DUNIA KERJA DI ACEH
DIPANDANG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
ABSTRAK
Pendidikan Islami sebagai suatu sistem pendidikan di Aceh mengandung berbagai komponen yang antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Komponen dimaksud meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompotensi dan profesionalitas guru, pola hubungan guru-murid, evaluasi, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, pendanaan dan sebagainya. Berbagai komponen tersebut seringkali berjalan apa adanya, bersifat alamiah dan tradisional, tanpa didukung oleh konsep manajerial yang handal dan terukur. Akibatnya mutu pendidikan Islam kadang kala memperlihatkan hasil yang tidak dapat dihandalkan.
Oleh karena itu, dalam hal peranan guru sebagai pendidik profesional dengan sendirinya menghendaki guru mampu bekerja secara profesional. Reorientasi pengembangan profesionalitas ini dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Aceh pada prinsipnya mencakup aspek:
(1) Kemampuan memahami al-Qur’an dan mengintegrasikannya ke dalam proses belajar mengajar serta mensucikan jiwa dari dosa dan kemungkaran;
(2) Keterampilan komunikasi yang efektif antara guru dan muridnya;
(3) Menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar;
(4) Mengoptimalkan pengaruh lingkungan sekolah untuk peningkatan mutu lulusan; dan
(5) Penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran.
Pendahuluan
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dan di Aceh pada khususnya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut telah diupayakan, di antaranya:
(1) Pengadaan buku dan alat pelajaran;
(2) Berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru;
(3) Perbaikan, pengadaan sarana/prasarana pendidikan; dan
(4) Peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, dilihat dari berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Mulyani AN menyebut bahwa pendidikan di Indonesia secara kuantitatif dapat dikatakan telah mengalami kemajuan. Indikatornya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai 67.24%. Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendididikan, terutama melalui Inpres SD yang dibangun pada masa Orde Baru. Sedangkan keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakteristik bangsa yang cerdas dan kreatif, apalagi yang unggul.
Banyaknya lulusan pendidikan formal, baik pada tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi, terlihat belum mampu mengembangkan kreativitas dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah masih sukar bekerja di sektor formal karena belum memiliki keahlian khusus. Bagi sarjana, yang dapat berperan secara aktif di sektor formal terbilang hanya sedikit. Keahlian dan profesionalisasi yang melekat pada lembaga pendidikan tampaknya hanya simbol belaka, lulusannya tidak profesional.
Lembaga industri (swasta, BUMN dan pemerintah) sering menuntut persyaratan tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga tersebut. Penguasaan bahasa Inggris, keterampilan komputer dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama yang diminta. Sementara ijazah yang diperoleh para lulusan setelah menempuh pendidikan selama 20 atau 25 tahun dari lembaga pendidikan formal terabaikan. Hal ini memberikan indikasi bahwa kualitas lulusan pendidikan belum layak pakai. Melihat kenyataan ini, dapat diduga bahwa terjadi kesenjangan antara tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam menghasilkan output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan dalam peningkatan mutu lulusannya.
Di samping itu, dilihat dari segi aktualisasinya pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Guru, siswa dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk triangle, yang jika hilang salah satunya, maka hilang pulalah hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain, seperti media teknologi tetapi tidak dapat digantikan.
Oleh karena itulah, tugas guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional karena munculnya fenomena para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap untuk memasuki lapangan kerja atau bahkan dalam bersaing untuk memasuki dunia pendidikan tinggi. Jika fenomena ini dijadikan tolok ukur, maka peranan guru sebagai pendidik profesional baik langsung maupun tidak langsung menjadi dipertanyakan.
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui seminar dengan tema "Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami secara Kaffah” yang diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Pidie Jaya ini, hendaknya dilihat sebagai upaya revitalisasi peran guru, yaitu mewujudkan apa yang harus dikerjakan sebagai guru yang profesional.
Dengan revitalisasi peran guru ini diharapkan adanya peningkatan mutu pendidikan secara signifikan. Dasarnya adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dinyatakan bahwa otonomi pendidikan berasaskan desentrasilasi, dengan pendekatan manajemen bebasis sekolah (MBS). Pendekatan MBS dimaksudkan untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas kepemimpinan kepala sekolah dan guru bidang studi yang kuat dan efektif.
Oleh karena itu amanat dalam UU tersebut harus menjadi dasar dan arah dalam pengembangan profesionalitas guru masa depan. Dalam penerapan konsep MBS untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah dan guru bidang studi yang aktif, kreatif dan inovatif dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik, --di mana sebagian besar urusan persekolahan menjadi urusan sekolah yang bersangkutan, yakni oleh kepala sekolah, dewan guru dan masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa pokok pikiran di atas, maka reorientasi pengembangan profesionalitas guru menjadi peluang yang amat terbuka dan amat urgen dilakukan, terutama dilihat:
(1) Dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas guru bidang studi, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efesien;
(2) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaannya secara akademik-profesional;
(3) Setiap guru dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan; dan
(4) Khususnya di Provinsi Aceh, termasuk Kabupaten Pidie Jaya di dalamnya wajib menerapkan Pendidikan Islami sesuai dengan amanat UU PA yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu.
Oleh karena itu, dipandang perlu adanya reorientasi pengembangan profesionalitas guru di Provinsi Aceh pada umumnya dan di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya, terutama aspek:
(1) Integrasi penguasaan pengetahuan agama ke dalam tugas pokok bidang studi;
(2) Keterampilan membangun komunikasi yang efektif;
(3) Menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar;
(4) Pemahaman dan penguasaan karakteristik sekolah di perkotaan dan pedesaan; dan
(5) Penguasaan dan penerapan teknologi informasi dalam proses pembelajaran. Dalam proses reorientasi ini harus berpegang pada prinsip “Teguh mempertahankan nilai-nlai lama yang baik dan bersungguh-sungguh pula mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Hal ini menjadi penting supaya sistem pendidikan yang digunakan tidak ketinggalan zaman berbaringan dengan munculnya paradigma baru pendidikan.
Reorientasi Pengembangan Profesionalitas Guru
Sejalan dengan peranan guru sebagai pendidik profesional, maka dengan sendirinya guru harus bekerja secara profesional. Bekerja sebagai seorang profesional berarti bekerja dengan keahlian dan keahlian ini hanya diperoleh melalui pendidikan khusus. Di sini, guru tentunya telah mengikuti pendidikan profesional melalui LPTK. Keahlian dalam bidang pendidikan ditandai dengan diberikannya sertifikat atau akta mengajar. Pertanyaannya adalah, apakah benar guru telah bekerja secara profesional dan bagaimana guru yang profesional dalam proses pembelajaran? Dalam makalah ini hendak dikemukakan beberapa aspek penting reorientasi pengembangan profesionalitas guru dalam rangka penerapan pendidikan Islami di Kabupaten Pidie Jaya pada khususnya serta di Provinsi Aceh pada umumnya.
Pertama, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa makhluk yang paling mulia di muka bumi ini ialah manusia. Sebaik-baik dari bagian tubuh manusia itu ialah qalbunya. Guru atau pendidik selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan qalbu itu serta menuntunnya untuk selalu dekat kepada Allah Swt. Seseorang yang berilmu dan kemudian ia bekerja dengan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagaikan matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ia ibarat minyak kasturi yang harumnya dinikmati oleh orang lain dan dinikmati pula oleh dirinya sendiri. Di sini dapat dipahami bahwa tenaga pendidik merupakan profesi yang paling mulia. Dengan profesi yang mulia itu, bahkan guru dipandang sebagai perantara antara manusia, --dalam hal ini muridnya,-- dengan Penciptanya, yakni Allah Swt.
Rasulullah Saw sendiri sebagai guru pertama dalam Islam (muallimul awwal fil Islam) bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini. Dengan demikian, tampaklah bahwa pendidik itu betugas dan bertanggung jawab sebagai pewaris para rasul. Dalam konteks tugas kerasulan, semua pendidik wajib dapat bertugas membacakan dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, menceritakan tentang manusia di zaman silam, mengkaitkannya dengan kehidupan pada zaman sekarang ini.
Di sini pendidik tidak terikat dengan bidang keilmuwan secara khusus yang harus diajarkannya, yang terpenting dari pendidik itu ialah mengantarkan dan menjadikan muridnya menjadi manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan. Pendidik tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tahap-tahap pekembangan siswa dan sesuai bidang keahliannya, tetapi semua pendidik bertanggung jawab pula memberikan dasar-dasar pendidikan kesusilaan atau akhlak mulia dan pendidikan itu dipandang sebagai suatu proses memanusiakan manusia.
Kedua, bahwa antara mengajar dan belajar merupakan dua hal yang berbeda. Yang paling menonjol dari perbedaan ini adalah mengajar dilakukan oleh satu orang sedangkan belajar dapat terjadi pada setiap orang. Suatu hal yang perlu dipertimbangkan di sini adalah proses belajar mengajar hanya terlaksana dengan efektif jika ada hubungan yang unik antara dua organisme—suatu “hubungan”, mata rantai atau jembatan antara guru dan muridnya. Keterampilan berkomunikasi yang diperlukan, sebenarnya tidaklah rumit, --tidak sukar bagi guru untuk mengerti,-- meskipun diperlukan latihan dan kesungguhan, sama halnya dengan keterampilan lainnya, misalnya menjahit, memahat, bermain ski, bernyaji atau keterampilan menggunakan alat musik.
Inti keterampilan komunikasi ini pada dasarnya adalah melibatkan ”keterampilan berbicara”, sebagai sesuatu yang sudah lazim dilakukan dan dapat dipraktekkan dengan mudah. Dengan kekuatan berbicara itu, sesungguhnya dapat memperbaiki hubungan antar manusia dan dapat mendekatkan atau pun dapat menjauhkan hubungan antara pendidik dan muridnya, bahkan dapat merusak hubungan pribadi dan memutuskan tali persaudaraan. Di samping itu, berbicara itu juga tergantung dari kualitas topik pembicaraan dan pemilihan topik pembahasan yang sesuai untuk situasi yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, cara-cara untuk menjadi pendidik yang efektif itu dibangun berdasarkan aktivitas-aktivitas mendasar yang setiap hari telah dikerjakan oleh pendidik. Yang diperlukan di sini hanyalah seperangkat keterampilan, kepekaan dan kepandaian tambahan saja mengenai beberapa hal, seperti keterampilan memberikan pujian dan keterampilan mendengar. Setiap orang tua dan pendidik tahu bagaimana memberikan pujian kepada seorang anak muda. Menjadi pendidik yang efektif yang ditawarkan di sini adalah dibangun berdasarkan konsep pujian itu juga. Yang penting di sini adalah bagaimana pujian pendidik dapat membuat murid memandang pendidik sebagai seorang yang sangat manusiawi, tulus dan benar-benar penuh perhatian. Jika pendidik memuji anak didiknya, maka jangan sampai dengan pujian itu murid merasa tidak dipahami dan merasa dipermainkan.
Di sini pendidik perlu mengetahui cara-cara sederhana agar dapat meneliti kembali ketepatan pendengaran untuk memastikan bahwa apa yang pendidik dengar itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh anak didik. Pada saat yang bersamaan, hal ini akan membuktikan kepada murid bahwa pendidik tidak saja mendengarkan, tetapi juga memahaminya.
Ketiga, menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mengajar. Bila guru tidak efektif dalam berhubungan dengan murid, sebaiknya jangan mengabaikan pengaruh sistem organisasi sekolah yang diterapkan. Ketika guru tidak efektif dalam mempermudah proses belajar mengajar, untuk sebagian dari kegagalan mereka harus dikaitkan dengan faktor-faktor organisasi sekolah yang membatasi peran seorang guru. Kadang-kadang ada kecenderungan guru diharapkan mampu memenuhi kebutuhan murid sekalipun kebutuhan mereka sendiri tidak terpenuhi. Dalam penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah yang aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengelola sekolah dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Di antara tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan MBS ini adalah mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, yakni menjadikan sekolah sebagai tempat sumber belajar yang menyenangkan bagi anak didik dari aspek fisik maupun psikologisnya. Untuk mengembangkan kultur sekolah yang kondusif, kepala sekolah juga harus berperan aktif dalam menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan guru untuk mengajar. Tugas mengajar harus menjadi sumber utama mata pencaharian dan kehidupan guru bertumpu pada pekerjaannya itu. Dengan kata lain, pekerjaan mengajar menjadi sumber utama kesejahteraan guru.
Keempat, pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu pendidikan di Aceh nampaknya merupakan salah satu fokus yang penting diperbincangkan. Ace Suryadi menyebut mutu pendidikan pada negara-negara maju cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel masyarakat, antara lain sosial ekonomi, aspirasi keluarga, interaksi anak dan orang tuanya. Sebaliknya, mutu pendidikan pada negara-negara berkembang cenderung lebih mampu diterangkan oleh variabel-variabel sekolah, antara lain mutu guru, buku paket dan alat-alat belajar. Studi tentang mutu pendidikan dasar di Indonesia menunjukkan bahwa mutu pendidikan yang lebih tinggi di daerah perkotaan ditandai dengan lebih besarnya efek faktor luar sekolah dibandingkan dengan faktor sekolah, sedangkan di pedesaan mutu pendidikannya cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor sekolah.
Gambaran pengaruh lingkungan sekolah dan masyarakat terhadap mutu pendidikan di atas, ada kesamaannya dengan mutu pendidikan di Aceh, terutama dilihat dari perbedaan kualitas pendidikan di desa (gampong) dan kota. Kalau diamati pada kondisi proses pendidikan di gampong-gampong dalam Provinsi Aceh dewasa ini, menunjukkan bahwa “efek” dari faktor-faktor sekolah terhadap prestasi belajar tampaknya memiliki keterbatasan, yakni sejauh atau sebesar yang dapat ditentukan oleh kelengkapan fasilitas pendidikan.
Perbedaan prestasi belajar murid di perkotaan lebih banyak diterangkan oleh faktor luar sekolah, di antaranya aspirasi pendidikan, pengalaman pendidikan di TK dan keadaan sosial ekonomi orang tuanya. Jika perbedaan ini dipersempit lagi, maka prestasi belajar murid di kota banyak ditentukan oleh peran orang tua mereka, sedangkan di gampong-gampong banyak ditentukan oleh peran guru. Oleh karena itu, komitmen dan profesionalitas guru untuk memaksimalkan pemanfaatan buku paket, alat-alat pelajaran dan kualitas kehadiran guru dalam mengajar menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan.
Kelima, penerapan teknologi dalam proses pendidikan. Yang terjadi selama ini, proses pembelajaran cenderung berpusat pada guru dan kurang mendorong proses berpikir kreatif, proses inkuiri (penyelidikan) serta proses pemecahan masalah. Di samping itu, proses pembelajaran cenderung belum menggunakan teknologi informasi. Guru harus dapat meletakkan information technology sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan.
Hal ini berarti mulai dari tingkat pendidikan rendah sampai perguruan tinggi di mana pun lembaga tersebut berada merupakan jalur linier pendidikan, pengenalan, pemahaman dan pengamalan ilmu dan teknologi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, guru dan segenap warga sekolah tidak ketinggalan dengan percaturan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah secara terjadwal hendaknya membuat program belajar dengan TVEdukasi yang sudah dipopulerkan oleh Mendiknas.
Penerapan Pendidikan Islami Aceh
Menurut al Qur’an, semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian dari pengetahuan itu diwahyukan oleh Allah Swt kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan qalbunya. Pengetahuan yang diwahyukan itu mempunyai kebenaran absolut (mutlak), sedangkan pengetahuan yang diperoleh manusia, kebenarannya tidak mutlak. Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Pengetahuan yang diwahyukan disebut pengetahuan naqliyah dan pengetahuan yang diperoleh manusia disebut pengetahuan aqliyah.
Ketika pemikiran dan teknologi telah begitu maju, maka hubungan antara pengetahuan naqliyah dengan pengetahuan aqliyah mulai terganggu sehingga muncul keterpisahan antara keduanya. Dalam berbagai buku, juga dalam pembicaraan sehari-hari, sering kali dijumpai istilah pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Dari istilah ini kemudian berkembang pula istilah lainnya, seperti sekolah umum dan sekolah agama, guru umum dan guru agama. Bahkan muncul pula kategori masalah dunia (masalah pengetahuan umum) dan masalah akhirat (masalah pengetahuan agama). Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri individu maupun dalam kehidupan masyarakatnya.
Oleh karena itu, keterpisahan ini seharusnya diakhiri, keduanya harus disatukan lagi dalam satu sistem penerapan yang terpadu dan harmonis. Secara sederhana pendidikan Islami diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat Islam.
Berbagai komponen pendidikan mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan guru-murid, evaluasi, sarana dan prasarana dan lingkungan pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Jika semua komponen ini membentuk suatu sistem yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut selanjutnya disebut sistem pendidikan Islami.
Ajaran Islam yang dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits telah meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, cakupan pendidikan Islami harus diarahkan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan ini, dan inilah yang menjadi cita-cita Islam untuk berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
Dalam bidang sosial, Islam mencita-citakan suatu masyarakat yang egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan kesetaraan dan kesederajatan sebagai makhluk Allah Swt. Atas dasar ini, kedudukan dan kehormatan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt, bukan didasarkan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, pangkat, keturunan dan sebagainya.
Dalam bidang politik, Islam mencita-citakan suatu kehidupan negara yang dipimpin oleh orang yang adil, jujur, amanah, dan demokratis, sehingga ia tidak menyalahgunaan kekuasaan, menciptakan kemakmuran dan memperhatikan aspirasi rakyatnya.
Dalam bidang ekonomi, Islam mencita-citakan sistem ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli dan saling menguntungkan.
Dalam bidang hubungan sosial, Islam mencita-citakan suatu sistem masyarakat yang didasarkan pada ukhuwah yang kokoh, hubungan yang harmonis, saling tolong menolong sesama manusia.
Dalam bidang hukum, Islam mencita-citakan tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten dan obyektif yang diarahkan untuk melindungi seluruh aspek HAM yang meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan harta, hak memiliki keturunan, hak mengembangkan cita-cita dan memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Islam mencita-citakan pengembangan ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah. Sedangkan dalam bidang budaya, Islam membolehkan masuknya budaya baru sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam.
Gambaran tentang cita-cita Islam dalam berbagai lapangan kehidupan di atas selain harus disosialisasikan kepada umat Islam melalui jalur pendidikan, juga sekaligus menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Ciri-Ciri Pendidikan Islami
Untuk lebih mudah mengenal pendidikan Islami, terlebih dahulu dipandang penting disebutkan ciri-ciri yang melekat padanya. Ciri-ciri pendidikan Islami adalah sifat-sifat yang melekat pada pendidikan Islami yang membuat ia berbeda atau sama dengan pendidikan konvensional pada umumnya. Dalam pemahaman ini, penamaan pendidikan Islami sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk secara langsung menggambarkan karakteristik dan identitas pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Di samping itu, pembahasan mengenai ciri-ciri ini juga merupakan suatu ajakan serius untuk memikirkan komponen-komponen penting yang menjadi unsur-unsur utama pendidikan Islami. Hal ini mengingat pendidikan Islami sebagai wadah yang masih menanti kelengkapan isi dan masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk memantapkan jati dirinya. Jati diri pendidikan Islami secara konseptual harus menggambarkan secara spesifik nilai-nilai etik ajaran Islam.
Pandangan mengenai Hakikat Manusia
Ciri utama pendidikan dapat dikatakan Islami ialah senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Allah Swt mengenai hakikat manusia dan menjadikan penjelasan Allah Swt itu sebagai rujukan utama di mana pun dan kapan pun pendidikan itu dilaksanakan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyebut perbedaan pandangan itu karena masyarakat Barat pada umumnya berpegang pada hasil rasio manusia tentang hakikat manusia, sedangkan di kalangan masyarakat Muslim senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Sang Penciptanya mengenai hakikat manusia dan menjadi penjelasan Sang Pencipta sebagai rujukan utama para ilmuwan Muslim di mana pun mereka berada. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Di antara ciri-ciri pendidikan Islami yang perlu dikembangkan akibat perbedaan pandangan mengenai hakikat manusia, yakni jika dalam pendidikan konvensional pada umumnya hanya mengakui semata-mata tri-dimensional raga (organo-biologis), jiwa (psiko-edukasi) dan lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia, maka dalam pendidikan Islami mengakui dimensi Ruhani sebagai dimensi inti dalam sistem kejiwa-ragaan manusia.
Pandangan mengenai Aspek Akidah, Ibadah dan Akhlak
Ciri kedua pendidikan Islami ialah menempatkan permasalahan ”konstan” aspek akidah, ibadah dan akhlak sebagai fondasi pendidikan. Sekiranya aspek konstan ini bukan bersumber dari ajaran Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai pendidikan Islami. Oleh karena itu, pendidikan Islami harus mempunyai landasan yang kuat menurut ajaran Islam, terutama dalam hal:
Landasan pendidikan Islami harus bertumpu pada akidah, ibadah dan akhlak, yakni:
(a) Landasan akidah dalam Islam adalah meng-Esakan Allah Swt, mengimani malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, qadha dan qadar sampai pada keyakinan bahwa al-Qur'an adalah kebenaran yang mutlak dan harus menjadi landasan, wawasan dan sumber ilhami bagi pendidikan Islami;
(b) Landasan ibadah yang benar terhadap Allah sesuai ajaran Islam, dimulai dengan melaksanakan rukun Islam, melaksanakan ibadah dalam arti luas seperti berlaku adil dan ihsan, menyeru kepada kebaikan, melaksanakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, berjihad di jalan Allah sampai dengan mewujudkan perubahan-perubahan positif pada setiap diri individu yang berangkat dari perintah dan larangan Allah Swt; dan
(c) Landasan akhlak mulia, yakni mengembangkan perbuatan-perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau tercela. Dengan demikian, pendidikan Islami secara konsisten diarahkan untuk membina manusia bermoral.
Pendidikan Islami dalam tujuan dan proses-prosedur interaksi antar sesama manusia harus sesuai dengan syariat Islam, yakni memperlakukan setiap individu sesuai perintah dan larangan Allah Swt, mensucikan dirinya dengan amal ibadah dan taubat, mendekatkan kepada Allah Swt dan mengerjakan segala amal perbuatan wajib dan amal-amal sunah. Konsep interaksi antara sesama manusia sesuai syariat Islam termasuk kepada mereka yang non-muslim, di mana Islam melarang tindakan seseorang muslim yang dapat menggangu dan merugikan pihak non-muslim. Bahkan sampai pada tingkat tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk Islam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi dan sebagainya.
Pandangan mengenai Perubahan dan Perkembangan Zaman
Ciri ketiga pendidikan Islami ialah mampu berinteraksi dengan perkembangan dan perubahan yang ada, yakni adanya fleksibilitas dan berwawasan luas, mempunyai pandangan komprehensif dan mendalam terhadap berbagai permasalahan kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah. Oleh karena itu, kemampuan dalam berinteraksi terhadap perkembangan ini adalah sebuah pandangan yang menerima suatu perkembangan atau kemajuan jika tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak segala perkembangan kehidupan, baik pemikiran, kebudayaan, keilmuwan, politik, ekonomi, sosial, jika bertentangan dengan Islam. Dengan demikian, pendidikan yang tidak bisa berinteraksi dengan perkembangan, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan Islami.
Pandangan mengenai Keterbukaan dan Kebebasan Berpikir
Ciri keempat pendidikan Islami adalah terbuka terhadap pergulatan pemikiran manusia. Manusia selalu memiliki dorongan untuk berkarya dan bercita-cita. Dalam setiap karya yang dilakukan oleh seseorang Muslim terdapat dua bagian, yakni bagian yang harus dikerjakan dan bagian yang harus ditinggalkan. Sedangkan cita-cita ialah yang bisa memberikan motivasi bagi hidup. Pendidikan Islami haruslah memberikan peluang kepada akal untuk berpikir, hak untuk belajar dan hak untuk berkreasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini merupakan gambaran kebebasan berpikir yang diberikan oleh Islam kepada manusia, sebagai penghargaan dan penghormatannya.
Program Aksi Penerapan Pendidikan Islami
Tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini dalam bidang pendidikan Islami ialah belum memiliki teori pendidikan Islami yang komprehensif dan integral dalam membentuk pribadi Muslim yang diharapkan dan bagaimana menemukan teori pendidikan Islami itu menjadi praktis dan aplikatif. Namun demikian, jika dicermati perkembangannya, Islamisasi disiplin ini merebak kuat dan karenanya perbincangan tentang Islamisasi disiplin ilmu menguat tajam. Dalam perkembangan sekarang ini, telah muncul Islamic Anthropology yang dipelopori oleh Merril Wynn Davies dan Akbar S. Akhmad, Islamic Economy yang dipelopori oleh Muhammad Anwar dan Muhammad Najatullah Siddiqie, Islamic Sociology diprakarsai oleh Ilyas B. Yunus dan Muhammad al-Mubarrak, Psikologi Islami (Islamic Psychology) digerakkan oleh Malik B. Badri, Muhammad Utsman Najati dan Hanna Djumhana Bastaman dan terakhir ini sedang diperbincangkan adalah pendidikan Islami (Islamic Education).
Mencermati perkembangan di atas, maka ada sejumlah program aksi yang diperlu diperbincangkan untuk pengembangan profesionalitas guru dan unggul dalam menerapkan pendidikan Islami di Aceh. Beberapa program aksi yang mendesak untuk dikembangkan, di antaranya:
Pertama, mewujudkan keunggulan dalam mutu lulusan. Masa depan umat manusia di abad 21 sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mampu eksis secara fungsional di tengah-tengah kehidupan global yang amat kompetitif. Dalam situasi tersebut manusia yang akan survive adalah yang dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan dapat mengisi peluang tersebut dengan produktif. Sementara itu, faktor kepribadian atau moralitas yang baik akan menjadi salah satu daya tarik dalam berkomunikasi dengan sesama manusia. Masa depan membutuhkan manusia-manusia kreatif, inovatif, dinamis, terbuka, bermoral baik, mandiri atau penuh percaya diri, menghargai waktu, mampu berkomunikasi dan memanfaatkan peluang serta menjadikan orang lain sebagai mitra yang saling menguntungkan.
Dengan memperhatikan keunggulan kompetitif masa depan di atas, maka lulusan pendidikan Islam hendaknya senantiasa memiliki sikap berpegang teguh kepada nilai-nilai spiritual yang bersumber pada ajaran agama semakin dibutuhkan masyarakat masa depan. Hal yang demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai kegoncangan jiwa atau stress akibat kekalahan, kelelahan atau keterbatasan daya dalam bersaing dengan orang lain untuk memperebutkan kesempatan atau sebagai akibat dari kehidupan sekuler-materialistik yang semakin merajalela.
Kedua, beberapa indikator keunggulan lulusan pendidikan Islam yang perlu diperjuangkan, yakni:
(1) Secara akademik, lulusan pendidikan Islam dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama pada PTN terkemuka;
(2) Secara moral, lulusan pendidikan Islam dapat menunjukkan tanggung jawab dan kepeduliannya kepada masyarakat sekitarnya;
(3) Secara individual, lulusan pendidikan Islam semakin meningkat ketakwaannya;
(4) Secara sosial, lulusan pendidikan Islam dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya; dan
(5) secara kultural, lulusan pendidikan Islam mampu menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, dimensi kognitif intelektual, afektif emosional, psikomotorik-praktis dan kultural dapat terbina secara seimbang dan selaras. Inilah indikator-indikator yang dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat ketepatan strategi penerapan pendidikan Islam yang diterapkan.
Ketiga, pengembangan profesionalitas guru. Pengembangan profesionalitas guru di satu pihak mengacu kepada sikap guru terhadap profesinya, dan di satu pihak lagi adalah derajat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki guru dalam rangka melakukan pekerjaannya sebagai guru. Ada dua hal yang sangat inti dalam pengembangan profesionalitas ini, yakni panggilan hidup dan keahlian.
Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi yang disandangnya adalah sebagai pemenuhan panggilan hidupnya. Artinya itulah lapangan pengabdiannya dan itulah lapangan kehidupannya. Kriteria ”panggilan hidup” mengacu kepada pengabdian, sekarang orang lebih senang menyebutnya dengan ”dedikasi”.
Guru hendaknya menyadari benar bahwa profesi guru yang disandangnya adalah diperoleh dengan suatu keahlian khusus. Oleh karenanya, kriteria ”keahlian khusus” mengacu kepada mutu layanan yang tercermin dalam proses belajar mengajar.
Jika demikian halnya, maka persoalan ”dedikasi” dan ”keahlian” guru itulah yang secara sungguh-sungguh hendak dikembangkan profesionalitasnya. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Karena adanya pendidik profesional itu, maka sekolah-sekolah unggul bernuansa Islami-lah yang dilirik dan menjadi alternatif pilihan masyarakat di masa kini dan masa depan, Insya Allah.
Penutup
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.
Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertangung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar, memahami dan mengamalkan ilmunya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Peningkatan mutu pendidikan Islami sangat ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan serta kualitas kehadiran guru dalam proses belajar mengajar.
Salah satu aspek penting dalam reorientasi pengembangan profesionalitas guru di sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup.
Daftar Pustaka
Abidin Ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abuddin Nata, (2003), Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana PreAceha Media Group.
Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole.
Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Achmad Mubarok, (2000), Al-Irsyad an Nafsi: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
Ahmad Tafsir, (1995), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
M. Quraish Shihab, (2000), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Volume 2, Ciputat Jakarta: Lentara Hati.
Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta.
Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahman, (Editor), (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor.
Thomas Gordon dan Noel Burch, (1997), Teacher Effectiveness Training (Menjadi Guru Efektif), (Alih bahasa: Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar