BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makna tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan
menerangkan. Contohnya pada firman Allah SWT.
Artinya : “Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
kami datangkan kepadami sesuatu yang paling benar dan paling baik
penjelasannya”. QS : Al-furqan : 36.
Tafsir disini
berarti penjelasan dan keterangan. Ia diambil dari kata Al-fasr yang
bermakna menjelaskan dan membuka. Dalam kamus dikatakan bahwa makna Al-fasru
adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup. Dari sini jelaslah
bahwa kata Tafsir digunakan dalam bahasa arab dalam arti membuka secara
indrawi. Seperti dikatakan oleh Tsa’lah dan dengan arti secara maknawi dengan
memperjelas arti-arti dari dzahir redaksional.
Sedangkan Tafsir menurut istilah yang paling cocok
adalah yang dikutip oleh As-Suyuthi dari Az-Zarkasyi, “Ia adalah ilmu untuk
memahami kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan
merupakan penjelasan makna-makna serta kesimpulan, hikmah dan hukum-hukum.
Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hampir sama. Ia adalah ilmu yang
membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan
pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia.[1]
Pembagian
Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah ) Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah ) Tafsirul isyari ( bil-isyarah ) Tafsir bil Izdiwaji ( campuran ). Tafsir merupakan salah satu pembahasan penting dalam ulumul qur’an. Karena tafsir merupakan sarana untuk mencapai tujuan daripada ulumul qur’an, yaitu mengetahui dan memahami isi al-Qur’an, mengambil hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terdapat didalamnya, dan lain sebagainya. Dari segi metodologi ilmiah, metode penafsiran al-Qur’an secara global dibagi menjadi dua macam: Tafsir bil-Ma’tsur dan Tafsir bil-Ra’yi. Adapun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tafsir bil ma’tsur.
Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah ) Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah ) Tafsirul isyari ( bil-isyarah ) Tafsir bil Izdiwaji ( campuran ). Tafsir merupakan salah satu pembahasan penting dalam ulumul qur’an. Karena tafsir merupakan sarana untuk mencapai tujuan daripada ulumul qur’an, yaitu mengetahui dan memahami isi al-Qur’an, mengambil hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terdapat didalamnya, dan lain sebagainya. Dari segi metodologi ilmiah, metode penafsiran al-Qur’an secara global dibagi menjadi dua macam: Tafsir bil-Ma’tsur dan Tafsir bil-Ra’yi. Adapun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tafsir bil ma’tsur.
Tafsir bil ma’tsur
adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan teks atau penukilan: Mencakup
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, yaitu penafsiran ayat satu dengan ayat
lainnya; penafsiran al-Qur’an dengan hadis nabi dan dengan qoul
(ucapan/penjelasan) para sahabat nabi dan tabi’in atau hadis mauquf. Adapun mengenai penafsiran al-Qur’an dengan qoul
tabi’in, sebagian ulama menganggap bahwa hal tersebut termasuk dalam metode
tafsir bil ra’yi. Akan tetapi disini kami menganggapnya termasuk dalam metode
tafsir bil ma’tsur.
Tafsir bil ma’tsur merupakan cabang ulumul qur’an pertama yang
dikodifikasi. Adapun ulama yang berperan dalam pengkodifikasian tafsir bil
ma’tsur, secara tidak langsung adalah mereka para rijalul hadits (orang-orang
yang terlibat dalam periwayatan hadis). Dikatakan bahwa orang pertama yang
mengkodifikasi tafsir bil ma’tsur melalui metode penafsiran al-Qur’an dengan
hadis nabi adalah Imam Malik bin Anas. Kemudian pada abad selanjutnya, abad
kedua hijriyah, muncul metode penafsiran dengan qaul para sahabat nabi dan tabi’in seperti pada
tafsirnya Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Jarah, Syu’bah bin Hajaj, dan lain
sebagainya. Sedangkan Ibnu Jarir ath-Thabari mengumpulkan semua metode
penafsiran al-Qur’an dengan teks tersebut; baik dengan al-Qur’an, hadis nabi
maupun qaul para sahabat dan tabi’in dalam tafsirnya.[2]
Akan tetapi, metode
tafsir bil ma’tsur ini dinilai lemah oleh para ulama, walaupun banyak pula
kelebihan-kelebihannya. Karena termasuk dalam metode tersebut adalah penukilan
qaul para sahabat dan tabi’in. Para ulama menilai hal tersebut hampir kurang dari derajat tsiqah (dapat
dipercaya) jika tidak dengan kesungguhan para ulama dalam memverifikasi teks.
Sampai-sampai Imam Syafi’i berkata demikian: “Tafsiran Ibnu Abbas itu tidak
bisa ditetapkan sebagai pedoman, kecuali hanya keserupaan dengan seratus
hadis”. Adapun mengenai metode penafsiran dengan al-Qur’an
maupun al-Hadits, para ulama sepakat akan kebenarannya.
Secara global, ada tiga
sebab penting yang menjadikan metode tafsir bil ma’tsur ini lemah, yaitu:
dimasukkannya isra’iliyat dalam tafsir, penggelapan atau pembuangan
sanad-sanad, dan yang ketiga adalah adanya al-wadl’u (karangan) dalam tafsir. Ketiga sebab ini sangat berakibat dan
mempengaruhi terhadap lemahnya metode tafsir bil ma’tsur.
Beberapa kitab-kitab
tafsir yang penting dan masyhur yang menggunakan metode penafsiran dengan
tafsir bil ma’tsur, diantaranya: Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an karya Imam
al-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Imam Ibnu Katsir, Lubab al-Ta’wil
Fi Ma’ani al-Tanzil karya Imam al-Khozin, dan al-Jawahir al-Hassan Fi Tafsir
al-Qur’an karya Imam al-Tsa’alibi.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
AL-TAFSIR
BI AL-MA’TSUR
(Tafsir
Al-Thabari Dan Tafsir Ibnu Katsir)
A. PENGERTIAN TAFSIR
BI AL-MA’TSUR
Terkait dengan
poin ini ada tiga istilah yang memiliki makna sama dan dipakai dalam tingkat
keseringan yang hampir sama pula, yaitu: bi al-ma’tsûr, bi al-ma’qûl
dan bi al-riwâyah. Kata bi al-ma’tsûr dipakai sebagai
antonim bi al-ra’yi, Kata bi al-manqûl/’naqli dipakai sebagai
antonim bi ma’qûl/aqli dan bi al-riwâyah dihadapkan dengan bi
al-dirâyah.
Tafsîr bi al-ma’tsûr secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu tafsîr[4] dan ma’tsûr. Kata ma’tsûr
merupakan isim maf’ûl dari kata أثراً (atsran) dengan makna manqûl (sesuatu
yang disampaikan dari seseorang pada yang lainnya). Jika dikatakan أثر الحديث maka
maksudnya adalah نقله و رواه عن غيره (menyampaikan atau meriwayatkannya dari
orang lain).[5]
Sedangkanالأثر adalah
الخبر المرويّ و السنة الباقية (khabar yang diriwayatkan atau sunnah
berupa peninggalan)[6].
Di dalam Mu’jam al-Washît مأثور itu
sendiri diartikan dengan الحديث المروي، وما ورث الخلاف عن السلاف (hadîts yang diriwayatkan,
atau sesuatu yang diterima orang belakangan/khalâf dari orang-orang
terdahulu/salâf). Ini juga sejalan dengan yang ditulis Ibn Manzhûr
yaitu: يخبر الناس به بعضهم بعضا، أي ينقله خلاف عن سلاف (hadîts yang disampaikan antara sesama manusia atau
sesuatu yang diterima orang belakangan/khalâf dari orang-orang
terdahulu/salâf).[7]
Maka مأثور dapat didefenisikan sebagai istilah/penyebutan
untuk sesuatu yang diterima khalâf dari salâf baik berupa ilmu, hadîts,
riwayat, dan lain sebagainya.
Jadi dinamai
dengan nama ma’tsûr (dari kata atsâr yang berarti sunnah, hadîts,
jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi
sebelumnya terus sampai kepada Nabi Saw
Adapun manqûl
merupakan berasal dari kata نقلا (نقل- ينقل-نقلا), ما علم من طريق
الرواية أو السماع yang berarti (sesuatu yang diketahui lewat cara
periwayatan atau proses mendengar)
Sedangkan
secara terminologi tafsîr bi al-ma’tsûr adalah sebagaimana yang
didefenisikan para ahli berikut ini:
1) Muhammad
Husain al-Dzahabiy
ما جاء في القرأن نفسه من البيان وتفصيل لبعض
اياته، وما نقل عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم، وما نقل عن الصحابة رضوان الله
عليهم، وما نقل عن التابعين, من كل ما هو بيان وتوضيح لمراد الله
تعالى من نصوص كتاب الكريم.
Artinya: Sesuatu
yang berasal dari al-Qur’ân berupa penjelasan atau uraian bagi sebahagian
ayatnya, atau sesuatu yang berasal dari Rasul (hadîts, penulis), atau
yang berasal dari para sahabat ra dan dari tabi’in, selama (semua itu) berupa
penjelasan atau uraian mengenai maksud Allâh Swt dari nash kitab al-Qur’ân.
Artinya: Sesuatu
yang berasal dari al-Qur’ân, atau Sunnah maupun perkataan sahabat yang
menjelaskan maksud Allâh Swt (di dalam al-Qur’ân)[8]
3) Shalâh ‘abd al-Fattâh al-Khâlidiy
ما روي عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم، او
الصحابة، او التابعين، من رواية نقلية مروية في تفسير القرأن
Artinya: Sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi Saw, dari para sahabat atau tabi’in berupa riwayat
yang terkait dengan penafsiran al-Qur’ân
4) Fahd ‘abd al-Rahmân Sulaimân al-Rûmiy
التفسير بالمعثور هو التفسيرالذي يعتمد على صحيح المنقول والأثار
الواردة في الاية فيذكرها، ولا يجتهد فى بيان معنى من غير دليل, ويتوقف عما لا
طائل تحته, ولا فائدة في معرفة ما لم يرد فيه نقل صحيح
Artinya: Tafsîr
bi al-ma’tsur adalah tafsîr yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahîh atau
atsâr yang datang sebagai penjelas ayat al-Qur’ân, yang tidak akan menjelaskan
makna tanpa adanya dalil, menghindarkan diri dari pembicaraan yang tidak
bermanfaat, selama tidak ada riwayat yang shahîh tentang
itu.[9]
5) Menurut Mana’ al-Qatthân
التفسير بالمعثورهو الذي يعتمد على صحيح
المنقول...، من تفسير القرأن با القرأن، أو با لسنة لأنها جاءت مبينة لكتاب الله،
أو بما روي عن الصحابة لأنهم أعلم الناس بكتاب الله، أو بما قاله كبار التابعين
لأنهم تلقوا ذالك غالبا عن الصحابة. [10]
Artinya: Tafsîr
bi al-ma’sûr adalah tafsîr yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahîh …, berupa tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, atau dengan Sunnah
(karena Sunnah berfungsi sebagai penjelasan bagi kitab Allâh), atau dengan
riwayat yang berasal dari para sahabat (karena mereka termasuk orang yang
paling mengerti dengan kitab Allâh), atau dengan perkataan para tabi’in besar,
karena mereka senantiasa mendapatinya dari para sahabat.
Jika dicermati
lima buah defenisi di atas, maka terdapat beberapa persamaan, dan perbedaan.
Tetapi meski demikian penulis dapat merumuskan beberapa poin:
1) Tafsîr
bi al-ma’tsûr adalah tafsîr yang berdasarkan riwayat yang shahîh
.
Terutama dengan
defenisi yang disampaikan al-Rûmiy dan Mana’ Khalîl al-Qaththan, mereka telah
mewanti-wanti pendapat banyak kalangan yang meragukan tafsîr bi
al-ma’tsûr karena banyak dipengaruhi oleh riwayat isrâiliyât dan
riwayat yang dha’îf. Maka bagi mereka sesuatu yang dikatakan dengan tafsîr
bi al-ma’tsûr mestilah bersumber dari riwayat yang shahîh
. [11]
2) Penafsiran
Tafsîr bi al-ma’tsûr dapat berupa al-Qur’ân, Sunnah
dan perkataan sahabat.
3)
Khusus dengan perkataan tabi’in terdapat perbedaan di kalangan ulama. Di
antara ulama yang menganggap perkataan ulama sebagai sumber tafsîr’ bi
al-ma’tsûr adalah al-Dzahabiy dan al-Khâlidiy serta mana’ Khalil
al-Qatthan. Sedangkan al-Shabuniy dan al-Zarqani cuma menjadikan al-Qur’ân,
Sunnah dan perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr bi
al-ma’tsûr.
4) Di
dalam tafsîr bi al-ma’tsûr sangat dihindari pembahasan yang tidak
terkait langsung dengan makna ayat, serta pembahasan yang tidak memiliki dalil
yang kuat. Ini sebagai mana yang dijelaskan oleh al-Rûmiy.
Singkatnya tafsîr
bi al-ma’tsûr adalah tafsîr yang berdasarkan pada riwayat yang shahîh , berupa tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân,
dengan Sunnah, atau dengan riwayat yang berasal dari para sahabat, serta
menghindari pembicaraan yang tidak terkait lansung dengan penafsiran, selama
tidak ada riwayat yang shahîh tentang itu.
Sebagaimana dijelaskan Al-Farmawi, tafsir bil al-ma’tsur (disebut pula bi
ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran Al-Quran yang mendasarkan pada
penjelasan Al-Quran sendiri, penjelasan nabi, penjelasan para sahabat melalui
ijthadnya , dan pendapat (aqwal) tabiin. Penafsiran dari Nabi Muhammad SAW, ayat-ayat tertentu juga berfungsi
menafsirkan ayat yang lain. Ada yang langsung ditunjukan oleh Nabi bahwa
ayat-ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain; ini masuk kelompok tafsir bil
ma’tsur (tafsir melalui riwayat).
Menurut Kahar Mansyur tafsir bil ma’tsur ini berdasarkan sahih manquulnya
Al-Quran dengan Al-Quran atau sunah atau dengan perkataan sahabat Rasul SAW
atau tabiin.Tafsir ini mempertahankan atas atau peninggalan sahabat yang
bertalian dengan pengertian ayatnya. Dia kaitkan dan tidak berijtihad dalam menerangkan pengertian asalnya dan
bertahan pada hal yang tidak berguna. [12]Pada devirasi yang lain Said Agil Husin Al
Munawar dalam bukunya yang berjudul Al-Quran membangun tradisi kesalehan
hakiiki menjelaskan bahwa: “ penafsiran atau penjelasan ayat Al-Quran
terhadap maksud ayat al-quran yang lain. Termasuk dalam tafsir bil matsur
adalah penafsiran al-quran dengan hadis-hadis
yang diriwayatkan dari Rasullulah SAW. Penafsiran al-quran dengan
pendapat para sahabat berdasarkan
ijtihad mereka , dan penafsiran al-quran dengan pendapat tabiin.[13]
B. BENTUK-BENTUK TAFSIR BI
AL-MA’TSUR
Bentuk-Bentuk Tafsir bil Ma’tsur atau
bi Riwayah
a. Penafsiran Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Contoh, seperti firman
Allah :
وَالسَّمَاءِ
وَالطَّارِقِ) .الطّارق: 1 (
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq
: 1
النَّجمُ
الثَّاقِبُ ).الطّارق: ۳ (
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah
‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّى ادَمُ مِن رَّبِّه كَلِمتٍ
فَتَابَ عَلَيهِ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿ البَقَرَة: ۳۷﴾
Artinya : “Kemudian
Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah
menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan
firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمنَاأَنفُسَنَا وَإِن
لَّمتَغفِرلَنَا وَتَرحَمنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلخَـسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(
Artinya : “Keduanya
berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau
tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang
yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
Lagi firman Allah ‘Azza
wa jalla :
إِنَّاأَنزَلنَـهُ
فِى لَيلَةٍ مُّبَـرَكَةٍ ) الدّخان:٣(
Artinya : “Sesungguhnya
kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman
Allah :
إِنَّاأَنزَلنَـهُ
فِى لَيلَةِ ٱلقَدرِ (القَدر: ١(
Artinya : “Sesungguhnya
telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”.
QS. Al-Qadar : 1.
Penafsiran Al-qur’an
dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan
lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita
yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun
yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan
menerangkan.[14]
b. Penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla
berfirman :
وَأَعِدُّواْ
لَهُم مَّا ٱستَطَعتُم مِّن قُوَّةٍ ) … الاٴنفَال: ٦٠(
Artinya : “Hendaklah
kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS.
Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah
( القٌوَّةُ )
dengan Ar-Ramnya
( الرَّمْيُ
) yang artinya panah. Sabda
Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya
kekuatan adalah anak panah”.
c. Tafsir Sahabat,
Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in
Sesungguhnya tafsir
para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya,
bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits
Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu
termasuk ma’tsur.
Adapun tafsir para
tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian
ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa
dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir
bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya
menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.[15]
Kelemahan-Kelemahan Tafsir bil Ma’tsur Diantaranya :
a. Adanya riwayat dhoif, dan mungkar dari riwayat yang
didapat dari Rasulullah, sahabat dan tabi’in
b. Pertentangan riwayat satu sama lain. Misalnya, kita
mendapat riwayat dari Ibnu Abbas tentang tafsir firman Allah SWT.
“ …… dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya ……” (an-Nur : 31).
Ia adalah celak mata dan cincin, atau wajah dan
kedua telapak tangan. Kemusian darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam
surat al-Ahzam. “ …. Hai…,Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka …” (al-Ahzab : 59).
c. Diantara riwayat adalah pendapat seseorang yang tidak
terjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, kita mendapati para sahabat dan
tabi’in kadang-kadang berbeda satu sana lain. Dalam banyak kesempatan itu
adalah perselisian benturan. Ini menunjukan bahwa mereka menafsirkan dengan
rasio mereka.[16]
d. Tafsir bil ma’tsur, seperti diriwayatkan kepada kita bukan
tafsir yang mengkaji surat persurat, dan dalam satu surat mengkaji ayat
perayat, dan dalam satu ayat dikaji kalimat perkalimat.
e. Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita
Israiliyah yang memuat banyak Khurafat yang bertentangan dengan akidah
islam.
f. Sebagian ulama madzhab memuratbalikan beberapa
pendapat. Mereka berbuat kebatilan, lalu menyandarkan kepada sebagian para
sahabat seperti para ulama madzhab Syi’ah.
g. Sesungguhnya musuh islam dari golongan kafir Zindiq
bersembunyi dibelakang para sahabat dan para tabi’in sebagaimana mereka
bersembunyi dibelakang Rasulullah SAW. Dalam rangka menjalankan misinya,
merobohkan agama denagan cara “ bersembunyi dan menyusup “. Maka dari segi ini,
perlu adanya penelitian yang sungguh-sumgguh terhadap pendapat-pendapat yang
disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[17]
C. SUMBER-SUMBER TAFSIR
BI AL-MA’TSUR DAN URUTAN PENGGUNAANNYA
Di dalam menentukan sumber tafsîr bi
al-ma’tsûr para ulama berbeda pendapat, di antaranya al-Rûmiy menjadikan
sumber tafsîr be al-ma’tsûr itu menjadi 4 macam yaitu: al-Qur’ân,
Sunnah Nabi, Perkataan sahabat dan penafsiran tabi’in[18]. Al-Khâlidiy menjadikan sumber tafsîr bi
al-ma’tsûr menjadi 5 macam –dengan tidak memasukkan al-Qur’ân-
yaitu: Hadîts Shahîh yang marfû’ kepada Nabi,
Perkataan shahîh sahabat yang terkait dengan penafsiran
ayat al-Qur’ân, Perkataan tabi’in yang shahîh , al-qirâ’ât
al-syâdz dan al-qirâ’ât al-tafsîriah.
Berikut penulis jelaskan satu-persatu sumber-sumber tafsîr
bi al-ma’tsûr, yang merupakan gabungan dari beberapa pendapat ulama:
1) AYAT AL-QUR’ÂN
Maksudnya sesuatu ayat menjadi penjelas atau tafsîr
bagi ayat lainnya. Menurut al-Zarqaniy al-Qur’ân adalah sumber tafsîr
paling utama, mengingat Allâh adalah yang paling tahu dengan maksud
ayat, dibanding yang lainnya, dan sebenar-benar perkataan tentulah kitab Allâh.[19]
Tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân
dengan merupakan sebaik-baik tafsîr. Terkait dengan hal ini Ibn Taimiyah
berkata:
أصح الطرق في ذالك أن يفسر القرأن
بالقرأن، فما أجمل في مكان فانه قد فسّر في موضع اخر، وما اختصر في مكان فقد بسط
في موضع اخر... [20]
Artinya:
Metode yang paling shahîh dari cara menafsirkan Al-Qur'an
adalah menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Karena sesuatu yang mujmal di
suatu tempat (ayat), terkadang dijelaskan di tempat (ayat) lainnya. Apa yang
diringkas dalam suatu ayat, dirinci di tempat (ayat) yang lain…
Perkataan Ibn Taimiyah ini sangat benar, tetapi meski
demikian menurut penulis penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân
ini, tetap tidak tertutup akan kesalahan, karena bagaimanapun usaha menafsirkan
ayat dengan ayat juga membutuhkan ijtihâd dari seorang mufassir
(yaitu dalam menentukan mana ayat yang paling tepat menjadi tafsîr bagi
ayat tertentu). Jadi untuk menentukan sebuah ayat yang akan menjadi tafsîr
bagi ayat lain, mestilah seorang mufassir betul-betul memahami kedua
ayat, sehingga tidak salah di dalam pemahaman dan penafsiran.
Tepatnya –menurut penulis- penafsiran al-Qur’ân
dengan al-Qur’ân barulah dikatakan tafsîr terbaik, dan terhindar
dari kesalahan, jika penafsiran itu di dasarkan pada riwayat yang shahîh
pula. Seperti adanya riwayat yang menjelaskan jika Nabi atau para sahabat
memang menafsirkan sebuah ayat dengan ayat tertentu. Maka selama penafsiran itu
tidak bersumber dari riwayat yang betul-betul shahîh,
kemungkinan salah di dalam penafsiran tersebut tetap ada. Berdasarkan hal ini
pulalah, Makanya penulis sangat tertarik dengan defenisi tafsîr bi
al-ma’tsûr yang dituliskan al-Khâlidiy -ما روي عن
الرسول الله صلى الله عليه وسلم، او الصحابة، او التابعين، من رواية نقلية مروية
في تفسير القرأن – yang tidak
menjelaskan penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân sebagai salah
satu bentuk tafsîr bi al-ma’tsûr, karena memang di dalam
menentukan sebuah ayat menjadi tafsîr bagi ayat lain merupakan sebuah ijtihâd
dari mufassir, dan bukan sebuah atsâr/manqûl.
Contoh penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân,
ungkapan (فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ) dalam firman Allâh QS. al-Baqarah:
37, dijelaskan lewat ayat lain, QS. al-A’raf: 23 berikut:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
Maka dapat dipahami bahwa كَلِمَاتٍ
yang dimaksud di dalam surat al-Baqarah di atas maksudnya adalah kalimat
do’a yang terdapat di dalam surat al-A’raf tersebut.
2)
HADÎTS SHAHÎH YANG
MENJELASKAN MAKNA AYAT AL-QUR’ÂN.
Sebagaimana dimaklumi, salah satu fungsi hadîts
Nabi adalah sebagai penjelas bagi ayat al-Qur’ân. Maka jalan
utama mendapatkan pemahaman yang benar terhadap kitab Allâh adalah
dengan merujuk kepada hadîts Nabi Saw, ini sesuai dengan
firman Allâh: بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِوَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44) [21]
Selain ayat ini Nabi juga pernah bersabda
Artinya:
“Ketahuilah aku telah diberi Al-Qur'an dan yang semisalnya (yaitu Al-Sunnah)
bersamanya.”
Satu hal yang mesti digarisbawahi adalah bahwa hadîts
Nabi yang dijadikan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
tersebut haruslah hadîts marfû’ yang shahîh,
bukan hadîts yang dha’îf, apalagi hadîts yang
palsu. Untuk itu sangat dibutuhkan usaha men-takhrîj hadîts tersebut
sebelum tergesa-gesa menjadikannya sebagai sumber tafsîr. Di antara
contoh tafsîr dengan hadîts Nabi yang shahîh
adalah penafsiran ayat al-Qur’ân surat al-Baqarah: 22 فَلَا تَجْعَلُوا
لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ dengan hadîts dari ‘abd Allâh yang
bertanya kepada Nabi terkait dosa besar, maka beliau menjawab: أن تجعل لله ندا وهو خلقك [23]
Menjadikan perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr
bi al-ma’tsûr dengan alasan, mengingat para sahabat merupakan orang yang
lebih tahu dan menyaksikan bagaimana kondisi ayat al-Qur’ân tersebut
diturunkan, serta mereka memiliki pemahaman yang sempurna terhadap makna
ayat. [25]
Alasan lain adalah bahwa mereka adalah orang yang hari-harinya banyak bersama
Rasul, mengetahui asbâb al-nuzûl dan memiliki nilai lebih terkait fashahah
dan bayân. [26]Maka
penafsiran sahabat berada pada posisi kedua setelah hadîts Rasul.
Mengenai bagaimana pengetahuan sahabat terhadap ayat al-Qur’ân,
berikut penulis kemukakan beberapa perkataan ulama, termasuk perkataan sahabat
itu sendiri:
a) Ibn Mas’ûd
Berkata:
سلوني، فو الذي لا إله غيره ما نزلت
اية من كتاب الله تعالى إلا وأنا اعلم فيم نزلت، وأين نزلت، ولو أعلم مكان أحد
أعلم بكتاب الله مني تناله المطايا لأتيته [27]
Artinya:
“Tanyakanlah kepadaku, demi Allâh yang tidak ada Tuhan Selain Dia, Tidaklah
sesuatu ayat yang diturunkan Allâh, kecuali saya mengetahui bagaimana kondisi
ayat itu turun dan di mana ayat itu diturunkan. Jikalaulah Saya
mengetahui ada seseorang di suatu tempat yang lebih mengetahui kitab
Allâh (al-Qur’ân) dibanding saya, niscaya saya akan menemuinya.”
b) Abu ‘abd
al-Rahmân al-Sullâmiy berkata:
حدثنا الذين كانوا يقرؤوننا القرأن،
كعثمان ابن عفّان و عبد الله بن مسعود، انهم كانوا إذا تعلموا من انبي صلي الله
عليه و سلم عشر لم يجاوزها حتى يتعلم ما فيها من العلم و العمل. قالوا: فتعلمنا
القرأن والعلم والعمل معا [28]
Artinya:
“Telah meriwayatkan/ menceritakan kepada kami mereka yang senantiasa
mengajarkan al-Qur’ân kepada kami –yaitu para sahabat Nabi seperti ‘Usmân ibn
‘Affân dan ‘abd Allâh in Mas’ûd, bahwasanya jika mereka mempelajari 10 ayat
al-Qur’ân dari Nabi, mereka tidak akan menambah hingga mereka dapat mengetahui
dan mengamalkannya, mereka berkata: ‘Kami mempelajari al-Qur’ân, sekaligus
mengetahui dan mengamalkannya”
Meski demikian para ulama juga tetap mewanti-wanti
bahwa perkataan sahabat yang dianggap sebagai tafsîr bi al-ma’tsûr
adalah perkataan mereka yang terkait dengan tafsîr dan diriwayatkan
dengan jalur sanad yang shahîh. Secara umum
bentuk-bentuk penafsiran sahabat itu adalah: menafsirkan al-Qur’ân
dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah, dengan ungkapan/riwayat yang di-marfu’-kan
kepada Nabi tetapi tidak secara sharih, dengan kaidah bahasa
Arab, dengan ijtihâd ataupun dengan pendapat sahabat lainnya serta
berdasarkan pengetahuan mereka dengan kondisi turunnya ayat. [29]
Di antara contoh perkataan sahabat di dalam tafsîr
adalah ketika Ibn ‘Abbâs menafsirkan ayat Allâh berikut:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا
بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ
4) PERKATAAN TABI’IN
TERKAIT DENGAN PENAFSIRAN AYAT AL-QUR’ÂN
Banyak para ulama yang menjadikan perkataan tabi’in
yang shahîh sebagai sumber tafsîr bi
al-ma’tsûr, mengingat para tabi’in tersebut adalah murid para
sahabat Nabi, yang paling memahami al-Qur’ân setelah sahabat itu
sendiri.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan kita
mengetahui bahwa al-Qur'ân telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in
dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang
kebenaran yang dibebankan Allâh kepada Rasûl Allâh untuk
menyampaikannya.” [31]
Di antara tabi’in tersebut adalah Mujâhid bin
Jabir, Sa'id bin Jubair, Ikrimah, Atho' bin abi Rubah, Al-Hasan
Al-Bashri, Masrûq bin Al-Ajda', Sa'id bin Al-Musayyib, Abu 'Aliyah, Rhabi' bin
Anas, Qotadah, Adh-Dhahak bin Muzâhim dan lain-lainya. [32]
Berikut akan penulis kemukakan beberapa perkataan
ulama yang bisa dijadikan penguat bahwa perkataan tabi’in tersebut
memang sangat patut dijadikan sumber tafsîr:
-
Ibn Abi
Malikah berkata:
Artinya:
“Saya melihat Mujâhid (seorang tabi’in, penulis) bertanya kepada Ibn ‘Abbâs
mengenai tafsîr al-Qur’ân, sehingga ibn ‘Abbâs berkata kepadanya, ‘Tulislah!’,
Sehingga ia menanyakan semuanya tentang tafsîr (kepada Ibn ‘Abbâs)”
-
Sufyân al-Tsauri
berkata:
إذا جاءك
التفسير عن مجاهد فحسبك به
-
Mujâhid
berkata:
عرضت المصاحف
على ابن عباس ثلاث عرضات، من فاتحة إلى خاتمته، أوقفه عند كل اية منها، وأسأله
عنها فيما أنزلت، وكيف أنزلت
Artinya:
“Saya telah menyodorkan mushhaf kepada Ibn ‘Abbâs sebanyak tiga kali –dari awal
sampai akhir- maka saya memperhatikan ayat perayatnya, dan saya bertanya
kepadanya tentang bagaimana kondisi dan dimana ayat itu diturunkan” [35]
Secara umum bentuk-bentuk penafsiran tabi’in
itu adalah: menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah,
dengan perkataan sahabat, dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihâd,
dengan pendapat tabi’in lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka
dengan kondisi masyarakat waktu turunnya ayat.[36]
Di antara contoh tafsîr yang berasal dari
perkataan tabi’in adalah perkataan Mujâhid terkait ayat Allâh di
dalam al-Naba’ “لَا يَرْجُونَ حِسَابًا” menurut Mujâhid berarti [37]لا يخافون حسابا
5) AL-QIRÂ’ÂT
AL-SYÂDZ
Al-Qirâ’ât al- Syâdz yaitu Qirâ’ât yang
dinisbahkan kepada imam-imam qurra’ dari kalangan tabi’in dan
tabi’ tabi’in yang tidak memenuhi syarat Qirâ’ât Shahîh
.[38] Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan al-qirâ’ât
syâdz adalah: ما لم يصح سنده (Qirâ’ât yang sanadnya tidak shahîh ). [39]
Di antara yang termasuk al-qirâ’ât
syâdz tersebut adalah Qirâ’ât yang disandarkan kepada imam qurra’
yang empat yaitu:
a) Ibn
Muhaishin, yaitu Muhammad ibn ‘abd al-rahman al-Sahm al-makiy, yang merupakan
imam qurra’ bagi masyarakat Makkah
b) Al-A’masy,
yaitu Sulaiman ibn Mihran al-Kûfiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat
Kufah
c) Hasan ibn
Yasâr al-Bashriy, yaitu yang merupakan imam qurra’ dari Bashrah
d) Al-Yazidiy,
yaitu Yahya ibn Mubârak al-‘Adawiy al-Bashriy yang juga merupakan imam Qurra’
dari Bashrah.
Qirâ’ât yang empat ini, telah disepakati
ulama bahwa ia bukanlah al-Qur’ân, tetapi ini akan membantu di dalam
menafsirkan dan menjelaskan makna ayat. Dari sisi ini, al-qirâ’ât
al-syâdz dapat digolongkan sebagai sumber tafsîr bi
al-ma’tsûr. Di antara ulama yang menjadikan al-qirâ’ât al-syâdz sebagai
sumber tafsîr bi al-ma’tsûr adalah Syaikh abd al-Fatâh
al-Qâdhiy. Beliau mengungkapkan
:
“واذ قد علمت
أنّ القراءة الشاذة لا تجوز القراءة بها مطلقا، فاعلم انه يجوز تعلّمها و تعليمها،
وتدوينها في الكتاب، وبيان وجهها من حيث اللغة و الإعراب و المعنى، والإستنباط
الأحكام الشرعية منها ” [40]
Di antara contoh al-qirâ’ât al-syâdz yang
dijadikan tafsîr bagi ayat Allâh adalah sebagai berikut: Firman Allâh
Surat al-Baqarah: 104
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dalam Qirâ’ât yang shahîh kata رَاعِنَا ditulis dengan tidak memakai tanwin.
Sehingga dipahami jika kata tersebut adalah fi’il amr dari kata راعي – يراعي,
yang fa’il-nya adalah dhamir mustatir yang takdir-nya
adalah أنت (kamu),
sedangkan ناadalah
dhamir muttashil pada posisi nashb sebagai maf’ul bihi (objek). Maka menurut Qirâ’ât
yang shahîh kata رَاعِنَا berarti أمهلنا و أنظرنا ولا تعجل علينا (tangguhkanlah/ tunggulah dan jangan segerakan atas kami).
Namun di dalam Qirâ’ât yang syâdz
–yaitunya Qirâ’ât Ibn Muhaishin dan Hasan al-Bashriy- kata رَاعِنَا dibaca dengan tanwin yaitu رَاعِنًا.
Maka menurut Qirâ’ât ini kata رَاعِنًا merupakan
shifat bagi mashdar yang mahdzûf yang taqdir-nya
adalah لا تقول قولا راعنا (janganlah kamu mengatakan perkataan yang râ’inan/kotor.
Jadi makna ayat ini adalah: “Allâh melarang
orang yang beriman untuk mengatakan perkataan yang kotor, dan menganjurkan
mereka untuk mengatakan perkataan yang baik lagi lembut.
Makna ayat ini telah benar, tetapi Qirâ’ât-nya
adalah syadz, dan Qirâ’ât tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
ayat al-Qur’ân.
6) AL-QIRÂ’ÂT
AL-TAFSÎRIYYAH
Al-Qirâ’ât al-tafsîriyyah menurut
sebahagian ulama dikenal dengan istilah al-mudrâj. Menurut Mana’
Khalîl al-Qaththan mudrâj adalah: ما زيد في
القراءات على وجه التفسير (adanya
penambahan [kata] di dalam Qirâ’ât yang berfungsi sebagai tafsîr). [41]
Dan pengertian lebih rinci –sebagai pengertian yang
penulis perpegangi- adalah pengertian yang diberikan oleh al-Khâlidiy, yaitu:
هي ما يضيفه
بعض الصحابة من بعض الكلمات، تفسيرا منه لبعض الأيات، وهم يعلمون أنها كلمات منهم،
وأنها ليست من القرأن
Artinya:
al-qirâ’ât al-tafsîriyyah adalah sebahagian kalimat atau kata yang dimasukkan
oleh sahabat di dalam Qirâ’ât-nya sebagai penjelasan bagi ayat tersebut, dan ia
menyadari kalau kalimat tersebut bukanlah ayat al-Qur’ân.
Jadi pada dasarnya –menurut penulis- menerima al-qirâ’ât
al-tafsîriyyah, sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsur adalah
menerima perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr. Maka al-qirâ’ât
al-tafsîriyyah inipun harus berasal dari jalur sanad yang shahîh
sebagaimana perkataan sahabat.
Berikut penulis kemukakan al-qirâ’ât al-tafsîriyyah
sebagai bentuk tafsîr dari ayat al-Qur’ân, yaitu Qirâ’ât
ibn ‘Abbâs yang diriwayatkan oleh Abu ‘abd Allâh Muhammad ibn
Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhâriy [42] dan Abu
Dâwud Sulaimân ibn al-‘Asy’ats al-Sijistâniy al-Azdiy[43]
mengenai ayat Allâh لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ , Ibn ‘Abbâs menambahkannya dengan kata في مواسم الحج .[44]
URUTAN PENGGUNAAN POSISI DAN HUKUM TAFSÎR BI AL-MA’TSÛR
Tafsîr bi al-ma’tsûr merupakan
sumber tafsîr yang paling utama. Ini dapat dinilai demikian karena
beberapa alasan di antaranya:
a. Karena ia menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan
ayat al-Qur’ân yang lainnya, dan Allâh tentu lebih mengetahui
maknanya
b. Karena ia juga menafsirkan dengan hadîts Rasul
Allâh, dan sebagaimana dimaklumi beliau memang berfungsi untuk
menjelaskan al-Qur’ân,
c. Atau Karena menafsirkan dengan
menggunakan atsâr sahabat, yang mereka jelas telah menyaksikan turunnya al-Qur’ân
dan memahami kejadian-kejadian dan kondisi turunnya ayat tersebut.[45]
Namun meski demikian, kesalahan-kesalahan masih
mungkin terjadi, diantaranya: kesalahan di dalam memahami makna suatu ayat yang
akan dijadikan tafsîr bagi ayat lain, kesalahan di dalam mengambil
riwayat yang ternyata tidak shahîh ataupun yang
dipengaruhi oleh riwayat isrâiliyât,[46]
dan berbagai bentuk kesalahan lainnya.
Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah
yang wajib diikuti dan diambil jika terbukti shahîh .
Karena terjaga dari penyelewengan makna kitab Allâh. Ibnu Jarîr berkata, “Ahli tafsîr
yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjah-nya
terhadap sesuatu yang dia tafsir-kan dengan dikembalikan tafsir-nya
kepada Rasûl Allâh dengan khabar-khabar yang tsâbit dari beliau
dan tidak keluar dari perkataan salâf.”
D. PROFIL TAFSIR
AL-THABARI DAN TAFSIR IBNU KATSIR
SEBAGAI REPRESENTATIF DARI TAFSIR BI
AL-MA’TSUR
A. TAFSIR IBNU JARIR AT-THABARI
Nama lengkap
Ibnu Jarir adalah Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Khalib al-Tabary
al-Amuli. Nama ini disepakati oleh al-Khatib al-Bagdadi (392-463/1002-1072),
Ibn Katsir dan al-Zahabi. Tanah kelahirannya di kota Amul, ibukota Thabaristan,
Iran. sehingga nama paling belakangnya sering disebutkan al-Amuli penisbatan
tanah kelahirannya. la dilahirkan 223 H (838-839 M), sumber lain menyebutkan
akhir 224 H atau awal 225 H (839-840), dan meninggal 311/923, sementara dari
sumber informasi lain disebutkan pada 310.[47]
Nama asli tafsir ini
adalah Jami’ Al-bayan fi Tafsir Al-Qur’an, penulisnya adalah Imam Ibnu
Jarir At-Thabari. Beliau dikenal dengan Abu Ja’far. Lahir 224 H dan wafat 310 H. Kitab
beliau ini adalah kitab terbaik dalam ilmu tafsir. Bahkan menurut penilaian
Imam An-Nawawi, kitab tafsir yang tidak ada bandingnya.
Keutamaan tafsir Ibnu
Jarir ini diantaranya, karena ia bersumber dari hadis-hadis Nabi saw, komentar
para sahabat dan tabiin. Juga karena keluasan penafsirannya yang meliputi
nasikh dan mansukh, tarjih riwayat, keterangan kualitas hadis antara shahih dan
dhaif, I’rob Al-qur’an dan istinbath (memberi kesimpulan) terhadap ayat-ayat
hukum. Memang tak dapat dipungkiri ada beberapa kekurangan dalam tafsir ini
seperti terdapatnya riwayat Israiliat yang tidak jelas. Walaupun demikian, para
mufassir setelah Imam Ibnu Jarir menjadikan tafsir beliau sebagai referensi
utama. Karena memang kualitas dan validitas tafsir ini tidak diragukan lagi.
Al-Tabari
dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’
al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Struktur penafsiran
yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad III H. kehadiran
tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran.
Eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan
penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber
penafsiran (ma’sur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat,
tabi’ tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Penerapan
metode secara konsisten ia tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang.
Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks
al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang
didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.Itulah sebabnya Tafsir ini memili
karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak
analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant qira’at,
perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa
harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Tabari tidak
menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan
pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten
dengan bidang sejarah yang ia kuasai.
Keistimewaan Metode Penafsiran At-Thabari
Sebagai orang
yang berpegang pada tafsir bil ma’sur, konsekuensinya tafsir Ibnu Jarir
mempunyai keistimewaan tersendiri. Sebagaimana disebutkan oleh Shidqy al ’Athar
dalam muqaddimah tafsir ibnu Jarir sebagai berikut :[48]
a. Mengikuti
jalan sanad dalam silsilah riwayat.
b. Menjauhi
tafsir bil ra’yi.
c. Apik dalam
menyampaikan sanad.
d. Berpegang
pada ilmu bahasa.
e. Banyak meriwayatkan
hadis-hadis Nabawiyyah.
f. Memperkuat
dengan syair dalam menjelaskan maksud kalimat.
g.
Perbendaharaan qira’at.
h.
Mengkomprontirkan dan mengkompromikan pandangan-pandangan fiqhiyyah.
i. Menghimpun
dalam tafsirnya antara riwayat dan dirayat.
Inilah
karakteristik utama metode tafsir Ibn Jarir. Namun demikian, ada sejumlah
kritikan, antara lain:
la menyebutkan
sejumlah Isra'iliyyat dalam tafsirnya. meski ia sering memberikan komentar
terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk.
Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap.
Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan
penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa mengetahui
yang shahih dari yang dla'if. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa orang yang
menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda
untuk menilainya.
Umumnya la tidak
menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap sanad-sanadnya, meski
kadang-kadang la memposisikan diri sebagai seorang kritikus yang cermat.
B. TAFSIR IBNU KATSIR
Kitab tafsir buah karya
Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir (700-774 H) ini adalah kitab
yang paling masyhur dalam bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua
setelah Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an
Al-Adzim. Tafsir yang diterima di khalayak ramai umat Islam.
Beliau menempuh metode tafsir
bil ma’tsur dan benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan sendiri oleh
beliau dalam muqaddimah tafsirnya : “bila ada yang bertanya, apa metode
penafsiran yang terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sesuatu yang global di sebuah ayat diperjelas di
ayat lain. Bila engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu, carilah di
As-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I
menegaskan bahwa semua yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil
pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami
menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar engkau memutuskan perkara
di antara manusia dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu. (QS. An-Nisa’
105) dan Rasul saw bersabda: sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan
bersamanya yang semisal (As-sunnah).
Murid Imam Ibnu
Taimiyah ini menafsirkan dengan menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil.
Hadis-hadis mungkar dan dhoif beliau tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan
ayat lalu ditafsirkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian
disertakan pula ayat-ayat lainnya sebagai syahidnya. Beberapa ulama
setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam bentuk mukhtasar (ringkasan).
Bahkan hingga saat ini.
Keistimewaan
Metode Penafsiran Ibnu Katsir
Keistimewaan tafsir ibn katsir ini
bisa kita abtraksikan ke dalam beberapa poin:
Pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak
hanya tafsir Atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat
serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain.
Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa
dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan
lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya.
Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik
itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau
riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata
rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dil. Pada
kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain.
Keempat, Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi
diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu
hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang
shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang
dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia ataupun di akhirat
kelak.
Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia
mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya
dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Dan Keenam,
mengekspresikan manhaj al-salafu al-shaleh dalam metode dan cara
pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur’an dan Sunnah. [49]
* Tafsir As-Samarqandi
Ditulis oleh Imam Nasr bin Muhammad As-Samarqandi, dikenal dengan Abu Laits
(Wafat 373 H). Kitab tafsir ini berjudul Bahrul Ulum dan tergolong
sebagai tafsir bil ma’tsur. Dalam menulis tafsir ini, Al-Imam menempuh jalan
penafsiran para sahabat dan tabiin. Beliau banyak mengutip komentar mereka
tetapi tidak menyebut sanad-sanadnya. Beliau menegaskan bahwa seseorang tidak
boleh menafsirkan Al-Qur’an semata-mata dengan rasionya sendiri sedang ia tidak
mengerti kaedah-kaedah bahasa dan kondisi di saat Al-Qur’an itu turun. Ia harus
memahami betul ilmu tafsir terlebih dahulu.
Manuskrip tafsir ini terdapat dalam dua jilid dan tiga jilid. Naskah
aslinya terdapat di perpustakaan universitas Al-Azhar dan di Darul Kutb
Al-Misriyah.
* Tafsir Al-Baghawi
Pengarang tafsir ini adalah Imam Husain bin Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawi.
Beliau juga seorang faqih lagi muhaddist, bergelar Muhyi As-sunnah (yang
menghidupkan sunnah). Beliau wafat tahun 510 H. Beliau memberi nama tafsirnya
dengan Ma’alim At-Tanzil.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau mengutip atsar para salaf dengan
meringkas sanad-sanadnya. Beliau juga membahas kaedah-kaedah tata bahasa dan
hukum-hukum fiqh secara panjang lebar. Tafsir ini juga banyak memuat
kisah-kisah dan cerita sehingga kita juga bisa menemukan diantaranya
kisah-kisah Israiliyat yang ternyata batil (menyelisihi syariat dan tak
rasional). Namun secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih selamat dibanding
sebagian kitab-kitab tafsir bil ma’tsur lain.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang paling dekat dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah diantara Al-kassyaf, Al-Qurtubi atau Al-Baghawi. Beliau
menjawab:”Adapun diantara tiga tafsir yang ditanyakan, tafsir yang paling
selamat dari bid’ah dan hadis dhaif adalah Tafsir Al-Baghawi, bahkan ia adalah
ringkasan tafsir Atsa’labi dimana beliau menghapus hadis palsu dan bid’ah di
dalamnya.”
* Tafsir Ibnu Atiyyah
Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz ialah nama asli tafsir ini. Penulisnya adalah
Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin gholib bin ‘Atiyyah Al-Andalusy. Beliau adalah
seorang Qodhi yang adil, cerdas dan terkenal faqih. Ahli dalam hukum, hadis dan
tafsir. Ibnu Khaldun menilai tafsir ini paling tinggi validitasnya. Adapun Ibnu
Taimiyah dalam fatwanya mengungkapkan,”tafsir Ibnu ‘Atiyyah lebih baik
dibandingkan tafsir Az-Zamakhsyari, lebih shahih dalam penukilan dan
pembahasannya. Juga lebih jauh dari bid’ah…”
Namun sayang, kaum muslimin belum dapat mengkaji tafsir ini lebih jauh
karena masih dalam bentuk manuskrip klasik dan kini masih tersimpan di
Darul Kutb Al-Misriyah berjumlah sepuluh jilid besar.
* Tafsir As-Suyuthi
Kitab yang bernama Ad-Dur Al-Mantsur fi Tafsir bi Al-Ma’tsur ini
ditulis oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, ulama produktif yang memiliki ratusan
karya cemerlang. Beliau lahir tahun 749 H dan wafat tahun 911 H.
Tafsir ini pada dasarnya adalah ringkasan dari kitab Tarjuman Al-Qur’an
yang beliau karang sendiri. Beliau bermaksud meringkas hadis-hadis dengan hanya
menyebutkan matannya saja tanpa menyertakan sanad yang panjang. Ini untuk
menghindari kebosanan.
Imam As-Suyuthi menulis tafsir ini dengan mengutip riwayat-riwayat dari
Al-bukhori, Mulim, An-Nasa’I, At-Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Jarir, Ibnu Hatim dan
lain-lain. Namun beliau tidak memilah antara riwayat shahih dan dhaif bahkan
mencampur keduanya. Padahal beliau terkenal sebagai ahli riwayat dan sangat
memahami seluk beluk ilmu hadis. Sehingga terkesan aneh bila kemampuan tersebut
tidak dioptimalkan dalam tafsir ini. Namun berbeda dengan kitab tafsir lainnya,
tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir bil matsur yang hanya memuat
hadits-hadits saja.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam kajian ini
penulis menyimpulkan bahwa “Tafsir bi al
Ma’tsur” dapat dilihat dari beberapa Aspek, yaitu:
1.
Tafsir bil al-ma’tsur (disebut pula bi
ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran Al-Quran yang mendasarkan pada
penjelasan Al-Quran sendiri, penjelasan nabi, penjelasan para sahabat melalui
ijthadnya , dan pendapat (aqwal) tabiin.
2.
Nabi Muhammad SAW bukan
hanya bertugas menyampaikan Al-Quran melainkan sekaligus menjelaskannya kepada
umat.Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir nabi SAW secara musyafahat
(dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya sampai dating masa
tadwin (pembukuan) sekitar abad ke-3 H.Metode penafsiran (cara penafsiran)
itulah yang merupakan cikal bakal tafsir bil matsur atau disebut juga tafsir
bil al riwayyat.
3.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan
tafsir bil matsur. Sebagian besar besar para ulama menerima tafsir bil matsur
dari tabiin namun sebagian besar ulama lain menolak dengan alas an yang
bermacam-macam.
4.
Kitab tafsir bil matsur
yang terkenal antara lain; Jami al Bayan fi tafsir Al-Quran,karya ibn Jaris
ath-thabari,, Anwar
at-Tanzil karya Al-Baidhawi, Ad-dhur AL-Mantsur fi Al-Tafsir bi
AL-Matsur karya Jalal ad-Din As-Suyuti, Tanwir Al Miqbas fi Tafsir ibn
abbas karaya Fairud zabadi, dan Tafsiir Al-Quran Al-Azhim karya ibnu
katsir.
5.
Mengingat corak tafsir
yang merujuk diantaranya kepada Al-Quran dan Al-Hadis maka dapat dipastikan
tafsir bil matsur memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan corak penafsiran
lainnya Dengan mempertimbangakan keistimewaandan kelemahan dalam tafsir bil
matsur maka dapatlah dikatakan bahwa corak itu dipandang lebih baik daripada
corak lainnya jika kelemahan-keleemahannya dapat dihindari.
B. Saran
Saya selaku pemakalah
mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena
itu saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini
dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhâriy, Abu ‘abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl
bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy, Al-Jâmi’ al-Shahîh
al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa Sallam wa
Sunanihi wa Ayyâmihi, Qahirah: Maktabah Salafiyah, 1400 H
Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
Al-Damîniy,
Musfir ‘Azm Allâh, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Riyad: Jâmi’ah Imam Muhammad
bin Su’ud al-Islâmiyah, 1984
Al-Dzahabiy, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa
all-Mufassirûn, Qahirah: Maktabah al-Wahbah, 1995
Haqqiy, Muhammad Shafa Ibrâhîm, ‘Ulûm al-Qur’ân min Khilâl
Muqaddimah al-Tafsîr, Beirut: Maktabah al-Risâlah, 2004
Al-Khâlidiy, Shâlah abd al-Fattâh, Ta’rif
al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arâb, Qahirah, Dar
al-Ma’arif, [t.th]
Al-Qaththân,
Mana’ Khalîl, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, [t.kt]: Mansyûrât al-Ashr
al-Hadîts, 1973
Al-Rûmiy, Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn Sulaimân,
Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 H
Al-Sabtiy, Khâlid ‘Usmân, Qawâ’id al-Tafsîr Jam’an
wa Dirâsatan, Su’udiyah: Dar Ibn ‘Affân, 1997
Al-Shabûniy, Muhammad ‘Aliy, Al-Tibyân fi ‘Ulum
al-Qur’ân, Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003
Ibn Shalâh, Abiy ‘Amru ‘Usmân ibn ‘abd al-Rahmân
al-Syahrazûriy, ‘Ulum al-Hadîts li Ibn al-Shalâh, Beirut: Maktabah
al-‘Ilmiyah, 1991
Al-Zarkâsyi, Al-Imâm Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘abd
Allâh, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’aîn, Qahirah: Dar al-Turâts, 1984
Al-Zarqâniy, Muhammad ‘abd al-‘Azhim, Manâhil
al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kitâb al-‘Arabiy, 1995
[7] Said Agil Husin AL Munawwar. Al-Quran
membangun tradisi kesalehan hakiiki,(Jakarta, ciputat press;2002), hlm.71
[13] Al Munawwar, Said Agil Husin. Al-Quran membangun tradisi kesalehan hakiiki,Jakarta:ciputat
press,2002
[21] Meski
al-Khalidiy memposisikan al-sunnah sebagai sumber tafsir bi al-ma’tsur yang
pertama, namun Ibn Taimiyah memposisikannya sebagai sumber kedua setelah
al-Qur’an. Ini Tampak dari ungkapan beliau berikut ini:
فإن أعياك ذالك- تفسير القرأن
بالقرأن- فعليك بالسنة، فإنها شارحة للقرأن و موضحة له
Kalau hal
ini menyulitkanmu –tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an-, maka wajib bagimu
mencarinya dalam sunnah Rasulullah, karena sunnah adalah pemberi keterangan
Al-Qur'an dan penjelas baginya. Al-Imâm Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘abd Allah
al-Zarkhâsyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’aîn, (Qahirah: Dar al-Turats,
1984), Cet. III, Jilid. II, h. 167
[22] Musfir ‘Azm
Allâh al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, (Riyad: Jâmi’ah Imam
Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1984), h. 117
[23] Abu ‘abd
Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah
Al-Ju’fiy al-Bukhâriy (selanjutnya ditulis dengan al-Bukhâriy) , Al-Jâmi’
al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa
Sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi, (Qahirah: Maktabah Salafiyah, 1400 h), Juz.
III, h. 190-191
[24] Di
antara defenisi sahabat yang diberikan ulama adalah: من لقي النبي صلى الله عليه و سلم مؤمنا به، ومات . على الإسلام. Lihat Khâlid ‘Usmân al-Sabtiy, Qawâ’id
al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, (Su’udiyah: Dar Ibn ‘Affân, 1997), Jilid. I,
h. 158. Sebagai perbandingan Lihat Abiy ‘Amru ‘Usmân ibn ‘abd al-Rahmân
al-Syahrazûriy (Ibn Shalâh), ‘Ulum al-Hadits li Ibn al-Shalâh,
(Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1991), h. 263
[25] Ibid, Terkait
dengan ini Ibn Taimiyah berkata: “Wajib diketahui bahwa Nabi telah menjelaskan
makna-makna Al-Qur'an kepada para sahabat sebagaimana telah menjelaskan
lafadz-lafadznya kepada mereka”
[38] Di antara
syarat qira’at yang shahih itu ada tiga yaitu: Memiliki jalur sanad yang
shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak menyalahi rasm
al-‘Usmaniy
[40] Dan sungguh
telah diketahui bahwa al-qirâ’ât al-syâdz, tidak boleh membaca
(al-Qur’an) dengannya, tetapi ketahuilah bahwa ia boleh dipelajari dan
diajarkan, begitu juga membukukannya ke dalam sebuah kitab, atau menjelaskannya
dari sudut pandang bahasa, i’rab dan makna, serta meng-istinbath-kan
hukum syar’i darinya. Lihat al-Khâlidiy, h. 204
[42] Beliau
masyhur dengan sebutan Imam al-Bukhâriy, pengarang kitab jami’ al-Shahih/
shahih al-Bukhâriy
[45] Menurut
al-Shabûniy, ada 4 sebab yang menyebabkan dha’îf-nya tafsir bi
al-ma’tsûr yaitu: a. Tercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang
tidak, b. adanya riwayat isrâ’iliyat, c. adanya usaha kelompok mazhab
yang menisbahkan perkataan/pendapat mereka kepada para sahabat nabi, dan d.
Adanya usaha dari kaum zindiq untuk merusak agama dengan menisbahkan perkataan
dusta kepada nabi dan para sahabat ataupun tabi’in. Al-Shabûniy, Op Cit,
h. 70-71
[46] Isrâiliyât
adalah istilah yang diberikan ulama untuk riwayat atau kisah masa lalu yang
tidak berasal dari Islam, tetapi justru didapatkan dari berita ahl al-kitab
(Yahudi dan Nasrani), Al-Khâlidiy, Op Cit, h. 218
[47] Muhammad Bakar Ismail, Ibn Jarir al-Tabari wa Manhajuhu f`i
al-Tafsir (Kairo: Dar al-Manar,1991), h. 9-10 dalam Muhammad Yusuf, Studi Kitab
Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 20.
[48] Tafsir Ibnu Jarir, 11.
[49] Katsir Ibn r, Tafsîr al-qur`ân al-’azhim li`ibni
katsir, yang di tahqiq oleh Mushthafa as-sayyid Muhamad, Muhamad sayyid
rasyad, Muhamad fashl al-’ajami, Ali Ahmad Abdul Baqi. Hasan Abbas Quthb, 2000,
vol I, Muasasah Qurtubah, Kairo, cet I, hal 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar