, op. cit h. 29 mengutip
pendapat Muhammad Yusuf Musa dalam Al-Qur’an wa al-Falsafah, penengah
antara Jabaritah dan Mu’tazilah, namun usaha al-Asy’ari tampaknya tidak
berhasil untuk menjadi penengah.
[14] Lihat Harun
Nasution, op.cit.
hal 76.
[15] Lihat :
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Sya’b,
Beirut, 1986, h. 96.
[16]
Al-Juwaini, Luma al-Adillah, Dar-al Mishriyyah,
Kairo, 1965, h. 99.
[17] Harun
Nasution, Teologi Islam, op. cit . h. 72.
[18] Lihat
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy dan Theoogy : An Extended
Survey, Edinburg University Press, Edinburg, 1992, h. 105.
[19]
Al-Syahrastani, op. cit. h. 96.
[20] Lihat :
Al-Ghazaly, Ihya Ulum al-Din, Syirkah Nur Asia,
t.t. hal. 107-108.
[21] Lihat : Zainun
Kamal dalam “Kekuatan dan Kelemahan Paham Asy’ari sebagai
Doktrin Akidah” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Bandung : Mizan, 1994 h. 143.
[22] Lihat
: Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Kamus Istilah Teologi Islam,
Bandung : Pustaka Setia, h. 114-115.
[23] Lihat : Noer
Iskandar Barsany, Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi :
Perbandingan dengan kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari, Jakarta : Sri
Gunting, 2001, h. 73-74.
[25] Baehaqi,
imam.(2000). Kontroversi Aswaja : Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.LkiS,
Yogyakarta.hal 37.
[30] Nasution,
Harun.(2002). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.Hal 135.
[36] Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986. Hal 70.
[39] Nasution,
Harun.(2002). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.Hal 71.
[41] Dr. Nursamad Kamba, Tantangan dan peluang Aswaja
dalam Prilaku Manusia Modern, Makalah Seminar Pergumulan Aswaja dengan Masalah
Kebudayaan, Semarang, 28 Agustus 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar