View My Stats

Sabtu, 31 Juli 2010

SEJARAH PEMIKIRAN PARA FILOSOFI

SEJARAH PEMIKIRAN PARA FILSUF
Sejarah perkembangan filsafat berdasarkan atas pemikiran – pemikiran kefilsafatan yang telah dibangun oleh para filsuf sejak abad ke 6 SM. Pembagian Filsafat Barat secara periodisasi adalah zaman filsafat kuno, filsafat abad pertengahan, filsafat modern dan masa kini. Berikut uraiannya:
A. FILSAFAT KUNO DAN ABAD PERTENGAHAN
Dalam sejarah pemikiran para filsuf, perkembangan filsafat terbagi menjadi beberapa zaman, pemikiran dan aliran. Menurut Dr. Jonathan Dlhenty filsafat kuno dan abad pertengahan dapat dibagi menjadi 7 zaman, yang di dalamnya terdapat pemikiran dan aliran – aliran dari berbagai filsuf. Pembagian zaman tersebut yaitu:
1. Zaman Yunani Kuno
Zaman Yunanai Kuno berlangsung sekitar tahun 650 SM – 550 SM. Pada masa ini dasar pemikiran yang berkembang adalah paham naturalis, sehingga tokoh – tokohnya dikenal dengan nama filsuf alam atau filsuf pertama karena pada zaman permulaan. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap asal dari segala sesuatu. Tokoh –tokoh pada masa ini antara lain:
a. Aliran The Ionians
1) Thales (624 – 546 SM) berpendapat arche itu air. Menurutnya zat utama yang menjadi dasar segala materi adalah air.
2) Anaximander (611 – 547 SM) berpendapat bahwa arche itu tidaklah bisa ditentukan (apeiron), karena tidak memiliki sifat –sifat zat yang ada sekarang. Dia merupakan murid Thales.
3) Anaximenes (599 – 524 SM) mempunyai pendapat berbeda dengannya Anaximenes, gurunya. Menurutnya arche itu udara, karena semua di alam semesta dirasuki dengan udara, juga jiwa manusia.
b. Heraclitus (540 – 460 SM) berpendapat arche itu api. Menurutnya api selalu berubah – ubah dan menggambarkan suatu keadaan yang kacau (chaos), sehingga dia dianggap sebagai seorang yang pesimis. Namun filsafatnya mempunyai segi positif yaitu segala kekacauan pasti ada jalan keluarnya.
c. Phytagoras meyakini bahwa arche itu bilangan dan segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika.
2. Zaman Keemasan Filsafat Yunani
Berlangsung sekitar tahun 550 SM – 400 SM. Pada zaman ini dasar pemikiran yang berkembang masih paham naturalis dan kemudian mulai berpindah ke paham metafisik. Yang termasuk paham naturalistik dan metafisik pada zaman ini yaitu:
a. Aliran Eleatic School, tokoh – tokohnya antara lain:
1) Xenophanes
2) Parmenides (540 SM – ) berpendapat bahwa segala sesuatu tetap dan tidak bergerak.
3) Zeno of Elea merupakan penyebab didirikannya logika modern dan terkenal dengan paradoksnya. Aristoteles menjulukinya penemu dialektik.
b. Aliran Pluralis
1) Empedokles (490 – 430 SM) berpendapat bahwa arche terdiri atas 4 unsur yang disebut sebagai akar, yaitu air, tanah, udara dan api. Ia menambahkan satu unsur lagi yaitu cinta (philia).
2) Anaxagoras (500 – 428 SM) merupakan filsuf Yunani yang berasal dari Clazorenae.
c. Aliran Atomis
1) Democritus (460 – 370 SM) mengembangkan teori mengenai atom sebagai dasar materi. Dia merupakan orang pertama yang yang berpendapat bahwa galaksi Bimasakti merupakan kumpulan cahaya gugusan bintang yang letaknya saling berjauhan.
2) Leucipus berpendapat bahwa atom adalah abadi, selalu ada kesimbangan atom – kekosongan.
d. Aliran Sofis merupakan bagian dari paham metafisik, objeknya bukan lagi alam tetapi manusia. Kaum sofis merupakan kaum yang pandai berpidato (rethorika). Kegiatan mereka adalah mengajarkan pengetahuan kepada kaum muda.
1) Protagoras berpendapat bahwa manusia adalah ukuran untuk segala – galanya.
2) Gorgias (480 – 380 SM) berpendapat bahwa tak terdapat sesuatu yang ada.
3. Zaman helintis dan Jatuhnya Yunani
Masa ini berlangsung sekitar tahun 350 – 250 SM. Pada zaman ini dasar pemikiran yang berkembang masih paham metafisik dan kemudian bergeser ke paham etika. Metafisik membicarakan watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda atau realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung. Socrates mengatakan bahwa yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai – nilai objektif yang dijunjung tinggi oleh semua orang. Hasil pemikiran Socrates dapat ditemukan pada muridnya Plato. Menurut Plato,realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang hanya terbuka bagi panca indra dan dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita (dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua adalah ide ). Pendapat tersebut dikritik oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia – manusia yang konkret. Ide manusia tidak tedapat dalam kenyataan. Bagi Aristoteles, metafisik berarti filsafat pertamayaitu pembicaraan tentang prinsip – prinsipyang paling universal.
Paham etika yaitu pengkajian soal moralitas. Aliran – aliran yang termasuk paham etika:
a. Aliran Stoik menyatakan penyangkalan adanya ruh dan materi. Aliran ini disebut juga dengan monoisme dan menolak pandangan Aristoteles dengan dualismenya. Memberikan ajaran hidup praktis, agak materialistis, memperkembangkan logika lebih lanjut. Tokohnya yang terkenal adalah Zeno (336 – 267 SM).
b. Aliran Epikurisme menyatakan bahwa segala – galanya terdiri atas atom – atom yang senantiasa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa – dewa. Setiap tindakan harus dipikirkan akibatnya. Nama Epikurisme berasal dari tokoh aliran ini yaitu Epikuros (342 – 270 SM) yang mengarahkan pada satu tujuan yaitu memberikan kebahagiaan kepada manusia dan mengutamakan etika.
c. Aliran Skeptis mengajarkan kesangsian, tidak mungkin manusia mencapai kepastian. Menurut aliran ini jagad raya ditentukan oleh kuasa – kuasa ynag disebut logos. Oleh karena itu segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari. Tokohnya adalah Pyrrho (365 – 275 SM).
d. Aliran Elektisis suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur filsafat dari aliran – aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh – sungguh. Tokohnya adalah Antiochus.
e. Aliran Ilmu Pengetahuan Alam Yunani menggambarkan bahwa masih dimungkinkan adanya kegiatan – kegiatan kefilsafatan yang cukup penting yang dapat dianggap sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan alam. Tokoh – tokoh aliran ini antara lain Euclid di bidang matematika, Archimedes (287 – 212 SM) di bidang fisika dan teknik, Ptolemeus di bidang astronomi dan Apollonius (260 – 200 SM).
4. Zaman Macedonia dan Romawi
Masa ini berlangsung sekitar tahun 50 SM – 900 M. Paham yang berkembang pada masa ini adalah paham religi / agama. Pada masa ini di dunia Barat, Katholik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Ada beberapa aliran yang berkembang pada masa ini yaitu Judaic – Alexandria School dengan tokohnya Philo (30 SM – 50 M). Aliran Neo – Phytagorean School dengan tokohnya Apolloniusdan Neo – Platonic School dengan tokohnya Ammonius Saccas (176 – 242 M). Sedangkan tokoh lainnya yaitu:
a. Plotonus (205 – 270 M) mendasarkan pendapatnya pada filsafat Plato terutama dalam ajarannya tentang ide tertinggi baik atau kebaikan Plotinus menuju pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pangkal dan isi pikiran Plotinus.
b. St Augustine (354 – 430 M) lebih memperlihatkan sistemyang merupakan keseluruhan. Dia menentang skepsis, menurutnya barang siapa ragu – ragu tentulah ia tak ragu – ragu tentang keragu – raguannya. Jadi ada kepastian padanya yaitu kepastian tentang ragu – ragu dan ada.
5. Zaman Kegelapan
Masa ini terjadi sekitar tahun 900 M – 1399 M. Paham yang berkembang pada zaman kegelapan adalah paham Skolastik. Disebut Skolastik karena filsafat diajarkan pada universitas – universitas (sekolah) pada waktu itu. Satu – satunya pemikir yang tampil adalah Skotus Erigena (815 – 877 M) yang mengajarkan pengertian – pengertian umum (universalia). Selanjutnya pada tahun 1000 – 1399 M muncul aliran Mistis dengan tokohnya St. Peter Damian (1007 – 1072 M) dan St. Bernard (1091 -1153 M). Pada masa ini minat orang mulai terahkan pada beberapa agama yang waktu itu datang dari daerah lain seperti filsafat Arab.
6. Zaman Pertengahan
Zaman ini terjadi pada tahun 1000 – 1399 M dengan paham yang masih sama dengan paham pada zaman kegelapan yaitu Skolastik. Aliran yang muncul pada zaman ini adalah aliran Dialecticians denagn tokoh – tokohnya antara lain :
a. Anselmus (1033 -1109 M) berpendapat bahwa budi dapat dipergunakan dan harus dipergunakan dalam keagamaan. Hubungan budi dan kepercayaan dirumuskan dengan ‘fides quaerens intellectum’ (kepercayaan itu mencari budi).
b. P. Abelard (1079 – 1142 M) berpendapat bahwa universal itu merupakan suatu realitas di dalam bendanya masing –masing (ultra - realisme).
c. John of Salisbury (1110 – 1182 M)
Tokoh lainnya adalah Thomas Aquinos (1225 – 1274 M) yang berpandapat bahwa semua yang di dunia ini merupakan partisipasi ada Tuhan. Segala sesuatunya itu diciptakan dengan kehendak yang merdeka, Tuhan bukanlah harus menciptakan. Gurunya, Albertus Magnus berpendapat bahwa makhluk adalah partisipasi Tuhan, Diciptakan tanpa bahan dan pada suatu waktu. Sedangkan William of Ockham membandingkan jalan modern dan jalan kuno. Menurutnya hanya pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu yang sempurna.
Sedangkan tokoh – tokoh lainnya yaitu Roger Bacon (1214 – 1294 M), St. Bonafenture (1221 – 1274 M) dan John Duns Scotus (1265 – 1308 M).
7. Zaman Renaissance
Zaman ini berlangsung pada tahun 1400 M – 1600 M. Paham yang berkembang adalah paham humanisme. Terjadi pertentangan besarantara tradisi dan kemajuan, perkembangan baru dari sistem – sistem lama dan usaha mencari sintesis – sintesis baru. Persoalan terbesarnya adalah hubungan antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan atau agama.
Ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma – dogam agama. Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai dirubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Tuhan. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
a. Nicholas of Cusa (1401 – 1464 M) menganut aliran humanis.
b. Giorano Bruno (1548 – 1600 M) mengajarkan Pantheisme, ajaran emanasi, ajaran monacle.
c. Ilmu alam dan filsafat alam, tokohnya Leonardo da Vinci (1452 – 1519 M), Paracelcus, Keppler, Galilei (1564 – 1644 M).
d. Skolastis Gapivelus, Teresa, Cagetanus, De Sobo, Molian, Suarez, Rob, Bellarminus.
e. Tentang hukumdan negara, tokohnya Nicollo Machiavelli (1469 – 1527 M) dan Hugo de Groot (1583 – 1645 M).
Diposkan oleh Ika Septiana di 19:20 0 komentar


Tahap filsafat modern (abad 17 M)
Pada saat ini rasio kembali menjadi pusat kegiatan filsafat dan manusia baru dilahirkan kembali. Semboyan yang terkenal pada zaman itu adalah “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada). Tokoh sentral: Rene Descrates, B. Spinoza, dan G.W. Leibniz.
Asal, arche. Seorang individu manusia hadir dan menginjakkan kakinya ke dunia tidak dari titik awal ruang-waktu. Ia memijakkan kakinya di atas hamparan ruang-waktu yang sedang dan telah lama berjalan, berputar. Bahkan, kehadirannya merupakan “konsekwensi” dan keberlanjutan dari langkah-langkah manusia sebelumnya (?). Entah kapan dan petak-petak mana yang menjadi awal? Oleh karena itu ia sering bertanya pada pembuat langkah dari generasi sebelumnya. Dan kemudian dengan “terpaksa” ia harus tunduk pada pengarahan (direction), pengajaran dan orientasi orang tua dan generasi tua mereka. Mengerti atau pun tidak. Membantah akan dianggap membikin payung di saat hujan sedang berlangsung, kehujanan.
Ilustrasi tersebut mengisyaratkan dua hal (sebagai awal) pada kita, yaitu: pertama tentang awal, atau asal; dan kedua tentang “menjalani” kehidupan sebagai “manusia”. (bagaimana mana manusia harus mengawali langkahnya, bukan sekedar melanjutkan langkah-langkah pendahulunya?)
Manusia senantiasa melihat dirinya kemudian melihat alam sekitarnya. Sebuah cara membanding-bandingkan. Kemudian kembali melihat dirinya sendiri, dan kemudian kembali melihat sekitarnya. Hal ini berlangsung terus menerus. Proses ini kadang terhenti, ketika manusia merasa telah menemukan “jawaban” atau pola perbandingan yang ia anggap memuaskan, dan “terbukti” “kebenarannya”. “Temuannya” itu disampaikan, diwariskan dan diajarkan kepada penerusnya. Maka, jadilah tradisi, mitos, legenda, ajaran moral, keyakinan, bahkan sains dan mungkin pula agama. Dalam perspektif, realitas merupakan matriks dari sejumlah titik yang “tak terhingga”, setiap orang memetakan dan menyambungkan titik-titik itu, dan membentuk suatu “visi”, makna: kemengertian dan suatu “experience”.
Dalam perjalanan sejarah filsafat kita melihat bahwa para pemikir betul berfilsafat mengenai lingkungan mereka. Para filsuf pra-Sokrates, yang pada umumnya adalah ahli-ahli kosmologi, (yang sekarang seharusnya dikelompokkan sebagai saintis) hanya berkecimpung dalam dunia mereka ini, karena hal ini dilihat sebagai pengetahuan dan pengalaman umum yang banyak didiskusikan orang. Mereka mempersoalkan asas atau prinsip (arche) yang menjadi dasar terjadinya segala sesuatu. Thales menyebut air sebagai asas dasar, Anaximander menyebut sesuatu yang tak terbatas (to apeiron), Anaximenes menyebut udara dan Heraklitus menyebut api sebagai asas, dan lain sebagainya.
Sokrates, Plato dan Aristoteles berfilsafat tentang manusia: keyakinan dan kebudayaan serta pandangan hidup, apa yang manusia tahu dan pikirkan dan apa yang mereka alami dan hidupi. Dialog Platonik atau tulisan-tulisan Aristoteles yang dihimpun dalam The Basic Works of Aristotle sungguh membenarkan ini.[6] Seluruh ide dan karya berpikir mereka mencerminkan hidup dan pengalaman mereka sendiri dan pengalaman manusia pada umumnya. Para filsuf sesudahnya juga berfilsafat tentang realitas yang mereka alami. Singkatnya seluruh filsafat berpikir paling kurang mencerminkan realitas hidup dan lingkungan hidup manusia sendiri.









Aku berpikir maka aku ada. Ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Maksudnya kalimat ini keberadaan (eksistensi) bisa dibuktikan dengan fakta bahwa seseorang berpikir dan menjadi dasar pemikiran aliran Rasionalisme


Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Atau dalam bahasa Latin: COGITO ERGO SUM, aku berpikir maka aku ada.
kita sedang menuju skeptisisme. Artinya kita bisa skeptis terhadap apapun. kecuali satu hal. dan satu hal ini adalah diri anda (apapun bentuknya). anda tidak bisa meragukan keberadaan anda, karena kalo ndak ada anda, lalu siapa yg meragukan tadi? dengan demikian, pada saat anda skeptis/mempertanyakan keberadaan sosok anda, bagi descartes, sudah membuktikan keberadaan anda.
kalaupun semua ini emang mimpi, maka andapun harus ada untuk isa bermimpi.
inilah maksud descartes

kita sedang menuju skeptisisme. Artinya kita bisa skeptis terhadap apapun. kecuali satu hal. dan satu hal ini adalah diri anda (apapun bentuknya). anda tidak bisa meragukan keberadaan anda, karena kalo ndak ada anda, lalu siapa yg meragukan tadi? dengan demikian, pada saat anda skeptis/mempertanyakan keberadaan sosok anda, bagi descartes, sudah membuktikan keberadaan anda.
kalaupun semua ini emang mimpi, maka andapun harus ada untuk isa bermimpi.
inilah maksud Descartes


Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa


Tudingan itu dari satu sisi tidaklah manusiawi karena memang anjing hanyalah binatang, di lain sisi hal itu ada benarnya, karena manusia suka akan hal-hal yang berbau manusiawi yang kadang mengakibatkan mereka secara sadar maupun tidak untuk menyukai dan cinta akan anjingiyawi, dan hal itu pun sama sekali tidaklah anjingiyawi karena manusia tetaplah manusia, dan mungkin anjing hanya dapat menertawakan mereka.
Anjing di zaman sekarang ini, sangat dibutuhkan keahliannya yang melebihi alat diteksi mutakhir oleh manusia, dengan latihan yang intensif, insting anjing semakin peka, dan hewaninya pun condong pada hayawan naatiq mirip dengan manusia. Kehebatannya itu terbukti dengan digunakan anjing sebagai alat pelacak yang masih dapat mengimbangi alat-alat yang mutakhir oleh pihak kepolisian, bahkan jasa anjing digunakan oleh sebagian orang kaya sebagai satpam yang menyerupai robot. Hal ini menunjukkan bahwa anjing dan hewan lainya mempunyai kecondongan untuk menjadi HAYAWANUN NATIQ meskipun tidak mempunyai kelebihan akal.
Dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan tentang keberadaan manusia dan kurang rasa syukur, maupun karena pendidikan dan pelatihan yang dituntut oleh lingkungan maupun orang-orang yang berada di sekitarnya, memaksa manusia untuk berubah dan sengaja untuk ber-anjingiyawi. Mengapa demikian? Anjing ingin menyerupai manusia sementara manusia malah ingin menjadi anjing, mungkin hal itulah yang dinamakan manusiawi, karena yang gemuk ingin menjadi kurus dan yang kurus ingin menjadi yang gemuk, dan itulah manusia. Namun jika yang di atas selamanya tidak akan pernah mau di bawah, dan yang kaya tidak akan pernah ingin menjadi miskin dengan cara anjingiyawi, jelas hal itu adalah anjingiyawi.
Untuk itu, kembalikan ke diri masing-masing dengan menggunakan tolak ukur yaitu: “Addunya Jiyfatun, Wa Tholibuha Kilabun”, dunia itu bagaikan daging yang busuk, dan yang menuntutnya hanyalah anjing.
Anjing-anjing terdidik dan terpelajar makannya adalah daging, susu dan makanan kaleng lainnya, kencing dan beraknya pun teratur dan pada tempatnya, sedangkan anjing liar, makannya adalah kotoran dan sampah. namun karena dunia kian dipenuhi oleh keburukan, bisul dan borok moral manusia, maka dunia akan tetap menjadi kejaran dan tuntutan anjing.
Anjing hanyalah binatang yang juga mempunyai kebutuhan, anjing tidak pernah mencela manusia dan anjing meskipun tanpa diberi nalar, instingnya dapat mengetahui mana yang lebih baik dari yang baik, dan tetap berusaha menjadi bai

Positivisme berpandangan bahwa upaya pencarian sebab pertama dan realitas tertinggi demikian juga semua hal-hal lainnya, seluruhnya adalah sia-sia. Pikiran manusia harus membatasi dirinya sendiri untuk fakta-fakta aktual, yang disebut dengan fenomena. Fenomena adalah benda-benda (hal-hal), sebagaimana mereka nampak dalam pengalaman nyata (actual) kita. Filsafat tidak berguna untuk mengungkap apa yang ada di belakang fenomena atau tentang benda-benda (hal-hal) yang ada di dalam mereka sendiri (thing in themselves). Filsafat harus membatasi dirinya sendiri untuk menemukan hubungan di antara berbagai fenomena, tidak terkecuali juga berbagai mode atau cara mereka bertingkah laku. Salah satu tokohnya adalah August Comte (1798-1857).
Skeptisisme berpandangan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang ada” atau “yang ada itu tidak ada” (nothing exists). Mereka cukup menonjolkan gaya dogmatis, tak pantas, sebagaimana orang yang akan berpikir, dengan cara kaum skeptis, bahwa pengetahuan itu tidak mungkin. Kesimpulan yang mereka gambarakan juga nampak asing bagi kita. Mereka pikir ini lebih baik untuk menghentikan putusan dan penilaian mengenai semua pertanyaan yang para filsuf diskusikan dengan Tuhan, jiwa dan dunia oleh karena itu tercapailah bagi mereka sendiri keseimbangan mental dan ketenangan. Skeptisis yang paling terkenal dalam zaman modern adalah David Hume (1711-1776).
Apakah kita akan atau tidak akan masuk ke dalam studi filsafat telah lama diselesaikan oleh Aristoteles ketika dia mengatakan; “Apakah kita akan berfilsafat atau tidak mau berfilsafat, yang jelas kita harus berfilsafat.” Perhatian kita bukan menyangkut apa yang kita butuhkan tetapi apa yang kita inginkan. Satu dorongan terdalam pada pikiran manusia adalah mengidamkan atau menginginkan untuk mengetahui. Keingintahuan yang ilmiah selalu merupakan dorongan yang sangat kuat untuk melakukan riset ilmuah. Kita suka membongkar rahasia alam. Kita ingin memahami dunia di sekitar kita, sumber-sumbernya, maknanya mungkin juga masa depannya.

Dalam miniskripsi ini, penulis membatasi bahasan masalahnya pada bagian epistemologi, yakni metode keraguan (skeptisisme) yang dikemukakan oleh Rene Descartes. Epistemologi adalah cabang filsafat yang penyelidikannya mencakup aspek sumber-sumber pengetahuan, susunan, metode-metode, dan keabsahan suatu ilmu pengetahuan (validitas).[8] Selanjutnya, perumusan miniskripsi ini mencakup pula faktor historis pemikiran Descartes secara umum dan melacak dampak atau relevansi metode keraguan (skeptisisme) Rene Descartes pada abad ke-21.

C. Tujuan Penulisan
Penulisan miniskripsi ini bertujuan menjelaskan metode keraguan (skeptisisme) Descartes. Secara khusus miniskripsi ini berusaha menggambarkan metode keraguan (skeptisisme) Descartes sesederhana mungkin dan mencoba membuktikan apakah memang benar, bahwa metode keraguan tersebut dinilai sebagai titik tolak yang netral dalam mendapatkan pengetahuan yang sah (valid).
Skeptisisme (keraguan metodis) yang diusulkan Descartes lebih pada “langkah awal” dalam mencari dan mengukur validitas (ke-absah-an) ilmu pengetahuan. Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria untuk mengungkap kebenaran (rasionalisme). Namun, pada akhirnya kenetralan metode Descartes masih problematik, dan mulai diragukan. Bila kita telusuri argumen “Cogito Ergo Sum” Descartes, akan kita dapati bahwa “keraguan” pun merupakan deviasi sesaat dan akan kembali pada keyakinan (praduga).
Keyakinan “aku ada” yang bagi Descartes mutlak pun masih merupakan “praduga” yang sarat nilai (value ladens) dan bukan netral atau bebas nilai (value free). Bagaimanapun, praduga dalam bentuk apa pun tidak bisa dihapuskan dari metodologi dan aplikasi ilmu pengetahuan. Lagi pula “skeptisisme” Descartes merupakan wujud konkret praduga atau pandangan hidup (worldview) Descartes sendiri. Hal ini berarti ia ingin melepaskan dirinya dari “hegemoni” dogma Kristiani.

B. Saran
Pembacaan terhadap skeptisisme Descartes memang suatu hal yang menarik, karena Descartes memiliki latar belakang yang mencengangkan. Di samping itu, ia adalah pelopor jalan baru (via moderna) bagi perjalanan sejarah masyarakat Barat-Eropa.
Yang dimaksudkan Descartes dengan istilah “berpikir” adalah “menyadari”. Pikiran memang merupakan salah satu bentuk kesadaran, dan dalam arti itu kesangsian metodis (skeptisisme) tadi disebutnya “saya berpikir“, dan karena saya berpikir, jelaslah saya ada. Itulah kebenaran yang bagaimanapun tak dapat disangkal, Ibid. Perlu ditegaskan disini bahwa makna keraguan metodis (skeptisime) Descartes adalah mengarah pada satu langkah awal/titk tolak yang netral (mengesampingkan semua aspek praduga baik itu budaya maupun agama ) dalam mendapatkan pengetahuan. Dan bukan “skeptisime” yang dikemukakan oleh David Hume, yakni skeptisime bukan langkah awal tapi menjadi langkah ahir/kesimpulan, bahwa kita tidak mungkin mengetahui apapun.

Tidak ada komentar: